Arsip Tag: orang rilmafrid

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #19

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 19

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Tidak ada yang menyangka bahwa Susanti berani bertindak nekad meningalkan rumah hanya berbekal beberapa helai baju. Dan, sudah dua hari dilacak, belum juga ada perkembangan. Muslimin yang paling heboh ke sana ke mari mondar mandir mencari di mana Susanti berada, belum juga menemukan titik terang. DR Pardomuan sudah janji akan tulis proposal untuk arisan ternak ikan lele untuk diajukan ke Sabidaor Foundation terpaksa menunda kerjanya. Kembali lagi FDP dirundung malang. Memang program FDP dapat terus berjalan, walaupun suasana hati warga FDP tersendat gara-gara kasus yang menimpa keluarga Susanti.

 Tanpa diketahui oleh orang lain, akhirnya Muslimin menemukan Susanti.

“Om dari Trieste akan datang ke Rilmafrid. Setelah menghadiri pernikahan sepupuku, aku akan pulang bersama dia ke Trieste. Aku sama sekali tidak tertarik menetap di Trieste. Itu makanya aku melarikan diri dari rumah,” terang Susanti.

Muslimin baru teringat bahwa dia pernah dapat amanah untuk menyampaikan hal ini ke Susanti. Tapi, karena dia tak berani melaksanakan amanah orang tua Susanti, terpaksa Susanti harus melarikan diri dari rumah.

“Dua hari lagi aku akan pulang ke rumah, karena Om akan pulang besok. Aku segan saja bertengkar dengan orang tua di hadapan Om,” Susanti lanjutkan menerangkan.

“Oh…,kalau begitu tak ada persoalan serius, — yang penting kau bisa mengatasi masalahmu dengan orang tuamu.” Muslimin mencoba menenangkan jiwa Susanti.

Tadi pagi kawan kuliah Susanti yang tidak dikenal warga FDP dan tak dikenal orang tua Susanti sengaja menjumpai  Muslimin di rumahnya. Juni kawan Susanti sampaikan pesan bahwa Susanti berada di rumahnya kepingin jumpa dengan Muslimin.

Perjumpaan tersebut tidak disampaikan Muslimin kepada siapapun. Hanya kepada DR Pardomuan saja Muslimin sampaikan kabar baik itu, agar DR Pardomuan bisa langsung kerja memburu tugas membuat proposal susulan ke Sabidaor Foundation. Dia serahkan persoalan lari dari rumah dapat diselesaikan berdasarkan proses yang berlangsung. Muslimin yakin bahwa Susanti pasti mampu mengatasi masalah ini dengan baik dan benar.

Berada di rumah orang tua yang melahirkannya, dari waktu ke waktu membuat Susanti semakin sesak. Sudah tak dirasakannya kebahagian tinggal bersama  keluarga dalam satu atap. Tidak seperti dulu, ketika almarhum Tigor dan Mikail sering main ke rumah. Intervensi keluarga terhadap kehidupannya membuat Susanti semakin merasa sesak nafas. Sementara, sang ayah ibu merasa bahwa Susanti semakin sulit diatur. Segala bentuk penggunaan waktu dan uang Susanti sama sekali tak bisa lagi mereka monitor. Susanti semakin misterius di mata orang tuanya.

“Seolah ada api dalam sekam di rumah kami,” Susanti curhat ke Muslimin.

“Sabarlah kau, kan  sebentar lagi akan selesai kuliah,” Muslimin coba besarkan hati Susanti.

“Eh, kok sok kali bicaramu! Sok orang tua. Sok memahami jiwa anak muda. Padahal kita sebaya.” Ternyata Susanti kesal mendengar ucapan Muslimin.

“Sama kau ini serba salah. Suntuk kau lihat keluargamu, aku jadi kena sasaran,” Muslimin jadi jengkel.

“Hua..ha..ha..dijatuhkan Susanti kepalanya ke bahu kiri Muslimin. Digenggamnya tangan Muslimin penuh mesra. “Untunglah kau ada di sampingku Mus. Aku tidak merasa sunyi.”

Di dinding tepas pinggir pantai yang agak terbuka mereka duduk menghabiskan ikan bakar makanan kesenangan Susanti. Warung sederhana itu sedang tidak ramai pengunjung sehingga mereka lebih leluasa bercengkerama.

Anak gubernur Rilmafrid telah menyelesaikan studi sipil arsitektur di Amerika. Bersama rekan-rekan alumus Amerika mendirikan perusahaan kontraktor di Trieste. Tentu saja dengan gampang segala proyek kebijakan pembangunan phisik di tingkat nasional dimenangkan oleh perusahaan mereka. Membangun koneksi dengan berbagai departemen pemerintahan atas restu orang tua sebagai pejabat negara langsung terjalin. Salah satu mega proyek pembangunan pusat perumahan mewah di Rilmafrid dipimpin oleh Ir Ricard Lonardo anak gubernur Rilmafrid.

Ricard Lonardo adalah kawan Susanti satu SMA, patah arang karena cintanya tak disambut Susanti. Malam ini datang lagi ke rumah Susanti dengan penampilan yang sudah sangat berbeda dengan penampilan anak SMA ABG belasan tahun yang lalu. Betapa gembiranya ibu dan ayah menyambut Ricard. Betapa inginnya hati mereka apabila dapat berkeluarga  dengan gubernur. Tapi, hati nurani Susanti bertolak belakangan. Susanti sama sekali tidak tertarik pacaran dengan Ricard.

Secara filosofi Susanti katakan, “Aku sekarang mau mencoba menghargai hal hal yang non material. Aku mencoba mengerti bahwa manusia tidak akan puas hanya karena soal-soal material”. Ricard mungkin tak paham maksud Susanti yang secara tidak langsung menyatakan tidak setuju dengan profesi Ricard yang penuh gemerlapan material. Karena tidak mengerti kalimat yang dimaksud Susanti, Ricard tetap saja selalu datang  untuk melakukan pendekatan. Dipikirnya lama kelamaan pasti Susanti akan luluh dan menerima kehadirannya. Apalagi kedua orang tua tersebut mendukungnya.

