Arsip Tag: orang-orang rilmafrid

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #12

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 12

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Minggu lalu diadakan pelatihan Penyadaran Hukum dan Non Litigasi, ketiga kelompok petani bergabung di Wisma Dimalana. Latihan makan waktu sampai seminggu sangatlah melelahkan peserta. Walaupun uang transpor, akomodasi dan uang pengganti kerja mereka diberikan oleh FDP, tapi pada hari kelima, sudah mulai banyak petani yang bolos tidak mengikuti session. Mereka justru berkumpul dikedai tuak.

“Mari Pak,…kita kembali ke ruangan, sesion sudah dimulai,”  kata Arman.

“Ah !! biarkan saja mereka di sini, mereka masih sangat asing dengan pulpen, buku tulis dan mendengar kotbah.” Tigor tidak setuju terhadap Arman yang menghimbau petani untuk tertib mengikuti acara pelatihan. Para petani sangat setuju dengan pendapat Tigor. Setelah Arman pergi, Tigor masih duduk bersama petani.

“Kalau terus menerus belajar seperti ini kapan kita berontak kepada pemerintah yang seenaknya menaikan harga pupuk,” kata Pak Regar.

“Ah, benar juga.” Kata Tigor yang merasa sependapat dengan Pak Regar. “Okelah, nanti setelah pelatihan ini kita kumpul lagi membicarakan rencana aksi. SETUJU?!! Tigor ancungkan genggam tanganya. Serentak peserta pelatihan yang ada di kedai tuak menjawab: SETUJU !!” Tak berapa lama kemudian secara bergilir mereka tinggalkan kedai tuak masuk ke ruang pelatihan dengan semangat yang baru. Semangat yang tidak diketahui oleh kawan-kawan lainnya. Semangat memberontak pemerintah sesuai dengan gagasan Tigor.

Di dalam ruangan dalam perasaan jenuh jengkel dan mungkin jijik, mereka masih sempat senyum-senyum sambil mengangguk-anggukan kepala seolah mengerti dan setuju atas segala ucapan yang disampaikan oleh nara sumber. Lapar tak bisa ditunda, pemerintah sudah keterlaluan maka tekad memberontak semakin membatu. Sudah semakin tak sabar berada dalam ruang pelatihan. Wajah Tigor juga tegang dan geram melihat pelatihan yang terlalu lama menyiksa bathin petani.

Sekretariat FDP heboh sehabis pelatihan. Mikail yang paling panik melengkapi proses pelatihan untuk laporan ke lembaga dana. Tigor juga sarat dengan bertumpuk buku memberikan analisanya tentang kondisi peserta, materi session, proyeksi pelatihan maupun mencari metodologi pelatihan yang lebih tepat lagi. Tapi, karena kerja seperti ini adalah kegemaran Tigor, maka dia asyik saja sepanjang hari sampai larut malam mengerjakannya. Mesin tik sudah tersedia di kamarnya di rumah Pak Guntar desa Kembang Bondar.  Sambil mengetik, kepalanya heboh memikirkan langkah-langkah melakukan aksi ke ibukota Rilmafrid. Aksi kali ini harus besar-besaran. Harus mengikutsertakan elemen masyarakat yang lain. Mahasiswa, tukang becak, buruh bangunan dan buruh pabrik dan lain lain harus ikut terlibat dalam aksi kali ini. Dan, dia tak butuh kawan-kawan FDP ikut serta membantu dia mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan aksi besar besaran ini.'”Aku akan kerjakan sendiri semuanya.” Ditinjunya meja kerjanya dengan ganas.

Dengan motor dinasnya, Tigor bolak balik dari desa ke kota. Karena memang ini pekerjaan yang menarik buatnya, maka dengan gampang saja dia berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan buruh, mahasiswa maupun para tukang becak dekat kantor DPR. Kabar angin mengenai kerjaan pribadi dari belakang layar yang dilakukan Tigor sudah terdengar juga oleh warga FDP. Tapi, Tigor selalu mengelak kalau diintrograsi oleh kawan-kawan FDP. Pokoknya Tigor dinilai semakin misterius. Sangat sulit dipahami oleh orang lain. Dan, anggota kelompok petani yang berada di kedai tuak waktu pelatihan yang lalu juga konsisten membantu segala usaha aksi yang mereka rencanakan bersama. Segalanya dirahasiakan mereka dengan ketat.

Rasa penasaran warga FDP sudah sampai puncaknya. DR Pardomuan sengaja memanggil Tigor ke sekretariat untuk menceritakan segala hal yang sedang dirancangnya. Menerangkan rancangan kerjanya di luar program yang sudah digariskan. Sore itu seluruh staf FDP sudah kumpul.

“Selamat sore. Dalam 2 minggu belakangan ini seluruh pelaksana program FDP bingung memperhatikan kegiatan-kegiatan Tigor yang sangat heboh mundar mandir dari desa ke kota. Di kota juga Tigor tidak ke sekretariat. Tigor sering kelihatan ngobrol dengan tukang becak, buruh dan komunitas-komunitas di luar kelompok sasaran program. Yang tidak ada kaitannya dengan program yang telah kita susun. Dan semua pertanyaan staf tentang hal ini di respon Tigor acuh tak acuh. Oleh sebab itu saya sebagai penangung jawab program dituntut oleh kawan-kawan untuk mengundang Tigor memaparkan maksud dan tujuan Tigor dalam menjalin kontak dengan berbagai komunitas tersebut. Kami persilahkan Tigor untuk angkat bicara.”

Tigor tampak gelagapan. Dia tak menyangka bahwa undangan rapat kali ini adalah untuk mengintrograsi dirinya. Dengan agak terbata-bata Tigor angkat bicara: “Tidak ada yang prinsip. Saya merasa bahwa masih banyak waktu luang saya setelah jalankan program. Nah, dari pada waktu terbuang sia-sia, saya coba mengenal kehidupan komunitas-komunitas miskin perkotaan. Siapa tahu saya bisa memproduksi sebuah buku dari hasil interaksi saya dengan komunitas miskin kota. Hanya itu maksud saya. Jadi kawan kawan tak usah curiga.”

