Arsip Tag: siregar

Dalam Bus Padat ke Pontianak

Gerundelan Martin Siregar

Oke…okelah. Lebih baik aku ke Pontianak hari jumat 26 oktober, supaya lebih santai dilibur Idul Adha. Inilah keputusanku hari senin waktu istirahat bersama kekasih hati, sebelum getah karet dikutip.”Iyalah…Berarti kita masih bisa noreh hari kamis”:Istriku senang merespon keputusanku”. Kita pakai saja duit dari penjualan buku untuk ke Pontianak. Tak usah usik dana untuk biaya kehidupan sehari hari. Hua…ha…ha…Kalau dana keluarga sangat terbatas, pastilah bisa dikelola dengan bijaksana. Tapi seandainya dana yang tersedia agak berlebih, maka ada saja keperluan yang (seolah) mendesak. Tiba tiba saja perlu beli sepatu, baju baru atau lauk pauk yang enak.

Hari kamis hujan lebat semalaman, sehingga kami tidak bisa noreh. Pagi ini setelah antar Jati ke sekolah, banyak ngobrol berdua di ruang tamu. kayak masa pacaran pada zaman dahulu kala. Istriku sangat intens membicarakan penanggulangan biaya Jati yang harus kuliah. Beberapa peluang ekonomi untuk ditabung selama 3 tahun (Selama Jati SMA), dipaparkannya dengan lancar. Mulai dari ternak ikan lele yang sudah gagal 2 tahun, sampai ke soal membukukan tulisan tulisanku bersama Pay Jarot. Aku sangat yakin bahwa gagasan gagasan istriku sudah lama terpendam dalam benaknya. Tapi, aku pura pura mengangguk angguk seakan gagasan cemerlang itu baru kuketahui. Yah, Mudah mudahan saja istriku makin semangat karena aku mengangguk angguk. Mudah mudahan dia tak tahu bahwa anggukan itu adalah sebuah sandiwara (berpura pura) kagum sama pikirannya.

Lebih baik pagi ini kita susun bajumu ke Pontianak. Kau pilih baju serta perlengkapan ke Pontianak, aku mau masak. Maka akupun sibuk memilih baju celana serta buku buku yang perlu di fotocopy untuk bahan baku Anggie Maharani memahami unkonvensinil, teologia pembebasan, wacana perubahan sosial dan lain lain. (Terpaksa) aku harus fasilitasi Anggie sebagai peresensi sekaligus sukarelawan sales bukuku di kabupaten Sanggau. Pulang dari Pontianak aku akan segera ke Sanggau menyerahkan bukuku tuk dijualnya sekaligus membahas tahapan membangun Kelompok Cinta Baca Nulis di Sanggau

“Baju begini kau ke Pontianak ???”. Istriku geram melihat aku. Kau bilang, kau mau launching, bedah buku, bahas gerombolan unkonvensinil, bicara soal menulis. Harus kau usahakanlah berpenampilan rapi bersih agak terhormat. OooaaLlaa… Kembali lagi kudengar cerewet istriku yang bisa mengalahkan gaduhnya suara radio rusak. Yah,…Aku hanya pasrah membiarkan persekongkolan anak istriku mengatur dan memilih baju celana yang akan kubawa. ”Sudah kubeli sikat gigi, sabun cair, odol dan tempat peralatan mandimu yang agak keren. Waduh!!! Kok secantik ini tas kecil mahal hanya untuk keperluan mandi. Sebenarnya aku mau protes tapi tak kuasa.

Jati bilang sebaiknya bapak naik taksi saja, supaya laptop bapak yang sudah rusak (kalau dibuka harus disanggah pakai tongkat supaya tak jatuh). Aku keberatan atas usul Jati. Disamping harga tiket taksi yang mahal, aku lebih suka naik bus. Puas melihat para penumpang turun naik dengan tingkah laku berbagai macam kelas sosial. Akan makin tajam mata hati nurani meihat realitas kalau naik bus. Begitulah sikapku yang terlalu romantis melihat kehidupan yang sadis dan kejam . Sekali ini Jati tak berni memaksakan pendapatnya.

Sial !! Rupanya hari ini adalah hari libur nasional. Idul Adha membuat buruh dari PT Erna Sanggau berbondong bondong padat memenuhi bus. Kesempatan libur pulang ke kampung halaman. Aku yang sudah sempat naik bus terpaksa berdiri padat bersama buruh perempuan yang cuti kerja. Dalam hati ada juga rasa senang karena aku bisa mengukur stamina tubuhku seberapa lama tahan berdiri. Dan, terbukti bahwa kondisiku cukup prima. Sampai Ngabang (sekitar 80 Km dari desaku) ada penumpang yang turun. Hus !!! Jangan kau yang duduk, bapak sudah tua ini yang harus duduk. Seorang buruh perempuan melarang kawannya duduk di tempat kosong. Pukimaknya cewek ini seenaknya saja tuduh aku:Bapak yang sudah tua, pasti dia tak tahu bahwa aku panggil jengkel mendengar sebutan tersebut. ”Terima kasih,…terima kasih. Aku obral senyum manis ke mereka, sambil duduk meninggalkan penumpang yang lain tetap berdiri sesak.

Sebelum negara republik Indonesia berdiri, leluhur mereka sudah mengelola tanah untuk kebutuhan hidup keluarga. Sampai republik Indonesia berumur 67 tahun, semakin seenaknya negara merampas tanah rakyat demi untuk kepentingan pejabat/pengusaha. Menginjak mampus masyarakat jadi sengsara demi untuk mendukung kestabilan “perekonomian negara”. Pemimpin pemerintahan memang berjiwa BANGSAT!!!. Mual perutku membayangkan kejahatan negara terhadap rakyatnya. Saudara saudaraku didalam bus adalah korban utama dari kebijakan negara. Aku juga korban kejahatan negara, tapi nasibku lebih baik dari mereka. Uh!!!

Gadis manis muda belia kelihatan agak dinamis tersenyum dan mendadak tanya aku:”Bapak ini pasti orang kaya pura pura miskin”. Terkejut aku mendengar pernyataannya. Pura pura pakai celana pendek bawa ransel usang, padahal bapak ini punya perkebunan yang luas. Iya..Kan Pak ?”. Betapa hangatnya pembawaan gadis manis ini. Tak mampu aku menjawab pertanyaannya. Mau kubantah, pasti dia pikir aku berbohong pura pura miskin. Mau kujawab jujur:”Aku mau ngurus penjualan bukuku yang keren”. Pasti akan bertubi tubi pertanyaannya tentang bukuku. Pasti aku akan lelah menjawabnya. Makanya aku hanya menjawab dengan senyum lembut pamerkan gigiku yang ompong. Dalam hati aku berdoa:”Kau doakan saja supaya solusi yang kucapai dengan Pay Jarot dapat berjalan mulus.  Sehingga ada keuntungan yang bisa ditabung untuk Jati bisa kuliah.

Pontianak, 26 Okt’ 2012

Sangat berharap kawan kawan segera membeli bukuku.

Resensi buku Martin Siregar dapat dibaca di BAH!

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #Tamat

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 23

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Kemisteriusan almarhum Tigor dalam integrasinya bersama kelompok tani, terulang kembali oleh Ucok. Sudah 2 buah laporan lapangan Ucok tidak diserahkan ke sekretariat. Ucok semakin misterius.  Dan, semakin sering warga FDP kehilangan jejak, di mana Ucok berada ketika diperiksa di lapangan tidak ada, di sekretariat juga tak nongol, padahal dia punya tanggung jawab besar membimbing para  pemagang. DR Pardomuan tampak susah menerima laporan Armand.

“Dari Pak Regar aku dengar dia sudah bersama calo TKW menghabiskan malam di Pub Trienjel bersama para gadis dan minuman keras. Memang semakin marak kasus-kasus penculikan anak gadis orang dari desa-desa. Sudah ramai desa oleh para calo  berkeliaran.” Armand tambahkan keterangannya. DR Pardomuan hanya menatap jauh, sangat berat memikul beban. Karena laporan yang sama sudah diterimanya juga dari Maemunah dan Inggrid. Walaupun belum diangkat menjadi staff, tapi mereka berdua sangat konsisten menjaga citra FDP di tengah masyarakat.

“Yah…mungkin minggu depan kita sidang si Ucok. Kalau saja dia menerima cinta si Dewi, bisa semakin tertib hidup si Ucok itu.” DR Pardomuan kembali ke ruang kerjanya.

 ***

Sampailah saatnya penampilan teater perkawinan palsu dimulai. “Oleskan minyak gosok ini ke sekitar matamu,” kata Susanti. “Untuk apa?” Muslimin bingung.

“Supaya nampak baru siap nangis, Tolol!!” kata Susanti pula. “Pakai baju yang agak kusut agar terkesan kau sedang sangat susah menghadapi ini. Jam 8 malam diperkirakan ayah ibu baru siap makan malam bersama. Di situlah kita datang.”

Muslimin tak bisa menyembunyikan ketegangannya. Jantungnya yang berpacu kuat tak bisa dinetralisir. Dikeluarkanya motor dari garasi kostnya.

“Tenang kau menghadapinya. Masya.…debar jantungmu bisa kurasakan di goncengan ini. Tapi, aku yakin debar jantungmu pasti lebih kuat lagi kalau aku tak mau kawin sama kau, Jelekku oh Muslimin, hua..ha…ha..”

Susanti masih bisa iseng sambil mencubit perut si Muslimin di atas motor yang gemetar jalannya dibawa Muslimin.  Ayah, ibu…malam ini kami datang uh…uh…uh.. Susanti lap air mata buayanya. Muslimin tunduk gemetaran.

“Ada apa…?” Mata ibu terbelalak. Ayah juga tampak bingung melihat anak gadisnya yang selama ini keras kepala datang malam ini dalam kondisi yang sangat lemah.