Kekesalan Susanti memuncak di rumahnya yang macam api dalam sekam. Obsesi Susanti yang kuat untuk mengenal kehidupan mahasiswa yang hidup pas-pasan, kembali lagi menggugah pikiran Susanti. Ditinggalkannya rumahnya berbekal beberapa helai baju saja. Ricard nampak kecewa malam itu di hadapan ayah ibu. Tapi, tak bisa bilang apa-apa, selain menunjukan rasa solidaritasnya terhadap kepedihan hati kedua orang tua tersebut.  

Kamar indekost Yuni beserta kompor dan segala peralatan dapur sederhana adalah tujuan Susanti. Yuni sangat heran melihat sikap kawan dekatnya, Susanti, yang tidak mau hidup cukup sejahtera. Tapi dia tak berani bertanya tentang hal ini, karena Susanti kelihatan tegang dan berbeban berat.

“Aku yang besok belanja dan masak makan pagi dan siang. Kebetulan besok aku kuliah sore.” Yuni diam saja sambil menjahit sarung bantal yang koyak untuk Susanti. “Tapi, jangan lupa, kalau bisa sempatkan jumpai Muslimin, Ini ongkos ya…Yuni.” Yuni terima duit itu dan tetap diam kebingungan.

“San,.. kalau besok masak di sini, hati hati ya. Kompor sangat dekat dengan buku kuliah dan lemari pakaian.” Diusap Yuni keringatnya yang bercucuran. Kali ini tidak ada lagi yang heboh mencari Susanti, karena alamat jelas Yuni ditinggalkan waktu berangkat dari rumah.

“Yah,…kalau itu pilihan hidupnya, Kita bisa bilang apa?” “Biarkanlah dinikmatinya hidup yang dipilihnya itu.” Ibu kesal tidak membolehkan Ricard menjumpa Susanti di rumah Yuni.

Tetap bersama tukang ojeknya Susanti juga ke sekretariat FDP. DR Pardomuan ingatkan Susanti,”Yah,…walaupun sudah pisah rumah, sesekali kau perlu juga berkunjung ke rumah ayahmu. Terus mengikuti perkembangan rumah sekaligus informasikan kegiatanmu. DR Tumpak Parningotan juga sudah tahu bahwa kau tidak tinggal di rumah orang tuamu. Beliau ikut memberi pengertian agar orang tuamu membebaskanmu dalam menentukan jalan hidup.”

Susanti tak sangka bahwa begitu besar perhatian DR Pardomuan dan Om-nya, DR Tumpak Parningotan, terhadap dirinya. Teman-teman se-FDP juga demikian. Ada rasa prihatin melihat Susanti merasa terkekang di rumah orang tuanya.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 18

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #17

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 17
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Tak terasa waktu berjalan terus. Seakan hari yang berkesan di FDP datang kembali  bersama Tigor dan Mikail. Kesibukan menyusun laporan tahunan membuat iklim FDP mengenang dan merenungkan kedua rekan sejati yang telah kembali ke pangkuan Illahi. Tampak kapasitas Dirga Belanta dan Dewi Lyana kurang mampu mengimbangi semangat kerja kedua teman tercinta itu. Susanti yang paling repot dibikinnya. Harus ajari Dewi menyusun laporan keuangan, harus juga dialog panjang dengan Ucok, Arman dan Dirga merancang program kerja tahun mendatang.

Tapi, di sisi lain FDP merasa gembira. Karena Muslimin sudah mulai pintar menulis artikel, opini dan apa saja untuk diterbitkan mass media atau pun jadi bahan baku refleksi internal FDP. Tak perlu lagi DR Pardomuan pakai nama samaran di koran. Karya orisinil Muslimin sudah lolos seleksi artikel di media massa.

Kemampuan sosialisasi di tengah masyarakat umum dengan suguhan lelucon-lelucon segar adalah cara khusus Muslimin di FDP. Singkat cerita cita rasa Muslimin sudah berubah. Sudah tak kampungan lagi karena kepercayaan dirinya meningkat tajam. Muslimin sekarang memangku jabatan ketua 1 Senat Mahasiswa.

Kota Rilmafrid sudah menjelma menjadi kota metropolitan. Bangunan gedung mewah gemerlapan bertaburan menambah kesesakan kota. Berjalan seiring dengan meningkatnya masyarakat urban memadati sudut-sudut Trieste. Sebuah konsekwensi logis akibat dari perkembangan Rilmafrid tanpa kontrol adalah: biaya hidup meningkat tajam, kriminalitas semakin tinggi, kehidupan malam yang melecehkan harkat kaum hawa dan masih banyak lagi dampak negatif yang terjadi.

Beberapa LSM baru tumbuh mengkonsentrasikan programnya untuk mengantisipasi akibat-akibat buruk yang disebabkan oleh paham developmentalis yang dianut Trieste sebagai negara boneka kapitalisme.

Beberapa kali diusahakaan ada kerja sama yang baik antar FDP dengan LSM yang bekerja diperkotaan. Tapi, sampai sekarang belum ada program kongkrit yang dapat dikerjakan secara bersama-sama. Sedangkan tentara, polisi dan preman mendapat tugas tambahan guna menghadang keberadaan LSM yang dituduh anti pemerintah.

Tanpa disadari, FDP juga harus ikut menyesuaikan diri terhadap realitas Rilmafrid yang berubah ini. Citra diri FDP juga harus bergeser. Sudah jauh dari apa yang ada di kepala Tigor dan Mikail yang terobsesi gerakan radikal revolusioner.

Dalam diskusi perdana FDP Januari 1984 terjadi perdebatan yang keras antar sesama staf dalam rangka merumuskan arah gerakan FDP ke depan. DR Pardomuan yang memulai pembicaran dalam rapat tersebut: “Revolusi Perancis adalah revolusi yang dilakukan oleh kaum proletar. Kaum proletar adalah kelas sosial yang paling rasionil dalam sejarah peradaban manusia. Karena mereka yang secara langsung dapat mengikuti proses produksi di pusat-pusat industri. Misalnya saja seorang buruh rendahan yang bekerja memotong tali listrik dalam pabrik yang memproduksi lampu neon. Kalau kita tanya dia  tentang tahapan produksi di pabrik tersebut, maka dengan lancar dapat diterangkannya dengan lengkap. Termasuk kalau dia diberi tugas untuk mencatat berapa banyak bahan baku yang masuk setiap hari ke pabrik. Dan, berapa banyak hasil produksi yang dikeluarkan oleh pabrik tersebut setiap hari, pasti dia dengan mudah dapat memahaminya. Dan, seandainya buruh pabrik mempelajari manajemen keuangan perusahaan, pasti mereka dapat paham seberapa banyak uang yang harus diterimanya setiap bulan. Pasti jumlahnya jauh di bawah gajinya. Oleh sebab itu untuk membangun tingkat kesadaran buruh dengan menguraikan realitas yang terjadi lebih gampang dari pada kaum tani.

