Arsip Kategori: Cerbung

Wanita Itu Bernama Marida #11 -Tamat-

Cerbung Willy Wonga

Leo menciumku. Gemuruh tepuk tangan segera bergeletar. Bening meluap dari mataku yang tak mampu terbendung, dan sekali lagi aku berpaku tatap pada wanita itu.

“Demikian kalian bukan lagi dua…,” sabda sang pastor terdengar mengambang di udara yang kering. Seronok kembang mawar di pintu membubungkan asa akan warna-warni cerlang-cemerlang setelah ini. Warna-warni hidup. Sekilas kulempar tatap pada wajah-wajah menatap. Ada gelisah terbalut senyum pun ada bahagia tersiram air mata.

Wanita itu duduk di barisan depan, di samping lelaki berambut uban tipis-tipis. Si suami terkasih. Sepuluh tahun terasa cepat beranjak, tak terasa tiba di hari ini. Hari tatkala kuganti dengkiku dengan cinta berlumur terima kasih. Air mata yang mulai menitik kini menghapus semua luka lama, sebersih gaun pengantin yang pernah dikenakan pada wanita itu.

marida sayangSepuluh tahun masa perangku. Aku pernah mengutuk dokter yang mencetuskan vonis atas penyakitku. Sebab, tanpa dia tahu, tanpa Andre tahu, dan hanya aku bersama wanita itu yang mengerti akan perasaan terguncang mendengarnya. Marida membantah Andre dan menjejal benakku dengan kata-kata:

“Percaya padaku. Aku juga dokter, dan kamu tidak sakit sayang. Itu adalah reaksi yang wajar…reaksi yang wajar…”

“Kamu tidak mengalami kelainan seperti anggapanmu,” atau;

“Kau wanita normal, sayang.”

Sungguh aku minta maaf pada wanita itu melalui senyumku. Semoga dia paham. Pasti hari-harinya telah amat melelahkan, setelah ditafik kehadirannya di rumah oleh anak tiri pengidap electra complex. Kemudian mengembalikan rasa percaya diriku akan cinta seorang ayah yang diam-diam tengah berjuang menyembuhkan penyakit anaknya.

Aku tak pernah tahu selama masa itu. Bahwa pada usia enam belas tahun hingga awal dua puluh satu tahun aku mengidap penyakit itu. Kata dokter itu fakta yang langka, fakta yang timbul akibat kehilangan seorang ibu. Kasus yang tidak sering terjadi.

Dan Andre, mengelabui penyakitku dengan sering tidak di rumah. Sementara waktu itu aku tahu dia sering kencan dengan para wanita cantik. Memang demikian kenyataannya, namun dia telah akui perbuatannya. Bahwa dia kesepian, bahwa sebenarnya dia sangat mencintaiku lebih dari apapun di dunia serta ingin menyembuhkan putri tercintanya.

Akhh…

Leo menciumku. Gemuruh tepuk tangan segera bergeletar. Bening meluap dari mataku yang tak mampu terbendung, dan sekali lagi aku berpaku tatap pada wanita itu. Dia tersenyum, mengingatkan akan senyum yang pernah ditulus-tuluskan. Namun kini senyum itu begitu menyejukan.

“Biarkan aku menggantikan Yohana,” kalimat yang pernah terlepas dari bibir mahaindahnya yang tak pernah rusak. Dulu dia tak pantas menyebut nama milik wanita berhati malaikat. Sekarang aku nobatkan dia setara dengannya. Mereka sungguh berhati malaikat.

Sepuluh tahun penuh perjuangan mestinya terbayar sekarang. Sekiranya terbayar dua tahun terakhir ini. Bagaimanapun aku angkat jempol buat wanita seperti dia. Marida adalah pohon belimbing di samping rumah. Semakin dipangkas dia makin bertunas, tidak lelah, tidak pula jemu merindangi. Sebaliknya aku adalah mawar di tanah tandus. Sejak Bundaku tercinta, Yohana tercerabut dari muka bumi dan Andre lupa menyirami, aku kerdil dan layu hampir sekarat.

