Arsip Tag: meditasi

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #21

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 21

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Begitulah kehidupan FDP. Cukup progresif dengan dunia anak muda maju terus menghayati pekerjaan. Dewi dan Dirga juga sudah ikut latihan meditasi ke rumah DR Pardomuan. Setelah beberapa kali dibimbing, mereka lakukan sendiri latihan meditasi di ruang monumental FDP.

“Bagaimana  perasaanmu setelah mengenal latihan pernafasan dan meditasi. Kalian berdua sudah menjadi keluarga besar FDP jadi harus memahami bahwa sakit suka dirasa bersama-sama di FDP ini.” DR Pardomuan memberi wejangan untuk kedua staf ini.

“Iya…Pak, rasanya daya tahan kerja saya meningkat. Dan, saya merasa damai dan tenang walaupun ada rintangan hidup.” Dirga memberi keterangan.

“Kalau kau macam mana Dewi?” DR Pardomuan beralih ke Dewi. “Sama saja Pak, sama dengan yang dirasakan Dirga.” Dewi bicara singkat saja. “Saya khawatir kalau kalian salah tafsir dengan meditasi. Karena meditasi itu oleh kaum mapan adalah hanya sebagai alat untuk menyempurnakan kepribadiannya saja. Bagaimana supaya mereka semakin sabar, semakin tabah dan semakin dapat diterima oleh masyarakatnya. Pemahaman seperti itu salah. Meditasi itu adalah alat agar kita semakin bersemangat melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang berlangsung di tengah-tengah rakyat tertindas. Mempertebal nafas perjuangan kita. Jadi bukan menempa kita menjadi genit dan eksklusif.” DR Pardomuan memberikan pendapatnya.  “Jadi, dalam latihan kalian harus kaitkan dengan program FDP, bukan hanya sekedar penata kepribadian yang terlepas dari perlakuan ketidakadilan kepada masyarakat miskin.”

Pada akhir tahun 1984 penyusunan laporan FDP semakin rumit saja. Karena laporan dilampirkan proporsal baru untuk tahun 1985 – 1988 sebagai tindak lanjut. Disamping proporsal untuk tindak lanjut, proporsal untuk peningkatan kesejahteraan melalui ternak ikan lele secara kolektif juga dilampirkan. Oleh sebab itu perlu rekrut staf baru. Mungkin juga restruktur organisasi pelaksana FDP dan staf baru untuk program ternak lele kolektif. Harus ada penambahan staf dengan 2 bidang kerja. Itulah hal yang paling mendasar mulai tahun 1985 ini.

Susanti tampaknya ingin keluar dari FDP. Karena selama ini dia yang sebentar lagi selesai kuliah dari fakultas hukum harus meninggalkan tugas bagian keuangan. Lembaga dana menuntut bidang keuangan dikerjakan oleh sarjana ekonomi.

Setelah 3 bulan hidup bersama Yuni dalam kesesakan, akhirnya Susanti merasa kalah. Dia menyerah merasa tak mampu hidup penuh keprihatinan bersama Yuni di kamar yang sempit. Di kamar itu pula tempat mengupas bawang, menampi beras, menggoreng sayur dan lain sebagainya. Kegiatan dapur di dalam kamar membuat ruangan sempit itu menjadi jorok, panas dan berminyak. Beberapa kali Susanti mengajak Yuni untuk tidak makan di rumah. Lebih baik kita tidak usah repot masak di kamar. Lebih baik kita makan di warung saja. Semula Yuni mau dan senang hati diajak Susanti, tapi lama kelamaan Yuni tidak bersedia. Dia merasa terlalu banyak pengorbankan Susanti untuk hidupnya.

