Ibu, inilah anakmu,
dalam kesendirian yang sunyi,
aku pernah melata di rahim kudusmu.
Enam belas tahun sudah usiaku,
mungkin tak sudi kauingat ini,
lahirku yang bagai perkosaan kedua bagimu.
Ibu, nyatanya aku ada,
bersamamu rasakan hidup tanpa martabat.
melolong-lolongkan luka yang makin nganga.
Martabat itu, Ibu,
bagaimanakah kita merayapinya dari titik terendah manusia,
sedang kau pun tak pernah menginginkanku,
buah yang kauanggap lahir dari perzinaan di pelacuran.
#2 Di Tikungan Itu
Di tikungan itu,
orang gegas berbelok,
dan aku terjerumus
hanya karena ingin berjalan lurus.
# Kepada Calon Presiden
Bukan politisi berpuisi yang kami cari,
Tapi politisi yang mengilhami lahirnya puisi-puisi.
Bukan politisi yang tahu betul teori di buku-buku yang kami mau,
Tapi politisi yang mengilhami lahirnya buku-buku.
Cerdaskan anak-anak, cerdaskan guru-guru.
bimbing kami jadi bangsa maju.
Sebab sesungguhnya, kesejahteraan adalah buah pohon-pohon pengetahuan.
Suatu saat ketika Usama, seorang anak muda diminta menjadi panglima angkatan perang memimpin peperangan, menjebak seorang musuh bebuyutan di sudut cekung bebatuan. Merasa terjepit seorang diri, tentara musuh itu tak ada pilihan lain selain harus bersyahadat. Dia bersyahadat secara sempurna: Asyhadu an laillaha illalah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah. Namun, Usama tetap membunuh tentara itu. Salah seorang sahabat melaporkan hal itu kepada nabi, lalu nabi memanggil Usama dalam keadaan marah. Yang terlihat urat di dahi menonjol ke atas. Nabi menanyai Usama kenapa membunuh orang yang sudah bersyahadat. Usama memberi alasan, orang itu bersyahadat hanya cari selamat karena terdesak, bukan didorong kesadaran. Akhirnya Nabi menyatakan: Nahnu nahkumu bi al-dhawir wallahuyatawallas sarair (kita hanya menghukum apa yang tampak dan hanya Allah yang menentukan apa yang ada di dalam bathin orang).
Sejalan dengan hadis yang diriwayatkan dalam kitab Al-Muwaththa itu ialah firman Allah SWT: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya (QS Al Qashash/28:56). Kita tidak diberi hak memaksa orang masuk agama Islam, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran: Tidak ada paksaan (memasuki) agama (Islam). (QS Al-Baqarah/2:256). Jika kita sudah menyampaikan lantas mereka tidak mau mengikuti ajaran itu, itu menjadi urusan dan tanggung jawab mereka. Demikianlah kehendak Allah SWT, sebagaimana dinyatakan dalam ayat: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semua? (QS Yunus/10:99).
Tentu ada kejengkelan atau ketidaksenangan terhadap mereka yang tidak mau mengikuti ajaran yang ditawarkan. Namun, betapapun kejengkelan itu muncul tidak dibenarkan melakukan tindakan tidak terpuji melampaui batas, seperti tindakan anarkistis apalagi membunuh mereka. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran: Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (QS Al-Maidah/5:8). Tindakan melampaui batas sangat dicela dan kita tidak dibenarkan mengikuti ajaran siapapun yang dinilai melampaui batas. Sebagaimana ditegaskan Allah: Dan janganlah kamu menaati perintah orang-orang yang melampaui batas (QS Al Syuara/26: 151-152).
Terlebih kita dilarang membunuh hanya karena perbedaan pandangan. Orang kafir sekalipun tidak halal dibunuh tanpa ada pembenaran khusus dalam syariah. Membunuh anak manusia apapun agama dan kepercayaan, apapun etnik dan warna kulit, tidak dibenarkan membunuh dan menyakiti. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran: Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semua. (QS Al-Maidah/5:32).
Dalam ayat di atas Allah SWT menggunakan redaksi man qatala nafsan (barang siapa membunuh manusia), tidak dikatakan man qatala muminan (barang siapa membunuh orang mukmin). Ini artinya Allah SWT memberikan penghargaan besar pada dunia kemanusiaan. Bahkan dalam salah satu ayat ditegaskan: Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. (QS Al-Isra/17:70). Allah SWT menggunakan kata Bani Adam (anak cucu Adam). Artinya siapapun yang dipandang sebagai anak cucu Adam tanpa membedakan latar belakang agama, etnik, jenis kelamin, warna kulit, bahasa, perbedaan geografis, juga perbedaan kewarganegaraan, yang penting dia manusia, maka wajib hukumnya yang percaya kepada Al-Quran untuk menghargai dan menghormati.
Perbedaaan adalah sunatullah. Allah SWT sejak awal merancang alam ini dihuni penghuni yang majemuk dan plural. Sebagaimana ditegaskan dalam Al Quran: Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. (QS Al Hujurat/49/13).
Perbedaan agama dan sumber aliran tidak perlu menjadi sumber konflik karena demikianlah rancangan Allah SWT. Idealnya antara umat beragama, terutama agama Samawi, mesti lebih gampang menjalin persatuan dan kesatuan. Karena sama-sama dirancang sejak awal, sebagai agama monoteisme atau agama anak cucu Ibrahim. Tugas para pemuka dan pemimpin agama ialah bagaimana menekankan aspek persamaan dan pertemuan (encounters) antara satu agama dan agama lain. Bagaimana menitikberatkan persamaan antar agama sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran: katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu. (QS Al Imran/3:64).
Jika para tokoh agama memegang teguh pesan-pesan suci keagamaan ini, sudah barang tentu tokoh-tokoh agama akan tampil sebagai tokoh persatu dan figur yang selalu berwibawa dalam masyarakat. Agama akan tampil mencerahkan. Namun, jika tokoh-tokoh agama tampil sebaliknya, lebih menekankan aspek perbedaan (distinctiveness), dampak pada umat akan mengalami keresahan dan ketegangan. Agama akan tampil menakutkan. Kesabaran dan kejiwabesaran Rasullullah patut untuk diteladani. Sekalipun tumit berdarah-darah karena lemparan batu oleh kaum kafir Thaif dan sekalipun berhadapan dengan Musailamah al-kazzab, seorang yang mendeklarasikan diri sebagai nabi palsu, dia tetap tidak bergeming dan emosional sedikitpun. Agama dijalankan secara konsisten sesuai sendi-sendi ajaran Islam. Karena itu, Islam mempunyai nilai tawar sangat mengesankan ketika itu. Betul-betul membawa perubahan mendasar yang mengarah pada peningkatan martabat kemanusiaan.
Kita berharap, kriris kekerasan yang dihubungkan dengan agama yang terjadi di negeri ini secepatnya diselesaikan bersama. Salah satu cara, kembali menegok substansi dan ajaran dasar agama masing-masing yang sesungguhnya lebih mengedepankan kearifan dan kedamaian. Berhentilah mengekspos agama sebagai komoditas politik atau bisnis yang hanya menguntungkan segelintir masyarakat. Namun, akibatnya ditanggung masyarakat luas.
Sumber:Koran Jurnal Nasional, Senin, 21 Februari 2011
Pria berseragam cokelat meminta Bunga bercerita, kemudian menyebutkan ciri-ciri orang. Bunga tidak bisa melakukan dua hal yang diminta oleh pria berseragam itu, kemudian mereka meyakinkan Bunga kalau hal itu penting untuk menentukan siapa pelakunya.
ilustrasi diunduh dari genuardis.net
Pria berseragam itu memohon agar Bunga membuka mulutnya, dan mulai bercerita. Bunga tetap bungkam. Untuk mencairkan ketegangan di wajah Bunga, pria-pria ini membuat lelucon. Bunga menatap mereka satu persatu. Putih kulit Bunga terlihat memucat, rambutnya berantakan, dan matanya membelalak; mengisyaratkan kemarahan yang tidak lagi bisa terdamaikan.
Kejadian itu tidak lama. Pria berseragam meminta Bunga dan ibunya pulang ke rumah.
“Bunga butuh istirahat, kita akan lakukan interogasi besok malam,” ujar salah satu pria berseragam. Hanya begitu.
Bunga dan ibunya pun pulang ke rumah. Rumah yang masih dilingkari oleh garis polisi berwarna kuning. Bunga langsung masuk ke kamarnya, sedangkan ibunya hanya menatap sedih.
***
Angin seperti memburu. Derunya begitu riuh, dan manusia dibiarkan gigil, memeluk diri masing-masing. Dalam kesunyian malam, angin bertiup seperti siulan alam. Binatang malam pun seperti tidak berani mengeluarkan suara; lindap dan senyap. Ada purnama, di balik rerimbun bambu, tampak bias cahaya lebih kemilau dari kemarin.
