Susanti justeru mau keluar dari FDP. “Kenapa kau keluar?” Muslimin marah. “Kau jangan langsung marah. Biasanya, dalam sebuah lembaga seperti FDP tidak boleh suami istri bekerja dalam tempat yang sama.” Susanti kasih pengertian. “Apa kita sudah suami istri?” suara Muslimin meninggi. “Kita kan masih lama kawin.” Masih belum diterima Muslimin alasan Susanti mengundurkan diri dari FDP. “Aku sudah diterima magang di BNT (Bank Negeri Trieste) selama 3 bulan di bagian perkreditan. Setelah itu diangkat menjadi staf. Gaji sebagai staf di FDP tidak begitu tinggi, walaupun kita berdua bekerja. Anak kita nantinya harus hidup agak nyaman, tidak tersendat-sendat dalam soal biaya masa perkembangannya. Itu makanya aku lebih baik kerja di BNT. Ini demi masa depan kita.”
Mengendur kemarahan Muslimin. “Besok aku akan sampaikan ke DR Pardomuan.” Kemudian tempat makan bakso di simpang Deigo mereka tinggalkan. “Mus,.. sebenarnya ada soal lain yang lebih prinsip ingin kusampaikan padamu. Tapi, aku takut kau marah.” Susanti masih melanjutkan pembicaraan di atas motor. “Apa itu?” Muslimin penasaran. “Besoklah kita bicarakan sepulang dari FDP. Ini memang rencana gila tapi kupikir cukup efektif,” jawab Susanti.
Pada manusia pertama Adam dan Hawa rencana Tuhan yang maha mulia dirusak iblis melalui buah terlarang dan ular. Adam dan Hawa digoda oleh buah terlarang dan ular sehingga dunia ini berantakan sampai saat sekarang ini. Rencana Tuhan tidak dapat terwujud, karena iblis sudah merajalela menguasai manusia.
Nah, sekarang rencana Tuhan sedang dirusak iblis melalui struktur organisasi yang mapan permanen. Negara, departemen pendidikan, departemen keuangan, partai politik, bahkan organisasi agama adalah organisasi-organisasi yang sudah sangat mapan dan permanen. Itu semua dipakai iblis merusak rencana Tuhan. Makanya tak perlu heran kalau orang ke gereja maupun ke masjid tidak lagi dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Justru, orang tersebut akan dipakai iblis merusak rencana Tuhan. Kita lihat sendiri, di masjid dan gereja penuh dengan korupsi, kemunafikan, penyelewengan sexual, dan lain lain.
Penghantar diskusi yang disampaikan DR Tumpak Parningotan beberapa waktu yang lalu masih terngiang-ngiang di hati sanubari warga FDP. Itu makanya tak ada ketaatan hidup beragama di kalangan staf FDP. Dan, itu bukanlah dianggap suatu kesalahan. DR Pardomuan pun tak pernah sembayang ke masjid.
Demikian juga hubungan kisah cinta antar Susanti dan Muslimin yang berlainan agama. Mereka berdua sebenarnya tidak terganggu dengan perbedaan agama tersebut, tapi tentunya akan menjadi sorotan masyarakat umum. Oleh sebab itu, beberapa kali ayah Susanti ingin memutuskan hubungan mereka, tapi tidak juga berhasil.
“Begini usul gilaku, Mus. Minggu depan kembali aku pamit tidur lagi di rumah Yuni. Setelah seminggu kita menghadapi orang tuaku. Kita katakan bahwa kita terlanjur berkawan sehingga apa yang tidak layak dilakukan oleh pasangan yang masih pacaran sudah kita lakukan. Seolah aku sudah hamil dan datang menghadap orang tuaku minta maaf.” Susanti sampaikan pikirannya dengan sangat hati-hati.
“Rencana GILA! Apa kau kepingin melihat aku dipukuli orang tuamu? Sudah GILA KAU!” Muslimin panik atas usulan itu. Justru Susanti jadi marah melihat ekspresi Muslimin yang uring-uringan.