Makanya sore itu Susanti kembali memboyong segala harta bendanya pulang ke rumah orang tua. Orang tuanya dingin saja melihat Susanti sudah kembali ke rumah. Mereka takut mempertanyakan alasan Susanti kembali pulang ke rumah. Mereka hanya bicara soal-soal yang prinsip saja. Kedatangan tukang ojek menjemput sewanya juga tidak disambut hangat seperti dahulu. Dampak dari kesesakan Susanti berada dalam rumah berakibat juga terhadap Muslimin.

“Aku sedang heboh memikirkan tempat lain selain kamar Yuni,” kata Susanti.

“Ah! Kau ini bikin masalah saja. Tahankan saja tinggal di rumahmu itu sebelum mendapat rumah sendiri.”

Kembali lagi beda pendapat antar Susanti dan Muslimin terjadi sebagai bunga-bunga cinta.

Tanpa disadari Ningsih selesai dari fakultas ekonomi universitas Zatingon. Setelah makan siang bersama di sekretariat FDP sekedar ucapan syukur internal FDP, Ningsih katakana, “Saya sudah sangat cocok kerja seperti ini di FDP. Saya tidak akan cari kerja di tempat lain.” Ningsih membuat semacam pernyataan sikap.

“Syukurlah kalau begitu, asalkan kau jangan merasa dipaksakan harus di FDP. FDP memberikan kebebasan mutlak untuk kita semua memilih tempat kerja.”

Tahun 1985 adalah tahun pengembangan program FDP. Pada periode tahun proporsal 1985 – 1988 akan dibentuk 7 kelompok tani, 3 kelompok peternakan ikan lele oleh ibu-ibu dan akhir tahun 1988 berdiri bangunan Balai Latihan dan Pendidikan 2 lantai lengkap dengan aula, kamar peserta, dapur besar dan lain lain. Untuk itu dibutuhkan penambahan staf paling sedikit 8 orang.

Armand menyusul Ningsih selesai dari fisipol universitas Sandiega beberapa bulan kemudian juga punya komitmen untuk tetap bekerja di FDP sebagai koordinator kelompok tani. Ucok juga tidak tertarik kerja di tempat lain.  Ucok mengaku bahwa pengalaman kerja di instansi negeri maupun swasta tidak memberi kebebasan berekspresi seperti di FDP. Yuni diajak Susanti untuk kerja sementara di FDP sebelum mendapat tempat kerja yang lebih sesuai. Yuni senang sekali berada di FDP. Walaupun di sekretariat FDP sudah ada kompor dan alat-alat dapur, diangkutnya segala harta benda masak memasaknya ke FDP.

“Lebih baik aku masak di sini, nanti pulangnya aku bungkus nasi untuk makan malam di rumah.”

Yuni menjadi fasilitator kelompok ibu di desa Jaejulu bersama staf baru Maemunah di desa Pohontoru dan Inggrid di desa Kembangbondar di bawah koordinasi Ucok. Maemunah yang sejalan dengan kost Yuni bersama-sama naik motor  ke FDP. Muslimin di kelompok tani Pohontoru bersama Armand ditugaskan mendampingi staf-staf baru dalam interaksinya di kelompok tani yang baru.

DR Pardomuan senang sekali melihat kondisi FDP yang sudah ramai dengan para muda yang tidak tergiur hidup dengan kelimpahan. Justru ingin bekerja bersama petani secara kongkrit. Sebuah kondisi kerja yang sudah lama diidamkannya. Walaupun anak kandungnya Arben Rizaldi tidak punya minat bekerja bersama rakyat, tapi, banyak anak muda yang sudah dianggapnya anak kandungnya sendiri dengan senang hati bekerja di masyarakat.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 20

