Arsip Tag: ruang tamu

Tiga Puisi Ahmad Yulden Erwin

KITAB HALAMAN

Kini mulai kubaca lagi halaman rumahku:
Pagar batu, dua rumpun seruni, sepasang
kelinci, atau tiga larik haiku berlari memeluk

ranting petai cina. Kau tidak bisa bertanya:
Apakah Tuan tengah bermimpi atau terjaga?
Tiada batas kecuali dalam pikiranmu semata.

Tanah basah, genangan air bekas hujan, kilat
tiba-tiba menyergap seperti sekuntum anyelir
mekar penyap di fajar mataku. Jika kau dapat

melihat dengan jernih, maka akan kaudengar
sepasang kutilang berkicau di dahan mangga;
akan kaurasakan manis desir angin membelai

kuntum-kuntum widuri di halaman tetangga.
Pada saat itu, janganlah sungkan bertanya:
Apakah Tuan tengah bermimpi atau terjaga?

————————————————————————–

IMPROVISASI

                                       Aku pergi…
                                       – Tanzan

1
Hujan belum turun pada baris sajakmu,
juga ke jalan berbatu dan atap rumahmu.
Malam yang tersangkut ranting kering

tak juga bergeming oleh tatap matamu.
Kau tahu, semua mesti berakhir, seperti
bangkai capung yang terinjak sepatumu.

Pintu. Debu. Remah roti. Semut-semut
merayap di toples gula. Segalanya adalah
mimpi yang terbakar di telapak tanganmu.

Tak ada yang kekal, juga bayangan bulan
yang terpantul pada kedua bola matamu.
Sepatu kautaruh di raknya. Baju, celana,

singlet, sempak: kaugantung di samping
jendela. Kautatap tubuhmu di depan kaca:
Bukan sabda. Bukan kata. Bukan tanda.

2
Tak ada satori saat kautatap percik hujan
di nako jendela kamarmu. Tak ada kensho
saat petir menyergap gendang telingamu.

Kau tersenyum memandang kotak sampah
di pojok ruang tamu. Waktu telah menjadi
segelas air bening yang mengalir perlahan

di dinding ususmu. Kau tak lagi menatap
arloji di tangan kirimu. Kaubiarkan saja
detik-detik memercik pada tiga larik haiku.

Kautatap bunga-bunga krisan di meja tamu.
Kau tertawa. Semua menjelma metafora:
Bukan suara. Bukan udara. Bukan cahaya.

———————————————————————–
MENATAP KELUAR JENDELA

Ujung sebatang ranting
kering, langit biru bening,
sepasang capung hijau
hinggap di pucuk ranting.
Pikiran adalah lidah-lidah
kering, amat merindukan
setetes air: kesegaran dalam
kebeningan. Tapi langit,
di sana, terlihat amat jauhnya.

Kini kau kembali terkurung
dalam kenyerian kamar.
Mungkin ada baiknya kau
belajar mencintai kamar,
menghargai arti debu dan abu,
tumpukan kertas tak terpakai,
serakan pena tak terpakai,
sederet rencana di luar rencana.

Dari balik jendela,
di luar segala rencana,
kau mulai menyerap
kebeningan: kristal kilau maut,
pikiran hanyut menuju awal,
awal pun hanyut menuju akhir,
akhir yang berawal di jendela terbuka.

Kini, dalam kekinian
yang paling kini,
kau mulai menyadari
ada yang tak bisa kausadari.
Ujung sebatang ranting
kering, langit biru bening —
daun hijau tumbuh di pucuk ranting.