“Kau ini yang GILA. Kau pikir apa kita bisa kawin normal seperti penganten pada umumnya? Dipestakan lantas seluruh sanak saudara dan kawan-kawan hadir, salam-salaman, berfoto dan lain sebagainya. Apa mungkin?!” Susanti marah. “Belum lagi kita perhitungan biayanya yang sangat besar. Sebenarnya bisa untuk cicil rumah. PAKAI OTAKMU!” Susanti yang semula sangat hati-hati menyampaikan usulnya, ternyata lepas kontrol. Tak bisa ditahannya emosi menghadapi respon si Muslimin yang gamang itu.
“Okelah kalau begitu. Pokoknya aku patuh sama aturan main yang kau gariskan,” Muslimin duduk bersandar lemas kehilangan gairah hidup. Di sekretariat FDP semua orang sudah pulang, disinilah pikiran gila itu dibahas oleh dua insan sambil memadu kasih.
Minggu lalu diadakan pelatihan Penyadaran Hukum dan Non Litigasi, ketiga kelompok petani bergabung di Wisma Dimalana. Latihan makan waktu sampai seminggu sangatlah melelahkan peserta. Walaupun uang transpor, akomodasi dan uang pengganti kerja mereka diberikan oleh FDP, tapi pada hari kelima, sudah mulai banyak petani yang bolos tidak mengikuti session. Mereka justru berkumpul dikedai tuak.
“Mari Pak,…kita kembali ke ruangan, sesion sudah dimulai,” kata Arman.
“Ah !! biarkan saja mereka di sini, mereka masih sangat asing dengan pulpen, buku tulis dan mendengar kotbah.” Tigor tidak setuju terhadap Arman yang menghimbau petani untuk tertib mengikuti acara pelatihan. Para petani sangat setuju dengan pendapat Tigor. Setelah Arman pergi, Tigor masih duduk bersama petani.
“Kalau terus menerus belajar seperti ini kapan kita berontak kepada pemerintah yang seenaknya menaikan harga pupuk,” kata Pak Regar.
“Ah, benar juga.” Kata Tigor yang merasa sependapat dengan Pak Regar. “Okelah, nanti setelah pelatihan ini kita kumpul lagi membicarakan rencana aksi. SETUJU?!! Tigor ancungkan genggam tanganya. Serentak peserta pelatihan yang ada di kedai tuak menjawab: SETUJU !!” Tak berapa lama kemudian secara bergilir mereka tinggalkan kedai tuak masuk ke ruang pelatihan dengan semangat yang baru. Semangat yang tidak diketahui oleh kawan-kawan lainnya. Semangat memberontak pemerintah sesuai dengan gagasan Tigor.
Di dalam ruangan dalam perasaan jenuh jengkel dan mungkin jijik, mereka masih sempat senyum-senyum sambil mengangguk-anggukan kepala seolah mengerti dan setuju atas segala ucapan yang disampaikan oleh nara sumber. Lapar tak bisa ditunda, pemerintah sudah keterlaluan maka tekad memberontak semakin membatu. Sudah semakin tak sabar berada dalam ruang pelatihan. Wajah Tigor juga tegang dan geram melihat pelatihan yang terlalu lama menyiksa bathin petani.