Tigor kemudian diam dan kondisi pertemuan sore ini sunyi senyap beberapa saat.

“Tapi, dari sumber yang dipercaya aku dengar informasi bahwa Tigor akan melakukan pemberontakan besar-besaran. Aku bingung mendengar istilah pemberontakan besar-besaran,” Mikail buka bicara.  Dari nada suaranya kelihatan tidak ada maksud Mikail memojokan Tigor.  Tapi, Tigor merasa dirinya dipojokkan.

“Ah !! tidak ada itu! Aku hanya terangkan tentang bentuk-bentuk perubahan sosial seperti yang disampaikan oleh Pendeta DR Tumpak Parningotan. Mereka saja yang menggantikan istilah itu dengan kata pemberontakan.” Dengan nada suara yang agak tinggi Tigor menjawab pertanyaan Mikail.

“Yah,… terlepas dari pertanyan Mikail, saya melihat memang belum saatnya kita melakukan aksi besar-besaran. Sejarah telah membuktikan bahwa gerakan sosial yang tidak rapi pasti mengalami kegagalan. Kekuatan status sosial yang dilindungi oleh militer dengan anggaran dana yang berkelimpahan pasti dengan mudah mematahkan semangat perjuangan kita. Makanya kalau ada rencana aksi. Yah,.. marilah kita bicarakan bersama sama  di FDP. Jangan main sendiri.” DR Pardomuan memang sudah jengkel melihat Tigor yang paling sulit diaturnya. Tigor tidak macam Muslimin yang patuh bekerja sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan.

Pertemuan ditutup jam 8 malam. Seluruh warga FDP berinteraksi seperti apa yang selama ini terjadi. Ketawa saling olok antar Ucok dan Arman. Muslimin yang lugu melawak membuat suasana cerah ceria. Hanya Tigor yang diam seribu bahasa tunduk kepala dan tak mau ikut tertawa bersama kawan kawannya.

“Malam ini kau tidur di rumah ya..Gor. Ada film ‘The Man With The Golden Gun’, Film James Bond. Bintang kesayanganmu Roger More main lagi di bioskop Mayestik tengah malam,” kata Mikail yang baru kembali dari mengantar Susanti pacarnya. Supaya kau jangan stres Hua..ha..ha..,” kata Mikail bersahabat. Tapi, Tigor tampak tegang diam seribu bahasa. Kemudian,” Sudahlah Mikail, aku sedang tulis opini yang belum siap di rumah Pak Regar. Besok saja kita nonton.”

“Oh..ya Gor, mana tulisanmu? Ini tulisanku, Kita kan sudah janji setiap minggu tukar menukar tulisan,” kata Ucok. “Maaf Cok, aku tak ada tulisan minggu lalu. Tapi dalam minggu ini aku akan setor 2 tulisan,” kata Tigor dengan sikap dingin tak bergairah. Kemudian Ningsih datang: “Bang Tigor kwitansi untuk transportasi kelompok tani Kembang Bondar belum komplit, Kapan aku terima?” Tigor jadi panik: “Dua hari lagi kuantar ya..Ningsih.” Semua pihak tampak ingin menghibur hati Tigor yang sedang suntuk sehabis pertemuan. Tapi, Tigor tidak terhibur. Dia masuk ke rumah utama menjumpai DR Pardomuan mau pamit lebih dulu. “Hati hati di jalan Tigor, sekarang dekat jembatan ke Kembang Bondar semakin sering perampokan.” DR Pardomuan memang selalu memberikan perhatian yang besar kepada seluruh warga FDP. Ibu dan Arben Rizaldi juga merasakan ketegangan dalam tubuh FDP. Mereka juga bingung menganalisa kondisi FDP.

“Bu… ada apa ya… Kok kegembiraan mereka tidak seperti biasanya,” Arben membuka komentar.

“Itulah kau, gara gara film sinetron kita tak mendengar isi pertemuan mereka,” Ibu jadi kesal mendengar komentar Arben.

“Sekarang tak dibutuhkan peran para akademisi dari perguruan tinggi dalam perubahan sosial. Mereka itu kaki tangan imperialisme,” Tigor menyatakan sikapnya, sepulang nonton film Midnigt Express. Tapi Mikail diam saja. Usahanya menyadarkan Tigor agar jangan selalu melihat permasalahan melalui pendekatan ideologis, tak pernah diperhatikan Tigor. Seolah badan Tigor saja yang ada dalam bioskop, sementara kepalanya melayang jauh membayangkan rencananya. Rencana terselubung yang dinilai oleh warga FDP sangat misterius. Tigor tidak lagi memahami film Midnight express yang bercerita tentang percintaan dua remaja yang pupus karena sang jantan dituduh bawa narkoba. Lantas dimasukan ke dalam penjara. Permainan kedua aktor muda tersebut sangat memukau. Oleh sebab itu, film Midnight Express telah menerima Piala Oscar. Sangat layak didiskusikan. Tapi, diskusi yang selama ini mereka lakukan sudah tak sesegar dulu lagi. Tigor menuduh Mikail adalah menusia yang mempertahankan status kelas borjuasinya.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 11