Sempat dia angkat tangan, mengaku kalah. Namun berdiri lagi, hingga aku sendirilah yang menjadi lelah. Bukan lelah, aku yang menyerah. Pada pengorbanan dan cinta  Marida.

Pada ayahku, sungguh benciku tak pernah berlangsung lama. Selalu aku jatuh cinta lagi padanya. Tak akan terlupakan denyar-denyar bahagia di mata pria itu saat mendampingi acara konserku yang pertama. Dia bilas senyum minta maafnya dengan memelukku. Kembali membisikan kata-kata yang pernah Aku rindukan,“Aku sayang kau, malaikatku.”

Seharusnya mereka menyalahkanku atas kecelakaan yang membuat anak dalam rahim Marida menyapa dunia terlalu awal lantas dipanggil kembali oleh penciptanya. Aku membuat sebuah kerusakan dengan memaksa Marida yang tak mampu lagi memandang jemari kakinya waktu itu mengantarku ke sekolah. Dan berujung pada kecelakaan itu. Sungguh kasihan, Marida tak pernah hamil lagi. Entah setan berhati baik padaku atau Tuhan tengah mengutuki kecuranganku, waktu itu aku tidak peduli. Malah bersyukur.

“Kamu tidak bersalah sayang,” terbaring di ranjang Marida menegurku. Aku berburai air mata buaya. Waktu itu aku tidak tahu bagaimana perasaan seorang wanita yang keguguran.

Itulah ingatanku pada pernikahanku enam bulan lalu dari hari ini. Hari ketika aku memberikan ginjalku untuk wanita itu, berharap dia kembali sembuh dan tidak berhenti menyayangi anak suaminya.

Aku genggam tangan wanita itu. Dia masih tersenyum dalam baringnya.

“Jangan menyia-nyiakan hidupmu, sayang. Aku sudah menuju usia petang sementara kamu masih harus memulai rumah tangga kalian. Simpan niatmu, bila nanti anak-anakmu membutuhkannya.”

“Biarkan aku menolongmu. Aku sudah bulatkan tekad, tidak ada yang lebih berarti daripada saat-saat seperti ini untuk mengorbankan diri.” Aku mengingatkan Marida bahwa dia telah mengkhianati rahimnya demi aku. Leo kurang setuju sebenarnya namun aku merasa akan lebih baik bila tindakan ini dilakukan.

“Aku baik-baik saja,” air matanya kembali mengalir deras. Nadanya terdengar tidak pasti dan aku tahu dia bukannya tidak menginginkan donor ginjal dariku. Mungkin sebenarnya dia mau, namun enggan menerimanya. Seharian kami membicarakan ini. Marida bergeming dan aku tetap memaksanya. Hingga akhirnya dia mau menerimanya. Aku menangis kini. Benar-benar menangis, di pelukan wanita itu. Aku tahu bahwa penebusanku belum seberapa dengan pengorbanan Marida, tetapi setidaknya hal itu akan membuat Marida kembali melanjutkan hidup dan cinta sebagai ibu tiriku.

Sekali lagi aku tatap wanita itu. Apa jadinya jika dia benar-benar menyerah; pasti tidak akan pernah ada keseruan meminum bir di sebuah bar pada suatu bulan desember yang menggigil. Marida bilang di situ mereka bertemu, dia dan Andre, aku mendengus saat itu, akan tidak ada seorang wanita yang berani menamparku di depan Andre, lantaran aku bilang anak dalam kandungannya adalah tidak sah. Marida menangis setelah tangannya mengenai wajahku, aku memakinya berkali-kali. Atau bila dia menyerah, -mana mungkin pernah terjadi-, selama tiga hari berdua kami keluyuran di Bandung. Keluar masuk tempat-tempat jualan gaun dan kosmetik tanpa sepengetahuan Andre. Aku tiba-tiba rindu akan masa di mana aku berusaha melawan cahaya cinta dari mata Marida.

