Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 22

Susanti justeru mau keluar dari FDP. “Kenapa kau keluar?” Muslimin marah. “Kau jangan langsung marah. Biasanya, dalam sebuah lembaga seperti FDP tidak boleh suami istri bekerja dalam tempat yang sama.” Susanti kasih pengertian. “Apa kita sudah suami istri?” suara Muslimin meninggi. “Kita kan masih lama kawin.” Masih belum diterima Muslimin alasan Susanti mengundurkan diri dari FDP. “Aku sudah diterima magang di BNT (Bank Negeri Trieste) selama 3 bulan di bagian perkreditan. Setelah itu diangkat menjadi staf. Gaji sebagai staf di FDP tidak begitu tinggi, walaupun kita berdua bekerja. Anak kita nantinya harus hidup agak nyaman, tidak tersendat-sendat dalam soal biaya masa perkembangannya. Itu makanya aku lebih baik kerja di BNT. Ini demi masa depan kita.”
Mengendur kemarahan Muslimin. “Besok aku akan sampaikan ke DR Pardomuan.” Kemudian tempat makan bakso di simpang Deigo mereka tinggalkan. “Mus,.. sebenarnya ada soal lain yang lebih prinsip ingin kusampaikan padamu. Tapi, aku takut kau marah.” Susanti masih melanjutkan pembicaraan di atas motor. “Apa itu?” Muslimin penasaran. “Besoklah kita bicarakan sepulang dari FDP. Ini memang rencana gila tapi kupikir cukup efektif,” jawab Susanti.
Pada manusia pertama Adam dan Hawa rencana Tuhan yang maha mulia dirusak iblis melalui buah terlarang dan ular. Adam dan Hawa digoda oleh buah terlarang dan ular sehingga dunia ini berantakan sampai saat sekarang ini. Rencana Tuhan tidak dapat terwujud, karena iblis sudah merajalela menguasai manusia.
Nah, sekarang rencana Tuhan sedang dirusak iblis melalui struktur organisasi yang mapan permanen. Negara, departemen pendidikan, departemen keuangan, partai politik, bahkan organisasi agama adalah organisasi-organisasi yang sudah sangat mapan dan permanen. Itu semua dipakai iblis merusak rencana Tuhan. Makanya tak perlu heran kalau orang ke gereja maupun ke masjid tidak lagi dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Justru, orang tersebut akan dipakai iblis merusak rencana Tuhan. Kita lihat sendiri, di masjid dan gereja penuh dengan korupsi, kemunafikan, penyelewengan sexual, dan lain lain.
Penghantar diskusi yang disampaikan DR Tumpak Parningotan beberapa waktu yang lalu masih terngiang-ngiang di hati sanubari warga FDP. Itu makanya tak ada ketaatan hidup beragama di kalangan staf FDP. Dan, itu bukanlah dianggap suatu kesalahan. DR Pardomuan pun tak pernah sembayang ke masjid.
Demikian juga hubungan kisah cinta antar Susanti dan Muslimin yang berlainan agama. Mereka berdua sebenarnya tidak terganggu dengan perbedaan agama tersebut, tapi tentunya akan menjadi sorotan masyarakat umum. Oleh sebab itu, beberapa kali ayah Susanti ingin memutuskan hubungan mereka, tapi tidak juga berhasil.
“Begini usul gilaku, Mus. Minggu depan kembali aku pamit tidur lagi di rumah Yuni. Setelah seminggu kita menghadapi orang tuaku. Kita katakan bahwa kita terlanjur berkawan sehingga apa yang tidak layak dilakukan oleh pasangan yang masih pacaran sudah kita lakukan. Seolah aku sudah hamil dan datang menghadap orang tuaku minta maaf.” Susanti sampaikan pikirannya dengan sangat hati-hati.
“Rencana GILA! Apa kau kepingin melihat aku dipukuli orang tuamu? Sudah GILA KAU!” Muslimin panik atas usulan itu. Justru Susanti jadi marah melihat ekspresi Muslimin yang uring-uringan.
“Kau ini yang GILA. Kau pikir apa kita bisa kawin normal seperti penganten pada umumnya? Dipestakan lantas seluruh sanak saudara dan kawan-kawan hadir, salam-salaman, berfoto dan lain sebagainya. Apa mungkin?!” Susanti marah. “Belum lagi kita perhitungan biayanya yang sangat besar. Sebenarnya bisa untuk cicil rumah. PAKAI OTAKMU!” Susanti yang semula sangat hati-hati menyampaikan usulnya, ternyata lepas kontrol. Tak bisa ditahannya emosi menghadapi respon si Muslimin yang gamang itu.
“Okelah kalau begitu. Pokoknya aku patuh sama aturan main yang kau gariskan,” Muslimin duduk bersandar lemas kehilangan gairah hidup. Di sekretariat FDP semua orang sudah pulang, disinilah pikiran gila itu dibahas oleh dua insan sambil memadu kasih.
2 tanggapan untuk “Torsa Sian Tano Rilmafrid* #22”