Beda dengan kaum tani. Ada dua orang petani memiliki lahan pertanian yang sama luasnya.  Dan menanam tanaman yang sama dari bibit yang sama pula. Tapi, seorang petani lebih sejahtera dari pada kawannya. Hasil panennya jauh lebih banyak dari pada petani lain. Maka dengan gampang si petani akan menuduh bahwa lahan itu bisa berhasil karena ada arwah nenek moyang mereka yang memberkati lahan pertanian tersebut. Sangat gampang mitos-mitos ditelan begitu saja oleh kaum tani. “Nah, apakah dalam FDP program pembelaan petani kita konsentrasikan untuk penyadaran hukum, atau kita beri dana khusus untuk mengelolah usaha produktif lainya di samping usaha tani yang sudah mereka geluti sejak 2-3  generasi yang terdahulu?”

Inilah pangkal perdebatan yang tajam di FDP.

Susanti bersitegang untuk mengatakan bahwa gerakan seperti yang digariskan pada awal FDP menjalankan program sudah tidak tepat dilaksanakan saat sekarang ini. Karena kesempatan petani untuk banyak berpikir tentang pembelaan secara hukum sudah tidak ada lagi. Mereka sudah sangat letih dan miskin untuk penyadaran hukum. Oleh sebab itu pengembangan ekonomi melalui  bidang usaha pertanian lainnya sebagai konsentrasi program FDP pada tahun ini.

“Kita harus mengubah cita rasa petani terhadap kehidupan ini. Peluang untuk bertani tanaman lainnya yang lebih produktif masih terbuka luas. Sedangkan  usaha menuntut dinas pertanian untuk menyalurkan bibit dan pupuk kepada petani sangatlah memerlukan energi yang besar.”

Ucok keberatan atas sikap Susanti. “Apa kita akan menciptakan kaum kapitalisme kelas rendah di masyarakat petani? Dan, membiarkan korupsi terus merajarela di pemerintahan?”

Pendapat Ucok didukung oleh Dirga Beranta dan Arman. Sedangkan Muslimin walaupun tidak terlalu ekspresif sebenarnya mendukung pikiran Susanti. DR Pardomuan yang bingung untuk memfasilitasi dua arus pemikiran yang bertentangan ini. “Nampaknya kita butuh satu kali pertemuan lagi untuk mentuntaskan masalah ini. Pertemuan kita malam ini hanya sampai di sini.”

Ningsih dan Dewi Lyana sudah menyediakan dirinya untuk tidak perlu terlalu paham atas perbedaan pendapat yang sedang terjadi di tubuh FDP. Dewi katakan, “Makan merekalah program itu sampai mual. Yang penting soal duit dan kerapian administrasi dapat kita kerjakan dengan baik.” Ningsih hanya senyum simpul mendengar pernyataan Dewi yang sangat mencintai pekerjaan keuangan FDP.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 16

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #16

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 16

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Tanpa diketahui oleh Susanti, Muslimin sengaja diundang orangtuanya datang berdiskusi ke rumah.

“Syukurlah tadi Susanti pergi agak cepat ke rumah kawannya, sehingga kedatanganmu sesuai dengan rencana kita. Supaya jangan diketahui Susanti.”

Ibu persilahkan Muslimin duduk di ruang tamu. Sedangkan ayah masih pakai baju kantor ikut duduk bergabung di ruang tamu. Muslimin tampak bingung seolah dia duduk sebagai terdakwa di hadapan dua hakim yang siap memberi vonis. Ada salah apa aku, kok sengaja diundang mereka, pikir Muslimin. Tapi, sampai lelah Muslimin berpikir, dia tak menemukan jawaban atas pertanyaan besar yang ada di kepalanya. Apa lagi kedua hakim pengadilan itu kelihatan tegang menghadap terdakwa. Muslimin sudah menyediakan jawaban seandainya timbul perkataan menghujat:Jangan lagi dekati anakku!

Ah, bukan aku yang getol menjemput Susanti. Dia sendiri yang minta saya jemput setiap hari. Kalau ayah ibu keberatan saya menjemput anak ibu, mulai besok saya tak akan jemput. Muslimin keringat dingin duduk di hadapan para hakim.

“Begini ya.. Muslimin, kami tahu bahwa Susanti cukup cerdas dalam perkuliahan. Kecerdasannya juga diketahui oleh Om-nya yang ada di Trieste. Minggu lalu Om-nya kirim kabar ke kami. Kalau bisa Susanti pada akhir tahun kuliahnya bisa pindah ke Trieste. Dia bisa kerja di perusahaan Om-nya sambil kuliah. Sebuah jabatan penting akan dilimpahkan kepadanya. Jadi, kami harapkan pada akhir semester ini Susanti sudah berada di Trieste. Lagi pula, kalau Susanti berada di Trieste dengan kesibukannya setiap hari, lama kelamaan trauma ditinggal mati Mikail Pratama berangsur angsur hilang dari ingatannya. Kami sudah menganggap kamu adalah anak sendiri. Bagaimana pendapat kamu?” Ibu mempersilahkan Muslimin bicara.

Betapa bangganya Muslimin dianggap sebagai anak sendiri oleh sebuah keluarga kaya raya.  Tak pernah terbayangkan olehnya status setinggi itu. Dianggap sebagai anak kandung sebuah keluarga kaya raya.

“Ah, bagi saya tentulah pindah ke Trieste lebih menjanjikan masa depan yang cerah.”

Sebenarnya ada juga kesedihan di hati Muslimin seandainya berpisah dengan Susanti. Tidak bisa lagi tertawa-tawa di atas motor, pergi ke Monza dan ngobrol asyik di FDP.