——————————————————

Bandarlampung, 2012 – 2013

Dalam Bus Padat ke Pontianak

Gerundelan Martin Siregar

Oke…okelah. Lebih baik aku ke Pontianak hari jumat 26 oktober, supaya lebih santai dilibur Idul Adha. Inilah keputusanku hari senin waktu istirahat bersama kekasih hati, sebelum getah karet dikutip.”Iyalah…Berarti kita masih bisa noreh hari kamis”:Istriku senang merespon keputusanku”. Kita pakai saja duit dari penjualan buku untuk ke Pontianak. Tak usah usik dana untuk biaya kehidupan sehari hari. Hua…ha…ha…Kalau dana keluarga sangat terbatas, pastilah bisa dikelola dengan bijaksana. Tapi seandainya dana yang tersedia agak berlebih, maka ada saja keperluan yang (seolah) mendesak. Tiba tiba saja perlu beli sepatu, baju baru atau lauk pauk yang enak.

Hari kamis hujan lebat semalaman, sehingga kami tidak bisa noreh. Pagi ini setelah antar Jati ke sekolah, banyak ngobrol berdua di ruang tamu. kayak masa pacaran pada zaman dahulu kala. Istriku sangat intens membicarakan penanggulangan biaya Jati yang harus kuliah. Beberapa peluang ekonomi untuk ditabung selama 3 tahun (Selama Jati SMA), dipaparkannya dengan lancar. Mulai dari ternak ikan lele yang sudah gagal 2 tahun, sampai ke soal membukukan tulisan tulisanku bersama Pay Jarot. Aku sangat yakin bahwa gagasan gagasan istriku sudah lama terpendam dalam benaknya. Tapi, aku pura pura mengangguk angguk seakan gagasan cemerlang itu baru kuketahui. Yah, Mudah mudahan saja istriku makin semangat karena aku mengangguk angguk. Mudah mudahan dia tak tahu bahwa anggukan itu adalah sebuah sandiwara (berpura pura) kagum sama pikirannya.

Lebih baik pagi ini kita susun bajumu ke Pontianak. Kau pilih baju serta perlengkapan ke Pontianak, aku mau masak. Maka akupun sibuk memilih baju celana serta buku buku yang perlu di fotocopy untuk bahan baku Anggie Maharani memahami unkonvensinil, teologia pembebasan, wacana perubahan sosial dan lain lain. (Terpaksa) aku harus fasilitasi Anggie sebagai peresensi sekaligus sukarelawan sales bukuku di kabupaten Sanggau. Pulang dari Pontianak aku akan segera ke Sanggau menyerahkan bukuku tuk dijualnya sekaligus membahas tahapan membangun Kelompok Cinta Baca Nulis di Sanggau

“Baju begini kau ke Pontianak ???”. Istriku geram melihat aku. Kau bilang, kau mau launching, bedah buku, bahas gerombolan unkonvensinil, bicara soal menulis. Harus kau usahakanlah berpenampilan rapi bersih agak terhormat. OooaaLlaa… Kembali lagi kudengar cerewet istriku yang bisa mengalahkan gaduhnya suara radio rusak. Yah,…Aku hanya pasrah membiarkan persekongkolan anak istriku mengatur dan memilih baju celana yang akan kubawa. ”Sudah kubeli sikat gigi, sabun cair, odol dan tempat peralatan mandimu yang agak keren. Waduh!!! Kok secantik ini tas kecil mahal hanya untuk keperluan mandi. Sebenarnya aku mau protes tapi tak kuasa.

Jati bilang sebaiknya bapak naik taksi saja, supaya laptop bapak yang sudah rusak (kalau dibuka harus disanggah pakai tongkat supaya tak jatuh). Aku keberatan atas usul Jati. Disamping harga tiket taksi yang mahal, aku lebih suka naik bus. Puas melihat para penumpang turun naik dengan tingkah laku berbagai macam kelas sosial. Akan makin tajam mata hati nurani meihat realitas kalau naik bus. Begitulah sikapku yang terlalu romantis melihat kehidupan yang sadis dan kejam . Sekali ini Jati tak berni memaksakan pendapatnya.