Di dalam rumah, sedari tadi tidak ada suara apapun. Kamar ini senyap, rumah ini sunyi. Tidak ada bunyi gelas, bunyi panci, apalagi suara manusia berbicara satu sama lain. Semua seakan tandas bersama dinginnya malam.
Air matanya belum kering betul ketika ia menaruh bedak pupur putih. Begitu pelan. Begitu letih. Asanya telah luruh, tinggal pudar serupa kusam warna celak yang menghias matanya. Hari-harinya menghitam sehitam kelopak matanya, memancarkan kepedihan dari luka yang paling dalam. Kaca yang sedari tadi ditatapnya, seakan tidak bergeming. Siapakah yang mampu mengerti derita ini, pikir Bunga.
Bunga berdiri, mendekat pada jendela segi empat yang sedari tadi dibiarkan terbuka. Angin tidak berhenti memburu masuk, Bunga memeluk tubuhnya sendiri. Lalu perlahan dia seperti melihat bayang-bayang seorang lelaki yang berdiri, badannya gigil.
Brakkk, sekuat tenaga Bunga menutup jendela, menguncinya, lalu menangis terisak. Bunga mendorong meja riasnya, menutupi jendela yang baru saja dikuncinya. Gegas dan gugup, Bunga mengambil selimut, menutupi tubuhnya, membebat dada sekencang-kencangnya dan sedikit juntai selimut jatuh ke lantai.
Wajahnya yang tertutup pupur menjadi lebih putih dari sebelumnya. Pucat dan pasi. Bunga seperti kebingungan, televisi yang sedari tadi tidak diacuhkan tiba-tiba menarik perhatiannya.
Terkesiap Bunga pada sebuah berita, tubuhnya kaku. Si pembawa berita mengatakan kalau seorang calon hakim agung baru mengeluarkan sebuah pernyataan kontroversial tentang pemerkosaan. Lelucon di tengah malam buta, ketika angin lebih dingin dan gemirisik daun lebih menyeramkan dari ribuan petir yang menghantam bumi.
“Yang diperkosa dengan yang memerkosa ini sama-sama menikmati. Jadi, harus pikir-pikir terhadap hukuman mati.”
Bunga melolong sejadi-jadinya. Lelucon di tengah dunia yang tidak lebih waras dari pada kegilaan dunia.
Prangg..Bunga melempar vas bunga ke televisi yang masih riang memberitakan pernyataan sang hakim agung. Air mata terus mengalir, Bunga berbisik pelan.
“Katakan bagaimana saya melindungi diri sendiri. Ketika binatang dari segala binatang mengendap dan masuk tengah malam dan diam-diam. Tidak ada yang lebih binatang dari manusia yang berperilaku binatang, bukan manusia namanya jika dia berani melukai perempuan.”
Televisi masih terus menyala, kacanya belum remuk benar. Gambarnya menjadi siluet dengan kemiringan 180 derajat, dan suaranya menjadi seperti gemerisik sesarang semut. Bunga terus meneteskan air mata.
Bunga menatap jendela, pelan berbisik “Orang itu binatang, sekali pun melihat aku memohon tapi tetap dia lesakkan kelaminnya hingga menembus jantung hati.”
Keras Bunga memukul dadanya. Ada suara orang mengetuk pintu kamar Bunga, memanggil-panggil nama Bunga untuk keluar dari kamarnya. Bunga harus segera ke kantor polisi untuk divisum. Suara ibunya terdengar terisak dari balik pintu. Ada sekerat luka dalam dada yang tidak bisa dijawab dengan kalimat mana pun. Bunga mengambil gelas kaca dan melempar ke pintu.
“Bunga Bu.., dikoyak paksa dan si hakim agung membuat lelucon pemerkosaan. Tidak pernah ada lelucon selucu ini, dan tidak pernah ada kenyataan sepahit ini. Kita hidup di antara, kita tidak berada di mana-mana. Kehilangan hanya tentang apa yang biasa di tempatnya tapi tidak lagi bisa kita temukan.” Jerit Bunga dari dalam kamar.
Ibunya semakin terisak dan mengetuk pintu kamarnya dengan lembut, “Keluarlah Nak..”
Bunga mendekat ke pintu, menyentuh gagang pintu, lalu merambat pelan pada kayu-kayu pintu kamar. Tangannya mengambil pecahan gelas.
“Ibu, tidak pernah ada orang yang menginginkan terluka. Jika kita bisa hidup lebih benderang dari cahaya tanpa harus menjadi lilin, kenapa kita memilih untuk membakar diri kita seperti lilin. Ibu, aku ingin main komidi putar, makan gulali, ke taman yang membuat aku kembali hidup,” isak Bunga, tangannya memegang serpihan kaca dari telivisi.
Ibu Bunga terisak kembali. Darah mengucur dari tangan kecil Bunga. Sepintas, Bunga seperti mendengar lelucon pria berseragam itu, lelucon yang sama dengan apa yang dibilang oleh sang hakim agung. Kuping Bunga mendengung gaduh.
“Ibu, aku diperkosa, dan lelaki itu membuat lelucon tentang pemerkosaan. Siapa yang lebih waras ibu?” Suara Bunga pelan sekali, hingga akhirnya tidak terdengar apa-apa.
Angin menderu kencang, menelan isak tangis ibu Bunga hingga tersisa senyap. Tidak ada lagi bebunyi. Layar seperti tertutup, tidak ada lagi cerita, tidak ada lagi kata, tidak ada lagi kaca jendela, tidak ada lagi Bunga, dan cerita hakim agung yang melucu kembali menyala di televisi rusak. Suaranya sedikit serak.
ilustrasi diunduh dari foto lukisan ibu anak karya A Hadi di situs bejubel.com
Ada yang berbeda di serambi rumah Emak malam ini. Ketiga putranya yang sudah lebih dari lima bulan tak pernah menampakkan batang hidung, tiba-tiba datang berkumpul. Satu tujuan mereka, membicarakan wasiat Emak. Aku turut diundang karena sore tadi hanya aku yang berada di sisi wanita itu sebelum nafas terakhirnya terhembus.
Katakan pada anak Emak, harus ada yang jaga lapak itu,
“Emak minta salah seorang putranya menggantikan Emak berjualan di pasar,” ucapku lirih.
Edi, putra sulung Emak mengernyitkan dahinya. Ia menghisap rokok dalam-dalam lalu menghembuskannya ke udara. Aku menahan batuk. Melihat wajah Edi, aku jadi teringat Emak yang dulu selalu mengeluhkan kebiasaan buruk Edi semasa muda. Judi adalah kawan akrab lelaki itu hingga akhirnya Emak harus menjual sawah warisan Simbah untuk menutup hutang putranya.
“Emak tidak sebutkan nama?” tanya Edi. Alis kanannya sedikit terangkat. Mimik mukanya menyiratkan kecurigaan. Sepertinya ia tak percaya padaku.
Aku menggeleng. Aku ingat betul, apa yang diucapkan Emak. Meski dengan terbata-bata, aku dapat mendengarnya dengan jelas.
“Itu saja?”
Aku mengangguk lemah.
“Emak tak bicara soal warisan?” Tono menyesap kopi pekatnya. Di ujung bibirnya tampak ampas kopi yang tertinggal.
Huh, kau bahkan tak mau merawat Emak! Sekarang minta warisan?
Aku menggeleng lagi. Ingin sekali aku mengumpat karena kesal pada putra kedua Emak itu. Meski ia adalah suami kakakku, namun kadang aku tak habis pikir. Bagaimana mungkin Mbak Yuli bisa memercayakan setengah masa hidupnya kepada lelaki mata duitan dan pelit macam Tono.
“Kita bagi saja biar adil,” Agung, putra bungsu Emak yang sedari tadi asyik menikmati pisang goreng sisa tahlilan, menyampaikan usul. Serentak Edi dan Tono mengangguk setuju.
“Lalu wasiat Emak?” aku terperanjat. Acara membahas wasiat terakhir Emak berubah menjadi ajang pembagian warisan.
“Kita bahas nanti saja,” Agung menyunggingkan senyum di wajahnya. Matanya menghakimiku, isyarat aku tak diperbolehkan ikut campur dalam pembagian warisan. Dengan lunglai, kutinggalkan tiga bersaudara itu.
***
Mendung kelabu menggantung kian rendah di langit gelap. Hawa dingin bertiup mengiringi gerimis yang sejak satu jam lalu hadir bersama galau di hatiku. Malam ini makam Emak pasti basah. Mungkin akan sebasah pipi Emak jika melihat betapa rakus ketiga buah hatinya. Sejauh ini, tak terlihat setitik pun air mata mengaliri wajah mereka karena sedih.