“Aku yang salah Bu…” kata Susanti sambil peluk ibunya. “Aku sering lari malam dari kamar Yuni uh…uh… ke rumah Muslimin. Dan…, mendesak Muslimin melakukan zinah Bu..uh..uh..uh..” Susanti mahir sekali memainkan peran.

“HEH! Kurang ajar kau, kau rusak Muslimin, KURANG AJAR!!!” maki Ayah penuh berang.

“Maaf kan aku ayah Uh…uh…uh..” Muslimin tak berani mengangkat kepala. Hening beberapa saat, Susanti kembali tunduk duduk di tempat duduknya semula.

“Jadi, bagaimana rencana kalian?” akhirnya Ibu hapus air matanya.

“Saya harus masuk agama islam. Minggu depan kita makan bersama di desa rumah orang tua Muslimin, sekaligus akad nikah.” Susanti masih heboh menghilangkan sisa-sisa kepedihan hatinya. “Maafkan kami Ayah” Muslimin peluk tubuh mertuanya, lantas mertuanya pun memeluk kuat tubuh menantunya. Mereka saling peluk dan berurai air mata mirip di film-film India.

Baru saja keluar dari gerbang rumah.

“Hua…ha…ha….berhasil!” teriak Susanti merayakan kemenangannya, tak perduli orang-orang di jalan raya.

“Pukimak kau! Kau memang hebat!” Muslimin ikut gembira. Motor sudah berjalan normal atas kendali Muslimin yang beban beratnya  sudah terangkat dari jiwa. Minggu depan akan ada sandiwara lanjutan di rumah Muslimin. Sandiwara yang tidak seberat sandiwara malam ini.

TAMAT

Kisah Sebelumnya: Bagian 22

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #22

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 22

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Susanti justeru mau keluar dari FDP. “Kenapa kau keluar?” Muslimin marah. “Kau jangan langsung marah. Biasanya, dalam sebuah lembaga seperti FDP tidak boleh suami istri bekerja dalam tempat yang sama.” Susanti kasih pengertian. “Apa kita sudah suami istri?” suara Muslimin meninggi. “Kita kan masih lama kawin.” Masih belum diterima Muslimin alasan Susanti mengundurkan diri dari FDP. “Aku sudah diterima magang di BNT (Bank Negeri Trieste) selama 3 bulan di bagian perkreditan. Setelah itu diangkat menjadi staf. Gaji sebagai staf di FDP tidak begitu tinggi, walaupun kita berdua bekerja. Anak kita nantinya harus hidup agak nyaman, tidak tersendat-sendat dalam soal biaya masa perkembangannya. Itu makanya aku lebih baik kerja di BNT. Ini demi masa depan kita.”

Mengendur kemarahan Muslimin. “Besok aku akan sampaikan ke DR Pardomuan.” Kemudian tempat makan bakso di simpang Deigo mereka tinggalkan. “Mus,.. sebenarnya ada soal lain yang lebih prinsip ingin kusampaikan padamu. Tapi, aku takut kau marah.” Susanti masih melanjutkan pembicaraan di atas motor. “Apa itu?” Muslimin penasaran. “Besoklah kita bicarakan sepulang dari FDP. Ini memang rencana gila tapi kupikir cukup efektif,” jawab Susanti.

Pada manusia pertama Adam dan Hawa rencana Tuhan yang maha mulia dirusak iblis melalui buah terlarang dan ular. Adam dan Hawa digoda oleh buah terlarang dan ular sehingga dunia ini berantakan sampai saat sekarang ini. Rencana Tuhan tidak dapat terwujud, karena iblis sudah merajalela menguasai manusia.

Nah, sekarang rencana Tuhan sedang dirusak iblis melalui struktur organisasi yang mapan permanen. Negara, departemen pendidikan, departemen keuangan, partai politik, bahkan organisasi agama adalah organisasi-organisasi yang sudah sangat mapan dan permanen. Itu semua dipakai iblis merusak rencana Tuhan. Makanya tak perlu heran kalau orang ke gereja maupun ke masjid tidak lagi dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Justru, orang tersebut akan dipakai iblis merusak rencana Tuhan. Kita lihat sendiri, di masjid  dan gereja penuh dengan korupsi, kemunafikan, penyelewengan sexual, dan lain lain.

Penghantar diskusi yang disampaikan DR Tumpak Parningotan beberapa waktu yang lalu masih terngiang-ngiang di hati sanubari warga FDP. Itu makanya tak ada ketaatan hidup beragama di kalangan staf FDP. Dan, itu bukanlah dianggap suatu kesalahan. DR Pardomuan pun tak pernah sembayang ke masjid.

 

Demikian juga hubungan kisah cinta antar Susanti dan Muslimin yang berlainan agama. Mereka berdua sebenarnya tidak terganggu dengan perbedaan agama tersebut, tapi tentunya akan menjadi sorotan masyarakat umum. Oleh sebab itu, beberapa kali ayah Susanti ingin memutuskan hubungan mereka, tapi tidak juga berhasil.

“Begini usul gilaku, Mus. Minggu depan kembali aku pamit tidur lagi di rumah Yuni. Setelah seminggu kita menghadapi orang tuaku. Kita katakan bahwa kita terlanjur berkawan sehingga apa yang tidak layak dilakukan oleh pasangan yang masih pacaran sudah kita lakukan. Seolah aku sudah hamil dan datang menghadap orang tuaku minta maaf.” Susanti sampaikan pikirannya dengan sangat hati-hati.

“Rencana GILA! Apa kau kepingin melihat aku dipukuli orang tuamu? Sudah GILA KAU!” Muslimin panik atas usulan itu. Justru Susanti jadi marah melihat ekspresi Muslimin yang uring-uringan.

“Kau ini yang GILA. Kau pikir apa kita bisa kawin normal seperti penganten pada umumnya? Dipestakan lantas seluruh sanak saudara dan kawan-kawan hadir, salam-salaman, berfoto dan lain sebagainya. Apa mungkin?!” Susanti marah. “Belum lagi kita perhitungan biayanya yang sangat besar. Sebenarnya bisa untuk cicil rumah. PAKAI OTAKMU!” Susanti yang semula sangat hati-hati menyampaikan usulnya, ternyata lepas kontrol. Tak bisa ditahannya emosi menghadapi respon si Muslimin yang gamang itu.

“Okelah kalau begitu. Pokoknya aku patuh sama aturan main yang kau gariskan,” Muslimin duduk bersandar lemas kehilangan gairah hidup. Di sekretariat FDP semua orang sudah pulang, disinilah pikiran gila itu dibahas oleh dua insan sambil memadu kasih.

 

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 21

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #21

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 21

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Begitulah kehidupan FDP. Cukup progresif dengan dunia anak muda maju terus menghayati pekerjaan. Dewi dan Dirga juga sudah ikut latihan meditasi ke rumah DR Pardomuan. Setelah beberapa kali dibimbing, mereka lakukan sendiri latihan meditasi di ruang monumental FDP.

“Bagaimana  perasaanmu setelah mengenal latihan pernafasan dan meditasi. Kalian berdua sudah menjadi keluarga besar FDP jadi harus memahami bahwa sakit suka dirasa bersama-sama di FDP ini.” DR Pardomuan memberi wejangan untuk kedua staf ini.

“Iya…Pak, rasanya daya tahan kerja saya meningkat. Dan, saya merasa damai dan tenang walaupun ada rintangan hidup.” Dirga memberi keterangan.

“Kalau kau macam mana Dewi?” DR Pardomuan beralih ke Dewi. “Sama saja Pak, sama dengan yang dirasakan Dirga.” Dewi bicara singkat saja. “Saya khawatir kalau kalian salah tafsir dengan meditasi. Karena meditasi itu oleh kaum mapan adalah hanya sebagai alat untuk menyempurnakan kepribadiannya saja. Bagaimana supaya mereka semakin sabar, semakin tabah dan semakin dapat diterima oleh masyarakatnya. Pemahaman seperti itu salah. Meditasi itu adalah alat agar kita semakin bersemangat melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang berlangsung di tengah-tengah rakyat tertindas. Mempertebal nafas perjuangan kita. Jadi bukan menempa kita menjadi genit dan eksklusif.” DR Pardomuan memberikan pendapatnya.  “Jadi, dalam latihan kalian harus kaitkan dengan program FDP, bukan hanya sekedar penata kepribadian yang terlepas dari perlakuan ketidakadilan kepada masyarakat miskin.”

Pada akhir tahun 1984 penyusunan laporan FDP semakin rumit saja. Karena laporan dilampirkan proporsal baru untuk tahun 1985 – 1988 sebagai tindak lanjut. Disamping proporsal untuk tindak lanjut, proporsal untuk peningkatan kesejahteraan melalui ternak ikan lele secara kolektif juga dilampirkan. Oleh sebab itu perlu rekrut staf baru. Mungkin juga restruktur organisasi pelaksana FDP dan staf baru untuk program ternak lele kolektif. Harus ada penambahan staf dengan 2 bidang kerja. Itulah hal yang paling mendasar mulai tahun 1985 ini.

Susanti tampaknya ingin keluar dari FDP. Karena selama ini dia yang sebentar lagi selesai kuliah dari fakultas hukum harus meninggalkan tugas bagian keuangan. Lembaga dana menuntut bidang keuangan dikerjakan oleh sarjana ekonomi.

Setelah 3 bulan hidup bersama Yuni dalam kesesakan, akhirnya Susanti merasa kalah. Dia menyerah merasa tak mampu hidup penuh keprihatinan bersama Yuni di kamar yang sempit. Di kamar itu pula tempat mengupas bawang, menampi beras, menggoreng sayur dan lain sebagainya. Kegiatan dapur di dalam kamar membuat ruangan sempit itu menjadi jorok, panas dan berminyak. Beberapa kali Susanti mengajak Yuni untuk tidak makan di rumah. Lebih baik kita tidak usah repot masak di kamar. Lebih baik kita makan di warung saja. Semula Yuni mau dan senang hati diajak Susanti, tapi lama kelamaan Yuni tidak bersedia. Dia merasa terlalu banyak pengorbankan Susanti untuk hidupnya.