Sial !! Rupanya hari ini adalah hari libur nasional. Idul Adha membuat buruh dari PT Erna Sanggau berbondong bondong padat memenuhi bus. Kesempatan libur pulang ke kampung halaman. Aku yang sudah sempat naik bus terpaksa berdiri padat bersama buruh perempuan yang cuti kerja. Dalam hati ada juga rasa senang karena aku bisa mengukur stamina tubuhku seberapa lama tahan berdiri. Dan, terbukti bahwa kondisiku cukup prima. Sampai Ngabang (sekitar 80 Km dari desaku) ada penumpang yang turun. Hus !!! Jangan kau yang duduk, bapak sudah tua ini yang harus duduk. Seorang buruh perempuan melarang kawannya duduk di tempat kosong. Pukimaknya cewek ini seenaknya saja tuduh aku:Bapak yang sudah tua, pasti dia tak tahu bahwa aku panggil jengkel mendengar sebutan tersebut. ”Terima kasih,…terima kasih. Aku obral senyum manis ke mereka, sambil duduk meninggalkan penumpang yang lain tetap berdiri sesak.

Sebelum negara republik Indonesia berdiri, leluhur mereka sudah mengelola tanah untuk kebutuhan hidup keluarga. Sampai republik Indonesia berumur 67 tahun, semakin seenaknya negara merampas tanah rakyat demi untuk kepentingan pejabat/pengusaha. Menginjak mampus masyarakat jadi sengsara demi untuk mendukung kestabilan “perekonomian negara”. Pemimpin pemerintahan memang berjiwa BANGSAT!!!. Mual perutku membayangkan kejahatan negara terhadap rakyatnya. Saudara saudaraku didalam bus adalah korban utama dari kebijakan negara. Aku juga korban kejahatan negara, tapi nasibku lebih baik dari mereka. Uh!!!

Gadis manis muda belia kelihatan agak dinamis tersenyum dan mendadak tanya aku:”Bapak ini pasti orang kaya pura pura miskin”. Terkejut aku mendengar pernyataannya. Pura pura pakai celana pendek bawa ransel usang, padahal bapak ini punya perkebunan yang luas. Iya..Kan Pak ?”. Betapa hangatnya pembawaan gadis manis ini. Tak mampu aku menjawab pertanyaannya. Mau kubantah, pasti dia pikir aku berbohong pura pura miskin. Mau kujawab jujur:”Aku mau ngurus penjualan bukuku yang keren”. Pasti akan bertubi tubi pertanyaannya tentang bukuku. Pasti aku akan lelah menjawabnya. Makanya aku hanya menjawab dengan senyum lembut pamerkan gigiku yang ompong. Dalam hati aku berdoa:”Kau doakan saja supaya solusi yang kucapai dengan Pay Jarot dapat berjalan mulus.  Sehingga ada keuntungan yang bisa ditabung untuk Jati bisa kuliah.

Pontianak, 26 Okt’ 2012

Sangat berharap kawan kawan segera membeli bukuku.

Resensi buku Martin Siregar dapat dibaca di BAH!

Pay Jarot Bermalam di Rumahku

Flash Fiction: Martin Siregar

Sprei, sarung bantal sudah kuganti. Kamarmu kusapu dan pel supaya lebih segar. Ruang tamu juga sudah kurapikan. Aku hanya senyum manis mendengar suara tegas istriku yang sudah capek menyambut kedatangan  Pay beberapa jam mendatang. ”Kau…Tidur di depan tv, sudah kusediakan bantal selimutmu. Tak usah kau sekamar sama si Pay. Nanti dia yang sudah capek naik motor tak bisa tidur karena kau tidur sangat lasak. Bisa saja kakimu macam orang mabok menendang mukanya.” “Hua…ha…ha.. Iyalah ..Hua…ha…ha..” Aku ketawa terbahak bahak mendengar garis komando yang selalu aku dengar kalau kawanku berkunjung dari tempat jauh.

Satu jam yang lalu Pay SMS katakan sudah meluncur dari Sosok. Berarti satu jam mendatang sampai di rumahku. ”Cepat!! Kau mandi, nanti jijik si Pay ngobrol sama kau yang masih bauk dan jorok.” Hua…ha…ha..Matilah aku ini. Kupikir sudah berakhir  cerewet istriku. Rupanya masih berlanjut ketika aku mau duduk menghabiskan kopi sekitar jam setengah enam sore.