Sekretariat FDP heboh sehabis pelatihan. Mikail yang paling panik melengkapi proses pelatihan untuk laporan ke lembaga dana. Tigor juga sarat dengan bertumpuk buku memberikan analisanya tentang kondisi peserta, materi session, proyeksi pelatihan maupun mencari metodologi pelatihan yang lebih tepat lagi. Tapi, karena kerja seperti ini adalah kegemaran Tigor, maka dia asyik saja sepanjang hari sampai larut malam mengerjakannya. Mesin tik sudah tersedia di kamarnya di rumah Pak Guntar desa Kembang Bondar. Sambil mengetik, kepalanya heboh memikirkan langkah-langkah melakukan aksi ke ibukota Rilmafrid. Aksi kali ini harus besar-besaran. Harus mengikutsertakan elemen masyarakat yang lain. Mahasiswa, tukang becak, buruh bangunan dan buruh pabrik dan lain lain harus ikut terlibat dalam aksi kali ini. Dan, dia tak butuh kawan-kawan FDP ikut serta membantu dia mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan aksi besar besaran ini.'”Aku akan kerjakan sendiri semuanya.” Ditinjunya meja kerjanya dengan ganas.
Dengan motor dinasnya, Tigor bolak balik dari desa ke kota. Karena memang ini pekerjaan yang menarik buatnya, maka dengan gampang saja dia berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan buruh, mahasiswa maupun para tukang becak dekat kantor DPR. Kabar angin mengenai kerjaan pribadi dari belakang layar yang dilakukan Tigor sudah terdengar juga oleh warga FDP. Tapi, Tigor selalu mengelak kalau diintrograsi oleh kawan-kawan FDP. Pokoknya Tigor dinilai semakin misterius. Sangat sulit dipahami oleh orang lain. Dan, anggota kelompok petani yang berada di kedai tuak waktu pelatihan yang lalu juga konsisten membantu segala usaha aksi yang mereka rencanakan bersama. Segalanya dirahasiakan mereka dengan ketat.
Rasa penasaran warga FDP sudah sampai puncaknya. DR Pardomuan sengaja memanggil Tigor ke sekretariat untuk menceritakan segala hal yang sedang dirancangnya. Menerangkan rancangan kerjanya di luar program yang sudah digariskan. Sore itu seluruh staf FDP sudah kumpul.
“Selamat sore. Dalam 2 minggu belakangan ini seluruh pelaksana program FDP bingung memperhatikan kegiatan-kegiatan Tigor yang sangat heboh mundar mandir dari desa ke kota. Di kota juga Tigor tidak ke sekretariat. Tigor sering kelihatan ngobrol dengan tukang becak, buruh dan komunitas-komunitas di luar kelompok sasaran program. Yang tidak ada kaitannya dengan program yang telah kita susun. Dan semua pertanyaan staf tentang hal ini di respon Tigor acuh tak acuh. Oleh sebab itu saya sebagai penangung jawab program dituntut oleh kawan-kawan untuk mengundang Tigor memaparkan maksud dan tujuan Tigor dalam menjalin kontak dengan berbagai komunitas tersebut. Kami persilahkan Tigor untuk angkat bicara.”
Tigor tampak gelagapan. Dia tak menyangka bahwa undangan rapat kali ini adalah untuk mengintrograsi dirinya. Dengan agak terbata-bata Tigor angkat bicara: “Tidak ada yang prinsip. Saya merasa bahwa masih banyak waktu luang saya setelah jalankan program. Nah, dari pada waktu terbuang sia-sia, saya coba mengenal kehidupan komunitas-komunitas miskin perkotaan. Siapa tahu saya bisa memproduksi sebuah buku dari hasil interaksi saya dengan komunitas miskin kota. Hanya itu maksud saya. Jadi kawan kawan tak usah curiga.”
Tigor kemudian diam dan kondisi pertemuan sore ini sunyi senyap beberapa saat.
“Tapi, dari sumber yang dipercaya aku dengar informasi bahwa Tigor akan melakukan pemberontakan besar-besaran. Aku bingung mendengar istilah pemberontakan besar-besaran,” Mikail buka bicara. Dari nada suaranya kelihatan tidak ada maksud Mikail memojokan Tigor. Tapi, Tigor merasa dirinya dipojokkan.
“Ah !! tidak ada itu! Aku hanya terangkan tentang bentuk-bentuk perubahan sosial seperti yang disampaikan oleh Pendeta DR Tumpak Parningotan. Mereka saja yang menggantikan istilah itu dengan kata pemberontakan.” Dengan nada suara yang agak tinggi Tigor menjawab pertanyaan Mikail.