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #11

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 11

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
Memorandum of Understanding antar Sabidaor Foundation dan FDP telah ditandatangni. Dua surat yang sudah ditandangani Sabidaor sampai di alamat FDP. Satu surat yang ditandatangni DR Pardomuan sebagai penanggung jawab program dikirim kembali ke Sabidaor Foundation. Dengan cara begitulah kerja sama FDP dan Sabidaor memiliki kekuatan hukum — sederhana sekali —
FDP harus mengontrak rumah sekretariat. Kebetulan di depan rumah DR Pardomuan ada rumah Dr Harahap yang dikontrakan. Betapa gembiranya warga FDP. Terbayang oleh mereka kalau habis kerja di sekretariat bisa bermeditasi atau latihan pernafasan di markas yang lama. Hanya jalan kaki sekitar 50 meter saja sudah sampai. Pesta ucapan syukur kecil-kecilan pun diselenggarakan sekaligus rapat perdana program kerja “Pengorganisasian dan Penyadaran Hukum” di tiga kelompok tani. Desa Kembang Bondar, desa Jaejulu, dan Pohontoru. Ucok, Arman dan Mikail sebagai staf lapangan. Tigor sebagai koordinator ketiga lapangan. Ningsih dokumentasi dan inventaris, Susanti adminitrasi keuangan DR Pardomuan dan Muslimin membantu Tigor bidang penyadaran hukum. Laporan tertulis dari lapangan harus ada dalam setiap minggu termasuk laporan keuangan. Jadi setiap minggu staf lapangan harus tinggal di desa paling sedikit satu malam dalam seminggu, sedangkan kordinator paling sedikit 2 kali kunjungan setiap desa dalam sebulan. Tapi, jauh sebelum program berjalan Tigor sudah bertekad tinggal selamanya secara bergilir di ketiga desa tersebut. DR Pardomuan mencoba melunakkan sikap Tigor, tapi Tigor tetap berkeras. Nasib DR Pardomuan sama saja dengan Mikail. Ditolak mentah-mentah oleh Tigor.

1982 – Setahun kemudian.

Tidak ada masalah serius laporan tahun pertama program kerja FDP. Laporan tepat waktu dikirim bersama laporan keuangan. Otomatis dana untuk program termin kedua juga tepat waktu ditransfer. Muslimin yang paling gembira karena honorarium sebagai staf FDP bisa juga untuk membeli baju baru dan kue-kue menyambut Lebaran di kampung. Walaupun kemampuannya menulis opini di koran tidak juga mengalami kemajuan, tapi, namanya tetap populer oleh karya DR Pardomuan. Ucok ternyata tidak seperti dugaan Arman. Ucok ternyata konsisten ingin meniru kebiasaan DR Pardomuan yang menulis segala hal dalam buku hariannya. Sekarang Ucok juga rutin mengisi tulisan di Mimbar Kampus dan koran lokal. Arman, juga berubah. Walaupun sudah mandiri secara ekonomi yang statusnya di atas rata-rata mahasiswa, tapi Arman tidak digerogoti watak komsumtif. Kebutuhannya menambah ilmu pengetahuan dengan membeli buku-buku adalah sasaran utama penggunaan dana honorarium bulannya. Tapi, niat Arman untuk mulai menulis belum juga terbit karena terlalu asyik membaca. Arman adalah orang yang paling sering kena cerewetnya Ningsih. Karena selalu lupa meminta kwitansi apabila membeli barang-barang. Termasuk kwitansi dari kelompok tani untuk transportasi dan akomodasi pengorganisasian. Ningsih beberapa kali tak masuk kuliah demi untuk melengkapi kwitansi-kwitansi pengeluaran dana program. Ningsih sering jengkel dibuat oleh kawan-kawannya gara-gara persoalan kwitansi. Susanti selalu menggunakan honorariumnya untuk jajanan orang di sekretariat dan melengkapi hiasan-hiasan di ruang tamu sekretariat. Susanti selalu diingatkan oleh ibunya, agar program kerja FDP jangan sampai menggangu kuliahnya. Ketika kawan dekat DR Pardomuan datang dari belanda sempat terdengar komentar tamu tersebut:” Enak juga mengamati dinamika sekelompok mahasiswa yang mulai belajar mengelolah program bersama masyarakat.” DR Pardomuan tersenyum: “Yah,..mereka cocoknya kuliah bukan di negara berkembang seperti Trieste ini. Kampus tak sanggup memfasilitasi kebutuhan mereka yang haus ilmu pengetahuan.”
Di kampusnya masing-masing mereka juga agak bergengsi, karena sangat jarang mahasiwa yang dapat menikmati pekerjaan seperti warga FDP. Dan, pandangan hidupnya maupun wacana ilmu pengetahuannya lebih tinggi dari pada mahasiswa umumnya. Realitas masyarakat lapis bawah secara kongkrit mereka dapat lihat.

Kabar tentang perkembangan Tigor dalam setahun ini dinilai agak misterius. Walaupun segala laporan lapangan dan laporan keuangan tetap diserahkannya sesuai dengan waktu, tapi, Tigor sudah tak ada beda dengan petani pedesaan. “Dulu kau menolak bekerja di ladang pertanian bersama orang tuamu. Sekarang kau yang paling getol pergi ke sawah bersama orang-orang yang baru saja kau kenal.” Mikail kasih komentar mengenai Tigor yang sudah hitam legam berotot keras pertanda Tigor banyak habiskan waktu di ladang.
“Iya… aku juga heran. Seluruh anggota kelompok tani di 3 wilayah ini sudah kuanggap saudara kandungku. Tidak ada jarak sosial antara aku dan mereka semua.”
Waktu bayar uang kuliah semester dan urusan akademis lainnya, Tigor terpaksa harus menginap di Trieste seminggu. Dia sama sekali tak betah di kota dan sangat rindu bertemu dengan petani petani di pedesaan.
Mikail merasa macam tukang ojek saja dibuat Susanti. Ke sekretariat maupun kuliah Mikail harus jemput Susanti, lantas pergi kuliah dan harus menunggu Susanti sampai selesai kerja baru diantar kembali ke rumahnya. Kecuali kalau Mikail ke lapangan, maka Susanti harus naik angkot ke sekretariat dan kuliah. Dan, hubungan berpacaran mereka semakin mesra saja. Kadang mereka jumpai Tigor ke pedesaan demi untuk memelihara semangat kerja Tigor.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 10