“Berarti kita sependapat. Kami pikir kamu tidak setuju Susanti ke Trieste karena fungsinya di FDP cukup menentukan. FDP itu kan hanya sebuah kegiatan sambilan sebelum menyelesaikan perkuliahan.”

Kali ini Muslimin suntuk. Kurang ajar! Apa program FDP itu tidak bisa menjadi sebuah pekerjaan profesionil yang terus menerus menuntut peningkatan kapasitas individual demi untuk memperjuangkan rakyat, Kurang ajar!! Pikirannya berkata begitu tapi mulut Muslimin mengucapkan,” Memang benar yang ibu bilang.” Lantas ayah bicara memecahkan kesunyian, “Bahkan saya takut gara-gara FDP  kuliahnya jadi terganggu.”

Suasana kembali hening, masing-masing merenung dengan pikirannya masing-masing. “Kami harap kamu bisa bantu kami membujuk Susanti untuk menerima tawaran Om-nya pindah ke Trieste”. Tersentak Muslimin mendengar kalimat itu. “Iyalah..Bu saya usahakan,” jawabnya kemudian, sementara hatinya berontak : Akan kuhasut Susanti untuk tidak pindah ke Trieste. Betapa sunyinya hidup ini tanpa Susanti.

Setelah meneguk kopi yang sudah sedikit lagi, Muslimin berdiri. Ayah ibu juga berdiri. Ditepuk ayah pundak Muslimin sambil berkata, “Kenapa tak pernah lagi menulis di Koran?  Saya senang sekali membaca tulisan kamu di koran.”

Kembali lagi Muslimin kelabakan memberi respon. Inilah dosa DR Pardomuan, saya dituntut pembaca koran untuk terus-menerus menulis. Semua orang tak tahu namanya saja opini Muslimin padahal itu adalah buah tulis DR Pardomuan. Dalam kesesakan jiwa, Muslimin masih sempat bicara, “Sebenarnya banyak buah pikir saya yang ingin dikirim ke koran. Tapi, karena kesibukan kuliah, saya tak sempat menulis.” Mampuslah kedua orang tua kaya raya ini, mereka pasrah kena tipu oleh mulut anak petani miskin. Hua…ha..dalam kemenangan ditinggalkannya rumah Susanti.

Ternyata kewajiban menjadi tukang ojek belum berakhir. Bersama Susanti acara-acara yang menyegarkan tetap saja dapat dilaksanakan dengan baik. Bahkan, beberapa acara yang membutuhkan saling keterbukaan yang semakin mendalam dapat mereka ciptakan. Minum es campur tempat yang tak pernah sepi dari kerumunan mahasiswa  adalah tempat ngobrol panjang Muslimin dan Susanti mempererat perkawanan mereka.

“Mungkin sudah mulai ada getar cinta antar Muslimin dan Susanti, ya…,” kata Dirga Belanta sambil masukan kertas ke mesin tik. Arman, Ucok, Ningsih yang sedang di sekretariat tak ada yang memberi komentar. Dewi Lyana saja yang berani memberi respon, “Yah,..aku setuju saja seandainya mereka pacaran.”

Kemudian DR Pardomuan dating. “Mana Susanti? Kenapa dia belum juga susun jadwal ke lapangan?” DR Pardomuan menuju ruangannya. Baru sebentar berada di ruang kerja, dipanggilnya Dewi Lyana. “Uang akomodasi dan transportasi si Armand dan Ucok sudah diberikan. Apa Dirga Belanta sudah baca semua pedoman kelapangan? Tiap akhir refleksi bulanan saya akan wawancarai kalian berdua.” DR Pardomuan sudah full bekerja di sekretariat. Sedangkan Muslimin baru saja keluar dari sekretariat menyeberangi jalan menuju ruang meditasi  samping rumah DR Pardomuan. Ke tempat monumental sejarah lahirnya FDP. Muslimin mau latihan meditasi karena belakangan ini banyak persoalan keluarga yang menimpa dirinya.

Iklim sekretariat FDP sedang berusaha menyesuaikan diri dalam suasana baru tanpa Tigor dan Mikail Pratama.

Syukurlah yang terjadi di FDP adalah maju dengan langkah harmonis. Walaupun mendapat tantangan yang berat dari keluarga, Susanti dapat mengerjakan tugas koordinator 3 wilayah kerja. Kemajuan interaksi antar FDP melalui Armand, Ucok dan Dirga bersama komunitas masyarakat petani mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. DR Pardomuan cukup berhasil dalam menjalin jaringan kerja dengan sesama LSM Rilmafrid. Sekaligus  konsep dialog dalam menghadapi kemapanan konsep pemerintah yang sangat konvensionil, berhasil diterbitkan DR Pardomuan atas bantuan komunikasi dengan DR Tumpak Parningotan dan Mukurata.

 

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 15

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #14

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 14

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Pukulan berat yang menimpa Susanti tidak boleh berlama-lama hinggap di hati sanubarinya. Semua pihak pasti merasakan pukulan hidup yang dirasakan Susanti atas kematian kawan dekat dan kekasih tercinta.  Tapi, adalah sebuah kedunguan seorang manusia apabila tak segera bangkit dan kembali bergerak maju menantang kehidupan ini. Susanti sudah bangkit melalui sikap semakin menyerahkan kehidupan ini dan lebih banyak main ke sekretariat FDP. Untuk tekun bekerja memahami sekaligus melaksanakan program FDP. Bersama Ningsih mereka mulai asyik dengan penyempurnaan inventaris dan dokumentasi kesekretariatan FDP. Beberapa catatan-catatan kecil yang akan diolah almarhum Tigor, sebenarnya belum layak didokumentasi. Sengaja dibawa Susanti ke rumahnya untuk dipelajari dan dilengkapi dengan seksama. Susanti berkeras hati akan melanjutkan karya Tigor bersama kelompok tani yang sudah terbentuk.

Dan, hampir seluruh buku koleksi almarhun Mikail Pratama diserahkan ibu ke secretariat.

