Gerundelan Martin Siregar
Oke…okelah. Lebih baik aku ke Pontianak hari jumat 26 oktober, supaya lebih santai dilibur Idul Adha. Inilah keputusanku hari senin waktu istirahat bersama kekasih hati, sebelum getah karet dikutip.”Iyalah…Berarti kita masih bisa noreh hari kamis”:Istriku senang merespon keputusanku”. Kita pakai saja duit dari penjualan buku untuk ke Pontianak. Tak usah usik dana untuk biaya kehidupan sehari hari. Hua…ha…ha…Kalau dana keluarga sangat terbatas, pastilah bisa dikelola dengan bijaksana. Tapi seandainya dana yang tersedia agak berlebih, maka ada saja keperluan yang (seolah) mendesak. Tiba tiba saja perlu beli sepatu, baju baru atau lauk pauk yang enak.
Hari kamis hujan lebat semalaman, sehingga kami tidak bisa noreh. Pagi ini setelah antar Jati ke sekolah, banyak ngobrol berdua di ruang tamu. kayak masa pacaran pada zaman dahulu kala. Istriku sangat intens membicarakan penanggulangan biaya Jati yang harus kuliah. Beberapa peluang ekonomi untuk ditabung selama 3 tahun (Selama Jati SMA), dipaparkannya dengan lancar. Mulai dari ternak ikan lele yang sudah gagal 2 tahun, sampai ke soal membukukan tulisan tulisanku bersama Pay Jarot. Aku sangat yakin bahwa gagasan gagasan istriku sudah lama terpendam dalam benaknya. Tapi, aku pura pura mengangguk angguk seakan gagasan cemerlang itu baru kuketahui. Yah, Mudah mudahan saja istriku makin semangat karena aku mengangguk angguk. Mudah mudahan dia tak tahu bahwa anggukan itu adalah sebuah sandiwara (berpura pura) kagum sama pikirannya.
Lebih baik pagi ini kita susun bajumu ke Pontianak. Kau pilih baju serta perlengkapan ke Pontianak, aku mau masak. Maka akupun sibuk memilih baju celana serta buku buku yang perlu di fotocopy untuk bahan baku Anggie Maharani memahami unkonvensinil, teologia pembebasan, wacana perubahan sosial dan lain lain. (Terpaksa) aku harus fasilitasi Anggie sebagai peresensi sekaligus sukarelawan sales bukuku di kabupaten Sanggau. Pulang dari Pontianak aku akan segera ke Sanggau menyerahkan bukuku tuk dijualnya sekaligus membahas tahapan membangun Kelompok Cinta Baca Nulis di Sanggau
“Baju begini kau ke Pontianak ???”. Istriku geram melihat aku. Kau bilang, kau mau launching, bedah buku, bahas gerombolan unkonvensinil, bicara soal menulis. Harus kau usahakanlah berpenampilan rapi bersih agak terhormat. OooaaLlaa… Kembali lagi kudengar cerewet istriku yang bisa mengalahkan gaduhnya suara radio rusak. Yah,…Aku hanya pasrah membiarkan persekongkolan anak istriku mengatur dan memilih baju celana yang akan kubawa. ”Sudah kubeli sikat gigi, sabun cair, odol dan tempat peralatan mandimu yang agak keren. Waduh!!! Kok secantik ini tas kecil mahal hanya untuk keperluan mandi. Sebenarnya aku mau protes tapi tak kuasa.
Jati bilang sebaiknya bapak naik taksi saja, supaya laptop bapak yang sudah rusak (kalau dibuka harus disanggah pakai tongkat supaya tak jatuh). Aku keberatan atas usul Jati. Disamping harga tiket taksi yang mahal, aku lebih suka naik bus. Puas melihat para penumpang turun naik dengan tingkah laku berbagai macam kelas sosial. Akan makin tajam mata hati nurani meihat realitas kalau naik bus. Begitulah sikapku yang terlalu romantis melihat kehidupan yang sadis dan kejam . Sekali ini Jati tak berni memaksakan pendapatnya.
Sial !! Rupanya hari ini adalah hari libur nasional. Idul Adha membuat buruh dari PT Erna Sanggau berbondong bondong padat memenuhi bus. Kesempatan libur pulang ke kampung halaman. Aku yang sudah sempat naik bus terpaksa berdiri padat bersama buruh perempuan yang cuti kerja. Dalam hati ada juga rasa senang karena aku bisa mengukur stamina tubuhku seberapa lama tahan berdiri. Dan, terbukti bahwa kondisiku cukup prima. Sampai Ngabang (sekitar 80 Km dari desaku) ada penumpang yang turun. Hus !!! Jangan kau yang duduk, bapak sudah tua ini yang harus duduk. Seorang buruh perempuan melarang kawannya duduk di tempat kosong. Pukimaknya cewek ini seenaknya saja tuduh aku:Bapak yang sudah tua, pasti dia tak tahu bahwa aku panggil jengkel mendengar sebutan tersebut. ”Terima kasih,…terima kasih. Aku obral senyum manis ke mereka, sambil duduk meninggalkan penumpang yang lain tetap berdiri sesak.
Sebelum negara republik Indonesia berdiri, leluhur mereka sudah mengelola tanah untuk kebutuhan hidup keluarga. Sampai republik Indonesia berumur 67 tahun, semakin seenaknya negara merampas tanah rakyat demi untuk kepentingan pejabat/pengusaha. Menginjak mampus masyarakat jadi sengsara demi untuk mendukung kestabilan “perekonomian negara”. Pemimpin pemerintahan memang berjiwa BANGSAT!!!. Mual perutku membayangkan kejahatan negara terhadap rakyatnya. Saudara saudaraku didalam bus adalah korban utama dari kebijakan negara. Aku juga korban kejahatan negara, tapi nasibku lebih baik dari mereka. Uh!!!
Gadis manis muda belia kelihatan agak dinamis tersenyum dan mendadak tanya aku:”Bapak ini pasti orang kaya pura pura miskin”. Terkejut aku mendengar pernyataannya. Pura pura pakai celana pendek bawa ransel usang, padahal bapak ini punya perkebunan yang luas. Iya..Kan Pak ?”. Betapa hangatnya pembawaan gadis manis ini. Tak mampu aku menjawab pertanyaannya. Mau kubantah, pasti dia pikir aku berbohong pura pura miskin. Mau kujawab jujur:”Aku mau ngurus penjualan bukuku yang keren”. Pasti akan bertubi tubi pertanyaannya tentang bukuku. Pasti aku akan lelah menjawabnya. Makanya aku hanya menjawab dengan senyum lembut pamerkan gigiku yang ompong. Dalam hati aku berdoa:”Kau doakan saja supaya solusi yang kucapai dengan Pay Jarot dapat berjalan mulus. Sehingga ada keuntungan yang bisa ditabung untuk Jati bisa kuliah.
Pontianak, 26 Okt’ 2012
Sangat berharap kawan kawan segera membeli bukuku.
Resensi buku Martin Siregar dapat dibaca di BAH!