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #5

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 5
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
“Tigor.., tak usah kau bingung. Nanti aku jumpakan kau dengan Om (adik mamaku) yang doktor teologi,” kata Susanti, “beliau mungkin nasibnya persis sama dengan DR Pardomuan.
Tigor tersentak. “Persis sama? macam mana maksudmu?” Mikail juga terkejut mendengar ucapan Susanti.
“Gagasannya tentang pelayanan jemaat sering ditentang oleh pendeta-pendeta. Tapi, dia tak perduli, dia tetap berkotbah dan selalu mendapat simpatik dari jemaat. Dia tidak mengundurkan diri dari hirarki gereja. Jadi tidak macam DR Pardomuan yang meninggalkan perguruan tinggi.” Susanti tampaknya kenal betul dengan Om-nya yang doktor teologia.
“Sekarang dia tugas di mana?” Tampak hasrat Mikail ingin jumpa dengan Om-nya Susanti.
“Oh,…dia tugas di Propinsi Kepriano. Bulan ini akan datang berkunjung ke sini, karena ada keponakannya yang melangsungkan perkawinan. Kalian todong saja dia untuk diskusi panjang, Pasti dia bersedia,” kata Susanti sambil berdiri menuju dapur membuat minum untuk Tigor dan Mikail.
“Okelah kalau begitu. Segera kirim surat untuk beliau mengatakan maksud kita kalau Om itu datang ke sini.” Tigor lega, beban beratnya tak dipikul oleh dirinya sendiri. Sudah ada Om-nya Susanti yang bersedia membantunya memikul beban berat tersebut.
Keluarga DR Pardomuan adalah orang kaya berat sejak tujuh keturunan sebelumnya. Sehingga, profesi dosen yang ditinggalkannya tidaklah menggangu biaya hidup keluarga. DR Pardomuan sekarang hidup dari bunga deposito bank setiap bulan warisan keluarga. Beliau berhasrat juga berjumpa dengan bapak Pendeta DR Tumpak Parningotan (Om-nya Susanti). Di ruang meditasi samping rumah utama DR Pardomuan, Tigor sampaikan kabar baik dari Susanti. Setelah mendengar kabar baik itu, DR Pardomuan mengalihkan pembicaraan. “Sekarang ruang meditasi kita masih sunyi dikunjungi orang. Mungkin masih sibuk dengan urusan tahun baru bersama keluarga. Tapi, saya khawatir tahun ini semakin berkurang anggota FDP,” kata DR Pardomuan.
“Ah..! tak usah khawatir Pak,..kapal tetap bisa berjalan walaupun hanya tinggal nahkodanya saja di dalam kapal.” Mikail memberi semangat DR Pardomuan. “Forum kita harus tetap berjalan walaupun hanya tinggal kita bertiga anggotanya.” Mikail melanjutkan ucapannya.
“Ah.., sudahlah. Tolong tutup pintunya, aku mau latihan pernafasan,” kata Tigor kepada Mikail.
Duduk layaknya seorang pendeta Budha dengan mata terpejam, Tigor mulai latihan pernafasan. Sementara DR Pardomuan dan Mikail duduk di teras depan menikmati kopi hangat sore hari. Sedangkan istri DR Pardomuan, sedang kedatangan tamu, mengintip mereka dari jendela rumah utama. Sang tamu adalah ibu tetangga yang merasa heran melihat kegiatan mereka.
“Apa mereka tak capek dengan cara hidup yang sangat serius,” kata sang tamu.
“Saya pun heran dan sering kesal melihat suami saya menghabiskan hari-harinya hanya untuk meditasi sepanjang waktu. Tapi, saya tak kuasa melarang suami saya, karena saya yakin batinnya tersiksa melihat realitas perguruan tinggi yang sangat bobrok. Makanya saya biarkan saja dia heboh melayani kedua murid setia yang goblok ini. Hua…ha…ha….” Mereka tertawa melihat DR Pardomuan dan Mikail sedang ngobrol serius. “Anak saya, saya larang mengikuti kegiatan ayahnya. Saya takut nanti anak saya sudah puas hidup seadanya seperti ayahnya. Untuk apa hidup seadanya kalau kesempatan hidup mewah masih terbuka lebar. Hua…ha…ha..” Kembali lagi istri DR Pardomuan tertawa puas.