“Lebih baik seluruh peninggalan Mikail digotong ke sekretariat Lebih baik ibu tak melihat segala peninggalan Mikail. Nanti, kalau lihat harta benda Mikail, saya bisa nangis sendiri.” Begitulah ucap ibu di hadapan Susanti dan Ningsih. Susanti tunduk menangis mendengar ibu berkata begitu. Hanya tinggal tunggu waktu saja, ibu yang di hadapannya akan menjadi ibu mertua.  Semua rencana  bersama Mikail sudah tak mungkin diwujudnyatakan.

 

DR Pardomuan hampir stroke akibat kematian orang yang dikasihinya: Tigor dan Mikail. Beliau baru 3 hari yang lalu keluar dari rumah sakit. Dan, belum diperkenankan melakukan kegiatan di sekretariat. Sepanjang hari berada di kamar dan hanya untuk makan siang dan malam, dengan agak dipapah Arben Rizaldi, DR Pardomuan berjalan  ke meja makan keluarga. Sangat terpukul DR Pardomuan. Sedangkan Mukurata kembali pulang ke negaranya setelah mengantarkan DR Pardomuan kembali dari rumah sakit.

Arman dan Ucok belum juga berhasrat ke lapangan. Mereka habiskan waktu bermalam di sekretariat mengenang perjalanan program yang baru berjalan 1 tahun. Sesekali Muslimin datang ke sekretariat meramaikan suasana pembicaraan. Jiwa sekretariat FDP terasa sangat lesu. Tak nampak kegiatan yang progresif dalam seminggu kematian Tigor dan Mikail. Niat DR Tumpak Parningotan untuk pindah memboyong seluruh anggota keluarganya dari Kepriano gagal terlaksana. Istrinya sangat keberatan DR Parningotan terlibat sepenuh hati dalam program FDP.

Dua minggu lagi motor yang dibawa oleh Tigor dan Mikail akan keluar dari bengkel. Walaupun dengan biaya tinggi, motor sudah dapat dipergunakan seperti sedia kala. Muslimin diserahi tugas untuk mengurus motor itu.

bersambung…

Kisah Sebelumnya:Bagian 13

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #13

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 13

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

“Gila!! Sudah gila si Tigor itu. Masya …bicara soal estetika film dituduh cita rasa kelas borjuis. Gila!! Sudah gila si Tigor itu.” Susanti kesal karena segala jenis nasihatnya bersama Mikail sama sekali tidak dipedulikan Tigor.

“Sudahlah, aku sudah capek menghadapi Tigor. Marilah kita nikmati malam asmara ini hanya untuk kita berdua. Ini malam untuk kita sayang…,” kata Mikail sembari membelai rambut Susanti dengan penuh kasih. Kemudian Susanti peluk pinggang sambil menyandarkan kepalanya di dada penuh kelembutan. Mereka duduk di teras depan rumah Susanti, menikmati malam minggu. Lampu malam rumah sudah dipadamkan, jarum jam sudah menunjukan jam 11.20 malam. Pertanda seisi rumah Susanti sudah tidur semuanya.

“Jangan kau pergi ya…Mikail. Jangan kau rusak suasana kita ini karena mendadak bilang ada janji sama Tigor,” Susanti takut kehilangan peristiwa mesra yang indah.

“Hua…ha…ha,” Mikail tetawa deras. Lantas sadar sudah keterlaluan suara ketawanya. Dicumbunya bibir Susanti. Susanti respon kegairahan ciuman Mikail sampai matanya tertutup rapat, meresapi percintaan dalam batas kewajaran. Mereka juga yakin bahwa Ucok, Ningsih, Arman dan kawan-kawan FDP sedang asyik menikmati malam minggu bersama pasangannya masing-masing. Sementara Tigor dengan muka keriting berpikir keras membaca buku Karl Marx.

Dua minggu setelah nonton film Midnight Express, Tigor datang ke rumah Mikail.

“Wah, kenapa malam begini kau datang Tigor?” kata Ibu Mikail menyambut kedatangan Tigor jam 9 malam. “Iya…Bu,..ada yang mendesak. Mau jumpa Mikail.” Tigor langsung menuju kamar Mikail.

“Mikail, malam ini tokoh gerakan buruh, mahasiswa, tukang becak sudah ngumpul di rumah Pak Regar. Mau rapat tentang aksi besar-besaran dua hari lagi di DPR. Kawani aku, Kita sudah agak terlambat.”

Mikail pun ambil jaketnya, pulpen dan notes kecil, segera keluar rumah bersama Tigor. Motor dikebut Tigor agar sesegera mungkin sampai ke rumah Pak Regar di desa Kembang Bondar. Tempat rapat dilaksanakan.

Sedangkan jam setengah delapan tadi, di sekretariat FDP, DR Pardomuan, Ningsih, Armand dan Muslimin, Ucok sedang menyambut seorang dosen juniornya Pak Pardomuan yang baru pulang dari Jepang.

“Saya bingung sekali. Tak ngerti entah bagaimana saya bersikap,” tampak Pak Sahulaka sangat terbeban. Pedih sekali wajah dan perasaan Pak Sahulaka yang sulit sekali memilih kata-kata untuk bercerita.

Dua bulan yang lalu Pak Syukur, istri serta anak tunggal buah hati mereka yang manis Blusi -masih kelas satu SD- bersantai ke pusat pertokoan Rilmafrid yang baru dibuka. Waktu Blusi membuang bungkus eksrim di depan restoran, tiba tiba dua orang naik motor dengan kecepatan tinggi mengangkat paksa Blusi. Blusi  meronta-ronta dan beberapa motor mencoba mengejar Blusi. Semua orang menyaksikan kejadian itu, segera menunjukan solidaritasnya terhadap kemalangan yang menimpa Pak Syukur. Langsung hubungi polisi untuk membantu menemukan anak mereka Blusi yang manis. Segala usaha untuk menemukan Blusi selama dua bulan tidak membuahkan hasil. Ibu Syukur sekarang sudah diam dengan mata kosong hilang ingatan akibat peristiwa itu. Pak Syukur juga sering sakit-sakitan dan jarang datang ke kampus. Pak Sahulaka sangat kenal wajah Blusi karena saling kunjung antar kedua keluarga ini sudah berlangsung lebih dari lima tahun. Keranci anak mereka yang sebaya Blusi bersahabat sangat akrab. Hampir setiap sore mereka bersama-sama les bahasa inggris maupun secara bergantian saling kunjung. Dua keluarga yang menjalin persahabatan yang erat sejak Pak Syukur dan Pak Sahulaka mahasiswa. Kemudian berada dalam kampus yang sama menjadi dosen, mereka terus menerus menjalin persahabatan semakin erat.