Edi yang tinggal di kota, bahkan rela menempuh perjalanan empat jam demi membahas warisan yang mungkin ditinggalkan Emak untuknya. Padahal, lebaran kemarin ia tak dapat meluangkan sedikit waktunya untuk sekedar mencium tangan Emak.
Tono, kakak iparku, putra kedua Emak. Meski hidup dalam gelimang harta, tak serupiah pun ia pernah berikan pada wanita yang telah menghadirkan dirinya di dunia ini. Aku, adik kandung istrinya, juga tak dibiayai sekolah. Tiga tahun lalu, lelaki itu malah ’membuangku’ di rumah Emak. Meski begitu, justru aku dapat bernafas lega karena tak jadi putus sekolah. Emak menghidupiku layaknya putra sendiri.
Agung, putra bungsu yang tak pernah absen meminta-minta pada Emak. Usianya sudah menginjak kepala tiga, memiliki seorang istri dan dua orang anak. Namun tak pernah sekali pun ia memberi nafkah yang layak pada keluarga dengan jerih payahnya sendiri. Cerita dari Emak, istrinyalah yang bekerja sejak mereka menikah. Tiga tahun pertama menjadi buruh pabrik. Tiga tahun selanjutnya jadi buruh tani di sawah Tono. Tiga tahun terakhir, mengadu nasib di negeri tetangga. Kabar yang kudengar, istri Agung tak kirim uang lagi sejak tiga bulan lalu.
“Aku minta rumah saja,” sayup terdengar suara Tono. Kami hanya terpisah selembar bilik bambu yang jadi dinding rumah Emak. Jangankan suara, asap rokok ketiga orang itu mampu menyelinap melalui celah anyaman bambu. Kulekatkan telinga pada daun jendela.
“Aku minta semua ternak,” Agung meninggikan suara seperti takut jatah warisannya direbut kedua kakak lelakinya.
“Aku yang memutuskan. Aku anak tertua,” Edi berseru tak ingin kalah.
Aku menahan nafas agar dapat jelas mendengar percakapan mereka. Aku telah menduga sejak awal, Edi akan menggunakan dalih ’anak tertua’ sebagai senjata dalam pembagian harta.
“Tono dapat semua ternak. Agung dapat semua sawah. Rumah Emak jadi bagianku. Adil kan?” Edi beranjak meninggalkan kedua adiknya yang melongo melihat kakaknya jadi hakim.
***
Malam belum usai. Hawa dingin melingkupi seluruh desa yang baru saja diguyur hujan. Aku harus merapatkan sarung untuk mengusir gigitan udara malam. Aroma pohon bambu yang tumbuh mengelilingi pekarangan Emak menyeruak. Suara katak meramaikan nyanyian jangkrik di tengah guyuran hujan. Ramai yang senyap. Sunyi karena malam ini aku tak mendengar cerita Emak tentang ketiga putranya lagi.
Tubuhku terbaring. Mataku terpejam. Tetapi aku masih terjaga. Sekitar sepuluh jam sejak kepergian Emak, hatiku sudah dipeluk kerinduan padanya. Biasanya, tiap jam tiga pagi, Emak mengendap-endap berangkat ke pasar karena takut membangunkanku. Jika aku terlanjur bangun, Emak selalu menyuruhku kembali ke kamar untuk kembali tidur.
Rasa kasihan menggelayut di benakku. Mengira-ngira salah serta dosa apa yang dulu telah diperbuat Emak hingga Tuhan memberinya tiga orang anak lelaki berperangai buruk. Aku yakin, darah Bapak begitu kental mengaliri pembuluh nadi mereka.
Tiga puluh tiga tahun Emak menjanda. Suami Emak juga tak pernah kembali dari rantauannya. Hanya dua kali Bapak pulang kampung. Kepulangannya yang terakhir untuk mengurus cerai. Lelaki tua itu hendak menikah lagi setelah bertemu seorang janda di kota.
Anganku terbang melayang.
Katakan pada anak Emak, harus ada yang jaga lapak itu,
Sepenggal kalimat itu terurai dari bibir Emak menjelang ajalnya. Dengan air mata bercucuran karena ketiga putranya tak sempat mendampingi di saat terakhir. Suaranya begitu lirih dan tersendat-sendat oleh nafas yang hampir putus.
Sebenarnya sejak lusa kemarin, Emak telah meminta mereka untuk menuntun Emak mengucapkan syahadat. Rupanya, wanita itu telah merasakan kehadiran malaikat pencabut nyawa di sisinya. Sayang, meski aku telah pontang-panting menyusuri desa untuk menjemput Tono dan Agung, mereka bergeming. Banyak urusan, kilah mereka.
Meski nyaris putus asa, nama Edi terlintas di ingatanku. Sengaja kupinjam telepon di balai desa untuk menghubunginya. Tetapi dengan menelan kekecewaan, aku harus mendengar penolakan yang begitu kejam.
Katakan pada Emak, aku masih banyak pekerjaan. Belum lagi, aku harus cari uang dulu buat ongkos. Bilang saja, lebaran tahun ini, aku sempatkan ke sana!
Aku menarik nafas dalam-dalam. Berusaha mengisi sistem pernafasanku dengan udara yang lebih bersih. Asap rokok bertebaran dari luar ruangan itu. Tono dan Agung terus saja membakar tembakau di serambi depan. Mereka tengah asyik berbincang seolah tak ada kantuk yang membebani mata keduanya.
Banyak hal yang mereka bahas. Sayang, semua hanya omong kosong. Kurasa mereka tak berminat membuka memori untuk mengenang kebaikan Emak semasa hidup.
Aku terhenyak. Harusnya mereka bersyukur karena memiliki ibu yang begitu penyayang dan sabar. Dan mestinya mereka menyesal karena belum dapat membalas kebaikan Emak dengan cara yang pantas.
“Kenapa Mas Edi pilih rumah, ya?” pertanyaan seputar warisan. Agung, putra Emak yang paling bodoh itu selalu encer otaknya bila berhubungan dengan uang.
“Karena Emak pasti menyimpan semua hartanya di rumah,”
“Oh, pantas saja kau tadi juga minta warisan rumah Emak,”
“Tentu saja,”
Aku menghela nafas cukup panjang.
Mereka ini terbuat dari tanah atau api? Raganya manusia, hatinya iblis!
“Lalu bagaimana dengan Bowo?”
Tono menyebutkan namaku. Semakin kutajamkan pendengaran. Inilah yang aku cemaskan. Aku belum tahu bagaimana nasibku selanjutnya. Siapa yang akan berbaik hati untuk membiayai hidupku. Jelas Tono tak akan bersedia menampungku.
***
Sekali lihat saja, aku dapat merasakan betapa lapuknya lapak Emak. Dindingnya terbuat dari papan triplek dengan anyaman bambu yang tersusun berantakan. Rembesan air sisa hujan semalam tampak merayapi bagian bawah yang menancap ke tanah. Sementara selembar seng berkarat jadi atapnya. Beberapa lubang kecil tersebar di sana. Aku yakin jika hujan datang, Emak akan kuyup. Apabila tengah hari, pastilah panas mendera.
Aku terpaku cukup lama. Lapak ini sudah reyot. Beberapa bulan lagi mungkin saja, atap beserta dindingnya runtuh akibat diterpa angin.
Inilah lapak yang tiga bersaudara itu berikan padaku. Tadi pagi, diam-diam mereka mengadakan rapat rahasia. Edi, Tono, dan Agung akhirnya sepakat memberikan wasiat Emak kepadaku.
“Pakailah lapak itu untuk mencari nafkah,” ujar Edi tadi pagi sebelum pulang, kembali ke kota. Aku sedikit kesal. Mereka tak berniat turut tahlilan selama tujuh hari di rumah Emak. Tono dan Agung juga berencana untuk pulang ke rumah masing-masing. Dari percakapan yang kudengar, minggu depan mereka baru akan kembali ke rumah Emak untuk pengurusan perihal warisan.
“Emak ingin salah seorang dari putranya yang mewarisi lapak itu,” sanggahku. Meski dalam hati aku tak keberatan diberi mandat berharga dari Emak.
“Lapak itu sudah diwariskan padaku, sekarang jadi hak milikku, kan?”
Tono dan Agung mengangguk-angguk. Aku juga.
“Ya sudah, kuberikan padamu. Tolong dirawat, ya?” sorot mata Edi menampakkan rasa iba yang dibuat-buat. Bergegas ia pergi dengan mengendarai motor.