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #10

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 10

“Restrukturnisasi Kepolisian Tak Ada Guna” sebuah artikel di koran Debrita tulisan DR Pardomuan terbit hari ini. Dengan nama samaran Muslimin, selalu dikirim DR Pardomuan ke koran terbesar di Trieste. Beginilah caranya membantu uang saku Muslimin. Muslimin yang paling sering mengalami kekeringan kantong. Muslimin anak petani miskin akhirnya dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Selama dua tahun kuliah biaya hidupnya ditanggung secara kolektif oleh DR Pardomuan beserta beberapa kawannya. Syukurlah Muslimin tidak sebandel Tigor. Muslimin sangat mematuhi aturan dan peraturan yang diterbitkan oleh fakultasnya. Dia tidak menyia-siakan bantuan yang diberikan kepadanya. Sekali 6 bulan ayahnya datang dari kampung membawa ubi, sayur mayur menginap di ruang meditasi rumah DR Pardomuan, tak muat tidur di kamar kost Muslimin yang sangat berprihatin bersama 2 orang kawannya. Dan, kalau datang dari kamping, ayah Muslimin akan cerita banyak dengan Ibu dan Arben Rizaldi. Ibu dan Arben Rizaldi juga memberi perhatian yang besar kepada ayah Muslimin yang hidup seadanya.

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
Tulisan karya imitasi Muslimin tersebut memberikan tinjauan kritis mengenai usaha Kapoltri (Kepala Polisi Trieste) meningkatkan fungsi kepolisian Trieste dalam memberantas kejahatan korupsi, narkoba, kepolisian Trieste dalam memberantas kejahatan korupsi, narkoba, perampokan dan lain sebagainya. Jadi dalam tubuh organisasi Poltri ada tiga departemen baru yaitu : Depbranko (Departemen Brantas Korupsi), Depbrankrim (Departemen Brantas Kriminal) dan Depbrankoba (Departemen Brantas Narkoba). Padahal pada struktur Poltri yang lalu, penanganan kasus narkoba, kriminal sudah ada unit khusus dan satu unit khusus menerima pengaduan korupsi. Unit itu masih ada , tapi masih juga didirikan Depbranko, Debankrim dan Depbrankoba. Sehingga akhirnya tugas unit dan departemen Poltri tumpang tindih, tidak efisien. Sangat gemuk organisasi Poltri dalam menjalankan fungsinya. Otomatis anggaran belanja negara semakin besar dialokasikan untuk poltri. Sementara peningkatan profesionalisme polisi dalam penanganan kasus sama sekali tidak ditingkatkan. Inikan pemborosan uang Negara?. Begitulah inti tulisan (imitasi) Muslimin. Karena begitu rutinnya tulisan imitasi Muslimin, Muslimin jadi banyak dikagumi kawan-kawannya. termasuk para dosen. Sehingga banyak organisasi mahasiswa meminta beliau jadi pembicara dalam berbagai forum. Karena Muslimin tidak menguasai tulisannya sendiri (?) dia tidak pernah menerima tawaran menjadi pembicara.
Kawan-kawan FDP hanya bisa tertawa melihat Muslimin yang sering kelabakan memberi respon simpatik dari berbagai pihak akibat tulisannya di koran. “Tak penting kucing warna apa, yang penting bisa menangkap tikus. Tak perduli dengan cara apa. yang penting dapat duit, hua…ha…ha..” Muslimin hanya bisa tertawa melihat nasibnya sebagai penulis opini yang populer di koran. Hua…ha…ha…

Sikap kaum terpelajar yang getol membaca dan menulis sebenarnya tidak dimiliki Muslimin. Cita-citanya selama menjadi mahasiswa dan apabila sarjana nantinya tidak serumit obsesi Tigor maupun Mikail. Tidak pernah dia mengutamakan bacaan buku di luar buku wajib kuliah. Buku perkuliahan tetap mendapat prioritas utama agar dapat nilai tinggi dalam ujian semester. “Nanti kalau aku dilantik, pasti foto pelantikan bersama ayah ibuku dilengketkan di ruang tamu rumah kami di kampung. Dan kedua orang tuaku merasa bangga punya anak seorang sarjana di tengah-tengah keluarga kami yang tidak memiliki anak yang sarjana. Lantas aku akan melamar menjadi pegawai negeri, agar nanti punya uang pensiun. Tidak seperti pegawai swasta, ayahku akan hidup bahagia sepanjang waktu, hua..ha..ha…” Sangat lugu pikiran Muslimin. Tapi, Tigor , Mikail, Ucok dan warga FDP lainnya tetap mengasihi keluguan Muslimin. “Memang begitulah kelasnya, Apa mau dikata?” kata Dr Pardomuan.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 9

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #4

Cerita Bersambung Martin Siregar

Bagian 4

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
Pada awal tahun 1981 negara Trieste membuka lowongan kerja menjadi pegawai negeri. Seluruh instansi pemerintah menerima surat lamaran kerja dari masyarakat umum untuk ujian duduk di birokrasi pemerintahan. Mulai dari ijazah Pendidikan SMA, Sarjana Muda, Sarjana serta Master dan Doktor dibuka selebar-lebarnya oleh pemerintah pusat sampai ke daerah.
Tigor, Mikail dan DR Pardomuan pada akhir 1980 sudah memprediksi kebijakan negara ini. Sehingga mereka tak begitu heran melihat seluruh lapisan masyarakat berbondong-bondong membeli map, melegalisir ijazah, foto kopi berkas lamaran, mencetak pas foto dan lain lain, dan lain lain. Sebuah kesempatan emas untuk hidup bermalas-malasan dapat gaji buta dan bisa korupsi sebagai pegawai negeri adalah incaran penduduk negara Trieste. “Dasar Negara Pegawai” Kata Tigor di atas motor bergoncengan dengan Mikail.
Memang Forum Diskusi Pelangi (FDP) yang dibentuk DR Pardomuan pada acara Diskusi Tutup Tahun bulan Desember yang lalu mengambil tema: “Trieste akan Menjadi Negara Pegawai”. Cukup hangat diskusi tersebut pada waktu itu. Semua pihak yang hadir sangat pesimis di Trieste dapat terwujud negara yang demokratis dan menjunjung tinggi keadilan di tengah-tengah masyarakat. Omong kosong test ujian pegawai negeri yang akan berlangsung dinilai secara objektif. Sebelum ujian dilaksanakan, sudah banyak anak pejabat militer, pengusaha dan pejabat negara yang menitipkan nama anaknya maupun nama anak orang lain yang berani memberikan uang sogok. Jangan harap anak rakyat terlantar dapat lulus menjadi pegawai negeri posisi menengah ke atas. Pasti anak orang terlantar selalu menjadi pegawai negeri dengan status rendah. Karena posisi-posisi penting pegawai negeri sudah digarap oleh anak-anak penguasa status quo Trieste. Dan, hampir dapat dipastikan bahwa anak-anak mereka yang menjadi pegawai negeri akan meniru watak korupsi orang tuanya.