Dan, ketika Pak Sahulaka di Jepang dilihatnya Blusi sudah duduk di depan restoran. Duduk macam anak gelandangan. Jorok, bau, baju compang camping dan lidahnya sudah dipotong.Tak bisa lagi bicara dan tubuhnya tak mampu berdiri tegak. Ketika Pak Syukur ingin menggendong Blusi, seorang pemuda berwajah buas melotot sambil mengeluarkan sebilah pisau belati dari pinggangnya. Orang Jepang kawan Pak Sahulaka segera menarik tangan Pak Syukur agar secepatnya meninggalkan tempat itu. Kawan Pak Syukur langsung bercerita panjang. “Di Jepang terkenal sebuah sindikat bawah tanah. Mereka menculik anak-anak dari negara lain. Kemudian organ tubuhnya diambil untuk ditrasplantasikan ke pasien kaya raya yang membutuhkannya. Si pasien sembuh, tapi anak-anak itu menjadi cacat tak terurus. Diberikan kepada sindikasi pengemis. Anak itu diperas habis-habis setiap hari mengemis.”

“Pernah seorang dosen sedang sekolah ambil master di sini. Beliau dari Philipina, melihat langsung anaknya yang diculik beberapa bulan yang lalu. Dia ambil anaknya. Tapi besok paginya bapak dan anak itu sudah ditemukan tewas dekat pinggir sungai arah keluar kota.”

Pak Sahulaka tak mampu berpikir normal gara-gara melihat Blusi. Digagalkannya bea siswa yang sudah diterimanya dengan susah payah. Pak Sahulaka kembali ke Rilmafrid penuh kepanikan. Apakah kasus ini disampaikannya ke Pak Syukur atau tidak? Apakah ada gunanya kalau kita lapor kasus ini ke polisi ? Atas alasan itulah Pak Sahulaka datang berkunjung ke DR Pardomuan. Dan, tak ada jalan keluar yang mereka temukan, walaupun sudah 2 jam membahasnya. Semuanya hanya bisa terharu, membisu dan sedih atas kepedihan nasib Blusi dan Pak Syukur.

Tigor sudah tak sempat lagi hadir pada acara tersebut. Mikail dan Susanti juga tak hadir karena ada keluarga Susanti yang kemalangan. Seluruh warga FDP tak tahu sedang di mana Tigor saat Pak Sahulaka berkunjung ke sekretariat.

Malam itu Susanti sedang mendengar kaset baru Michail Frank di kamarnya sambil baring membaca novel terlarang karya Pramudya Ananta Toer: Arus Balik. Tapi, perasaannya sesak meronta, dibayang-bayangi ketakutan dalam kegelapan. Tak bisa santai menghayati lagu Michail Frank, dan tak bisa konsentrasi membaca karya Pramudya Ananta Toer. Susanti pikir Mikail sang kekasih tercinta juga sedang santai berada di kamarnya.

Ningsih, Armand, Muslimin dan Ucok sudah berada di rumahnya masing-masing melepas lelah setelah sehari penuh sibuk dengan berbagai kegiatan.

Padahal, Mikail dan Tigor dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah Pak Regar di desa Kembang Bondar. Mereka sudah terlambat 2 jam hadir dalam pertemuan yang direncanakan Tigor. Sudah tak sadar lagi bahwa maut selalu menanti nyawa korban di jalanan gelap. Dilomba Tigor mobil kijang biru tua yang juga sedang ngebut. Dan, mereka berhadapan langsung dengan mobil truk besar membawa kayu gelondongan hasil pencurian. Mobil truk berat yang besar itu juga sangat kencang jalannya. Supir yang sudah mabok menghantam keras motor Tigor yang menggonceng Mikail. Tigor dan Mikail terpelanting jauh ke pinggir jalan terbentur hutan pohon karet yang berdiri kuat dan keras. Motor mereka hancur lebur di bawah truk besar yang supirnya mabok. Dada Mikail hancur luluh terbentur batang pohon karet yang baru ditebang. Kepala Tigor keras terbentur batang pohon karet yang besar. Hidungnya yang remuk bercucuran darah segar. Keduanya tak sadarkan diri. Dan, beberapa waktu kemudian mati di tempat.

Jam dua malam di Rumah Sakit Santo Yoseph,  Susanti bersama  ayah dan ibu.  Jimmi Rocky bersama ayah ibu dan DR Pardomuan, ibu, Arben Rizaldi serta Ucok, Armand, Ningsih, Muslimin — sudah berkumpul — bersama Rosita Dameria kakak kandung almarhum Tigor. Baru beberapa menit berada di rumah sakit, Ningsih dan Muslimin repot memangku dan mengipas ngipas tubuh Susanti yang sudah jatuh pingsan. Mayat Mikail dan Tigor sedang dibersihkan di kamar jenazah.

Dalam kepedihan yang sangat mendalam, ada juga rasa kebingungan ayah dan ibu Susanti. Rupanya selama ini anak kesayangan Susanti serius berpacaran dengan Mikail Pratama anak kawan dekat mereka. Pak Kurus segera dijemput dari pelabuhan Pangkoper oleh supir keluarga almarhum Mikail Pratama . Besok pagi DR Tumpak Parningotan akan datang naik pesawat pertama dari Kepriano. Dan, kepada  Mukurata segera dikirim kabar dukacita. Sementara Pak Regar, bersama tokoh gerakan buruh, pimpinan organisasi tukang becak, dan organisasi gerakan mahasiswa diintrograsi dengan ketat sambil dengan sadis tubuhnya disiksa habis habisan oleh prajurit militer. Sebelum dimasukan ke dalam penjara militer tanpa melalui proses hukum.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 12