Aku menghirup udara semampuku. Aroma pasar yang basah menyengat, berjejalan masuk memenuhi rongga dadaku. Matahari cukup terik. Tiada tampak lagi penjual dan pembeli berkeliaran. Cuma aku.
Kujejakkan kaki memasuki lapak Emak. Aku menelan ludah. Ini lapak yang digunakan Emak semasa hidup untuk mengais rezeki. Tak hanya untuk memenuhi kebutuhan dirinya, tetapi juga untuk menafkahiku. Kini lapak telah menjadi milikku.
Lapak seisinya adalah wasiat Emak. Harusnya mereka tidak terlalu serakah dan mengabaikan keinginan wanita yang telah memelihara mereka sejak kecil.
Katakan pada anak Emak, harus ada yang jaga lapak itu,
Kulangkahkan kaki perlahan. Dua langkah, empat langkah. Aku berhenti pada titik di sudut lapak dan berjongkok.
Kugali tanah lempung yang becek dengan jemariku kuat-kuat. Keringat membasahi keningku. Nafasku memburu. Sebuah kotak kayu jati teronggok di pojok ruang gelap yang sempit itu. Aku menelan ludah seolah haus sedang mencapit kerongkongan. Mataku perih. Beberapa tetes peluh menyelinap melewati deretan bulu mataku yang tipis.
Tanganku tergetar ketika membuka kotak itu.
Katakan pada anak Emak, harus ada yang jaga lapak itu, karena di sana Emak menyimpan semua warisan untuk mereka.
***
*) Susan Dwi, mahasiswa kelahiran Surabaya 1987, kini tinggal di Surabaya.
Salah satu elemen penting pembentuk budaya perdamaian adalah adanya keadilan sosial. Istilah keadilan sosial di sini tidak terbatas pada tindakan masing-masing individu, tetapi juga mencakup aspek yang lebih luas: predikat sosial atau sistem tatanan sosial dengan tindakan-tindakannya baik secara individu maupun secara institusional. Bagaimana agama mempengaruhi tindakan yang berpengaruh pada keadilan sosial tersebut?
ilustrasi diunduh dari peace from harmony.org
Agama, dengan konsep-konsep di dalamnya, memiliki kemampuan membentuk konsep di benak pengikutnya. Dengan berbagai miniatur persoalan manusia, lambang dan simbol makna identitas manusia, agama masuk dalam alam sadar hingga bawah sadar manusia membentuk konsep untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar manusia. Konsep-konsep berbasis agama tersebut kemudian membangun persepsi para individu terhadap suatu keadaan. Adalah Persepsi yang kemudian menjustifikasi apakah suatu keadaan atau tindakan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak. Ketika persepsi bahwa suatu ketidakadilan telah terjadi, maka persepsi tersebut menyebabkan ketidakpuasan yang kemudian mengarah pada konflik, kerusuhan sipil atau bahkan perang.
Agama atau Religion(s) berasal dari kata riligiare yang berarti “harmoni”, “menyatukan”, “mengikat dalam kebersamaan”, “menjadikan utuh”. Bahasa Sansekerta menyebut “dharma” yang memiliki makna “menyatu dengan semesta” (to bind together as one the whole universe). Agama kemudian ber-evolusi hingga tidak lagi berkutat pada realitas kemanusiaan yang lebih besar dari dirinya sendiri atau persoalan-persoalan jasmaniah. Agama berkembang sebagai pengalaman spiritual, pengalaman mengenai sesuatu “yang suci” atau sesuatu “yang tidak diketahui”. Bagi sebagian orang, agama juga merupakan usaha mencapai kesatuan keteraturan di antara kekacauan (chaos). Agama juga dapat digambarkan sebagai suatu cara sebuah masyarakat melakukan interpretasi atas kehidupan dan membangun standard-standard moral serta perilaku terkait interpretasi tersebut guna memenuhi kebutuhan suatu komunitas. Dari berbagai macam arti dan makna agama tersebut dapat ditarik satu definisi bahwa agama merupakan suatu keyakinan dan praktik-praktik yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat dengan merujuk pada persoalan mendasar umat manusia, pencarian makna, penderitaan dan ketidakadilan; yang kemudian secara khusus merumuskan cara-cara fundamental untuk mengurangi persoalan-persoalan tersebut serta menghadapi kenyataan sembari tetap berupaya memecahkan persoalan mendasar tersebut meskipun ketidakberartian, penderitaan dan ketidakadilan terus berlanjut.
Berbagai konsep agama tersebut berkontribusi pada berbagai variasi “konsep keadilan” dan “persepsi ketidakadilan”. Berbagai macam agama dapat ditemukan di dunia ini. Agama-agama tersebut memiliki perbedaan satu sama lain. Suatu hal yang mendasar bagi satu agama, tidak demikian bagi agama lain. Demikian juga dengan keyakinan pada dewa-dewa atau pada Tuhan, tidak bersifat berterima umum meskipun masing-masing agama sama-sama melakukan peribadatan dan memiliki pemimpin ibadat. Kesamaan dari berbagai agama tersebut barangkali dapat ditemukan pada aspek pengalaman religius dalam beragama. Konsep dan persepsi yang bervariasi tersebut menuntun pada respon yang berbeda-beda dalam menyikapi ketidakadilan yang sama. Hal ini juga yang menempatkan agama sebagai bagian persoalan manusia sekaligus juga sebagai sarana menyelesaikan persoalan manusia.
Persepsi ketidakadilan sebagian besar umat manusia biasanya berkutat pada persoalan:
otoritas (siapa yang berhak mengambil keputusan dan siapa yang harus mengikuti?)
pembagian kerja (siapa yang mengerjakan, apa yang dikerjakan, kapan dan bagaimana pekerjaan itu dikerjakan?)
distribusi sumber daya (bagaimana sumber daya, kesempatan, kewajiban, hukuman, penghargaan, atribut yang mempengaruhi psikologi, ekonomi atau kesejahteraan suatu masyarakat dialokasikan?)
Setiap orang berhadapan dengan persoalan tersebut. Kebutuhan akan keadilan (memenuhi rasa keadilan), membutuhkan koordinasi segenap komponen masyarakat termasuk di dalamnya agama.
Salah satu dampak konsep menyikapi ‘ketidakadilan’ pada suatu keyakinan adalah penindasan terhadap rasa ketidakadilan (pasrah pada ketidakadilan-red). Jika ‘keadilan’ itu bersifat universal, mengapa ada orang yang memilih menerima ketidakadilan daripada menolaknya? Menjawab pertanyaan tersebut, hasil penelitian Barrington Moore menunjukkan bahwa doktrin agama memberi pengaruh kuat pada seseorang untuk menekan rasa ketidakadilan. Beberapa ajaran keyakinan semacam ‘asceticism’, sistem kasta dalam agama dan penerimaan diri sebagai korban, pada intinya menanamkan ‘rasa bangga dan bahagia telah mengalami penderitaan’. Pada kasus tersebut terdapat otoritas moral yang harus diterima dan diyakini para pengikutnya.
Di satu sisi agama mempengaruhi seseorang untuk menerima ketidakadilan dan di sisi lain agama juga menumbuhkan semangat penolakan terhadap ketidakadilan. More menunjukkan bukti-bukti bahwa mereka yang kuat bertahan di kamp konsentrasi Nazi adalah orang-orang yang taat beragama. Demikian juga mereka yang lantang melawan Ferdinan Marcos di Filipina adalah anggota kongregasi Kristen dan Katholik yang taat. Mereka memilih untuk bersiap menerima penderitaan, ditahan atau dibunuh daripada diam menyaksikan ketidakadilan.
Agama dan Ideologi Pembenaran Kekerasan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, agama dapat menekan atau menumbuhkan rasa ketidakadilan pada tataran sadar dan bawah sadar manusia. Agama juga memberi peran penting dalam pendefinisian makna hidup, penderitaan manusia dan cara mengatasi penderitaan itu. Namun, ketika berbicara soal tatanan sosial yang secara sistematis menguntungkan satu pihak dan merugikan banyak pihak lain dan dominasi satu pihak berada pada tataran kesadaran budaya, maka itu masuk pada ranah ideologi.