Watak kerajaan-kerajaan yang ada di bumi pertiwi Trieste berabad abad yang lalu sangat kaku dengan sistem feodalismenya. Oleh sebab itu untuk mengekang suara-suara dari hati nurani masyarakat sipil yang menuntut keadilan, watak feodalisme tersebut harus dipertahankan dalam birokrasi pemerintahan. Agar pemegang tampuk pemerintahan negara dari sejak dulu dapat mempertahankan status kekuasaannya sampai sekarang, tanpa gangguan dari kekuatan pihak oposisi. Apalagi penguasa negara dilindungi kekuatan militer yang terus dipelihara dengan baik. Selalu siap sedia melakukan intimidasi secara brutal di tengah-tengah masyarakat. Sebagai konsekuensinya, korupsi kolusi dan nepotisme menjadi karakter budaya pemerintahan yang saat sekarang ini semakin berurat berakar di negara Trieste. Dokumentasi Forum Diskusi Pelangi tentang hal ini cukup rapi. Ketekunan program investigasi dan penelitian tentang kasus-kasus pelanggaran demokratisasi oleh negara dapat dipertahankan secara ilmiah dan berkesinambungan.
Forum Diskusi Pelangi hadir di Rilmafrid atas prakarsa DR Pardomuan. Doktor antropologi yang diperolehnya dari Universitas Uni Sovyet tahun 1978. Karena DR Pardomuan sering berdebat panjang dengan sesama dosen di Universitas Sandiega alumni Eropa Barat. Bahkan beberapa kali perdebatan itu hampir berakhir dengan pertikaian fisik. DR Pardomuan pernah juga dua kali diinterogasi oleh polisi akibat argumentasinya tentang ilmu antropologi dinilai bernuansa komunis. Wajar saja, karena beliau adalah alumni Universitas Uni Sovyet.
“Para doktor alumni Eropa Barat sarat dengan ideologi kapitalisme”. “Dan mereka terlalu memaksakan gagasan mereka di dunia perguruan tinggi” Padahal belum tentu pikiran Eropa Barat itu sesuai dengan karakter budaya di negara kita, Trieste” Inilah argumentasi DR Pardomuan kalau ditanya alasannya mengundurkan diri dari universitas ternama itu.

Pemahaman DR Pardomuan tentang wacana ilmu-ilmu sosial dan penguasaannya mengenai selera kaum muda terhadap ilmu pengetahuan, membuat gairah Tigor dan Mikail terus menjalin kontak dengannya. Tigor dan Mikail berhasil mengumpulkan kawan-kawan mereka dari Universitas Rilmafrid dan Universitas Zatingon dari berbagai fakultas untuk mendirikan FDP. Tentunya kawan kawan yang tidak mau dicemari oleh watak komsumtif dunia pendidikan di negara Trieste.
Pada acara forum diskusi perdana bulan Januari tahun 1981, ditetapkan temanya adalah : Strategi Pengembangan Masyarakat. Tigor ditugaskan menyiapkan 4-5 lembar tulisan untuk sekedar bahan pengantar diskusi. Betapa beratnya tugas ini diemban Tigor, tapi kalau ditolak maka Tigor merasa akan kehilangan kesempatan untuk melatih diri menulis karya ilmiah. Gara gara tugas berat inilah Tigor hanya setengah hati merayakan Natal dan Tahun Baru. Ia sibuk mengumpulkan buku-buku referensi. Tapi, sampai minggu pertama Januari tak sebuah kata pun dapat ditulis. Dia bingung tujuh keliling.

bersambung…

*)Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid

Kisah Sebelumnya: Bagian 3

Cerita Bersambung Yang Lain

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #3

Cerita Bersambung Martin Siregar

Bagian 3.
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Saling memberi apresiasi terhadap karya sastra khususnya karya Mario Puzo serta mendiskusikannya sepanjang malam adalah alat perekat persahabatan Tigor dan Mikail. Apalagi sehabis nonton film-film Itali bertema spionase, pastilah Tigor sampai harus tidur di rumah Mikail guna memperbincangkan film-film tersebut. Lantas, pada sore hari sehabis kuliah parkir di rumah Susanti menceritakan segala hasil diskusi mereka sambil makan pisang goreng. Susanti akan sangat bahagia apabila Tigor dan Mikail berebut bercerita tentang proses diskusi mereka. Kedua lelaki itu sangat mengasihi Susanti, walaupun dengan intensitas yang berbeda. Dan, secara tidak langsung Susanti merasa ilmu pengetahuannya banyak bertambah akibat diskusi kedua kawan akrabnya yang kutu buku itu.
Bukan, berarti Tigor tidak menghargai suasana pribadi yang perlu dinikmati pasangan Mikail dan Susanti. Pada moment-moment tertentu, Tigor tak hadir dalam perjumpaan mereka. Walaupun tak bisa dipungkiri Mikail selalu kena marah Susanti karena menyediakan malam minggunya untuk Tigor, menomorduakan dirinya sebagai pacar kekasih hati Mikail.