Makanya sore itu Susanti kembali memboyong segala harta bendanya pulang ke rumah orang tua. Orang tuanya dingin saja melihat Susanti sudah kembali ke rumah. Mereka takut mempertanyakan alasan Susanti kembali pulang ke rumah. Mereka hanya bicara soal-soal yang prinsip saja. Kedatangan tukang ojek menjemput sewanya juga tidak disambut hangat seperti dahulu. Dampak dari kesesakan Susanti berada dalam rumah berakibat juga terhadap Muslimin.

“Aku sedang heboh memikirkan tempat lain selain kamar Yuni,” kata Susanti.

“Ah! Kau ini bikin masalah saja. Tahankan saja tinggal di rumahmu itu sebelum mendapat rumah sendiri.”

Kembali lagi beda pendapat antar Susanti dan Muslimin terjadi sebagai bunga-bunga cinta.

Tanpa disadari Ningsih selesai dari fakultas ekonomi universitas Zatingon. Setelah makan siang bersama di sekretariat FDP sekedar ucapan syukur internal FDP, Ningsih katakana, “Saya sudah sangat cocok kerja seperti ini di FDP. Saya tidak akan cari kerja di tempat lain.” Ningsih membuat semacam pernyataan sikap.

“Syukurlah kalau begitu, asalkan kau jangan merasa dipaksakan harus di FDP. FDP memberikan kebebasan mutlak untuk kita semua memilih tempat kerja.”

Tahun 1985 adalah tahun pengembangan program FDP. Pada periode tahun proporsal 1985 – 1988 akan dibentuk 7 kelompok tani, 3 kelompok peternakan ikan lele oleh ibu-ibu dan akhir tahun 1988 berdiri bangunan Balai Latihan dan Pendidikan 2 lantai lengkap dengan aula, kamar peserta, dapur besar dan lain lain. Untuk itu dibutuhkan penambahan staf paling sedikit 8 orang.

Armand menyusul Ningsih selesai dari fisipol universitas Sandiega beberapa bulan kemudian juga punya komitmen untuk tetap bekerja di FDP sebagai koordinator kelompok tani. Ucok juga tidak tertarik kerja di tempat lain.  Ucok mengaku bahwa pengalaman kerja di instansi negeri maupun swasta tidak memberi kebebasan berekspresi seperti di FDP. Yuni diajak Susanti untuk kerja sementara di FDP sebelum mendapat tempat kerja yang lebih sesuai. Yuni senang sekali berada di FDP. Walaupun di sekretariat FDP sudah ada kompor dan alat-alat dapur, diangkutnya segala harta benda masak memasaknya ke FDP.

“Lebih baik aku masak di sini, nanti pulangnya aku bungkus nasi untuk makan malam di rumah.”

Yuni menjadi fasilitator kelompok ibu di desa Jaejulu bersama staf baru Maemunah di desa Pohontoru dan Inggrid di desa Kembangbondar di bawah koordinasi Ucok. Maemunah yang sejalan dengan kost Yuni bersama-sama naik motor  ke FDP. Muslimin di kelompok tani Pohontoru bersama Armand ditugaskan mendampingi staf-staf baru dalam interaksinya di kelompok tani yang baru.

DR Pardomuan senang sekali melihat kondisi FDP yang sudah ramai dengan para muda yang tidak tergiur hidup dengan kelimpahan. Justru ingin bekerja bersama petani secara kongkrit. Sebuah kondisi kerja yang sudah lama diidamkannya. Walaupun anak kandungnya Arben Rizaldi tidak punya minat bekerja bersama rakyat, tapi, banyak anak muda yang sudah dianggapnya anak kandungnya sendiri dengan senang hati bekerja di masyarakat.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 20

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #20

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 20

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Siang itu FDP kedatangan 2 orang tamu. Bertampang preman gaya bicara membentak-bentak dipersilahkan Ningsih duduk di ruang tamu. Ucok kawani mereka bicara. “Kalian ini memberi penyadaran atau menganjurkan urban kota memberontak.” “Pembebasan tanah sudah selesai 2 semester yang lalu, tapi kenapa unjuk rasa tetap dilakukan?” Salah seorang tamu gencar bicara. “Apa apaan ini ? Abang jangan sembarangan bicara ya… Kami belum tahu apa masalahnya, sudah langsung main bentak bentak!” Ucok keberatan atas cara tamu yang datang ini. “Kalau kami pukuli abang berdua di sini lantas kami adukan abang ingin merampok, pasti abang berurusan dengan polisi.” Armand lanjutkan bicara Ucok. Nampak kedua tamu tak menyangka dapat perlawanan dari tuan rumah. “Kalau di tempat lain abang bisa sembarangan tapi kalau di sini jangan sembarangan.” Muslimin juga naik darah nampaknya. Mendengar respon yang bertubi-tubi sang preman lontong yang 2 ekor itu mengendur.

“Begini, Dik, dekat jalan keluar menuju desa Kembang Bondar akan dibangun perumahan mewah. Tadi, masyarakatnya unjuk rasa ke DPR dan kontraktornya hampir terbunuh oleh unjuk rasa itu. Kami dengar FDP adalah organisasi yang mengorganisir masyarakat di sana.” Preman itu menjelaskan.

“Terus terang kami mendukung sikap keberatan masyarakat terhadap rencana pembangunan tersebut. “Kami punya data tentang itu. Tapi, karena terlalu banyak unsur yang bermain dalam kasus itu, kami tidak ikut bergabung,” kata DR Pardomuan.

Kedua preman itu langsung tarik diri dari FDP. Dari ucapan DR Pardomuan jelas kelihatan bahwa FDP tidak takut berhadapan dengan preman. Hanya saja kebetulan FDP tidak terlibat pada kasus yang dimaksud, maka kedua preman itu tidak dilayani. Di meja tugas Muslimin, Susanti datang berbisik,” Rupanya Ricard Lonardo tadi hampir dibunuh pengunjuk rasa.” Muslimin hanya mengangguk-angguk kecil. Lalu DR Pardomuan katakana, “Cok,…kalau mau investigasi kasus itu silahkan saja, tapi jangan bawa nama FDP. Kita sudah merubah citra.”

“Hua…ha..ha…,” ketawa semua orang yang ada di FDP. Sudah ringan rasanya perbedaan pendapat yang sempat terjadi di FDP.

Ternyata, Ricard Lonardo mendapat tantangan yang cukup serius sebagai developer. Beberapa kontraktor lokal yang tidak kebagian proyek, bersatu menggugat keberadaan perusahaan Ricard.  Ikatan alumni fakultas teknik Universitas Sandiega bergabung dengan alumni dari Universitas Zatingon mempertanyakan: “Kenapa mesti menunjuk kontraktor nasional, padahal kontrakor lokal punya kemampuan untuk mengerjakannya”. Organisasi pemuda secara bertubi-tubi setiap hari datang ke kantor Ir Ricard Lonardo minta uang keamanan. Termasuk minta jatah pemasuk pasir, semen dan material lainnya. Ini membuat rasa iba Susanti, tapi dia lebih cenderung memihak kawan-kawannya kontraktor lokal.

Kalau sudah begini, jangan harap rakyat pemilik tanah bisa menang. Kalau kasusnya begini, pastilah perwakilan kontraktor lokal diundang ke Trieste, kemudian diberi jatah pembangunan oleh departemen, sehingga kontraktor nasional tidak mendominasi pembangunan tersebut. Hanya ini persoalan di departemen, sementara persoalan keadilan di tengah-tengah rakyat yang kena gusur, pastilah ditangani militer. Trieste oh…Trieste…entah kapan keadilan dan kedamaian dapat tercipta di sini. Ucok patah semangat.

Ucok memang agak repot belakangan ini. Karena semakin santer kedengaran bahwa Dewi Lyana jatuh cinta kepadanya. Sedangkan Ucok belum tertarik untuk menjalin asmara dengan Dewi.

“Terlalu manja dan tidak tahan banting si Dewi itu. Cantiknya sih…cantik, tapi itulah…manja kali kutengok.” Inilah pengakuan Ucok di tengah-tengah Armand dan Muslimin.

“Yah,…tapi, lama kelamaan ‘kan bisa juga Dewi berubah kau bikin.” Arman mencoba menjelaskan. “Lagi pula Dewi itu dari keluarga baik-baik,” Armand menambahkan.

“Pukimak kau Mand! Berapa kau dibayar Dewi.” Ucok suntuk mendengar ucapan Arman.

“Tidak…tidak Cok, dari pada Dewi yang lugu itu jatuh ke tangan laki-laki hidung belang, kan gawat…,”  Muslimin mendukung maksud Arman.

“Ah, taiklah sama kalian berdua. Kok jadi ini yang kita bicarakan. Apa tak ada lagi pembicaraan yang lebih bermutu ?” Ucok semakin suntuk mendengar celotehan-celotehan Arman dan Muslimin. Rumah makan langganan mereka siang itu jadi gemuruh dibuat ketiga staf FDP.

 

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 19

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #19

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 19

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Tidak ada yang menyangka bahwa Susanti berani bertindak nekad meningalkan rumah hanya berbekal beberapa helai baju. Dan, sudah dua hari dilacak, belum juga ada perkembangan. Muslimin yang paling heboh ke sana ke mari mondar mandir mencari di mana Susanti berada, belum juga menemukan titik terang. DR Pardomuan sudah janji akan tulis proposal untuk arisan ternak ikan lele untuk diajukan ke Sabidaor Foundation terpaksa menunda kerjanya. Kembali lagi FDP dirundung malang. Memang program FDP dapat terus berjalan, walaupun suasana hati warga FDP tersendat gara-gara kasus yang menimpa keluarga Susanti.

 Tanpa diketahui oleh orang lain, akhirnya Muslimin menemukan Susanti.