“Yah,… terlepas dari pertanyan Mikail, saya melihat memang belum saatnya kita melakukan aksi besar-besaran. Sejarah telah membuktikan bahwa gerakan sosial yang tidak rapi pasti mengalami kegagalan. Kekuatan status sosial yang dilindungi oleh militer dengan anggaran dana yang berkelimpahan pasti dengan mudah mematahkan semangat perjuangan kita. Makanya kalau ada rencana aksi. Yah,.. marilah kita bicarakan bersama sama di FDP. Jangan main sendiri.” DR Pardomuan memang sudah jengkel melihat Tigor yang paling sulit diaturnya. Tigor tidak macam Muslimin yang patuh bekerja sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan.
Pertemuan ditutup jam 8 malam. Seluruh warga FDP berinteraksi seperti apa yang selama ini terjadi. Ketawa saling olok antar Ucok dan Arman. Muslimin yang lugu melawak membuat suasana cerah ceria. Hanya Tigor yang diam seribu bahasa tunduk kepala dan tak mau ikut tertawa bersama kawan kawannya.
“Malam ini kau tidur di rumah ya..Gor. Ada film ‘The Man With The Golden Gun’, Film James Bond. Bintang kesayanganmu Roger More main lagi di bioskop Mayestik tengah malam,” kata Mikail yang baru kembali dari mengantar Susanti pacarnya. Supaya kau jangan stres Hua..ha..ha..,” kata Mikail bersahabat. Tapi, Tigor tampak tegang diam seribu bahasa. Kemudian,” Sudahlah Mikail, aku sedang tulis opini yang belum siap di rumah Pak Regar. Besok saja kita nonton.”
“Oh..ya Gor, mana tulisanmu? Ini tulisanku, Kita kan sudah janji setiap minggu tukar menukar tulisan,” kata Ucok. “Maaf Cok, aku tak ada tulisan minggu lalu. Tapi dalam minggu ini aku akan setor 2 tulisan,” kata Tigor dengan sikap dingin tak bergairah. Kemudian Ningsih datang: “Bang Tigor kwitansi untuk transportasi kelompok tani Kembang Bondar belum komplit, Kapan aku terima?” Tigor jadi panik: “Dua hari lagi kuantar ya..Ningsih.” Semua pihak tampak ingin menghibur hati Tigor yang sedang suntuk sehabis pertemuan. Tapi, Tigor tidak terhibur. Dia masuk ke rumah utama menjumpai DR Pardomuan mau pamit lebih dulu. “Hati hati di jalan Tigor, sekarang dekat jembatan ke Kembang Bondar semakin sering perampokan.” DR Pardomuan memang selalu memberikan perhatian yang besar kepada seluruh warga FDP. Ibu dan Arben Rizaldi juga merasakan ketegangan dalam tubuh FDP. Mereka juga bingung menganalisa kondisi FDP.
“Bu… ada apa ya… Kok kegembiraan mereka tidak seperti biasanya,” Arben membuka komentar.
“Itulah kau, gara gara film sinetron kita tak mendengar isi pertemuan mereka,” Ibu jadi kesal mendengar komentar Arben.
“Sekarang tak dibutuhkan peran para akademisi dari perguruan tinggi dalam perubahan sosial. Mereka itu kaki tangan imperialisme,” Tigor menyatakan sikapnya, sepulang nonton film Midnigt Express. Tapi Mikail diam saja. Usahanya menyadarkan Tigor agar jangan selalu melihat permasalahan melalui pendekatan ideologis, tak pernah diperhatikan Tigor. Seolah badan Tigor saja yang ada dalam bioskop, sementara kepalanya melayang jauh membayangkan rencananya. Rencana terselubung yang dinilai oleh warga FDP sangat misterius. Tigor tidak lagi memahami film Midnight express yang bercerita tentang percintaan dua remaja yang pupus karena sang jantan dituduh bawa narkoba. Lantas dimasukan ke dalam penjara. Permainan kedua aktor muda tersebut sangat memukau. Oleh sebab itu, film Midnight Express telah menerima Piala Oscar. Sangat layak didiskusikan. Tapi, diskusi yang selama ini mereka lakukan sudah tak sesegar dulu lagi. Tigor menuduh Mikail adalah menusia yang mempertahankan status kelas borjuasinya.