Ideologi tidak seharusnya dibangun secara negatif. Ideologi tidak seharusnya dilihat pada batas kesadaran semata. Ideologi dibangun untuk memperbaiki masyarakat, untuk mengelola sistem sehingga ide-ide menemui kemapanannya. Dan sebuah ideologi yang sukses adalah yang meresap dalam kesadaran budaya setiap orang tanpa perlu dipertanyakan lagi. Banyak orang tidak menyadari bahwa keberadaan mereka dibawah kendali ideologi. Kurangnya kesadaran ini membuat orang sulit untuk diajak bicara secara terbuka atau untuk mengubah perilaku mereka. Untuk membangun budaya perdamaian yang positif dibutuhkan peningkatan kesadaran tidak hanya pada soal ideologi. Perdamaian positif berbeda dengan perdamaian negatif. Perdamaian negatif bercirikan lingkungan yang aman -jauh dari peperangan-, namun budaya kekerasan secara verbal dan struktural masih mendominasi. Perdamaian positif tidak sekedar jauh dari peperangan, tetapi juga bercirikan adanya sistem sosial, ekonomi, politik dan budaya yang menempatkan dan memperlakukan manusia secara adil serta humanis dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Untuk membangun perdamaian yang positif, maka para pemimpin agama dan pengikutnya dapat berkontribusi dengan:
Mengakui bahwa keadilan sosial merupakan hal mendasar pembentuk budaya perdamaian;
Mengakui bahwa agama turut bertanggung jawab terhadap keadilan sosial terkait dengan perannya mengajar dan membentuk standard-standard keadilan sosial. Hal ini termasuk juga menghormati keadilan sosial sesuai dengan kesepakatan internasional terkait dengan hak-hak asasi manusia;
Mengakui bahwa kelompok beragama, baik secara sadar atau tidak sadar turut serta menciptakan ketidakadilan sosial, mencederai perdamaian dengan mendiamkan terjadinya praktik-praktik dan kebijakan yang tidak adil di manapun mereka berada;
Berani melakukan uji keyakinan, ide-ide, ajaran dan praktik beragama dengan selalu melakukan konfirmasi apakah hal-hal tersebut memperkuat keadilan sosial dan perdamaian atau malah kontraproduktif terhadapnya;
Turut serta membangun harga diri, rasa percaya diri, disiplin dan membangun kesadaran rasa solidaritas sebagai sebuah komunitas yang berkepentingan terhadap keadilan sosial dan perdamaian. Selain itu juga menumbuhkan kepekaan akan ketidakadilan, menolak kekerasan dan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang terlatih dalam membangun kepekaan sosial dengan dukungan iman dan keyakinan mereka, dapat dipercaya mampu membangun perdamaian yang positif;
Bersedia merangkul para korban ketidakadilan;
Bekerja sama dengan para penganut keyakinan atau agama lain untuk tidak membenarkan ketidakadilan dan kekerasan. Kerja sama dapat dilakukan mulai dari mengeluarkan pernyataan, memberi bantuan baik secara fisik maupun moral, memposisikan diri sebagai penjaga penyelesaian masalah tanpa kekerasan, serta menempatkan diri sebagai mediator dalam mencapai perdamaian;
Para pengikut agama dan keyakinan membiasakan diri untuk tidak memberikan dukungan baik fisik maupun moral terhadap tindakan kekerasan, pelestarian sistem yang tidak adil dan lebih mengutamakan perdamaian.
Naskah sumber: The Significance of Religions for Sosial Justice and a Culture of Peace by Patricia M. Mische.
Ilustrasi dari blogspot.com
1.
Setiap langkahmu adalah jarak,
menjauh dari kenangan yang rapuh,
meninggalkan luka di setiap jejak.
2.
Harapanmu merimbun jadi sepiku,
mekar liar di ufuk fajar,
rubuh luruh di kaki subuh.
3.
Tentang rasa yang tak pernah kautahu,
serupa labirin di ruang kosong,
berkelindan di kekal ketidakpastian.
4.
Tanpamu,
setiap kata adalah perjumpaan kekalahan demi kekalahan,
pelan menuntunku menuju kekalahan selanjutnya,
hingga entah.
Kutiup Malam
Bila namamu tak mampu lagi kusebut,
Kutiup malam,
Biar tenggelam dalam hitam.
Pejalan
Seorang pejalan, bercerita segala sesuatu yang ditemu di jalan. Tentang pohon, tentang kayu, tentang tanah, tentang batu. Tentang yang lekat, tentang yang luruh, tentang igau atau denyut semak perdu. Angin barangkali diam, tetapi sunyi seringkali lebih lolong dari pecahan hati.
Kaki goyah harus tetap kokoh menopang dada -tempat kenangan bersemayam-, juga benak -tempat resah berlabuh dan hiruk pikir berkecamuk-.
Tidak banyak hal dapat dibawa dalam kantung nasib. Lorong panjang kadang bercecabang. Cukupkan bekal untuk esok sehari. Sebab lusa, -mungkin datang, mungkin juga tidak-.
Hari adalah hitungan rasa bosan. Dan waktu telah menjelma pemburu. Mata lintang pukang mencoba untuk tidak tertipu fatamorgana. Telinga sedikit berkarat. Banyak suara tetapi tidak banyak lagi yang didengar selain isak dan tangis. Selebihnya air mata yang berbicara. Mulut sesekali tersenyum pada siapa saja yang kebetulan berpapasan. Sepotong firman terlipat rapi di tepi jalan.
Setiap pejalan akan berpapasan, dan juga kembali sendirian. Setiap kota adalah rumah. Setiap cinta adalah dermaga. Dan kabut adalah pengingat kerinduan tempat doa-doa dikabulkan.
Senja dan kicau burung, liuk padu batang padi adalah penghibur harap yang terbunuh beribu kali. Angan yang terbang ke pelukan entah, tak jarang pecah mengalir bersama getir.
Seseorang mencari seorang yang lain. Mereka yang kalah tertidur dalam lelah. Dan malam menjadi semakin sepi. Pejalan hidup tidak untuk berhenti.
Tanpa diketahui oleh Susanti, Muslimin sengaja diundang orangtuanya datang berdiskusi ke rumah.
“Syukurlah tadi Susanti pergi agak cepat ke rumah kawannya, sehingga kedatanganmu sesuai dengan rencana kita. Supaya jangan diketahui Susanti.”
Ibu persilahkan Muslimin duduk di ruang tamu. Sedangkan ayah masih pakai baju kantor ikut duduk bergabung di ruang tamu. Muslimin tampak bingung seolah dia duduk sebagai terdakwa di hadapan dua hakim yang siap memberi vonis. Ada salah apa aku, kok sengaja diundang mereka, pikir Muslimin. Tapi, sampai lelah Muslimin berpikir, dia tak menemukan jawaban atas pertanyaan besar yang ada di kepalanya. Apa lagi kedua hakim pengadilan itu kelihatan tegang menghadap terdakwa. Muslimin sudah menyediakan jawaban seandainya timbul perkataan menghujat:Jangan lagi dekati anakku!
Ah, bukan aku yang getol menjemput Susanti. Dia sendiri yang minta saya jemput setiap hari. Kalau ayah ibu keberatan saya menjemput anak ibu, mulai besok saya tak akan jemput. Muslimin keringat dingin duduk di hadapan para hakim.
“Begini ya.. Muslimin, kami tahu bahwa Susanti cukup cerdas dalam perkuliahan. Kecerdasannya juga diketahui oleh Om-nya yang ada di Trieste. Minggu lalu Om-nya kirim kabar ke kami. Kalau bisa Susanti pada akhir tahun kuliahnya bisa pindah ke Trieste. Dia bisa kerja di perusahaan Om-nya sambil kuliah. Sebuah jabatan penting akan dilimpahkan kepadanya. Jadi, kami harapkan pada akhir semester ini Susanti sudah berada di Trieste. Lagi pula, kalau Susanti berada di Trieste dengan kesibukannya setiap hari, lama kelamaan trauma ditinggal mati Mikail Pratama berangsur angsur hilang dari ingatannya. Kami sudah menganggap kamu adalah anak sendiri. Bagaimana pendapat kamu?” Ibu mempersilahkan Muslimin bicara.
Betapa bangganya Muslimin dianggap sebagai anak sendiri oleh sebuah keluarga kaya raya. Tak pernah terbayangkan olehnya status setinggi itu. Dianggap sebagai anak kandung sebuah keluarga kaya raya.
“Ah, bagi saya tentulah pindah ke Trieste lebih menjanjikan masa depan yang cerah.”
Sebenarnya ada juga kesedihan di hati Muslimin seandainya berpisah dengan Susanti. Tidak bisa lagi tertawa-tawa di atas motor, pergi ke Monza dan ngobrol asyik di FDP.
“Berarti kita sependapat. Kami pikir kamu tidak setuju Susanti ke Trieste karena fungsinya di FDP cukup menentukan. FDP itu kan hanya sebuah kegiatan sambilan sebelum menyelesaikan perkuliahan.”
Kali ini Muslimin suntuk. Kurang ajar! Apa program FDP itu tidak bisa menjadi sebuah pekerjaan profesionil yang terus menerus menuntut peningkatan kapasitas individual demi untuk memperjuangkan rakyat, Kurang ajar!! Pikirannya berkata begitu tapi mulut Muslimin mengucapkan,” Memang benar yang ibu bilang.” Lantas ayah bicara memecahkan kesunyian, “Bahkan saya takut gara-gara FDP kuliahnya jadi terganggu.”