“Om dari Trieste akan datang ke Rilmafrid. Setelah menghadiri pernikahan sepupuku, aku akan pulang bersama dia ke Trieste. Aku sama sekali tidak tertarik menetap di Trieste. Itu makanya aku melarikan diri dari rumah,” terang Susanti.

Muslimin baru teringat bahwa dia pernah dapat amanah untuk menyampaikan hal ini ke Susanti. Tapi, karena dia tak berani melaksanakan amanah orang tua Susanti, terpaksa Susanti harus melarikan diri dari rumah.

“Dua hari lagi aku akan pulang ke rumah, karena Om akan pulang besok. Aku segan saja bertengkar dengan orang tua di hadapan Om,” Susanti lanjutkan menerangkan.

“Oh…,kalau begitu tak ada persoalan serius, — yang penting kau bisa mengatasi masalahmu dengan orang tuamu.” Muslimin mencoba menenangkan jiwa Susanti.

Tadi pagi kawan kuliah Susanti yang tidak dikenal warga FDP dan tak dikenal orang tua Susanti sengaja menjumpai  Muslimin di rumahnya. Juni kawan Susanti sampaikan pesan bahwa Susanti berada di rumahnya kepingin jumpa dengan Muslimin.

Perjumpaan tersebut tidak disampaikan Muslimin kepada siapapun. Hanya kepada DR Pardomuan saja Muslimin sampaikan kabar baik itu, agar DR Pardomuan bisa langsung kerja memburu tugas membuat proposal susulan ke Sabidaor Foundation. Dia serahkan persoalan lari dari rumah dapat diselesaikan berdasarkan proses yang berlangsung. Muslimin yakin bahwa Susanti pasti mampu mengatasi masalah ini dengan baik dan benar.

Berada di rumah orang tua yang melahirkannya, dari waktu ke waktu membuat Susanti semakin sesak. Sudah tak dirasakannya kebahagian tinggal bersama  keluarga dalam satu atap. Tidak seperti dulu, ketika almarhum Tigor dan Mikail sering main ke rumah. Intervensi keluarga terhadap kehidupannya membuat Susanti semakin merasa sesak nafas. Sementara, sang ayah ibu merasa bahwa Susanti semakin sulit diatur. Segala bentuk penggunaan waktu dan uang Susanti sama sekali tak bisa lagi mereka monitor. Susanti semakin misterius di mata orang tuanya.

“Seolah ada api dalam sekam di rumah kami,” Susanti curhat ke Muslimin.

“Sabarlah kau, kan  sebentar lagi akan selesai kuliah,” Muslimin coba besarkan hati Susanti.

“Eh, kok sok kali bicaramu! Sok orang tua. Sok memahami jiwa anak muda. Padahal kita sebaya.” Ternyata Susanti kesal mendengar ucapan Muslimin.

“Sama kau ini serba salah. Suntuk kau lihat keluargamu, aku jadi kena sasaran,” Muslimin jadi jengkel.

“Hua..ha..ha..dijatuhkan Susanti kepalanya ke bahu kiri Muslimin. Digenggamnya tangan Muslimin penuh mesra. “Untunglah kau ada di sampingku Mus. Aku tidak merasa sunyi.”

Di dinding tepas pinggir pantai yang agak terbuka mereka duduk menghabiskan ikan bakar makanan kesenangan Susanti. Warung sederhana itu sedang tidak ramai pengunjung sehingga mereka lebih leluasa bercengkerama.

Anak gubernur Rilmafrid telah menyelesaikan studi sipil arsitektur di Amerika. Bersama rekan-rekan alumus Amerika mendirikan perusahaan kontraktor di Trieste. Tentu saja dengan gampang segala proyek kebijakan pembangunan phisik di tingkat nasional dimenangkan oleh perusahaan mereka. Membangun koneksi dengan berbagai departemen pemerintahan atas restu orang tua sebagai pejabat negara langsung terjalin. Salah satu mega proyek pembangunan pusat perumahan mewah di Rilmafrid dipimpin oleh Ir Ricard Lonardo anak gubernur Rilmafrid.

Ricard Lonardo adalah kawan Susanti satu SMA, patah arang karena cintanya tak disambut Susanti. Malam ini datang lagi ke rumah Susanti dengan penampilan yang sudah sangat berbeda dengan penampilan anak SMA ABG belasan tahun yang lalu. Betapa gembiranya ibu dan ayah menyambut Ricard. Betapa inginnya hati mereka apabila dapat berkeluarga  dengan gubernur. Tapi, hati nurani Susanti bertolak belakangan. Susanti sama sekali tidak tertarik pacaran dengan Ricard.

Secara filosofi Susanti katakan, “Aku sekarang mau mencoba menghargai hal hal yang non material. Aku mencoba mengerti bahwa manusia tidak akan puas hanya karena soal-soal material”. Ricard mungkin tak paham maksud Susanti yang secara tidak langsung menyatakan tidak setuju dengan profesi Ricard yang penuh gemerlapan material. Karena tidak mengerti kalimat yang dimaksud Susanti, Ricard tetap saja selalu datang  untuk melakukan pendekatan. Dipikirnya lama kelamaan pasti Susanti akan luluh dan menerima kehadirannya. Apalagi kedua orang tua tersebut mendukungnya.

Kekesalan Susanti memuncak di rumahnya yang macam api dalam sekam. Obsesi Susanti yang kuat untuk mengenal kehidupan mahasiswa yang hidup pas-pasan, kembali lagi menggugah pikiran Susanti. Ditinggalkannya rumahnya berbekal beberapa helai baju saja. Ricard nampak kecewa malam itu di hadapan ayah ibu. Tapi, tak bisa bilang apa-apa, selain menunjukan rasa solidaritasnya terhadap kepedihan hati kedua orang tua tersebut.  

Kamar indekost Yuni beserta kompor dan segala peralatan dapur sederhana adalah tujuan Susanti. Yuni sangat heran melihat sikap kawan dekatnya, Susanti, yang tidak mau hidup cukup sejahtera. Tapi dia tak berani bertanya tentang hal ini, karena Susanti kelihatan tegang dan berbeban berat.

“Aku yang besok belanja dan masak makan pagi dan siang. Kebetulan besok aku kuliah sore.” Yuni diam saja sambil menjahit sarung bantal yang koyak untuk Susanti. “Tapi, jangan lupa, kalau bisa sempatkan jumpai Muslimin, Ini ongkos ya…Yuni.” Yuni terima duit itu dan tetap diam kebingungan.

“San,.. kalau besok masak di sini, hati hati ya. Kompor sangat dekat dengan buku kuliah dan lemari pakaian.” Diusap Yuni keringatnya yang bercucuran. Kali ini tidak ada lagi yang heboh mencari Susanti, karena alamat jelas Yuni ditinggalkan waktu berangkat dari rumah.

“Yah,…kalau itu pilihan hidupnya, Kita bisa bilang apa?” “Biarkanlah dinikmatinya hidup yang dipilihnya itu.” Ibu kesal tidak membolehkan Ricard menjumpa Susanti di rumah Yuni.

Tetap bersama tukang ojeknya Susanti juga ke sekretariat FDP. DR Pardomuan ingatkan Susanti,”Yah,…walaupun sudah pisah rumah, sesekali kau perlu juga berkunjung ke rumah ayahmu. Terus mengikuti perkembangan rumah sekaligus informasikan kegiatanmu. DR Tumpak Parningotan juga sudah tahu bahwa kau tidak tinggal di rumah orang tuamu. Beliau ikut memberi pengertian agar orang tuamu membebaskanmu dalam menentukan jalan hidup.”

Susanti tak sangka bahwa begitu besar perhatian DR Pardomuan dan Om-nya, DR Tumpak Parningotan, terhadap dirinya. Teman-teman se-FDP juga demikian. Ada rasa prihatin melihat Susanti merasa terkekang di rumah orang tuanya.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 18

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #18

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 18

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Beberapa hari kemudian, dalam menjalankan tugas tukang ojek yang paling setia menjemput sewa manis dari kampus, Muslimin membuka pembicaraan.

“Aku heran tengok Arman. Pendapatku sebagai anak petani turun temurun tak pernah dihargainya. Seolah dialah orang yang paling paham tentang kehidupan petani.”

Susanti digoncengan lantas menjawab,”Sudahlah! Diamlah kau… Yok kita minum es campur sambil ngobrol.” Dicoleknya punggung Muslimin.

“Baiklah tuan putri nan jelita,” Muslimin langsung mengarahkan motor ke arah tukang es campur langganan mereka. Tempat mereka memperdalam intensitas perkawanan alias memperdalam hubungan interpersonal.

“Aku sangat setuju sama usulmu itu San. Pikiran petani itu tak usah dipaksakan untuk belajar seperti mahasiswa. Kasihan mereka. Kasihan bapakku.” Muslimin menyatakan dukungannya. dengan wajah serius.

“Ah!! Kau terus hubungkan diskusi kita dengan kondisi keluargamu.” Nampaknya Susanti tidak bernafsu bercerita serius sore ini. “Lebih baik kita ngobrol santai saja, tak usah yang berat berat.” Disendoknya tape dari gelas es campur. Makanan kesenangan Susanti.

“Tidak San, dua hari lagi kita akan membicarakan hal itu. Jadi kau harus punya argumentasi yang kuat mendukung sikapmu.” Muslimin dengan wajah tegang masih tetap kepingin Susanti tertarik membahas topik pembicaraan, sementara Susanti jadi iba hati melihat kawan dekatnya itu. Disentuhnya tangan Muslimin, “Iyalah Mus,.. terima kasih atas dukunganmu. Aku sudah tulis 2 lembar argumentasiku pada rapat mendatang. Nanti kau editnya.” Digenggam Muslimin jari tangan Susanti dengan penuh kasih.

Ketika Muslimin akan berangkat keluar dari es campur, berpapasan dengan Arman dan Ucok yang juga ingin minum es campur. Hanya bertegur sapa seadanya mereka berpisah. “Seenaknya Susanti ingin merubah cita rasa  FDP yang sudah capek-capek kita rumuskan.” Ucok menyalakan rokoknya.

