Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 19

Tidak ada yang menyangka bahwa Susanti berani bertindak nekad meningalkan rumah hanya berbekal beberapa helai baju. Dan, sudah dua hari dilacak, belum juga ada perkembangan. Muslimin yang paling heboh ke sana ke mari mondar mandir mencari di mana Susanti berada, belum juga menemukan titik terang. DR Pardomuan sudah janji akan tulis proposal untuk arisan ternak ikan lele untuk diajukan ke Sabidaor Foundation terpaksa menunda kerjanya. Kembali lagi FDP dirundung malang. Memang program FDP dapat terus berjalan, walaupun suasana hati warga FDP tersendat gara-gara kasus yang menimpa keluarga Susanti.
Tanpa diketahui oleh orang lain, akhirnya Muslimin menemukan Susanti.
“Om dari Trieste akan datang ke Rilmafrid. Setelah menghadiri pernikahan sepupuku, aku akan pulang bersama dia ke Trieste. Aku sama sekali tidak tertarik menetap di Trieste. Itu makanya aku melarikan diri dari rumah,” terang Susanti.
Muslimin baru teringat bahwa dia pernah dapat amanah untuk menyampaikan hal ini ke Susanti. Tapi, karena dia tak berani melaksanakan amanah orang tua Susanti, terpaksa Susanti harus melarikan diri dari rumah.
“Dua hari lagi aku akan pulang ke rumah, karena Om akan pulang besok. Aku segan saja bertengkar dengan orang tua di hadapan Om,” Susanti lanjutkan menerangkan.
“Oh…,kalau begitu tak ada persoalan serius, — yang penting kau bisa mengatasi masalahmu dengan orang tuamu.” Muslimin mencoba menenangkan jiwa Susanti.
Tadi pagi kawan kuliah Susanti yang tidak dikenal warga FDP dan tak dikenal orang tua Susanti sengaja menjumpai Muslimin di rumahnya. Juni kawan Susanti sampaikan pesan bahwa Susanti berada di rumahnya kepingin jumpa dengan Muslimin.
Perjumpaan tersebut tidak disampaikan Muslimin kepada siapapun. Hanya kepada DR Pardomuan saja Muslimin sampaikan kabar baik itu, agar DR Pardomuan bisa langsung kerja memburu tugas membuat proposal susulan ke Sabidaor Foundation. Dia serahkan persoalan lari dari rumah dapat diselesaikan berdasarkan proses yang berlangsung. Muslimin yakin bahwa Susanti pasti mampu mengatasi masalah ini dengan baik dan benar.
Berada di rumah orang tua yang melahirkannya, dari waktu ke waktu membuat Susanti semakin sesak. Sudah tak dirasakannya kebahagian tinggal bersama keluarga dalam satu atap. Tidak seperti dulu, ketika almarhum Tigor dan Mikail sering main ke rumah. Intervensi keluarga terhadap kehidupannya membuat Susanti semakin merasa sesak nafas. Sementara, sang ayah ibu merasa bahwa Susanti semakin sulit diatur. Segala bentuk penggunaan waktu dan uang Susanti sama sekali tak bisa lagi mereka monitor. Susanti semakin misterius di mata orang tuanya.
“Seolah ada api dalam sekam di rumah kami,” Susanti curhat ke Muslimin.
“Sabarlah kau, kan sebentar lagi akan selesai kuliah,” Muslimin coba besarkan hati Susanti.
“Eh, kok sok kali bicaramu! Sok orang tua. Sok memahami jiwa anak muda. Padahal kita sebaya.” Ternyata Susanti kesal mendengar ucapan Muslimin.
“Sama kau ini serba salah. Suntuk kau lihat keluargamu, aku jadi kena sasaran,” Muslimin jadi jengkel.
“Hua..ha..ha..dijatuhkan Susanti kepalanya ke bahu kiri Muslimin. Digenggamnya tangan Muslimin penuh mesra. “Untunglah kau ada di sampingku Mus. Aku tidak merasa sunyi.”
Di dinding tepas pinggir pantai yang agak terbuka mereka duduk menghabiskan ikan bakar makanan kesenangan Susanti. Warung sederhana itu sedang tidak ramai pengunjung sehingga mereka lebih leluasa bercengkerama.