Di pinggir pantai dengan pondok kecil muat dua orang sengaja disediakan penduduk setempat untuk para wisatawan yang ingin pacaran. Sambil makan nasi campur ikan bakar atau digoreng, para wisatawan dapat seenaknya bermesraan tanpa gangguan kiri kanan. Di tempat itulah Mikail dan Susanti menghabiskan malam minggunya 2 bulan yang lalu. Santapan ikan lele bakar yang dicolekan ke sambel pedas ditemani sayur selada mentah kesukaan pasangan ini telah lama habis. Susanti duduk berbaring di pangkuan Mikail yang duduk bersila sambil membelai-belai rambut Susanti. Sementara, Susanti mengelus-elus wajah Mikail dalam kondisi sedang naik birahi. Tak ada buaya yang menolak bangkai. Tak ada lelaki menolak perempuan yang sudah pasrah. Maka, dengan gelora membara Mikail hajar bibir Susanti dengan penuh gairah. Respon Susanti tentulah lebih dahsyat lagi. Tak kedengaran suara mereka selain suara mendengus kesesakan nafas. Aaa..ah…aaa.. Tangan Mikail mulai menjalar ke paha Susanti ketika bibir mereka semakin ganas beradu. Tangan Susanti merangkul erat pinggang Mikail, ketika tangan Mikail sudah meraba celana dalam Susanti dengan penuh nafsu birahi. Tiba – tiba AH!! Mikail setengah teriak, “Aku janji sama Tigor malam ini mau ke rumah Dr Pardomuan.” Mikail bergegas keluar dari pondok kecil menuju motor mereka. Susanti sangat keberatan, “Apa kau bisex? Kan janji dengan Tigor bisa ditunda karena kita dapat suasana yang enak malam ini. Jangan-jangan kaujanji bermesraan dengan Tigor.” Susanti marah besar. Dan sepanjang jalan ngebut digoncengan Mikail, Susanti terus menerus merepet marah besar atas kepanikan Mikail membawa motor.
“Jangan ngebut!” Susanti membentak keras. Tapi Mikail tak perduli, sepeda motor dipacu tetap dengan kecepatan tinggi, kembali menuju kota Rilmafrid.
Akibat insiden itu, cinta yang sedang bersemi antar mereka hampir saja putus. Susanti sangat keberatan terhadap Mikail yang merusak suasana mereka gara-gara Tigor. Bila saja Tigor tidak turun tangan membujuk hati Susanti yang sudah membatu, kisah cinta antar Mikail dan Susanti pasti berakhir. Dan sejak saat itu Tigor tak berani membuat janji dengan Mikail apabila malam minggu tiba.

bersambung…

*)Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Kisah Sebelumnya: Bagian 2

Cerita Bersambung Yang Lain

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #2

Cerita Bersambung Martin Siregar

Bagian 2.
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Bbrrraaakkk …!! Brrraaakkk… !!! pintu kedai tuak Saut Hasudungan ditendang keras preman mabok menggenggam pisau belati jam 3 subuh. “Anjing !!! kemana kausembunyikan adikmu itu.” Bardo, preman pelabuhan, membentak Saut yang baru selesai membereskan kedai tuaknya. Tanpa menjawab, Saut langsung menghujam kepala Bardo dengan parang tajam yang terletak di meja tuak yang baru bubar. Hujanan parang Saut sangat brutal dan histeris sampai 3 kali. Kedua kawan Bardo langsung menggerek Bardo terkulai ke sepeda motor, mereka lari terbirit birit membawa Bardo ke rumah sakit. Depan pintu masuk kedai tuak itu penuh berlumuran tetesan darah kental Bardo. “Nang…cepat bersihkan darah ini.” Saut Hasudungan panggil istrinya. Kemudian dia dengan langkah tenang, wajah tanpa emosi, menuju kamar mandi membersihkan kedua tangan bekas darah hasil membacok Bardo. Tingkah laku seorang god father adalah karakter yang menonjol dalam diri Saut Hasudungan. Resiko belakangan yang penting orang yang bikin persoalan segera dituntaskan.

Ternyata, Tigor terlibat dalam pembakaran pukat harimau bersama nelayan pinggir pantai. Lima orang nelayan yang ditangkap mengaku bahwa perancang pembakaran pukat harimau itu adalah Tigor. Dan, dua hari polisi bersama preman gagal mencari Tigor sejak perisitiwa pembakaran pukat harimau itu. Tak seorang pun tahu.
Tiga hari kemudian pintu rumah Pak Kurus diketuk lembut jam 2 subuh. “Pak…Pak..buka pintu Pak.” Terdengar suara berbisik sayup. “Siapa itu?” Pak Kurus menuju pintu. Rupanya Tigor, naik motor matikan mesin dan berlahan masukkan motor mati lampu. “Aku mau bawa ijazah SMP dan beberapa pakaian. Di sini sudah tak aman. Aku lanjut SMA di Rilmafrid bersama Kak Dameria. Oke ..ya Pak?” Tigor pamit.
“Hati hati kau,” Pak Kurus ucapkan selamat jalan.
Begitulah dinginnya sikap keluarga Pak Kurus menghadapi kasus kriminal yang menimpa keluarga. Saut Hasudungan,Ibu Kurus, Pak Kurus, Rosita Dameria tak repot mengatasi persoalan berat yang dialami Tigor.
Sangat mencolok perbedaannya dengan sikap keluarga kaya raya mapan aristokrat di kota-kota besar. Mereka sudah hidup dengan nikmat bahagia setiap hari, seakan tak kekurangan sesuatu apapun dalam hidupnya. Oleh sebab itu seluruh anggota keluarga akan sangat gampang terganggu oleh masalah-masalah ringan. Mendapat persoalan kecil saja, para keluarga mapan aristokrat itu sudah panik gelagapan. Heboh bukan main. Seluruh energi dikerahkan keluarga untuk mengatasi persoalan sepele. Tidak setenang keluarga Pak Kurus.