“Iya…mungkin Susanti dan Muslimin tadi membahas hal yang sama dengan kita di tempat es campur ini. Ha…ha..ha..” Arman ringan saja melihat perbedaan pendapat yang terjadi pada pertemuan yang lalu.

“DR Pardomuan pasti tidak setuju dengan sikap Susanti. Dia berani meningalkan perguruan tinggi karena sangat percaya terhadap gerakan revolusioner.” Ucok memberi pendapat agar Arman tidak main-main dengan persoalan beda pendapat yang terjadi.

“Maaf ya… Cok, sampai rumah malam itu aku berpikir bahwa FDP tak mungkin mampu untuk mewujudkan mimpi-mimpimu.” Totalitas kita hidup menyatu dengan petani masih sangat kurang. Kita masih minat hidup agak genit tak mau ketinggalan trend anak muda masa kini. Lagi pula,…Kita sama sekali tidak punya kekuatan politik untuk merubah kebijakan pemerintah.” Akhirnya Arman terpancing untuk mengupas isi pembicaraan yang ditawarkan Ucok. “Macam mana pendapatmu?” Arman justru mendesak Ucok untuk berpikir realistis.

“Nantilah kupikir dulu masak-masak.” Ucok kelihatan melemahkan temperamennya.  Dirga Belanta juga tadi siang sudah nyatakan pikirannya bahwa untuk gerakan struktural di kalangan petani, kapasitas FDP masih belum memungkinkan. Sementara himpitan biaya hidup mungkin akan membuat petani semakin tidak bisa bergerak. Ucok yang mendengar pernyataan Dirga waktu di kampus merasa kecewa. Didesaknya Dirga agar konsisten terhadap garis ideologi FDP. Tapi, sikap keras Ucok sudah tidak dinampakkan lagi pada ngobrol dengan Arman di tukang es campur.

Sementara Ningsih dan Dewi Lyana tidak perduli dengan perbedaan pendapat itu. Mereka  habiskan waktu sampai 3 jam belanja di Monza setelah makan bakso di simpang empat Deigo. Tempat lain sarang mahasiswa-mahasiswa Rilmafrid sering bersantai.

Pada malam lanjutan pertemuan untuk menentukan garis kebijakan FDP, Susanti dan Muslimin tidak hadir. Tak ada yang tahu kenapa mereka berdua tidak hadir. Padahal tadi siang sudah ada tanda-tanda kuat akan terjadi rekonsiliasi. DR Pardomuan di sekretariat sudah memberitahukan angin segar tentang strateginya memecahkan perbedaan pendapat antar Ucok dan Susanti. Maka malam ini disampaikannya pesan itu.

“Baiklah, … tanpa Susanti dan Muslimin kita buka rapat malam ini. Sebenarnya Susanti yang paling perlu hadir, tapi ternyata sudah hampir jam 8 mereka belum juga datang. Pada awal perkenalan kita dengan Mukurata, sudah dinyatakannya bahwa di samping dana untuk organeser petani ada juga tersedia dana untuk peningkatan kesejahteraan petani melalui kegiatan ekonomi mikro maupun usaha-usaha produktif lainnya. Tapi, karena saya dan almarhum Tigor dan Mikail ingin mempraktekan gerakan revolusioner, maka untuk sementara kami tolak tawaran dana untuk pengingkatan kesejahteraan.”

Tiba-tiba sekretariat FDP diketuk. Rupanya ayah ibu Susanti yang datang, langsung dipersilahkan masuk. “Tadi sore Susanti lari dari rumah. Muslimin kami tugaskan untuk melacak di mana Susanti berada. Itu makanya hari ini mereka tak hadir pada rapat FDP.” Ayah Susanti mohon maaf merasa mengganggu acara FDP, sekaligus mohon bantu warga FDP untuk melacak keberadaan anak mereka.

“Di FDP maupun dalam pergaulan Susanti di kampus sama sekali kami tidak melihat ada persoalan mendasar yang membuat Susanti terluka.” DR Pardomuan memberi keterangan. Ucok tunduk seakan ada hal yang membuat dia menyesali dirinya. Hanya sebentar saja tamu sekaligus keluarga FDP itu berkunjung. DR Pardomuan tutup pertemuan dengan tamu. “Baiklah ..Pak kami akan bantu melacak Susanti. Kami pun minta maaf karena tidak mengikuti perkembangan anggota kami.”

 

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 17

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #16

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 16

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Tanpa diketahui oleh Susanti, Muslimin sengaja diundang orangtuanya datang berdiskusi ke rumah.

“Syukurlah tadi Susanti pergi agak cepat ke rumah kawannya, sehingga kedatanganmu sesuai dengan rencana kita. Supaya jangan diketahui Susanti.”

Ibu persilahkan Muslimin duduk di ruang tamu. Sedangkan ayah masih pakai baju kantor ikut duduk bergabung di ruang tamu. Muslimin tampak bingung seolah dia duduk sebagai terdakwa di hadapan dua hakim yang siap memberi vonis. Ada salah apa aku, kok sengaja diundang mereka, pikir Muslimin. Tapi, sampai lelah Muslimin berpikir, dia tak menemukan jawaban atas pertanyaan besar yang ada di kepalanya. Apa lagi kedua hakim pengadilan itu kelihatan tegang menghadap terdakwa. Muslimin sudah menyediakan jawaban seandainya timbul perkataan menghujat:Jangan lagi dekati anakku!

Ah, bukan aku yang getol menjemput Susanti. Dia sendiri yang minta saya jemput setiap hari. Kalau ayah ibu keberatan saya menjemput anak ibu, mulai besok saya tak akan jemput. Muslimin keringat dingin duduk di hadapan para hakim.

“Begini ya.. Muslimin, kami tahu bahwa Susanti cukup cerdas dalam perkuliahan. Kecerdasannya juga diketahui oleh Om-nya yang ada di Trieste. Minggu lalu Om-nya kirim kabar ke kami. Kalau bisa Susanti pada akhir tahun kuliahnya bisa pindah ke Trieste. Dia bisa kerja di perusahaan Om-nya sambil kuliah. Sebuah jabatan penting akan dilimpahkan kepadanya. Jadi, kami harapkan pada akhir semester ini Susanti sudah berada di Trieste. Lagi pula, kalau Susanti berada di Trieste dengan kesibukannya setiap hari, lama kelamaan trauma ditinggal mati Mikail Pratama berangsur angsur hilang dari ingatannya. Kami sudah menganggap kamu adalah anak sendiri. Bagaimana pendapat kamu?” Ibu mempersilahkan Muslimin bicara.

Betapa bangganya Muslimin dianggap sebagai anak sendiri oleh sebuah keluarga kaya raya.  Tak pernah terbayangkan olehnya status setinggi itu. Dianggap sebagai anak kandung sebuah keluarga kaya raya.

“Ah, bagi saya tentulah pindah ke Trieste lebih menjanjikan masa depan yang cerah.”

Sebenarnya ada juga kesedihan di hati Muslimin seandainya berpisah dengan Susanti. Tidak bisa lagi tertawa-tawa di atas motor, pergi ke Monza dan ngobrol asyik di FDP.

“Berarti kita sependapat. Kami pikir kamu tidak setuju Susanti ke Trieste karena fungsinya di FDP cukup menentukan. FDP itu kan hanya sebuah kegiatan sambilan sebelum menyelesaikan perkuliahan.”

Kali ini Muslimin suntuk. Kurang ajar! Apa program FDP itu tidak bisa menjadi sebuah pekerjaan profesionil yang terus menerus menuntut peningkatan kapasitas individual demi untuk memperjuangkan rakyat, Kurang ajar!! Pikirannya berkata begitu tapi mulut Muslimin mengucapkan,” Memang benar yang ibu bilang.” Lantas ayah bicara memecahkan kesunyian, “Bahkan saya takut gara-gara FDP  kuliahnya jadi terganggu.”

Suasana kembali hening, masing-masing merenung dengan pikirannya masing-masing. “Kami harap kamu bisa bantu kami membujuk Susanti untuk menerima tawaran Om-nya pindah ke Trieste”. Tersentak Muslimin mendengar kalimat itu. “Iyalah..Bu saya usahakan,” jawabnya kemudian, sementara hatinya berontak : Akan kuhasut Susanti untuk tidak pindah ke Trieste. Betapa sunyinya hidup ini tanpa Susanti.

Setelah meneguk kopi yang sudah sedikit lagi, Muslimin berdiri. Ayah ibu juga berdiri. Ditepuk ayah pundak Muslimin sambil berkata, “Kenapa tak pernah lagi menulis di Koran?  Saya senang sekali membaca tulisan kamu di koran.”

Kembali lagi Muslimin kelabakan memberi respon. Inilah dosa DR Pardomuan, saya dituntut pembaca koran untuk terus-menerus menulis. Semua orang tak tahu namanya saja opini Muslimin padahal itu adalah buah tulis DR Pardomuan. Dalam kesesakan jiwa, Muslimin masih sempat bicara, “Sebenarnya banyak buah pikir saya yang ingin dikirim ke koran. Tapi, karena kesibukan kuliah, saya tak sempat menulis.” Mampuslah kedua orang tua kaya raya ini, mereka pasrah kena tipu oleh mulut anak petani miskin. Hua…ha..dalam kemenangan ditinggalkannya rumah Susanti.

Ternyata kewajiban menjadi tukang ojek belum berakhir. Bersama Susanti acara-acara yang menyegarkan tetap saja dapat dilaksanakan dengan baik. Bahkan, beberapa acara yang membutuhkan saling keterbukaan yang semakin mendalam dapat mereka ciptakan. Minum es campur tempat yang tak pernah sepi dari kerumunan mahasiswa  adalah tempat ngobrol panjang Muslimin dan Susanti mempererat perkawanan mereka.