Anak gubernur Rilmafrid telah menyelesaikan studi sipil arsitektur di Amerika. Bersama rekan-rekan alumus Amerika mendirikan perusahaan kontraktor di Trieste. Tentu saja dengan gampang segala proyek kebijakan pembangunan phisik di tingkat nasional dimenangkan oleh perusahaan mereka. Membangun koneksi dengan berbagai departemen pemerintahan atas restu orang tua sebagai pejabat negara langsung terjalin. Salah satu mega proyek pembangunan pusat perumahan mewah di Rilmafrid dipimpin oleh Ir Ricard Lonardo anak gubernur Rilmafrid.
Ricard Lonardo adalah kawan Susanti satu SMA, patah arang karena cintanya tak disambut Susanti. Malam ini datang lagi ke rumah Susanti dengan penampilan yang sudah sangat berbeda dengan penampilan anak SMA ABG belasan tahun yang lalu. Betapa gembiranya ibu dan ayah menyambut Ricard. Betapa inginnya hati mereka apabila dapat berkeluarga dengan gubernur. Tapi, hati nurani Susanti bertolak belakangan. Susanti sama sekali tidak tertarik pacaran dengan Ricard.
Secara filosofi Susanti katakan, “Aku sekarang mau mencoba menghargai hal hal yang non material. Aku mencoba mengerti bahwa manusia tidak akan puas hanya karena soal-soal material”. Ricard mungkin tak paham maksud Susanti yang secara tidak langsung menyatakan tidak setuju dengan profesi Ricard yang penuh gemerlapan material. Karena tidak mengerti kalimat yang dimaksud Susanti, Ricard tetap saja selalu datang untuk melakukan pendekatan. Dipikirnya lama kelamaan pasti Susanti akan luluh dan menerima kehadirannya. Apalagi kedua orang tua tersebut mendukungnya.
Kekesalan Susanti memuncak di rumahnya yang macam api dalam sekam. Obsesi Susanti yang kuat untuk mengenal kehidupan mahasiswa yang hidup pas-pasan, kembali lagi menggugah pikiran Susanti. Ditinggalkannya rumahnya berbekal beberapa helai baju saja. Ricard nampak kecewa malam itu di hadapan ayah ibu. Tapi, tak bisa bilang apa-apa, selain menunjukan rasa solidaritasnya terhadap kepedihan hati kedua orang tua tersebut.
Kamar indekost Yuni beserta kompor dan segala peralatan dapur sederhana adalah tujuan Susanti. Yuni sangat heran melihat sikap kawan dekatnya, Susanti, yang tidak mau hidup cukup sejahtera. Tapi dia tak berani bertanya tentang hal ini, karena Susanti kelihatan tegang dan berbeban berat.
“Aku yang besok belanja dan masak makan pagi dan siang. Kebetulan besok aku kuliah sore.” Yuni diam saja sambil menjahit sarung bantal yang koyak untuk Susanti. “Tapi, jangan lupa, kalau bisa sempatkan jumpai Muslimin, Ini ongkos ya…Yuni.” Yuni terima duit itu dan tetap diam kebingungan.
“San,.. kalau besok masak di sini, hati hati ya. Kompor sangat dekat dengan buku kuliah dan lemari pakaian.” Diusap Yuni keringatnya yang bercucuran. Kali ini tidak ada lagi yang heboh mencari Susanti, karena alamat jelas Yuni ditinggalkan waktu berangkat dari rumah.
“Yah,…kalau itu pilihan hidupnya, Kita bisa bilang apa?” “Biarkanlah dinikmatinya hidup yang dipilihnya itu.” Ibu kesal tidak membolehkan Ricard menjumpa Susanti di rumah Yuni.
Tetap bersama tukang ojeknya Susanti juga ke sekretariat FDP. DR Pardomuan ingatkan Susanti,”Yah,…walaupun sudah pisah rumah, sesekali kau perlu juga berkunjung ke rumah ayahmu. Terus mengikuti perkembangan rumah sekaligus informasikan kegiatanmu. DR Tumpak Parningotan juga sudah tahu bahwa kau tidak tinggal di rumah orang tuamu. Beliau ikut memberi pengertian agar orang tuamu membebaskanmu dalam menentukan jalan hidup.”
Susanti tak sangka bahwa begitu besar perhatian DR Pardomuan dan Om-nya, DR Tumpak Parningotan, terhadap dirinya. Teman-teman se-FDP juga demikian. Ada rasa prihatin melihat Susanti merasa terkekang di rumah orang tuanya.
Satu komentar pada “Torsa Sian Tano Rilmafrid* #19”