Puisi John Kuan
Kadang membacamu di depan jendela, beri titik
dan koma pada perjalananmu yang tanpa tanda
baca. Di luar jendela adalah laut kelabu dan hujan
Satu kapal melintas. Entah pukul berapa petang
Kadang menerka perjalananmu sampai di tepi
Sungai Musi, duduk di ujung dermaga melihat riak,
belajar tegar bagai sebuah jangkar.Di sana kadang
ada kapal kadang ada badai kadang cuma sisa
ombak putih segerombol. Perjalananmu memang
tidak pernah mudah, salju dan pasir gurun penuh
catatan kakimu. Angin beku buih ombak melewati
celah-celah aksaramu. Sulit membayangkan kau
yang enam puluh melangkah keluar gerbang Kota
Chang’an, bertahun-tahun jalan kaki kau simpul
jadi sebaris kalimat pendek: [ di atas tidak ada
burung terbang, di bawah tidak ada binatang
merangkak, tulang belulang putih sebagai markah
jalan. ] Lalu kau melewati Dataran Tinggi Pamir,
mengutip jejak Buddha dari Mingora hingga
Pataliputra, menyalin kitab 3 tahun. Kau sudah 68.
Saya sedang mengatur sudut pandang berbeda,
menarik titik temu jejak kakimu dan kata-kata
mati semu. Sekuntum awan tengger di luar
jendela, sekelompok-sekelompok turis sedang
membentuk garis pantai. Bunyi-bunyi Sanskerta
terbang keluar kitab tua berbaur dengan aroma
kopi dan lembaran kontrak dagang. Setelah tanda
tangan, sepotong basa-basi, sedikit mitos,saatnya
makan siang. Orang memang bukan terbuat dari
angan-angan dan tanah liat saja. Pada satu sudut
panorama laut sewaan, melihat kapal datang dan
pergi, melihat kau ikut Air Gangga mengalir turun
18 yojana berlabuh di Campa, konon dekat
Bhagalpur, ke hulu 50 yojana merapat di mulut
Teluk Benggala. Kau catat nama negeri ini:
Tamralipti. Awan bergeser keluar sudut pandang,
sebuah kapal mengisinya, bentuk sepenuhnya
ditentukan muatan, warna dermaga dengan corak
Dun Huang, arah angin dengan suka duka,2 tahun
kau salin kitab buat gambar. Tahun itu 410 Masehi
Gelas dan sendok garpu tidak mampu menahan
angin meniup naik taplak meja, menelanjangi satu
kaki meja serat kasar, berkibas dan mengancam
dari badai laut jauh. Awan hitam mengusir orang-
orang kopi petang, ada pohon begitu saja luluh
daun. Dua biksu tua berlindung di mulut pintu
pencakar langit. Kau melanjutkan perjalananmu,
numpang sebuah kapal niaga. Menyusuri bau kari
ditiup Angin Musim Barat, sepanjang pantai timur
India, lalu barat daya. 14 siang dan malam. Saya
mencegat sebuah taksi berlari keluar gumpalan
awan hitam, sodor satu alamat asing kepada supir,
dari Pakistan katanya, serahkan pada Google Map
Hujan turun, gudang-gudang mengelupas, orang
sedang bongkar muat, rintih gerigi motor bergetar
melawan rintik hujan. Apa kau juga bawa kompas,
jubah usang,patung Buddha gaya Gandhara?Baca
rasi bintang dan arah angin? Salin Dirgha-agama
dan Samyukta-agama, mendalami tata bahasa
Sanskerta 2 tahun. Kau sebut negeri ini: Sinhala
Apa bisa menerjemah bulan Kowloon jadi bulan
Maladewa? Taifun di Shatin menjadi badai di atas
Samudera Hindia? Angin mengiris kaca jendela
perpustakaan, saya sedang melihat apa yang kau
kemas, bergulung-gulung Agama dan Vinaya,buat
mencerahkan kampung halaman? Kau naik kapal,
isi 200 orang, 2 hari layar berkembang, lalu badai
naik kapal pecah, kau diseruduk 13 hari angin
ganas. Kandas di atol. Saya juga kemas, bergegas
keluar kamar hotel berbau insomnia dan kukus
ikan. Mengejar jatuh tempo tiket kelana di awan,
mimpi memang mudah jadi material: terjemahan
catatanmu, titik koordinat, membawa ingatan 16
abad ke dalam perut Airbus 350. Duduk di atas
awan, baca perjalananmu yang disalin seorang
misionaris: James Legge, dia juga pipa budaya
seperti kau. Membentang dari Barat ke Timur. Kita
suka membawa barang aneh menerjang waktu.
Demikian kau ombak dan angin 90 hari, masuk
Selat Malaka, berlabuh di kota pelabuhan: Javadi
Melewati sebaris gugusan cahaya perak, kita telah
sampai di mana? Biru di bawah itu langit atau
lautan? Lewat puncak salju, tampak lagi satu tahi
lalat dunia. Tidak peduli orang-orang demi
sepotong agar-agar di dalam mangkuk Laut Cina
Selatan baku hantam, kita bicara. Bicara tentang
perjalananmu yang 14.600 kata hanya 750 buat
angin dan ombak laut, sisa 4 patah buatku[ Javadi.
Mayoritas agama Hindu. Dharma Buddha tak usah
cerita. Menetap 5 bulan ] Saya mendarat di dalam
hangat tropis. Pulang. Kau juga, kapal tujuan
Guangzhou, di atas ombak 85 siang dan malam
mendarat di Laoshan. Hujan turun lagi, entah
berapa petang. Tahun 414,saya melihat kau mulai
menerjemah; genteng memutih; pintu tertutup.
Koi sembunyi di dasar kolam; warna emas
terpendam di bawah air keruh. Pekarangan batu;
kerikil hitam di atas batu putih. Helai rambutmu;
uban dan salju. Kita berjalan ke ujung lorong, buka
secelah pintu kayu, melihat pelangi di ujung atap