“Mungkin sudah mulai ada getar cinta antar Muslimin dan Susanti, ya…,” kata Dirga Belanta sambil masukan kertas ke mesin tik. Arman, Ucok, Ningsih yang sedang di sekretariat tak ada yang memberi komentar. Dewi Lyana saja yang berani memberi respon, “Yah,..aku setuju saja seandainya mereka pacaran.”

Kemudian DR Pardomuan dating. “Mana Susanti? Kenapa dia belum juga susun jadwal ke lapangan?” DR Pardomuan menuju ruangannya. Baru sebentar berada di ruang kerja, dipanggilnya Dewi Lyana. “Uang akomodasi dan transportasi si Armand dan Ucok sudah diberikan. Apa Dirga Belanta sudah baca semua pedoman kelapangan? Tiap akhir refleksi bulanan saya akan wawancarai kalian berdua.” DR Pardomuan sudah full bekerja di sekretariat. Sedangkan Muslimin baru saja keluar dari sekretariat menyeberangi jalan menuju ruang meditasi  samping rumah DR Pardomuan. Ke tempat monumental sejarah lahirnya FDP. Muslimin mau latihan meditasi karena belakangan ini banyak persoalan keluarga yang menimpa dirinya.

Iklim sekretariat FDP sedang berusaha menyesuaikan diri dalam suasana baru tanpa Tigor dan Mikail Pratama.

Syukurlah yang terjadi di FDP adalah maju dengan langkah harmonis. Walaupun mendapat tantangan yang berat dari keluarga, Susanti dapat mengerjakan tugas koordinator 3 wilayah kerja. Kemajuan interaksi antar FDP melalui Armand, Ucok dan Dirga bersama komunitas masyarakat petani mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. DR Pardomuan cukup berhasil dalam menjalin jaringan kerja dengan sesama LSM Rilmafrid. Sekaligus  konsep dialog dalam menghadapi kemapanan konsep pemerintah yang sangat konvensionil, berhasil diterbitkan DR Pardomuan atas bantuan komunikasi dengan DR Tumpak Parningotan dan Mukurata.

 

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 15

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #12

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 12

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Minggu lalu diadakan pelatihan Penyadaran Hukum dan Non Litigasi, ketiga kelompok petani bergabung di Wisma Dimalana. Latihan makan waktu sampai seminggu sangatlah melelahkan peserta. Walaupun uang transpor, akomodasi dan uang pengganti kerja mereka diberikan oleh FDP, tapi pada hari kelima, sudah mulai banyak petani yang bolos tidak mengikuti session. Mereka justru berkumpul dikedai tuak.

“Mari Pak,…kita kembali ke ruangan, sesion sudah dimulai,”  kata Arman.

“Ah !! biarkan saja mereka di sini, mereka masih sangat asing dengan pulpen, buku tulis dan mendengar kotbah.” Tigor tidak setuju terhadap Arman yang menghimbau petani untuk tertib mengikuti acara pelatihan. Para petani sangat setuju dengan pendapat Tigor. Setelah Arman pergi, Tigor masih duduk bersama petani.

“Kalau terus menerus belajar seperti ini kapan kita berontak kepada pemerintah yang seenaknya menaikan harga pupuk,” kata Pak Regar.

“Ah, benar juga.” Kata Tigor yang merasa sependapat dengan Pak Regar. “Okelah, nanti setelah pelatihan ini kita kumpul lagi membicarakan rencana aksi. SETUJU?!! Tigor ancungkan genggam tanganya. Serentak peserta pelatihan yang ada di kedai tuak menjawab: SETUJU !!” Tak berapa lama kemudian secara bergilir mereka tinggalkan kedai tuak masuk ke ruang pelatihan dengan semangat yang baru. Semangat yang tidak diketahui oleh kawan-kawan lainnya. Semangat memberontak pemerintah sesuai dengan gagasan Tigor.

Di dalam ruangan dalam perasaan jenuh jengkel dan mungkin jijik, mereka masih sempat senyum-senyum sambil mengangguk-anggukan kepala seolah mengerti dan setuju atas segala ucapan yang disampaikan oleh nara sumber. Lapar tak bisa ditunda, pemerintah sudah keterlaluan maka tekad memberontak semakin membatu. Sudah semakin tak sabar berada dalam ruang pelatihan. Wajah Tigor juga tegang dan geram melihat pelatihan yang terlalu lama menyiksa bathin petani.

Sekretariat FDP heboh sehabis pelatihan. Mikail yang paling panik melengkapi proses pelatihan untuk laporan ke lembaga dana. Tigor juga sarat dengan bertumpuk buku memberikan analisanya tentang kondisi peserta, materi session, proyeksi pelatihan maupun mencari metodologi pelatihan yang lebih tepat lagi. Tapi, karena kerja seperti ini adalah kegemaran Tigor, maka dia asyik saja sepanjang hari sampai larut malam mengerjakannya. Mesin tik sudah tersedia di kamarnya di rumah Pak Guntar desa Kembang Bondar.  Sambil mengetik, kepalanya heboh memikirkan langkah-langkah melakukan aksi ke ibukota Rilmafrid. Aksi kali ini harus besar-besaran. Harus mengikutsertakan elemen masyarakat yang lain. Mahasiswa, tukang becak, buruh bangunan dan buruh pabrik dan lain lain harus ikut terlibat dalam aksi kali ini. Dan, dia tak butuh kawan-kawan FDP ikut serta membantu dia mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan aksi besar besaran ini.'”Aku akan kerjakan sendiri semuanya.” Ditinjunya meja kerjanya dengan ganas.

Dengan motor dinasnya, Tigor bolak balik dari desa ke kota. Karena memang ini pekerjaan yang menarik buatnya, maka dengan gampang saja dia berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan buruh, mahasiswa maupun para tukang becak dekat kantor DPR. Kabar angin mengenai kerjaan pribadi dari belakang layar yang dilakukan Tigor sudah terdengar juga oleh warga FDP. Tapi, Tigor selalu mengelak kalau diintrograsi oleh kawan-kawan FDP. Pokoknya Tigor dinilai semakin misterius. Sangat sulit dipahami oleh orang lain. Dan, anggota kelompok petani yang berada di kedai tuak waktu pelatihan yang lalu juga konsisten membantu segala usaha aksi yang mereka rencanakan bersama. Segalanya dirahasiakan mereka dengan ketat.

Rasa penasaran warga FDP sudah sampai puncaknya. DR Pardomuan sengaja memanggil Tigor ke sekretariat untuk menceritakan segala hal yang sedang dirancangnya. Menerangkan rancangan kerjanya di luar program yang sudah digariskan. Sore itu seluruh staf FDP sudah kumpul.

“Selamat sore. Dalam 2 minggu belakangan ini seluruh pelaksana program FDP bingung memperhatikan kegiatan-kegiatan Tigor yang sangat heboh mundar mandir dari desa ke kota. Di kota juga Tigor tidak ke sekretariat. Tigor sering kelihatan ngobrol dengan tukang becak, buruh dan komunitas-komunitas di luar kelompok sasaran program. Yang tidak ada kaitannya dengan program yang telah kita susun. Dan semua pertanyaan staf tentang hal ini di respon Tigor acuh tak acuh. Oleh sebab itu saya sebagai penangung jawab program dituntut oleh kawan-kawan untuk mengundang Tigor memaparkan maksud dan tujuan Tigor dalam menjalin kontak dengan berbagai komunitas tersebut. Kami persilahkan Tigor untuk angkat bicara.”

Tigor tampak gelagapan. Dia tak menyangka bahwa undangan rapat kali ini adalah untuk mengintrograsi dirinya. Dengan agak terbata-bata Tigor angkat bicara: “Tidak ada yang prinsip. Saya merasa bahwa masih banyak waktu luang saya setelah jalankan program. Nah, dari pada waktu terbuang sia-sia, saya coba mengenal kehidupan komunitas-komunitas miskin perkotaan. Siapa tahu saya bisa memproduksi sebuah buku dari hasil interaksi saya dengan komunitas miskin kota. Hanya itu maksud saya. Jadi kawan kawan tak usah curiga.”

Tigor kemudian diam dan kondisi pertemuan sore ini sunyi senyap beberapa saat.

“Tapi, dari sumber yang dipercaya aku dengar informasi bahwa Tigor akan melakukan pemberontakan besar-besaran. Aku bingung mendengar istilah pemberontakan besar-besaran,” Mikail buka bicara.  Dari nada suaranya kelihatan tidak ada maksud Mikail memojokan Tigor.  Tapi, Tigor merasa dirinya dipojokkan.

“Ah !! tidak ada itu! Aku hanya terangkan tentang bentuk-bentuk perubahan sosial seperti yang disampaikan oleh Pendeta DR Tumpak Parningotan. Mereka saja yang menggantikan istilah itu dengan kata pemberontakan.” Dengan nada suara yang agak tinggi Tigor menjawab pertanyaan Mikail.

“Yah,… terlepas dari pertanyan Mikail, saya melihat memang belum saatnya kita melakukan aksi besar-besaran. Sejarah telah membuktikan bahwa gerakan sosial yang tidak rapi pasti mengalami kegagalan. Kekuatan status sosial yang dilindungi oleh militer dengan anggaran dana yang berkelimpahan pasti dengan mudah mematahkan semangat perjuangan kita. Makanya kalau ada rencana aksi. Yah,.. marilah kita bicarakan bersama sama  di FDP. Jangan main sendiri.” DR Pardomuan memang sudah jengkel melihat Tigor yang paling sulit diaturnya. Tigor tidak macam Muslimin yang patuh bekerja sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan.

Pertemuan ditutup jam 8 malam. Seluruh warga FDP berinteraksi seperti apa yang selama ini terjadi. Ketawa saling olok antar Ucok dan Arman. Muslimin yang lugu melawak membuat suasana cerah ceria. Hanya Tigor yang diam seribu bahasa tunduk kepala dan tak mau ikut tertawa bersama kawan kawannya.