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #7

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 7

Dengan lancar Tigor memberikan pengantar diskusi mereka di ruang meditasi, markas besar FDP. Tanggapan-tanggapan gencar diutarakan oleh peserta diskusi. Sebenarnya sebuah pertemuan ilmiah tidak resmi sedang berlangsung dengan hangat. Bahkan, Ucok, anak sastra Zatingon, berani mengklaim bahwa forum mereka jauh lebih bermutu daripada rancangan para petinggi perguruan tinggi. Segala landasan teori yang selalu dimamah biak peserta diskusi tertumpah pada acara forum perdana tahun 1981. Sehingga, Armand anak fakultas sosial politik Rilmafrid yang bertugas menjadi notulen gelagapan menjalankan tugasnya. Sementara Tigor lunglai segera membaringkan tubuh sehabis diskusi. Di hirupnya rokok gudang garam kretek sekuat tenaga. “Aku takut, kalau kita terlalu intens berdiskusi, maka kemampuan kita berintegrasi di tengah-tengah rakyat miskin akan terganggu. Kita tak tahu lagi bahasa rakyat, karena sudah terlalu banyak istilah ilmiah di kepala kita,” Tigor mengoceh. Dia sudah tak perduli entah siapa yang mendengar ucapannya. Dan, dalam kesunyian, suara Armand bernyanyi:…Lelah …lelah hati ini…menggapai hatimu… Mungkin maksudnya menyindir si Tigor yang sudah tak kuasa lagi berpikir. Mereka berdua memang selalu saling sindir menyindir tanpa rasa dendam. Hubungan interpersonal antar Armand dan Tigor dapat juga dikatakan pencipta suasana segar di FDP.
“Untunglah ada Arman dan Tigor sehingga stres saya bisa hilang.” Muslimin anak fakultas pertanian Rilmafrid tersenyum lega. Ucok juga merasa hal yang sama dengan Muslimin. Ucok memang agak temperamental, dia selalu khawatir kalau saja Tigor dan Arman berkelahi gara-gara beda pendapat yang runcing. Tapi, selama 2 tahun perjalanan mereka, belum pernah terjadi kekhawatiran Ucok. Semuanya berjalan lancar dan menyegarkan. Semuanya berdampak positif untuk perkembangan FDP. Apalagi kadang-kadang Susanti datang bersama kawannya Ayong mewarnai forum mereka yang sangat minim perempuan.

Sekitar 3 bulan berpisah dengan DR Tumpak Parningotan, siang itu suratnya datang ke markas besar FDP. Kebetulan Ningsih dan pacarnya Dedi Kantingan sedang berada di tempat. Segera dibaca mereka surat tersebut.

Kepriano, 23 Febuari 1981

Kepada Yth : Teman – Teman
di
Ruang Meditasi

Salam Pembebasan,

Terus terang saya sangat terkesan berjumpa dengan teman-teman di Rilmafrid. Saya merasa komitmen yang teman-teman miliki sudah sangat kuat. Sudah siap tempur untuk melawan kezaliman penguasa negara kita, Trieste. Sedangkan saya di Kepriano belum pernah bertemu dengan kawan-kawan yang punya perhatian besar terhadap gagasan perubahan sosial. Mereka terlarut oleh watak komsumtif yang dikampanyekan oleh penguasa negeri ini. Itu makanya (sebenarnya) saya iri hati melihat solidnya kawan-kawan yang tergabung dalam FDP. Sementara saya sudah hampir patah arang.

Dua minggu yang lalu, kebetulan di gereja datang tamu dari lembaga dana meninjau program-program gereja kami yang mereka dukung. Salah seorang tamu itu adalah warga negara Taiwan yang bekerja di lembaga dana Sabidaor Fundation. Sebuah lembaga dana yang bersedia memberi dukungan untuk gerakan bawah tanah. Saya tak mengerti kenapa dia bisa ikut hadir dalam kunjungan Ichbenlip Foundation Belanda. Lembaga dana yang siap sedia mendukung program dengan visi transformatif.

Malamnya tanpa diketahui oleh pihak lain, Mukutara (orang Jepang yang jadi warga negara Taiwan) datang berkunjung ke rumah saya.
Dikatakannya Sabidaor Foundation secara rahasia sedang mencari kontaknya di Trieste.
Agar ada jaringan kerjanya di negara kita. Sabidaor sama sekali tidak tertarik membangun jaringan dengan lembaga-lembaga formal. Justru watak organisasi seperti FDP-lah yang menjadi pusat perhatiannya. Dan, saya sudah mempromosikan FDP sekaligus berikan alamat FDP kepada Mukurata.
Mungkin, pertengahan Maret mendatang, Mukurata akan berkunjung ke FDP. Kiranya kerja sama FDP dan Sabidaor terjalin dengan baik

Selamat bekerja dan sukse selalu
Salam dari keluarga saya untuk seluruh warga FDP

jabat erat

tumpak parningotan

“Tak ditulis gelar kesarjanaannya. Namanya pun seluruhnya pakai huruf kecil,” kata Ningsih sehabis membaca.
“Yah,…mungkin itu simbol kesederhanaan jiwanya.” Kantingan memberi respon simpatik kepada pacarnya Ningsih.
Sore hari sudah semua anggota FDP bergembira hati membaca surat tersebut. Surat Tumpak Parningotan membuat FDP merancang acara apa yang patut disajikan apabila Mukurata datang berkunjung. Kedatangan tamu asing seperti ini adalah pengalaman perdana FDP. FDP sama sekali tidak pernah menjalin kontak dengan lembaga dana. Walaupun DR Pardomuan secara pribadi sering juga dikunjungi oleh kawan-kawannya semasa kuliah di Uni Sovyet.
“Mudah-mudahan Mukurata dapat menuntun kita memformulasikan program FDP lebih permanen lagi,” Ucok berharap.
“Yah,..kita harus lebih profesionil lagi bekerja di tengah-tengah rakyat,” Arman menimpali. Surat yang dikirim pakai kilat khusus tiba di tangan FDP tanggal 25 Febuari. Berarti kita masih punya waktu 2 minggu lagi untuk memikirkan acara-acara untuk menyambut Mukurata.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 6