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcomMemorandum of Understanding antar Sabidaor Foundation dan FDP telah ditandatangni. Dua surat yang sudah ditandangani Sabidaor sampai di alamat FDP. Satu surat yang ditandatangni DR Pardomuan sebagai penanggung jawab program dikirim kembali ke Sabidaor Foundation. Dengan cara begitulah kerja sama FDP dan Sabidaor memiliki kekuatan hukum — sederhana sekali —
FDP harus mengontrak rumah sekretariat. Kebetulan di depan rumah DR Pardomuan ada rumah Dr Harahap yang dikontrakan. Betapa gembiranya warga FDP. Terbayang oleh mereka kalau habis kerja di sekretariat bisa bermeditasi atau latihan pernafasan di markas yang lama. Hanya jalan kaki sekitar 50 meter saja sudah sampai. Pesta ucapan syukur kecil-kecilan pun diselenggarakan sekaligus rapat perdana program kerja “Pengorganisasian dan Penyadaran Hukum” di tiga kelompok tani. Desa Kembang Bondar, desa Jaejulu, dan Pohontoru. Ucok, Arman dan Mikail sebagai staf lapangan. Tigor sebagai koordinator ketiga lapangan. Ningsih dokumentasi dan inventaris, Susanti adminitrasi keuangan DR Pardomuan dan Muslimin membantu Tigor bidang penyadaran hukum. Laporan tertulis dari lapangan harus ada dalam setiap minggu termasuk laporan keuangan. Jadi setiap minggu staf lapangan harus tinggal di desa paling sedikit satu malam dalam seminggu, sedangkan kordinator paling sedikit 2 kali kunjungan setiap desa dalam sebulan. Tapi, jauh sebelum program berjalan Tigor sudah bertekad tinggal selamanya secara bergilir di ketiga desa tersebut. DR Pardomuan mencoba melunakkan sikap Tigor, tapi Tigor tetap berkeras. Nasib DR Pardomuan sama saja dengan Mikail. Ditolak mentah-mentah oleh Tigor.
1982 – Setahun kemudian.
Tidak ada masalah serius laporan tahun pertama program kerja FDP. Laporan tepat waktu dikirim bersama laporan keuangan. Otomatis dana untuk program termin kedua juga tepat waktu ditransfer. Muslimin yang paling gembira karena honorarium sebagai staf FDP bisa juga untuk membeli baju baru dan kue-kue menyambut Lebaran di kampung. Walaupun kemampuannya menulis opini di koran tidak juga mengalami kemajuan, tapi, namanya tetap populer oleh karya DR Pardomuan. Ucok ternyata tidak seperti dugaan Arman. Ucok ternyata konsisten ingin meniru kebiasaan DR Pardomuan yang menulis segala hal dalam buku hariannya. Sekarang Ucok juga rutin mengisi tulisan di Mimbar Kampus dan koran lokal. Arman, juga berubah. Walaupun sudah mandiri secara ekonomi yang statusnya di atas rata-rata mahasiswa, tapi Arman tidak digerogoti watak komsumtif. Kebutuhannya menambah ilmu pengetahuan dengan membeli buku-buku adalah sasaran utama penggunaan dana honorarium bulannya. Tapi, niat Arman untuk mulai menulis belum juga terbit karena terlalu asyik membaca. Arman adalah orang yang paling sering kena cerewetnya Ningsih. Karena selalu lupa meminta kwitansi apabila membeli barang-barang. Termasuk kwitansi dari kelompok tani untuk transportasi dan akomodasi pengorganisasian. Ningsih beberapa kali tak masuk kuliah demi untuk melengkapi kwitansi-kwitansi pengeluaran dana program. Ningsih sering jengkel dibuat oleh kawan-kawannya gara-gara persoalan kwitansi. Susanti selalu menggunakan honorariumnya untuk jajanan orang di sekretariat dan melengkapi hiasan-hiasan di ruang tamu sekretariat. Susanti selalu diingatkan oleh ibunya, agar program kerja FDP jangan sampai menggangu kuliahnya. Ketika kawan dekat DR Pardomuan datang dari belanda sempat terdengar komentar tamu tersebut:” Enak juga mengamati dinamika sekelompok mahasiswa yang mulai belajar mengelolah program bersama masyarakat.” DR Pardomuan tersenyum: “Yah,..mereka cocoknya kuliah bukan di negara berkembang seperti Trieste ini. Kampus tak sanggup memfasilitasi kebutuhan mereka yang haus ilmu pengetahuan.”