“Malam ini kau tidur di rumah ya..Gor. Ada film ‘The Man With The Golden Gun’, Film James Bond. Bintang kesayanganmu Roger More main lagi di bioskop Mayestik tengah malam,” kata Mikail yang baru kembali dari mengantar Susanti pacarnya. Supaya kau jangan stres Hua..ha..ha..,” kata Mikail bersahabat. Tapi, Tigor tampak tegang diam seribu bahasa. Kemudian,” Sudahlah Mikail, aku sedang tulis opini yang belum siap di rumah Pak Regar. Besok saja kita nonton.”

“Oh..ya Gor, mana tulisanmu? Ini tulisanku, Kita kan sudah janji setiap minggu tukar menukar tulisan,” kata Ucok. “Maaf Cok, aku tak ada tulisan minggu lalu. Tapi dalam minggu ini aku akan setor 2 tulisan,” kata Tigor dengan sikap dingin tak bergairah. Kemudian Ningsih datang: “Bang Tigor kwitansi untuk transportasi kelompok tani Kembang Bondar belum komplit, Kapan aku terima?” Tigor jadi panik: “Dua hari lagi kuantar ya..Ningsih.” Semua pihak tampak ingin menghibur hati Tigor yang sedang suntuk sehabis pertemuan. Tapi, Tigor tidak terhibur. Dia masuk ke rumah utama menjumpai DR Pardomuan mau pamit lebih dulu. “Hati hati di jalan Tigor, sekarang dekat jembatan ke Kembang Bondar semakin sering perampokan.” DR Pardomuan memang selalu memberikan perhatian yang besar kepada seluruh warga FDP. Ibu dan Arben Rizaldi juga merasakan ketegangan dalam tubuh FDP. Mereka juga bingung menganalisa kondisi FDP.

“Bu… ada apa ya… Kok kegembiraan mereka tidak seperti biasanya,” Arben membuka komentar.

“Itulah kau, gara gara film sinetron kita tak mendengar isi pertemuan mereka,” Ibu jadi kesal mendengar komentar Arben.

“Sekarang tak dibutuhkan peran para akademisi dari perguruan tinggi dalam perubahan sosial. Mereka itu kaki tangan imperialisme,” Tigor menyatakan sikapnya, sepulang nonton film Midnigt Express. Tapi Mikail diam saja. Usahanya menyadarkan Tigor agar jangan selalu melihat permasalahan melalui pendekatan ideologis, tak pernah diperhatikan Tigor. Seolah badan Tigor saja yang ada dalam bioskop, sementara kepalanya melayang jauh membayangkan rencananya. Rencana terselubung yang dinilai oleh warga FDP sangat misterius. Tigor tidak lagi memahami film Midnight express yang bercerita tentang percintaan dua remaja yang pupus karena sang jantan dituduh bawa narkoba. Lantas dimasukan ke dalam penjara. Permainan kedua aktor muda tersebut sangat memukau. Oleh sebab itu, film Midnight Express telah menerima Piala Oscar. Sangat layak didiskusikan. Tapi, diskusi yang selama ini mereka lakukan sudah tak sesegar dulu lagi. Tigor menuduh Mikail adalah menusia yang mempertahankan status kelas borjuasinya.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 11

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Reuni Bersama Isim

Flash Fiction Martin Siregar

Lanjutan: Kantril Dinasehati

Gambar dari Shutterstock

Terkejut Isim karena calon adik iparnya Payman adalah kawan dekat Pak Longor, Bason dan Kantril. Kebetulan libur musim panas tahun ini Isim kembali ke Indonesia setelah 23 tahun menetap di Italia. “Hallo…Aku Isim baru tiba di bandara Polonia Medan bersama keluarga mau liburan, 3 hari ke danau Toba, Pulau Samosir, tongging dan tanah karo. Jadi mungkin hari ke empat aku bisa main ke Jakarta. Bason terkejut menerima telepon Isim. Tak ubahnya Kantril yang sudah mulai tekun bermeditasi dipandu Bason. Rindu tak jumpa selama puluhan tahun akan terhapus 4 hari lagi.

Kantril, Bason dan Kantril sejak SMA tahun 80-an gabung di The Campino Connection, club anak muda yang mereka dirikan bersama  kawan-kawan sebaya di Medan. Club yang cukup diperhitungkan pada waktu itu. Punya diskotik yang selalu disewakan, balap di jalanan, tapi aktif  softball, skateboard dan selalu mendaki gunung Sinabung maupun gunung Sibayak apabila libur sekolah. The Campino Connection adalah ajang kegiatan anak muda multidimensionil.

Walaupun setelah mahasiswa mereka berpisah, tapi tetap saja berkawan erat. Isim di fakultas pertanian, Kantril fisipol dan Bason di ekonomi. Hanya saja karakter Isim berbeda dengan Kantril dan Bason, Bason Kantril kutu buku aktif membangun kelompok diskusi bedah buku ilmiah di beberapa tempat. Konsep pemikiran ‘Das Kapital’ karya Karl Marx, maupun ‘Pendidikan Kaum Tertindas’ Paulo Friere dikuasai mereka secara mendalam. Merasa pejuang kelas berat memberikan tinjauan kritis terhadap sistem pembangunan yang dilaksanakan orde baru dinilai sarat dengan ketidakadilan. Sedangkan Isim dijuluki “manusia penikmat hidup”. Playboy kelas kakap yang selalu mencari sasaran mahasiswi kaya raya.

Biasanya, momentum yang ditunggu Isim adalah perayaan natal setiap tahun. Walaupun Isim tak pernah ke gereja, tapi setiap perayaan natal seluruh fakultas di universitas tersebut — pasti Isim hadir sambil menggandeng gadis yang dicintainya —-. Pacaran 3-4 bulan putus hubungan dan cari mahasiswi lain. Kantril dan Bason kagum terhadap kemampuan gombal Isim dihadapan gadis. Dan, tak henti hentinya mereka ingatkan Isim agar menghentikan tabiat buruknya itu. Tapi Isim tetap saja tak perduli.

Pernah satu waktu semester 4 Kantril yang sudah tak kuliah, mencoba hidup bersama gelandangan pinggir rel kereta api. Ikut merasakan penderitaan kaum sengsara mencari kardus, kaleng, besi botol sebagai mata pencaharian. Kantril terhasut buku ‘Partispasi Riset Aksi’ pengalaman Paulo Friere di Brazil. Sekitar 2 bulan Kantril tinggal di pondok sengsara pinggir rel kereta api. Sesekali Bason yang heboh mengorganisir petani pedesaan bermalam di gubuk Kantril. Karakter mahasiswa sok pembela rakyat miskin melekat kuat pada jiwa Kantril dan Bason.

Terpikir Kantril tuk menanam pekarangan sempit pinggir rel kereta api dengan sayur-sayuran maupun anggrek yang mahal harganya. Secepat kilat Bason usul: ”Kita suruh Isim tuk mencuri bibit sayur mayur yang bertebaran di halaman fakultas pertanian. Lantas kita minta Isim bujuk pacarnya Isti (yang cinta tanam anggrek)  kasih bibit anggrek tuk saudara saudara kita yang sengsara ini.”

Dengan ringan senang hati, Isim laksanakan pesan kedua kawannya. Bahkan Isti terlibat mengajari para gelandangan cara bercocok tanam anggrek. ”Nampaknya Isti gadis baik budi. Jangan kau putuskan hubungan kaliam, jadikan Isti jadi istrimu.” Kantril dan Bason sangat terkesan atas kemampuan Isti berintegrasi di tengah-tengah gelandangan sengsara. Segala atribut gadis kaya raya ditinggalkannya di rumah, apabila interaksi ke rumah gubuk pinggir rel kereta api. Tapi, yang namanya Isim palyboy kampungan hanya bertahan 7 bulan pacaran dengan Isti.

Hanya Isim yang berhasil menggenggam ijazah sarjana. Bason Kantril larut akibat jiwa romantisme pejuang rakyat tak tuntas menyelesaikan perkuliahan. Walaupun begitu, Bason yang tak mengantongi gelar sarjana berhasil duduk di posisi penting di penerbitan majalah politik bergengsi. Kantril punya toko kelontong  dan Isim penguasa travel biro di Italia.

Ketika Bason Kantril akan kutatap, hatiku terharu. Seakan hari-hari yang berkesan itu datang kembali membuai kami bertiga. Deg-degan Isim di bandara Sukarno Hatta menunggu kedatangan Bason dan Kantril. Sebenarnya Isim masih sangat capek meninggalkan anak istrinya di Medan melanjutkan liburan. Isim butuh istirahat sebelum lanjutkan perjalanan ke Jakarta. Hasrat jumpa kawan lama tak boleh ditunda, Isim paksakan fisik harus ke Jakarta. Duduk lemas lunglai di ruang tunggu bandara, kepalanya pusing tujuh keliling. Dan, ketika Kantril dan Bason menepuk bahu, Isim tak kuat berdiri. Sakit jantungnya kumat, Isim hampir pingsan,  terpaksa dibopong ke polklinik bandara dalam keadaan tak sadarkan diri.

Kakek Longor Kecewa

Gerundelan Martin Siregar
Cucunya kakek Longor yang paling tua Theresia sudah duduk di kelas III SMP. Sekolah itu dekat rumah kakek Longor, sehingga murid jalan kaki pergi/pulang sekolah menjadi perhatiannya. Pulang sekolah Theresia selalu singgah di rumah Pak Longor. Dan sering kelabakan menjawab pertanyaan sang kakek yang cerewet. Mulai dari pertanyaan cara guru mengajar, materi mata pelajaran, korelasi antar guru, murid dan orang tua murid, interaksi antar murid dan lain lain. Tapi, kadang Theresia bangga punya kakek Longor. Pertanyaan-pertanyaan si Kakek mempertajam kemampuan Theresia memahami realitas kehidupannya.