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #6

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 5
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
“Ada empat jenis gerakan sosial yang dikenal sejak dunia ini diciptakan Sang Khalik Semesta Alam. Pertama sering disebut dengan istilah Karitatif. Sebuah gerakan sosial yang ditujukan kepada fakir miskin atau korban bencana alam. Memberi sumbangan baju, makanan, susu dan lain sebagainya. Inilah gerakan sosial yang paling genit. Oleh sebab itu, acara seperti ini diselenggarakan oleh para ibu. Lengkap dengan baju seragam, mendengarkan kata sambutan, tepuk tangan, doa bersama dan bersalam-salaman, berfoto-foto. Setelah mengumbar berjuta ungkapan saling mengasihi sesama mahkluk Tuhan, rombongan meninggalkan korban muka sayu lemah lunglai. Sementara wajah anggota rombongan kembali lagi segar bugar. Mereka telah menyelesaikan sandiwara satu babak. Hua…ha…ha…”
Suasana jadi meriah dibuat Pdt DR Tumpak Parningotan. Diteguknya kopi yang masih hangat, kemudian dilanjutkannya bicara.
“Kedua adalah gerakan sosial Transformatif. Seluruh perangkat organisasi yang sudah ada dalam sebuah komunitas tidak aktif menyelenggarakan program yang sudah disusun. Program membutuhkan sebuah panitia penyelenggara yang membentuk organisasi baru. Biasanya program yang disusun adalah hal-hal yang berkaitan dengan teknologi tepat guna, ternak ayam, arisan babi atau membuat kolam ikan, pertukangan secara aktif partisipatif. Melibatkan anggota masyarakat sebanyak-banyaknya, agar perasaan memiliki program dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat.”
Mikail sibuk menulis segala ucapan penting yang didengarnya. Dia yakin bahwa dari catatan-catatan kecil itu akan berhasil menuliskan tugasnya membuat pengantar diskusi pada Forum Diskusi Pelangi.
“Berikutnya, gerakan sosial Reformatif. Program yang disusun tak banyak beda dengan apa yang diprogramkan oleh gerakan sosial transformatif. Tapi, dalam gerakan sosial reformatif, tidak membangun organisasi baru. Reformatif memperbaharui organisasi yang sudah ada dalam masyarakat untuk melaksanakan program yang sudah disusun. Harus atas izin restu para petinggi-petinggi desa.”
“Saya pikir gerakan sosial transformatif dan reformatif adalah gerakan sosial yang malu-malu kucing. Tidak menyentuh persoalan-persoalan structural,” Kata Tigor dengan perasan kesal.
“Sudah diam kau dulu!! Oke ..Pak lanjutkan Pak,” Mikail merasa terganggu menyimak pelajaran oleh karena suara Tigor.

Hari sudah jam 7 malam. Di jalan raya tampak sebuah truk besar sesak dengan orang-orang miskin berikat kepala sambil berteriak- teriak menandaskan tenaga mereka yang sudah habis terkuras. Mereka baru pulang dari unjuk rasa ke gedung DPR. Mereka adalah petani miskin yang menuntut DPR agar mendesak pemerintah agar harga dasar pupuk tidak jadi dinaikkan. Tekanan hidup berbiaya tinggi belakangan ini tidak mungkin membuat petani sanggup membeli pupuk jika sudah naik harganya.
“Pasti usaha petani miskin akan mengalami jalan buntu, walaupun mereka sudah habiskan energi ke DPR. Nanti malam pasukan bawah tanah militer, polisi dan preman akan melacak pentolan-pentolan demonstrasi. Dan, secara perlahan tapi pasti, gerakan petani akan semakin melemah.” DR Pardomuan memberi komentar menghentikan uraian DR Tumpak Parningotan.
Dalam menyambut tahun 1981 ini, negara Trieste berada pada kondisi penuh kesesakan. Harga-harga kebutuhan keluarga setiap hari naik membumbung tiggi. Jumlah penduduk miskin akan meningkat secara drastis karena inflasi besar-besaran. Beberapa mantan aktifis mahasiswa yang sangat vocal menghujat negara 10 – 15 tahun yang lalu, sekarang diangkat menjadi menteri. Menjadi pemimpin tertinggi departemen. Prof DR Ir Setiaditis menjadi menteri keuangan. Padahal ketika masih mahasiswa beliau pernah di penjara 2 tahun. DR Fatilda wanita jiwa besi yang keras kepala diangkat menjadi menteri perdagangan.
“Mereka semua alumni Eropa Barat yang menjadi bonekanya kapitalisme di Trieste” DR Pardomuan tertunduk lemas setelah membaca koran.
“Sebentar lagi kita makan malam bersama, ya..,” DR Tumpak melanjutkan,” mari kita persilahkan DR Tumpak Parningotan melanjutkan uraiannya.”
“Baiklah, tadi kita sudah sampai ke jenis ketiga gerakan sosial. Jenis keempat inilah yang paling prinsip, terkenal dengan sebutan gerakan sosial yang radikal revolusioner. Garis massa adalah kekuatan utama dalam gerakan ini. Kaum intelektual yang kesadaran kelasnya tinggi, akan datang dan hidup bersama rakyat tertindas. Melakukan bunuh diri kelas. Dan, secara non formal terus menerus menggugah rakyat miskin untuk semakin kritis melihat realitas kehidupanya. Dan, bangkit melawan segala bentuk penindasan.”
“Nah..! Inilah yang namanya gerakan kiri habis,” Mikail gembira mendengar kalimat DR Tumpak.
“Iya…, dengan cara inilah revolusi industri dilawan oleh kaum proletariat beberapa abad yang lalu,” DR Pardomuan menambahkan keterangan.
DR Tumpak dengan senyum mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedangkan Muslimin tampak bingung menyimak pembicaraan. Tak berapa lama kemudian, “Sudahlah,..istri saya sudah siapkan makanan untuk kita.” Lalu mereka bangkit berdiri menuju rumah utama.
“Mari…mari Pak, seadanya saja ya…Pak,” Ibu mempersilahkan tamunya duduk di meja makan. Kemudian istri DR Pardomuan ke dapur menjumpai Arben yang sudah menantinya. Lantas, mereka berdua cekikikan,”Hi…hi..hi..” Cekikikan itu sama sekali tak kedengaran. Hanya ada suasana dan perasaan lucu melihat bentuk-bentuk manusia aneh penghuni dunia antah brantah di Rilmafrid.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 5