Atas bantuan keluarga, Rosita Dameria dengan mudah mendaftarkan adiknya, Tigor, ke SMA Triyatna pinggir kota Rilmafrid. Dan, dengan mudah pula Tigor menyesuaikan diri di sekolah tersebut. Seolah olah tidak ditimpa persoalan serius di Pangkoper. Tapi, keberadaan sekolah Tigor di Pangkoper sangatlah berbeda dengan SMA Triyatna di Rilmafrid. Sengaja Pak Naldo, paman mereka, memilih SMA berkualitas untuk keponakannya dengan harapan agar Tigor tidak bergaul liar lagi seperti di Pangkoper. Harapan keluarga tercapai. Selama tiga tahun menyelesaikan pendidikan SMA Triyatna, Tigor tinggal bersama keluarga Pak Naldo. Segala tata tertib disiplin ketat rumah tangga yang digariskan oleh Pak Naldo dipatuhi dengan baik. Itu makanya Tigor tertempa menjadi anak yang pintar. Dan, lolos seleksi menjadi mahasiswa fakultas hukum Universitas Sandiega di Rilmafrid yang terkenal sangat selektif menerima mahasiswa baru. Guna menghemat biaya transportasi dan agar lebih efisien bergerak, Tigor harus angkat kaki dari rumah Pak Naldo setelah menjadi mahasiswa. Kamar indekos dekat kampus adalah rumah pondokannya.

***
“Mikail Pratama, kau harus kuliah di kota Rilmafrid. Harus di kota ini!” kata sang ayah tegas kepada Mikail Pratama. Mikail Pratama hanya tunduk diam terpaku mendengar titah sang ayah. “Ayah sudah capek menghadapi kau selama SMA. Kalau saja kau lakukan kasus kasus yang sama di kota lain, pasti kau akan dihabisi oleh preman.” Ayah melanjutkan nasihatnya kepada anak tengah mereka Mikail Pratama.
Memang wajar sang ayah berkata begitu. Karena selama SMA, Mikail sudah entah berapa kali diselamatkan oleh ayahnya. Masih 3 bulan duduk di kelas satu SMA, Mikail sudah terlibat penjualan narkoba. Karena polisi masih dengan mudah dapat disogok, maka Mikail tidak jadi dipenjara. Masih kelas satu SMA. Empat bulan setelah kasus penjualan narkoba, Mikail sudah tertangkap lagi dalam kasus pelecehan sexual. Pembantu rumah tangga mereka yang bahenol tiba-tiba hamil. Kembali lagi ayah terpaksa merogoh kantong untuk melarikan si pembantu rumah tangga agar tidak menuntut Mikail. Kasus perkelahian massal antar anak SMA, kebut kebutan di jalan, kasus tabrak lari dan narkoba, terus menerus menghiasi hidup Mikail selama SMA. Padahal 2 orang kakak Mikail dan seorang adik laki-lakinya hidup teratur, sangat santun terhadap kedua orang tuanya.
“Entah kenapa pula si Mikail bisa seperti ini.” Ibu pusing tujuh keliling menghadapi anak laki-lakinya. Rini Anggelina anak sulung keluarga, kakak Mikail, sedang menempuh pendidikan musik di Jerman. Yayuk Astuti anak kedua mendapat bea siswa dari Unversitas Steinbeki Fakultas Antropologi. Sedangkan Mikail Pratama tak akan menjadi mahasiswa apabila sang ayah tidak menyogok dekan Fakultas Ekonomi Universitas Zatingon di kota Rilmafrid.
Sedangkan anak bungsu mereka Jimmi Rocky cerdas layaknya si kakak, Rini Anggelina, tak banyak menyita pikiran keluarga dalam menempuh kehidupan ini.

Keluarga sangat heran melihat perubahan yang mendadak pada diri Mikail setelah menjadi mahasiswa. Sama sekali tidak berminat keluar dari rumah setelah pulang kuliah. Mikail sibuk belajar. Berkurung berlama-lama di dalam kamar membaca pelajaran mata kuliah dan berbagai buku ilmu pengetahuan lainnya. Hingga pada suatu sore Mikail berkata, “Ayah,.. agar aku lebih efisien, lebih baik kendaraanku, mobil ini, diganti saja sama sepeda motror?”
Betapa herannya Ayah mendengar pernyataan Mikail. Karena, status sosial yang tinggi sebagai pejabat elite pemerintahan ada 3 mobil pribadi dan sebuah mobil dinas parkir di garasi mobil mereka. Beberapa kali media massa meributkan kasus korupsi yang menimpa ayah Mikail sebagai pejabat Badan Perancang Pembangunan Nasional. Tapi, tetap saja lolos dari jebakan penjara. Mungkin karena kecerdasannya membagi kue hasil korupsi untuk atasannya di kantor pusat pemerintahan Trieste, membuat beliau tidak pernah menjadi terdakwa di pengadilan.
Sekedar memancing, sang ayah ajukan pertanyaan kepada Mikail,” Ah !! apa kau mau ngebut ngebutan lagi naik motor? Dan, perkuliahanmu berantakan lagi?”
Dengan muka serius Mikail berharap, “tidak..tidak Ayah. Aku menemukan duniaku di fakultas ekonmi. Hanya sekedar agar efisien gerakku setiap hari dan bensin jauh lebih irit”.