“Siapa murid yang rambut pendek, cantik, badannya agak tinggi itu?” Mendengar pertanyaan ini Theresia jengkel. ”Banyak murid rambut pendek yang lewat sini. Kenapa rupanya Kek?” Kali ini dengan lembut Theresia merespon sang Kakek. Lantas dengan senang hati sang kakek berkata,”Kami sering beradu pandang, saling lempar senyum dan kakek yakin bahwa dia murid cerdas.” Kalau ada kesempatan kakek mau memandu dia agar lebih kritis merancang masa depannya. Banyak kakek lihat murid cerdas di desa tak berhasil merancang masa depannya dengan baik. Karena berbagai keterbatasan fasilitas yang tersedia di sekolah, keluarga maupun minimnya fasilitas di desa. Ingin menyumbangkan pengetahuannya (tanpa pamrih) untuk para muda membuat Theresia mengagumi jiwa kakek Longor.

Pada misa gereja minggu jam 8 pagi, secara kebetulan kakek Longor duduk bersebelahan dengan murid yang disenanginya. Di celah-celah ibadah kakek Longor membuka dialog. ”Namanya siapa? Kelas berapa?” Interaksi mereka berjalan dengan mulus, kakek Longor tidak bertepuk sebelah tangan. Ternyata Mawar juga sudah rindu bisa berkomunikasi dengan kakek Longor. ”Nama saya Mawar, Kek. Kelas II SMP, Kek.” Kita sering beradu pandang dan saling lempar senyum kalau kakek duduk di teras depan. Kesan saya, kakek walau sudah tua tapi punya energi ilmu pengetahuan yang terpendam. Begitulah kesan saya, Mawar cerah ceria menyambut dialog tersebut. Beberapa potong pengalaman hidup dan kerja pengembangan masyarakat membuat Mawar semakin kagum sama kakek Longor.

Senin pulang sekolah Theresia bingung melihat Mawar singgah di rumah tuk mengambil buku dari si kakek.”Iya…Baca buku tipis ini, minggu depan kembalikan ke kakek.” Kita bedah buku ini sebagai bekal Mawar meniti cita-cita. Mawar senyum bahagia melanjutkan jalan kaki pulang ke rumah. Kemudian si kakek berkata kepada Theresia,”Senin depan kakek dan Mawar akan bedah buku yang sudah Theresia baca.” Theresia heran,” Buku yang mana Kek?” Wajar saja Theresia bingung karena sudah banyak buku kakek Longor yang dibacanya. “Buku: Logika dan Interpersonal dengan Tuhan.” Mendengar hal ini Theresia bahagia,” Ooo… Wiwin, Rizki, Dea, juga sudah baca buku tersebut. Mereka mengaku ada beberapa bagian buku yang belum kami mengerti. Jadi diskusi bersama Mawar dan kakek adalah hal yang kami harapkan. Okelah.., Kek, Theresia pulang dulu ya…”

Tapi besoknya Theresia, Rizki, Dea dan Wiwin kelabakan mencari Mawar di sekolah. Mereka ingin membicarakan rencana diskusi bedah buku itu bersama kakek Longor. Kemana Mawar????. Kok nggak ada di sekolah beberapa hari ini??? Hari kamis tanggal 3 Mei mereka sangat terkejut. Dengan kasar penuh emosi Mawar diusir sang ayah dari rumah. Di kamarnya Mawar ketahuan melakukan hubungan lesbian dengan kawan sekelasnya.

Kakek Longor hanya tertunduk pedih kecewa mendengar kabar itu.

panas terik, 7 mei

Akankah hatiku ditabur gerlap gemilangnya bahagia

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #6

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 5
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
“Ada empat jenis gerakan sosial yang dikenal sejak dunia ini diciptakan Sang Khalik Semesta Alam. Pertama sering disebut dengan istilah Karitatif. Sebuah gerakan sosial yang ditujukan kepada fakir miskin atau korban bencana alam. Memberi sumbangan baju, makanan, susu dan lain sebagainya. Inilah gerakan sosial yang paling genit. Oleh sebab itu, acara seperti ini diselenggarakan oleh para ibu. Lengkap dengan baju seragam, mendengarkan kata sambutan, tepuk tangan, doa bersama dan bersalam-salaman, berfoto-foto. Setelah mengumbar berjuta ungkapan saling mengasihi sesama mahkluk Tuhan, rombongan meninggalkan korban muka sayu lemah lunglai. Sementara wajah anggota rombongan kembali lagi segar bugar. Mereka telah menyelesaikan sandiwara satu babak. Hua…ha…ha…”
Suasana jadi meriah dibuat Pdt DR Tumpak Parningotan. Diteguknya kopi yang masih hangat, kemudian dilanjutkannya bicara.
“Kedua adalah gerakan sosial Transformatif. Seluruh perangkat organisasi yang sudah ada dalam sebuah komunitas tidak aktif menyelenggarakan program yang sudah disusun. Program membutuhkan sebuah panitia penyelenggara yang membentuk organisasi baru. Biasanya program yang disusun adalah hal-hal yang berkaitan dengan teknologi tepat guna, ternak ayam, arisan babi atau membuat kolam ikan, pertukangan secara aktif partisipatif. Melibatkan anggota masyarakat sebanyak-banyaknya, agar perasaan memiliki program dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat.”
Mikail sibuk menulis segala ucapan penting yang didengarnya. Dia yakin bahwa dari catatan-catatan kecil itu akan berhasil menuliskan tugasnya membuat pengantar diskusi pada Forum Diskusi Pelangi.
“Berikutnya, gerakan sosial Reformatif. Program yang disusun tak banyak beda dengan apa yang diprogramkan oleh gerakan sosial transformatif. Tapi, dalam gerakan sosial reformatif, tidak membangun organisasi baru. Reformatif memperbaharui organisasi yang sudah ada dalam masyarakat untuk melaksanakan program yang sudah disusun. Harus atas izin restu para petinggi-petinggi desa.”
“Saya pikir gerakan sosial transformatif dan reformatif adalah gerakan sosial yang malu-malu kucing. Tidak menyentuh persoalan-persoalan structural,” Kata Tigor dengan perasan kesal.
“Sudah diam kau dulu!! Oke ..Pak lanjutkan Pak,” Mikail merasa terganggu menyimak pelajaran oleh karena suara Tigor.

Hari sudah jam 7 malam. Di jalan raya tampak sebuah truk besar sesak dengan orang-orang miskin berikat kepala sambil berteriak- teriak menandaskan tenaga mereka yang sudah habis terkuras. Mereka baru pulang dari unjuk rasa ke gedung DPR. Mereka adalah petani miskin yang menuntut DPR agar mendesak pemerintah agar harga dasar pupuk tidak jadi dinaikkan. Tekanan hidup berbiaya tinggi belakangan ini tidak mungkin membuat petani sanggup membeli pupuk jika sudah naik harganya.
“Pasti usaha petani miskin akan mengalami jalan buntu, walaupun mereka sudah habiskan energi ke DPR. Nanti malam pasukan bawah tanah militer, polisi dan preman akan melacak pentolan-pentolan demonstrasi. Dan, secara perlahan tapi pasti, gerakan petani akan semakin melemah.” DR Pardomuan memberi komentar menghentikan uraian DR Tumpak Parningotan.
Dalam menyambut tahun 1981 ini, negara Trieste berada pada kondisi penuh kesesakan. Harga-harga kebutuhan keluarga setiap hari naik membumbung tiggi. Jumlah penduduk miskin akan meningkat secara drastis karena inflasi besar-besaran. Beberapa mantan aktifis mahasiswa yang sangat vocal menghujat negara 10 – 15 tahun yang lalu, sekarang diangkat menjadi menteri. Menjadi pemimpin tertinggi departemen. Prof DR Ir Setiaditis menjadi menteri keuangan. Padahal ketika masih mahasiswa beliau pernah di penjara 2 tahun. DR Fatilda wanita jiwa besi yang keras kepala diangkat menjadi menteri perdagangan.
“Mereka semua alumni Eropa Barat yang menjadi bonekanya kapitalisme di Trieste” DR Pardomuan tertunduk lemas setelah membaca koran.
“Sebentar lagi kita makan malam bersama, ya..,” DR Tumpak melanjutkan,” mari kita persilahkan DR Tumpak Parningotan melanjutkan uraiannya.”
“Baiklah, tadi kita sudah sampai ke jenis ketiga gerakan sosial. Jenis keempat inilah yang paling prinsip, terkenal dengan sebutan gerakan sosial yang radikal revolusioner. Garis massa adalah kekuatan utama dalam gerakan ini. Kaum intelektual yang kesadaran kelasnya tinggi, akan datang dan hidup bersama rakyat tertindas. Melakukan bunuh diri kelas. Dan, secara non formal terus menerus menggugah rakyat miskin untuk semakin kritis melihat realitas kehidupanya. Dan, bangkit melawan segala bentuk penindasan.”
“Nah..! Inilah yang namanya gerakan kiri habis,” Mikail gembira mendengar kalimat DR Tumpak.
“Iya…, dengan cara inilah revolusi industri dilawan oleh kaum proletariat beberapa abad yang lalu,” DR Pardomuan menambahkan keterangan.
DR Tumpak dengan senyum mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan Muslimin tampak bingung menyimak pembicaraan. Tak berapa lama kemudian, “Sudahlah,..istri saya sudah siapkan makanan untuk kita.” Lalu mereka bangkit berdiri menuju rumah utama.
“Mari…mari Pak, seadanya saja ya…Pak,” Ibu mempersilahkan tamunya duduk di meja makan. Kemudian istri DR Pardomuan ke dapur menjumpai Arben yang sudah menantinya. Lantas, mereka berdua cekikikan,”Hi…hi..hi..” Cekikikan itu sama sekali tak kedengaran. Hanya ada suasana dan perasaan lucu melihat bentuk-bentuk manusia aneh penghuni dunia antah brantah di Rilmafrid.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 5