Di kampusnya masing-masing mereka juga agak bergengsi, karena sangat jarang mahasiwa yang dapat menikmati pekerjaan seperti warga FDP. Dan, pandangan hidupnya maupun wacana ilmu pengetahuannya lebih tinggi dari pada mahasiswa umumnya. Realitas masyarakat lapis bawah secara kongkrit mereka dapat lihat.
Kabar tentang perkembangan Tigor dalam setahun ini dinilai agak misterius. Walaupun segala laporan lapangan dan laporan keuangan tetap diserahkannya sesuai dengan waktu, tapi, Tigor sudah tak ada beda dengan petani pedesaan. “Dulu kau menolak bekerja di ladang pertanian bersama orang tuamu. Sekarang kau yang paling getol pergi ke sawah bersama orang-orang yang baru saja kau kenal.” Mikail kasih komentar mengenai Tigor yang sudah hitam legam berotot keras pertanda Tigor banyak habiskan waktu di ladang.
“Iya… aku juga heran. Seluruh anggota kelompok tani di 3 wilayah ini sudah kuanggap saudara kandungku. Tidak ada jarak sosial antara aku dan mereka semua.”
Waktu bayar uang kuliah semester dan urusan akademis lainnya, Tigor terpaksa harus menginap di Trieste seminggu. Dia sama sekali tak betah di kota dan sangat rindu bertemu dengan petani petani di pedesaan.
Mikail merasa macam tukang ojek saja dibuat Susanti. Ke sekretariat maupun kuliah Mikail harus jemput Susanti, lantas pergi kuliah dan harus menunggu Susanti sampai selesai kerja baru diantar kembali ke rumahnya. Kecuali kalau Mikail ke lapangan, maka Susanti harus naik angkot ke sekretariat dan kuliah. Dan, hubungan berpacaran mereka semakin mesra saja. Kadang mereka jumpai Tigor ke pedesaan demi untuk memelihara semangat kerja Tigor.
“Restrukturnisasi Kepolisian Tak Ada Guna” sebuah artikel di koran Debrita tulisan DR Pardomuan terbit hari ini. Dengan nama samaran Muslimin, selalu dikirim DR Pardomuan ke koran terbesar di Trieste. Beginilah caranya membantu uang saku Muslimin. Muslimin yang paling sering mengalami kekeringan kantong. Muslimin anak petani miskin akhirnya dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Selama dua tahun kuliah biaya hidupnya ditanggung secara kolektif oleh DR Pardomuan beserta beberapa kawannya. Syukurlah Muslimin tidak sebandel Tigor. Muslimin sangat mematuhi aturan dan peraturan yang diterbitkan oleh fakultasnya. Dia tidak menyia-siakan bantuan yang diberikan kepadanya. Sekali 6 bulan ayahnya datang dari kampung membawa ubi, sayur mayur menginap di ruang meditasi rumah DR Pardomuan, tak muat tidur di kamar kost Muslimin yang sangat berprihatin bersama 2 orang kawannya. Dan, kalau datang dari kamping, ayah Muslimin akan cerita banyak dengan Ibu dan Arben Rizaldi. Ibu dan Arben Rizaldi juga memberi perhatian yang besar kepada ayah Muslimin yang hidup seadanya.