Keluarga semakin aneh melihat perubahan Mikail setelah dibelikan motor. Berpakaian necis setiap hari, tidak merokok lagi dan tidak banyak bicara. Dari Jimmi Rokcy, keluarga mendengar informasi tentang keberadaan Mikail. Ternyata Mikail sedang menjalin percintaan dengan Susanti, anak Fakultas Hukum Universitas Sandiega. Mungkin Susanti yang menganjurkan Mikail agar memberhentikan kebiasaan merokok.
“Syukurlah…, sejak SMA kita anjurkan Mikail agar tidak merokok. Tak pernah dihiraukan si Mikail. Nah, sekarang gara-gara pacaran dia berhentikan kebiasaan merokok. Syukurlah.” Si Ibu mengelus dada merasa lega melihat perubahan kongkrit pada diri anaknya, Mikail.
Susanti, anak pengusaha terkenal di Rilmafrid yang sebenarnya adalah kawan dekat ayahnya Mikail. Tapi, hal ini tak pernah terungkap dalam percintaannya dengan Susanti. Mereka sama sama merahasiakan hal ini di hadapan kedua orang tua mereka. Justru, kedekatan hubungan Susanti dengan Tigor kawan sekuliahannya membuat Mikail berkawan akrab dengan Tigor. “Jangan pula kau anggap aku rivalmu merebut hati Susanti ya.. Mikail!” Tigor terus terang kepada Mikail.
“Hua..ha..ha..Kalau kau cinta sama Susanti sudah sejak awal kuhajar kau Hua..ha..ha..,” Mikail hanya berguyon menanggapi Tigor.

bersambung…

*)Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Kisah Sebelumnya: Bagian 1

Cerita Bersambung Yang Lain

Torsa Sian Tano Rilmafrid*

Cerita Bersambung Martin Siregar

Bagian 1.
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Tigor memang sudah sangat acap hidup dalam kondisi yang menegangkan. Anak polisi yang tinggal di pinggir pantai penuh dengan berbagai kasus kriminal penyelundupan barang antar Negara, menempa dirinya bermental baja keras tidak cengeng. Bapaknya termasuk polisi bermoral. Tidak seperti kawan-kawan sejawatnya. Walaupun polisi berpangkat rendah, tapi bisa saja hidup mewah sejahtera kaya raya, karena dengan gampang menawarkan diri menjadi pelindung para toke-toke penyelundup yang memasukan barang ilegal dari Melano ke negara Trieste. Bapak Tigor hidup seadanya, tidak mau jadi kaki tangan penyelundup hingga sering dituduh oleh sejawat maupun keluarganya sendiri dengan sebutan : Bapak Sok Moralis. Ia sama sekali tidak tergiur ikut dalam kancah kaki tangan penyelundupan antar negara.
Ketika abang sulung Tigor tamat dari SMA, secara mendadak Bapaknya minta pensiun dini. “Lebih baik aku berladang menanam semangka dan mangga golek, daripada sekantor dengan manusia manusia bejat di kantor polisi busuk itu” kata Pak Kurus. Maka sejak Tigor SMP kelas 2 catur wulan 2 tahun 1975, di tanah leluhur Pak Kurus, bapak kandung Tigor menghabiskan hari-harinya bersama istri tercinta. Bertani seperti ketika mereka masih muda.
Tentulah pelabuhan bebas Pangkoper harus menciptakan kondisi kota yang mampu memfasilitasi kebutuhan para pelaku berbagai jaringan penyelundupan. Seluruh kota penuh sesak dengan tempat-tempat hiburan semarak kegemerlapan malam, ramai gadis penghibur para pelaku bisnis penyelundupan. Tempat semua pihak yang terlibat bercokol setiap malam melakukan transaksi sambil menikmati hiburan. Mulai dari preman kelas kambing peminum tuak murah sampai kelas mafia kaliber puluhan milyar, tentara dan polisi pangkat rendah sampai ke tingkat perwira tinggi berkeliaran memenuhi seluruh sudut kota Pangkoper.
Kota Pangkoper semakin semarak lagi, karena di kota yang sama itu para nelayan penangkap ikan dalam jumlah besar juga melakukan transaksi. Paling sedikit setiap bulan terjadi pembunuhan sesama nelayan dan pembakaran pukat harimau oleh nelayan tradisonil. Berbagai asal usul daerah tempat tinggal nelayan berkecamuk hiruk pikuk di tengah laut saling sikut menyikut berlomba menangkap ikan.
Oleh sebab itu dengan mudah ditebak, bahwa Pangkoper pastilah sebuah kehidupan kota yang penuh dengan kasus-kasus kekerasan kriminal sadistis. Demi untuk menyelamatkan barang selundupan mobil mewah, elektronika, narkoba, sampai dengan penyelundupan mainan anak-anak berharga murah, adalah penyebab utama dari pertikaian antar anak manusia sepanjang waktu di kota Pangkoper.
Saut Hasudungan, abang sulung Tigor, memang ditawarkan Pak Kurus untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Tapi, sebagai tindakan protes terhadap bapak kandungnya yang sok moralis itu, Saut Hasudungan lebih memilih sebagai pengusaha kedai tuak. Walaupun dia sadar, kehidupannya kelak kemudian hari pasti lebih sejahtera apabila menerima tawaran bapaknya masuk ke perguruan tinggi.
Sedangkan adiknya, Rosita Dameria, tamat SMA tahun 1977 kebetulan berotak encer dengan senang hati menyambut tawaran bapaknya untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di ibukota propinsi Rilmafrid. Sebuah perguruan tinggi ternama di negara Trieste. Anak bungsu keluarga itu adalah Tigor, sama sekali tidak tertarik dengan pola hidup kedua orang tuanya yang menghabiskan waktu bercocok tanam sepanjang hari.
Tapi, walaupun begitu, moral bapaknya yang dituduh sok moralis, secara utuh lengket di dalam jiwa Tigor. Tigor tidak merokok apalagi minum minuman keras berpesta pora narkoba seperti kawan-kawan sebayanya. Kegemarannya sepulang sekolah adalah ngobrol dengan para nelayan di rumah gubuk pinggir pantai. Melalui dialog intens, Tigor dengan tekun menguras segala informasi tentang kehidupan para nelayan yang miskin papa sengsara. Dan, ikut menghujat pejabat negara yang terus menerus melindungi pukat harimau dan segala bentuk penyelundupan di pelabuhan bebas Pangkoper tempat Tigor dilahirkan. Kebiasaan Tigor berikutnya adalah membaca novel. Seluruh novel karangan Mario Fuzo bertema intelijen dan kehidupan mafia Italia sudah habis digarapnya.

bersambung…

*)Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’