Suasana kembali hening, masing-masing merenung dengan pikirannya masing-masing. “Kami harap kamu bisa bantu kami membujuk Susanti untuk menerima tawaran Om-nya pindah ke Trieste”. Tersentak Muslimin mendengar kalimat itu. “Iyalah..Bu saya usahakan,” jawabnya kemudian, sementara hatinya berontak : Akan kuhasut Susanti untuk tidak pindah ke Trieste. Betapa sunyinya hidup ini tanpa Susanti.
Setelah meneguk kopi yang sudah sedikit lagi, Muslimin berdiri. Ayah ibu juga berdiri. Ditepuk ayah pundak Muslimin sambil berkata, “Kenapa tak pernah lagi menulis di Koran? Saya senang sekali membaca tulisan kamu di koran.”
Kembali lagi Muslimin kelabakan memberi respon. Inilah dosa DR Pardomuan, saya dituntut pembaca koran untuk terus-menerus menulis. Semua orang tak tahu namanya saja opini Muslimin padahal itu adalah buah tulis DR Pardomuan. Dalam kesesakan jiwa, Muslimin masih sempat bicara, “Sebenarnya banyak buah pikir saya yang ingin dikirim ke koran. Tapi, karena kesibukan kuliah, saya tak sempat menulis.” Mampuslah kedua orang tua kaya raya ini, mereka pasrah kena tipu oleh mulut anak petani miskin. Hua…ha..dalam kemenangan ditinggalkannya rumah Susanti.
Ternyata kewajiban menjadi tukang ojek belum berakhir. Bersama Susanti acara-acara yang menyegarkan tetap saja dapat dilaksanakan dengan baik. Bahkan, beberapa acara yang membutuhkan saling keterbukaan yang semakin mendalam dapat mereka ciptakan. Minum es campur tempat yang tak pernah sepi dari kerumunan mahasiswa adalah tempat ngobrol panjang Muslimin dan Susanti mempererat perkawanan mereka.
“Mungkin sudah mulai ada getar cinta antar Muslimin dan Susanti, ya…,” kata Dirga Belanta sambil masukan kertas ke mesin tik. Arman, Ucok, Ningsih yang sedang di sekretariat tak ada yang memberi komentar. Dewi Lyana saja yang berani memberi respon, “Yah,..aku setuju saja seandainya mereka pacaran.”
Kemudian DR Pardomuan dating. “Mana Susanti? Kenapa dia belum juga susun jadwal ke lapangan?” DR Pardomuan menuju ruangannya. Baru sebentar berada di ruang kerja, dipanggilnya Dewi Lyana. “Uang akomodasi dan transportasi si Armand dan Ucok sudah diberikan. Apa Dirga Belanta sudah baca semua pedoman kelapangan? Tiap akhir refleksi bulanan saya akan wawancarai kalian berdua.” DR Pardomuan sudah full bekerja di sekretariat. Sedangkan Muslimin baru saja keluar dari sekretariat menyeberangi jalan menuju ruang meditasi samping rumah DR Pardomuan. Ke tempat monumental sejarah lahirnya FDP. Muslimin mau latihan meditasi karena belakangan ini banyak persoalan keluarga yang menimpa dirinya.
Iklim sekretariat FDP sedang berusaha menyesuaikan diri dalam suasana baru tanpa Tigor dan Mikail Pratama.
Syukurlah yang terjadi di FDP adalah maju dengan langkah harmonis. Walaupun mendapat tantangan yang berat dari keluarga, Susanti dapat mengerjakan tugas koordinator 3 wilayah kerja. Kemajuan interaksi antar FDP melalui Armand, Ucok dan Dirga bersama komunitas masyarakat petani mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. DR Pardomuan cukup berhasil dalam menjalin jaringan kerja dengan sesama LSM Rilmafrid. Sekaligus konsep dialog dalam menghadapi kemapanan konsep pemerintah yang sangat konvensionil, berhasil diterbitkan DR Pardomuan atas bantuan komunikasi dengan DR Tumpak Parningotan dan Mukurata.
Minggu lalu diadakan pelatihan Penyadaran Hukum dan Non Litigasi, ketiga kelompok petani bergabung di Wisma Dimalana. Latihan makan waktu sampai seminggu sangatlah melelahkan peserta. Walaupun uang transpor, akomodasi dan uang pengganti kerja mereka diberikan oleh FDP, tapi pada hari kelima, sudah mulai banyak petani yang bolos tidak mengikuti session. Mereka justru berkumpul dikedai tuak.
“Mari Pak,…kita kembali ke ruangan, sesion sudah dimulai,” kata Arman.
“Ah !! biarkan saja mereka di sini, mereka masih sangat asing dengan pulpen, buku tulis dan mendengar kotbah.” Tigor tidak setuju terhadap Arman yang menghimbau petani untuk tertib mengikuti acara pelatihan. Para petani sangat setuju dengan pendapat Tigor. Setelah Arman pergi, Tigor masih duduk bersama petani.
“Kalau terus menerus belajar seperti ini kapan kita berontak kepada pemerintah yang seenaknya menaikan harga pupuk,” kata Pak Regar.
“Ah, benar juga.” Kata Tigor yang merasa sependapat dengan Pak Regar. “Okelah, nanti setelah pelatihan ini kita kumpul lagi membicarakan rencana aksi. SETUJU?!! Tigor ancungkan genggam tanganya. Serentak peserta pelatihan yang ada di kedai tuak menjawab: SETUJU !!” Tak berapa lama kemudian secara bergilir mereka tinggalkan kedai tuak masuk ke ruang pelatihan dengan semangat yang baru. Semangat yang tidak diketahui oleh kawan-kawan lainnya. Semangat memberontak pemerintah sesuai dengan gagasan Tigor.
Di dalam ruangan dalam perasaan jenuh jengkel dan mungkin jijik, mereka masih sempat senyum-senyum sambil mengangguk-anggukan kepala seolah mengerti dan setuju atas segala ucapan yang disampaikan oleh nara sumber. Lapar tak bisa ditunda, pemerintah sudah keterlaluan maka tekad memberontak semakin membatu. Sudah semakin tak sabar berada dalam ruang pelatihan. Wajah Tigor juga tegang dan geram melihat pelatihan yang terlalu lama menyiksa bathin petani.
Sekretariat FDP heboh sehabis pelatihan. Mikail yang paling panik melengkapi proses pelatihan untuk laporan ke lembaga dana. Tigor juga sarat dengan bertumpuk buku memberikan analisanya tentang kondisi peserta, materi session, proyeksi pelatihan maupun mencari metodologi pelatihan yang lebih tepat lagi. Tapi, karena kerja seperti ini adalah kegemaran Tigor, maka dia asyik saja sepanjang hari sampai larut malam mengerjakannya. Mesin tik sudah tersedia di kamarnya di rumah Pak Guntar desa Kembang Bondar. Sambil mengetik, kepalanya heboh memikirkan langkah-langkah melakukan aksi ke ibukota Rilmafrid. Aksi kali ini harus besar-besaran. Harus mengikutsertakan elemen masyarakat yang lain. Mahasiswa, tukang becak, buruh bangunan dan buruh pabrik dan lain lain harus ikut terlibat dalam aksi kali ini. Dan, dia tak butuh kawan-kawan FDP ikut serta membantu dia mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan aksi besar besaran ini.'”Aku akan kerjakan sendiri semuanya.” Ditinjunya meja kerjanya dengan ganas.
Dengan motor dinasnya, Tigor bolak balik dari desa ke kota. Karena memang ini pekerjaan yang menarik buatnya, maka dengan gampang saja dia berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan buruh, mahasiswa maupun para tukang becak dekat kantor DPR. Kabar angin mengenai kerjaan pribadi dari belakang layar yang dilakukan Tigor sudah terdengar juga oleh warga FDP. Tapi, Tigor selalu mengelak kalau diintrograsi oleh kawan-kawan FDP. Pokoknya Tigor dinilai semakin misterius. Sangat sulit dipahami oleh orang lain. Dan, anggota kelompok petani yang berada di kedai tuak waktu pelatihan yang lalu juga konsisten membantu segala usaha aksi yang mereka rencanakan bersama. Segalanya dirahasiakan mereka dengan ketat.
Rasa penasaran warga FDP sudah sampai puncaknya. DR Pardomuan sengaja memanggil Tigor ke sekretariat untuk menceritakan segala hal yang sedang dirancangnya. Menerangkan rancangan kerjanya di luar program yang sudah digariskan. Sore itu seluruh staf FDP sudah kumpul.