Tidak terlalu meleset, Pay sudah tiba ketika aku sedang mandi. “Cepat !!! Cepat bapak mandi, Om Pay sudah datang. Cepppaaatttt….!!”. OooaaLlaa…Anakku Jati ketularan cerewet mamaknya. Maka akupun macam cacing kepanasan bergegas menyambut Pay di ruang tamu. ”Nah !!! Ini Pay kakakmu terpingkel pingkel baca buku karya tulismu:”Sepok”. Pay hanya tersenyum tipis merespon ucapanku.

Menjelang malam, Pay malas mandi. Lebih baik kita secepatnya makan supaya kerja edit naskah bisa segera selesai sebelum larut malam. Siap makan, langsung ke ruang tamu sudah tersedia seteko kopi dan air putih disediakan Jati. Pay segera buka notesnya dan dengan ringan kami kategorikan tulisan tulisanku. ”Bang lebih cocok Bab I Wacana Unkonvensionil. Supaya sidang pembaca punya panduan tuk melangkah ke Bab II. Nah !! Bab II kita masuk ke: Dunia Tulis Menulis” Pay memberi saran yang langsung kusambut sangat setuju. Kalau  begini ceritanya berarti penerbitnya bukan LPs Air, karena mereka tak jadi kasih konstribusi. Oke…Pay soal itu nanti saja kita diskusikan. ”Tapi abang nggak kecewa kan?” Aku hanya senyum kecut menahan gigi supaya jangan berlaga Hua….ha…ha…

Ternyata tugas rombak naskah tidak serepot yang kami bayangkan. Sekitar jam setengah sebelas kerja tuntas dan laptop tak aktif lagi. Pay mengaku agak sulit tidur apabila tubuh terlalu letih. Maka akupun (senang ?) punya kesempatan tanya pendapat Pay tentang sikapku. “Iya…Pay. Kurasa dunia ini sudah terlalu sering berpendapat bahwa paham humanisme universal adalah missi penjajahan negara maju ke negara berkembang. Menyebarkan nilai universil (menyeragamkan) pandangan hidup di negara berkembang. Dengan demikian, negara maju akan lebih mulus menjalankan (A) Eksploitasi sumber daya negara berkembang. Agar kesadaran pemerintah (negara berkembang) semakin mandul maka negara maju (biasanya) melakukan strategi (B) Penetrasi budaya. Dihancurkan budaya lokal dan tak sadar sumber daya semakin banyak di eksploitasi. Supaya eksploitasi dapat berjalan permanent, maka (C) Politik negara berkembang harus di dominasi.”

Ketiga (A,B,C) di atas sudah terjadi di Indonesia. Dalam aksi mahasiswa sering disebut dengan semangat:”Usir NeoLibs”. Mendadak aku tersadar sudah terlalu banyak bicara membiarkan Pay hanya diam mendengar.”Gimana pendapatmu Pay?” Aku sentak si Pay.”Abang teruskan saja, aku tetap menyimak.” “Okelah…Pay.”

Jadi humanisme universal adalah poros utama imperialisme. Begitu pemahaman yang terjadi sejak zaman dahulu kala. Nah !! tulisanku terlalu banyak tinggalkan pesan humanisme universal. “Apa mahasiswa tak benci sama tulisanku?” Pay diam saja isap rokok makin dalam matanya menerawang.

Yah.., Hal ini yang berkecamuk dalam benakku. Pada sisi lain aku melihat bahwa nilai humanisme universil adalah obat mujarab untuk meruntuhkan watak primordialisme primitif (pemicu konflik SARA). Kusudahi kalimatku. Selang beberapa waktu Pay angkat bicara:”Walau lelah aku sudah bisa tangkap pesan yang abang sampaikan.” Ini pergumulan kita dalam proses penerbitan buku abang yang jalannya terseok seok. Hi…hi..hi… Okelah…Mari kita tidur Pay.