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcomTulisan karya imitasi Muslimin tersebut memberikan tinjauan kritis mengenai usaha Kapoltri (Kepala Polisi Trieste) meningkatkan fungsi kepolisian Trieste dalam memberantas kejahatan korupsi, narkoba, kepolisian Trieste dalam memberantas kejahatan korupsi, narkoba, perampokan dan lain sebagainya. Jadi dalam tubuh organisasi Poltri ada tiga departemen baru yaitu : Depbranko (Departemen Brantas Korupsi), Depbrankrim (Departemen Brantas Kriminal) dan Depbrankoba (Departemen Brantas Narkoba). Padahal pada struktur Poltri yang lalu, penanganan kasus narkoba, kriminal sudah ada unit khusus dan satu unit khusus menerima pengaduan korupsi. Unit itu masih ada , tapi masih juga didirikan Depbranko, Debankrim dan Depbrankoba. Sehingga akhirnya tugas unit dan departemen Poltri tumpang tindih, tidak efisien. Sangat gemuk organisasi Poltri dalam menjalankan fungsinya. Otomatis anggaran belanja negara semakin besar dialokasikan untuk poltri. Sementara peningkatan profesionalisme polisi dalam penanganan kasus sama sekali tidak ditingkatkan. Inikan pemborosan uang Negara?. Begitulah inti tulisan (imitasi) Muslimin. Karena begitu rutinnya tulisan imitasi Muslimin, Muslimin jadi banyak dikagumi kawan-kawannya. termasuk para dosen. Sehingga banyak organisasi mahasiswa meminta beliau jadi pembicara dalam berbagai forum. Karena Muslimin tidak menguasai tulisannya sendiri (?) dia tidak pernah menerima tawaran menjadi pembicara.
Kawan-kawan FDP hanya bisa tertawa melihat Muslimin yang sering kelabakan memberi respon simpatik dari berbagai pihak akibat tulisannya di koran. “Tak penting kucing warna apa, yang penting bisa menangkap tikus. Tak perduli dengan cara apa. yang penting dapat duit, hua…ha…ha..” Muslimin hanya bisa tertawa melihat nasibnya sebagai penulis opini yang populer di koran. Hua…ha…ha…
Sikap kaum terpelajar yang getol membaca dan menulis sebenarnya tidak dimiliki Muslimin. Cita-citanya selama menjadi mahasiswa dan apabila sarjana nantinya tidak serumit obsesi Tigor maupun Mikail. Tidak pernah dia mengutamakan bacaan buku di luar buku wajib kuliah. Buku perkuliahan tetap mendapat prioritas utama agar dapat nilai tinggi dalam ujian semester. “Nanti kalau aku dilantik, pasti foto pelantikan bersama ayah ibuku dilengketkan di ruang tamu rumah kami di kampung. Dan kedua orang tuaku merasa bangga punya anak seorang sarjana di tengah-tengah keluarga kami yang tidak memiliki anak yang sarjana. Lantas aku akan melamar menjadi pegawai negeri, agar nanti punya uang pensiun. Tidak seperti pegawai swasta, ayahku akan hidup bahagia sepanjang waktu, hua..ha..ha…” Sangat lugu pikiran Muslimin. Tapi, Tigor , Mikail, Ucok dan warga FDP lainnya tetap mengasihi keluguan Muslimin. “Memang begitulah kelasnya, Apa mau dikata?” kata Dr Pardomuan.