“Selamat sore. Dalam 2 minggu belakangan ini seluruh pelaksana program FDP bingung memperhatikan kegiatan-kegiatan Tigor yang sangat heboh mundar mandir dari desa ke kota. Di kota juga Tigor tidak ke sekretariat. Tigor sering kelihatan ngobrol dengan tukang becak, buruh dan komunitas-komunitas di luar kelompok sasaran program. Yang tidak ada kaitannya dengan program yang telah kita susun. Dan semua pertanyaan staf tentang hal ini di respon Tigor acuh tak acuh. Oleh sebab itu saya sebagai penangung jawab program dituntut oleh kawan-kawan untuk mengundang Tigor memaparkan maksud dan tujuan Tigor dalam menjalin kontak dengan berbagai komunitas tersebut. Kami persilahkan Tigor untuk angkat bicara.”
Tigor tampak gelagapan. Dia tak menyangka bahwa undangan rapat kali ini adalah untuk mengintrograsi dirinya. Dengan agak terbata-bata Tigor angkat bicara: “Tidak ada yang prinsip. Saya merasa bahwa masih banyak waktu luang saya setelah jalankan program. Nah, dari pada waktu terbuang sia-sia, saya coba mengenal kehidupan komunitas-komunitas miskin perkotaan. Siapa tahu saya bisa memproduksi sebuah buku dari hasil interaksi saya dengan komunitas miskin kota. Hanya itu maksud saya. Jadi kawan kawan tak usah curiga.”
Tigor kemudian diam dan kondisi pertemuan sore ini sunyi senyap beberapa saat.
“Tapi, dari sumber yang dipercaya aku dengar informasi bahwa Tigor akan melakukan pemberontakan besar-besaran. Aku bingung mendengar istilah pemberontakan besar-besaran,” Mikail buka bicara. Dari nada suaranya kelihatan tidak ada maksud Mikail memojokan Tigor. Tapi, Tigor merasa dirinya dipojokkan.
“Ah !! tidak ada itu! Aku hanya terangkan tentang bentuk-bentuk perubahan sosial seperti yang disampaikan oleh Pendeta DR Tumpak Parningotan. Mereka saja yang menggantikan istilah itu dengan kata pemberontakan.” Dengan nada suara yang agak tinggi Tigor menjawab pertanyaan Mikail.
“Yah,… terlepas dari pertanyan Mikail, saya melihat memang belum saatnya kita melakukan aksi besar-besaran. Sejarah telah membuktikan bahwa gerakan sosial yang tidak rapi pasti mengalami kegagalan. Kekuatan status sosial yang dilindungi oleh militer dengan anggaran dana yang berkelimpahan pasti dengan mudah mematahkan semangat perjuangan kita. Makanya kalau ada rencana aksi. Yah,.. marilah kita bicarakan bersama sama di FDP. Jangan main sendiri.” DR Pardomuan memang sudah jengkel melihat Tigor yang paling sulit diaturnya. Tigor tidak macam Muslimin yang patuh bekerja sesuai dengan aturan yang sudah ditetapkan.
Pertemuan ditutup jam 8 malam. Seluruh warga FDP berinteraksi seperti apa yang selama ini terjadi. Ketawa saling olok antar Ucok dan Arman. Muslimin yang lugu melawak membuat suasana cerah ceria. Hanya Tigor yang diam seribu bahasa tunduk kepala dan tak mau ikut tertawa bersama kawan kawannya.
“Malam ini kau tidur di rumah ya..Gor. Ada film ‘The Man With The Golden Gun’, Film James Bond. Bintang kesayanganmu Roger More main lagi di bioskop Mayestik tengah malam,” kata Mikail yang baru kembali dari mengantar Susanti pacarnya. Supaya kau jangan stres Hua..ha..ha..,” kata Mikail bersahabat. Tapi, Tigor tampak tegang diam seribu bahasa. Kemudian,” Sudahlah Mikail, aku sedang tulis opini yang belum siap di rumah Pak Regar. Besok saja kita nonton.”
“Oh..ya Gor, mana tulisanmu? Ini tulisanku, Kita kan sudah janji setiap minggu tukar menukar tulisan,” kata Ucok. “Maaf Cok, aku tak ada tulisan minggu lalu. Tapi dalam minggu ini aku akan setor 2 tulisan,” kata Tigor dengan sikap dingin tak bergairah. Kemudian Ningsih datang: “Bang Tigor kwitansi untuk transportasi kelompok tani Kembang Bondar belum komplit, Kapan aku terima?” Tigor jadi panik: “Dua hari lagi kuantar ya..Ningsih.” Semua pihak tampak ingin menghibur hati Tigor yang sedang suntuk sehabis pertemuan. Tapi, Tigor tidak terhibur. Dia masuk ke rumah utama menjumpai DR Pardomuan mau pamit lebih dulu. “Hati hati di jalan Tigor, sekarang dekat jembatan ke Kembang Bondar semakin sering perampokan.” DR Pardomuan memang selalu memberikan perhatian yang besar kepada seluruh warga FDP. Ibu dan Arben Rizaldi juga merasakan ketegangan dalam tubuh FDP. Mereka juga bingung menganalisa kondisi FDP.
“Bu… ada apa ya… Kok kegembiraan mereka tidak seperti biasanya,” Arben membuka komentar.
“Itulah kau, gara gara film sinetron kita tak mendengar isi pertemuan mereka,” Ibu jadi kesal mendengar komentar Arben.
“Sekarang tak dibutuhkan peran para akademisi dari perguruan tinggi dalam perubahan sosial. Mereka itu kaki tangan imperialisme,” Tigor menyatakan sikapnya, sepulang nonton film Midnigt Express. Tapi Mikail diam saja. Usahanya menyadarkan Tigor agar jangan selalu melihat permasalahan melalui pendekatan ideologis, tak pernah diperhatikan Tigor. Seolah badan Tigor saja yang ada dalam bioskop, sementara kepalanya melayang jauh membayangkan rencananya. Rencana terselubung yang dinilai oleh warga FDP sangat misterius. Tigor tidak lagi memahami film Midnight express yang bercerita tentang percintaan dua remaja yang pupus karena sang jantan dituduh bawa narkoba. Lantas dimasukan ke dalam penjara. Permainan kedua aktor muda tersebut sangat memukau. Oleh sebab itu, film Midnight Express telah menerima Piala Oscar. Sangat layak didiskusikan. Tapi, diskusi yang selama ini mereka lakukan sudah tak sesegar dulu lagi. Tigor menuduh Mikail adalah menusia yang mempertahankan status kelas borjuasinya.
Cerita Bersambung Martin Siregar Bagian 9 Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcomWaktu berjalan terus. Tak ada seorang pun manusia yang mampu menghentikan lajunya perjalanan waktu. Dan, waktu yang telah berlalu tak bisa terulang kembali. Pertemuan sore hari di rumah Susanti memberikan kemampuan Tigor dan Mikail merefleksikan persahabatan mereka. Keduanya merasa perlu mengembalikan kondisi persahabatan mereka seperti sedia kala. Tetap dengan intensitas perjumpaan yang padat sambil mengulas persoalan-persoalan filosofi untuk melengkapi kerangka berpikir konstruktif struktural. “Belakangan ini aku sudah tak pernah lagi membaca buku dan menulis opini.” Tigor menyesali hari-harinya yang terbuang dengan sia-sia.
“Aku juga sering berangan-angan belakangan ini. Mengerjakan apa saja pun aku malas,” kata Mikail. “Okelah,.. besok kujemput kau pulang kuliah. Mari kita jalan terus sampai larut malam, mengulang apa yang selama ini kita lakukan.”
Jalan bersama sampai larut malam, nonton bioskop, Tigor nginap di rumah Mikail ngobrol panjang tentang banyak hal, membuat kehangatan persahabatan mereka kembali lagi bersemi. Ibu Mikail senang sekali melihat Tigor kembali lagi sering nginap di rumah mereka. “Kemana selama ini Gor,” Ibu menyapanya. “Ingatkan Mikail supaya tetap serius menyelesaikan kuliahnya. Ibu takut penyakit lama Mikail kambuh lagi dan kuliahnya berantakan.”
“Iya,..Bu.” Tigor sudah merasa ibunya Mikail adalah ibunya juga. Karena perhatian keluarga Mikail kepada Tigor tak ada bedanya dengan ibunya sendiri. Mau mandi, mau makan atau mau tidur di kamar Mikail seenaknya saja Tigor kerjakan. Sudah macam rumah sendiri.
Acara makan pisang goreng di rumah Susanti pun rutin diselenggarakan, serta sikap Mikail menunjukan usaha-usaha mengisi suasana percintaannya bersama Susanti. Persahabatan tiga serangkai bersemi lagi.