Ahhh, setelah sekian banyak waktu berlalu, aku berpaling pada Tuhan serta berharap Dia memaafkanku. Seandainya Tuhan memaafkan dan mengarunia seorang bayi mungil akan aku sertai nama wanita itu dalam deretan nama panjangnya. Pamella Marida Nugraheni  jika perempuan dan Francois Marida Putra bila dia adalah bayi laki-laki yang manis. Dan di hari ulang tahunnya yang ke tujuh akan kuhadiahi dengan sebungkus kado tua di belakang baju terlipat. Aku harap dia tidak kecewa dengan isinya nanti. Tetapi bila dia kecewa, tak apa, sebab aku juga pernah menaruh kecewa pada kado itu. Semoga seperti aku pula, anakku akan menyimpan di tempat tersembunyi, hanya dia yang tahu apa isinya, untuk di kemudian hari dia pandangi kembali dengan senyum minta maaf pula. Kado sederhana, sesederhana sebentuk cinta yang paling istimewa.
T.A.M.A.T

Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #10

Wanita Itu Bernama Marida #10

Cerbung Willy Wonga

Perang sepihakku. Hingga akhirnya wanita itu menyerah. Saat itu sudah tahun ke tujuh. Ketika aku mulai menemukan sosok pengganti Andre dalam diri Leo.

Tahun ketiga, wanita itu melakukan tubektomi. Dia terbaring di kamarnya selama seminggu setelahnya. Teman-teman Andre datang dan pergi. Lebih banyak dari mereka memberi simpati agar Andre tabah dan menerima keputusan mulia istrinya. Aku hanya masuk ke sana ketika dibutuhkan, ketika Andre tenggelam dalam alunan musik piano dan lupa mengantar makanan masakan Bi Imah pada Marida. Dia tersenyum dalam baringnya. Menanyakan apakah Aku tidak apa-apa selama seminggu ini sebab dia tidak mengantar ke sekolah. Aku bilang tidak apa-apa. Tidak bernada ketus, sedikit bertoleransi dengan keadaannya.

“Mengapa kamu melakukan ini?”  aku bertanya, dia memaksa diri tersenyum. Juga terkesan ditulus-tuluskan. Bagi Marida ini pertanyaan yang sama yang keluar dari mulut Andre. Pada Andre dia menjelaskan begini; betapa dia ingin hanya dengan mencintai Aleksa seorang, untuk membuktikan dia bisa menjadi istri Andre dan ibu tirinya, betapa rasa memiliki anak sendiri sudah tidak terlalu penting dibandingkan mengabdikan diri untuk cinta tak terbalasnya. Secara tersirat dia lebih memilih berkorban untukku ketimbang Andre, dan waktu itu Andre kecewa pada Marida. Terlebih Marida berniat melakukannya bukan untuk sementara.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com

“Sakit?” mungkin suaraku terdengar berpura-pura, tetapi membuat Marida menggeleng lemah dan tersenyum lagi.

Tetapi hari-hari tetap berjalan dengan apa yang telah ada sebelum ini. Perang sepihakku. Hingga akhirnya wanita itu menyerah. Saat itu sudah tahun ke tujuh. Ketika aku mulai menemukan sosok pengganti Andre dalam diri Leo. Mungkin akhirnya jiwa-raganya telah terkorosi dengan intimidasiku yang tak kunjung habis.

Di matanya ada sembab. Sementara dadanya yang busung menyimpan sebak tertahan. Tiba-tiba dia merindukan seorang bayi lain untuk menghapus penatnya mengabdikan diri buatku. Aku dengar dia berkata begitu. Dia terdengar menyesali keputusannya melakukan tubektomi, dan meracau bahwa aku tak mungkin tersembuhkan dari perasaan benci.

Diam-diam aku perhatikan momen-momen kemenangan ini, tatkala aku berhasil mengambil kembali poin juara serta mengembalikan rasa sakit padanya. Andre duduk di samping, membungkus bahu si wanita dengan sebelah tangan, di bawah langit malam berbintang cukup banyak. Kata-kata penghiburan membanjir dari mulut Andre, bercampur bujuk rayu yang mendamba. Semuanya agar wanita itu tidak menyerahkan kemenangan. Demikian maksud Andre. Dari sikap dan polah, tergambar kalau dia ingin Marida tetap kokoh menghadapiku.