Arben Rizaldi, anak tunggal DR Pardomuan, muncul dari kamar. Rupanya dia dari tadi mendengar isi pembicraan ibunya dengan ibu tetangga. “Semua anak muda sedang mendaki gunung yang puncaknya berbeda,” katanya. “Ada yang puncak gunungnya hidup kaya berlimpah ruah. Ada yang puncak gunungnya hidup seperti selebrity. Tapi, tak ada anak muda mendaki gunung yang puncaknya “kekonyolan” seperti Tigor dan Mikail. Hua..ha..ha..” Sekarang ketawa mereka bertiga semakin deras. DR Pardomuan dan Tigor tak sadar bahwa mereka menjadi objek pembicaraan. Sekaligus objek bahan tertawaan. Mereka tetap saja dengan muka ketat berbeban berat mendiskusikan soal-soal yang mendasar dalam hidup ini.
Tibalah waktunya Pendeta DR Tumpak Parningotan berada di rumah Susanti. Hanya basa basi sebentar saja, Tigor langsung undang tamu penting tersebut berkunjung ke rumah DR Pardomuan. Bukan ke rumah utama, tapi ke ruang meditasi.
“Inilah gubuk tempat kami selalu berkumpul,” kata Mikail merendah.
“Seperti rumah sendiri, mau makan atau minum tinggal ambil dari rumah utama. Mau bermalam bermeditasi atau bermalas-malasan sendirian juga boleh nginap di sini. Biasanya kami ada 6- 7 orang yang sering ke sini,” sambung Tigor.
“Ah… sebuah tempat yang menyenangkan. Saya rasa aura saya dingin bahagia berada di sini. Kiranya ini pertanda bahwa kita dapat berkawan dalam tempo yang panjang. Kiranya pula, itulah harapan kita bersama.” Dari bahasa serta intonasi suara yang lembut dan kalimat-kalimat yang dipakai Pendeta DR Tumpak Parningotan kelihatan jelas sekali dia adalah rohaniawan yang rendah hati.
Ibu dan Arben Rizaldi anak sulung DR Pardomuan kembali lagi melakukan kebiasaan mereka. Mengintip kegiatan sambil menyimak ucapan-ucapan gerombolan ayahnya di ruang meditasi.
“Kok macam pengusaha kaya raya tamu mereka sekali ini,” kata Ibu.
“Mungkin mereka sudah mulai sadar bahwa hanya Yesus Kristus saja yang bisa hidup dengan makan roti saja. Sedangkan manusia biasa butuh baju yang cantik, makanan yang lezat di tempat yang bergengsi,” Arben tampak terkejut melihat tamu mereka.
“Ah! mana mungkin orang-orang yang sudah keras membatu seperti mereka dapat merubah falsafah hidupnya.” Ibu membantah Arben Rizaldi.
“Atau mungkin mereka sedang menghasut orang kaya raya supaya meninggalkan kekayaannya dan ikut bergabung bersama mereka yang sudah gila.”
“Huuss !! .. diam kau! Mari kita dengar isi pembicaraan mereka.”
Lalu Ibu dan Arben diam senyap mengkonsentrasikan kupingnya untuk mendengar isi percakapan ayah dan tamu barunya.
“Saya tidak percaya kerajinan orang ke gereja sebagai jaminan orang bisa masuk ke kerajaan Allah,” kata Pendeta Dr Tumpak Parningotan. Mendengar ucapan tersebut Arben segera memberi komentar “Oh..rupanya pakaian dan penampilannya saja seperti pengusah kaya raya. Ternyata isi kepala tamu baru itu sama gilanya dengan mereka. Hi…hi…hi…” Suara sayup volume rendah kedengaran lembut. Kemudian ibu dan Arben meninggalkan tempat, sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sudah lelah kuping ibu dan Arben mendengar nada-nada suara kaum pemberontak norma sosial.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 4