***
Ucok ditugaskan FDP untuk mengirim proporsal ke Sabidoar Foundation. Armand dapat tugas menyusun daftar kebutuhan sekretariat dan mekanisme internal kelembagaan bersama Ucok dan Ningsih. DR Pardomuan mengurus badan hukum FDP sekaligus membuka nomor rekening Yayasan FDP. Agar (seandainya) Memorandum of Understanding bulan Juni mendatang jadi ditandatangani, persiapan institusionil FDP sudah mantap. Karena melihat latar belakang perkenalan FDP dengan Sabidaor Foundation adalah kontak person bersama direktur pelaksana Sabidaor, lantas membangun hubungan emosionil melihat kunjungan Mukurata yang terus menjalin kontak respondensinya, maka peluang FDP mendapat dukungan dana dari Sabidaor tidak diragukan lagi. Seluruh warga FDP tidak terlalu khawatir proporsal mereka ditolak oleh Sabidaor Foudation.
***
Dua bulan lagi Anita Theresia dibaptis menjadi suster, setelah 3 tahun berdiam di biara Katolik Tantangun. Tapi, perasaannya sangat gundah gulana. Perkenalannya 6 bulan yang lalu dengan pemuda Johan Niskeno kaya raya pejabat pemerintahan Trieste mengguncangkan sikapnya yang ingin mengabdikan diri seumur hidup untuk gereja katolik. Kegigihan Johan tak mengenal kata mundur sambil terus menunjukan perhatiannya yang sungguh mempersunting Anita, ternyata berhasil meluluhlantakkan hati Anita. Pada akhirnya, Anita lebih memilih menjadi istri Johan Niskeno dari pada bertahan hidup di biara. Semua pihak terpukul dan marah terhadap komitmen Anita yang goyah gara-gara Johan. Sempat juga keluarganya berhasrat membatalkan maksud perkawinannya. Tapi, berkat usaha keluarga Johan Niskeno melakukan pendekatan kekeluargaan akhirnya perkawinan mereka dibaptis di gereja kristen protestan.
Hidup gemerlapan sebagai istri Johan Niskeno yang hidup mewah, sangat berbanding terbalik dengan kehidupan biara — tidaklah membuat Anita Theresia lupa daratan —-. Karakter yang dibangun selama berada dibiara tetap dipeliharanya sampai saat sekarang ini. Hanya Mikail Pratama anaknya yang butuh perhatian khusus . Sedangkan ketiga anaknya Rini Anggelina, Yayuk Astuti dan Jimmi Rocky, sudah dapat berjalan dengan baik tanpa kontrol yang ketat dari beliau. Dan, walaupun sekarang sudah beragama kristen protestan, tapi ibu Mikail masih tetap melakukan meditasi katolik yang diajarkan di biara. Beliau sangat takut kehilangan hati nurani akibat kondisi ekonomi keluarganya yang berkelimpahan. Cinta yang tulus kepada sesama umat manusia juga dirasakan Tigor bekas anak brandalan itu: Tigor, kalau uang kiriman dari kampung belum datang dan kalau perlu uang minta sama ibu ya… Tak usah malu malu. Ibu sudah menganggap dirimu adalah anak sendiri,” Ibu berkata lembut kepada Tigor. “Iya..bu” Tigor juga sangat mengasihi ibu Mikail. Beberapa saat kemudian. “Sebenarnya ibu khawatir kalau saja dana program yang didukung Sabidaor jadi dilaksanakan. Ibu khawatir kuliah kalian jadi teganggu.” Ibu nampak cemas mendengar rencana kerja FDP.
Kalau istri DR Pardomuan dan Arben Rizaldi hanya tahu mengejek kegiatan ayahnya bersama FDP, tapi ibu Mikail memonitor segala jenis kegiatan anaknya dengan baik. Seluruh perkembangan kegiatan anaknya dipahaminya secara mendalam. “Tidak…tidak usah ibu kawatir.” Justru program kerja yang dibangun oleh FDP akan mendukung perkuliahan kami. Bahkan akan memberi kami nilai plus karena di saat kawan-kawan masih belajar teori kemasyarakatan, kami sudah mempraktekannya.” Mikail memberi argumentasi menolak pendapat ibunya. “Yah,…semoga sajalah.” Ibu lebih banyak melihat sejarah orang yang bekerja di masyarakat, sementara kalian masih ingin membuat sejarah. Percayalah terhadap ucapan ibu.” Kemudian ibu pergi kekamar meninggalkan Mikail dan Tigor makan malam. “Selamat malam,” kata ibu yang kelihatan susah.
“Aku pikir ucapan Ibu tadi perlu kita renungkan dengan serius. Nampaknya dia tidak main main.” Kondisi Tigor agak tegang waktu masuk ke kamar Mikail.
“Ah! Tak usah terlalu kau pikirkan. Ibu itu kayak post power sindrom, apa yang ingin dilakukannya pada masa muda gagal semua. Mungkin akibat perkawinan dengan ayah. Mana mungkin mimpi calon seorang suster dapat terfasilitasi dalam kehidupan berumah tangga,” Mikail mencoba menganalisa sejarah hidup ibu. “Nah! Justru karena itu aku yakin analisanya tak meleset.”
Mikail pikir, beban Tigor merenungkan kata-kata ibu semakin berkurang setelah Mikail menjelaskan latar belakang ibu. Ternyata Tigor semakin percaya sama ucapan ibu.
“Mikail aku berharap skripsi sarjanaku judulnya ‘Gerakan Petani dalam Konteks Kekuatan Hukum di Trieste’. Walapun kita bikin skripsi 2 tahun lagi, tapi aku punya komitmen untuk tulis skripsi dari program FDP,” kata Tigor sambil berbaring menarik bantal. Rokok dihisapnya kuat-kuat dan, “Kapan lagi perguruan tinggi memaparkan aspirasi masyarakat kelas bawah secara orisinil dan ilmiah”.
Mikail terperanjat, dia tak sangka bahwa renungan Tigor sudah sedalam itu. “Aku dukung pikiranmu, Gor,” Mikail bersemangat. “Iya…bulan Juli mendatang aku tidak tidur di kamar kost lagi. Aku akan tidur di rumah kelompok tani yang menjalankan program kita.” Kembali lagi Mikail terkejut, “Jadi, kau tak kuliah? Nanti tak bisa ujian.” Mikail semakin khawatir membayangkan keberadaan kawannya Tigor. Sudah jenuh sekali rupanya Tigor dengan kondisi kampus. Padahal, status seorang mahasiswa sangat terhormat di tengah-tengah masyarakat Trieste. Sebuah status yang disejajarkan dengan masyarakat lapis atas. Mahasiswa adalah kaum elite di masyarakat.
“Aku hanya titip absen saja sama kawan-kawan. Karena masuk perkuliahan itu tak ada ilmunya. Lebih baik kita baca buku wajibnya di rumah. Kemudian kita singkatkan buku itu, agar intisari bukunya dapat kita pahami. Masukan dari dosen ketika kuliah sama sekali tak ada. Jadi, percuma saja kuliah isi absen.” Tigor tarik lagi rokok kreteknya sekuat tenaga. Mikail terdiam tak bisa bilang apa-apa.
“Gor,.. Melihat kedekatanmu dengan keluarga kami, maka layaklah kami turut bertanggung jawab atas perkuliahanmu di hadapan keluargamu di Pangkoper. Apa yang kami bilang ke keluargamu kalau kuliahmu gagal?”
Mikail kelihatan panik memperhatikan Tigor yang seenaknya baring sambil tetap merokok.”Tak usah khawatir, aku akan langsung sampaikan maksudku ini ke kakak Rosita Dameria. Aku yakin dengan gampang keluargaku bisa mengerti,” kata Tigor dengan tenangnya.
“Justru aku tak tahu bagaimana cara menyampaikan hal ini ke ibumu. Dia bukan basa basi mengasihi aku. Kau dibelikannya kaos t-shirt yang cantik, aku juga dapat. Kita dua sudah tak dibedakannya. Aku takut mengecewakan beliau.” Tigor buka bajunya, diambilnya celana pendek Mikail dan dinyalakannya rokok untuk kesekian kalinya. Lantas keduanya terdiam. Sebuah persoalan besar mendominasi pikiran mereka.
Biasanya mereka menghabiskan malam bersama suara tape yang tiada henti. Tapi malam ini situasi diskusi cukup serius, seolah musik tidak boleh terdengar. “Okelah..Gor, aku tidur duluan.” Mikail peluk bantal guling dan melapis tubuhnya dengan selimut tipis membiarkan Tigor berbaring dengan isapan rokok kretek. Rokok para dukun kata kawan-kawan mereka.