“Aku tahu, memang berat bagimu..” demikian kalimat penghiburan itu terucap.

“Kamu sebenarnya tahu dari awal bahwa aku akan menyerah, bukan?”

“Shh, dia memang keras kepala, sayang. Namun hanya hati orang sepertimu yang mampu mengembalikan kepercayaan Aleks,”

“Lalu aku harus bagaimana? Aku takut, Andre. Takut mengecawakanmu, juga takut menyakiti Aleksa lebih dalam lagi.”

“Itu tidak benar. Aku yakin kau dan dia hanya butuh waktu. Aku tahu kamu mulai menyayangi dia, atau hanya perasaanku sajakah itu?” tanya Andre hati-hati. Takut meremukkan makhluk berlinang air mata dipelukannya.

“Kamu benar…” Marida sesenggukan, air mata makin deras mengguyur dari dua sumber yang telah banyak terkuras.

“Aku janji kita akan menghadapi ini bersama-sama. Aku tidak akan membiarkan kamu sendirian.”

“Ya, maafkan aku, Andre. Karena aku, dia kini turut memusuhimu. Seharusnya hanya aku seorang.”

“Tidak Marida. Aleksa telah memusuhiku sejak sebelum kedatanganmu. Ketika aku kehilangan jati diriku sendiri dan sering pergi meninggalkan dia.” Ucap Andre kacau. Terlihat kilau di mata pria itu. Aku tak yakin Andre bisa menangis.

“Semua lantaran dia butuh figur seorang seperti Yohana. Pasti dia sangat mencintai kalian berdua. Makanya dia tidak ingin kehilangan orang tercintanya lagi.”

“Jangan menyerah Sayang.” Tetapi wanita itu menggeleng layu.

Selain sembab, di mata Marida ada penat terjuntai. Sisa-sisa semangat telah terkuras selama tujuh tahun hidup bersama. Dia menyerah tanpa syarat dan hari-hari kemenanganku bakal datang setelah fajar menyingsing nanti. Namun, ternyata fajar baru benar-benar menyingsing setelah sepuluh tahun kedatangan wanita itu.

 

bersambung…

Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #9

Wanita Itu Bernama Marida #9

Cerbung Willy Wonga

 

“Demikian kalian bukan lagi dua melainkan satu…” suara Pastor bertalu-talu dalam telingaku. Aku tahu artinya, lalu di mana aku harus berada kini? Aku merintih dalam hati. Aku merasa ditinggalkan.

Suara musik di pagi buta menyingkap kantuk. Kendati kuap masih tergantung pada bibir, aku pasang telinga. Aku kenal aliran melodi serupa; yang mengalir bagai sungai tak berbatu, eine kleine nachtmusik. Musik favorit milik segitiga cinta. Andre menyukai Mozart dan Bethoven dan di masa lalu, kala pagi berdenyut dia putarkan musik itu. Seraya kami bertiga merayap bangun dari sarang berkasur.
Mungkin Mozart-lah yang memikatku lalu Andre menyekolahkan aku di sekolah musik sekarang. Musik semacam itu rupanya telah hilang selama ini, seiring runtuhnya kejayaan segitiga cinta milik kami. Baru pagi ini, serupa mimpi saja aku mendengar denting nostalgia berdengung. Mengalir menenangkan. Aku tahu kenapa. Nelangsa menggelayuti lagi. Otakku tak mau lekangkan aroma bahagia yang terkuar dari dua sosok antagonisku kemarin di gereja. Aku terpaksa memaksa diri tidak menangis kedua kali menyaksikan tali pernikahan tersemat pada masing-masing tangan di depan altar. Perut buncit Marida tertutup gaun pengantin putihnya, sementara Andre tak henti-henti tersenyum. Aku tahu dia bahagia setulus hati, mungkin setulus pernikahan pertama dengan Yohana, mungkin juga akan setulus pernikahan dengan wanita lain lagi bila Marida tak berjejak lagi lantaran sang Ilahi memanggil kelak. Selama Andre masih lelaki bebas.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com
“Demikian kalian bukan lagi dua melainkan satu…” suara Pastor bertalu-talu dalam telingaku. Aku tahu artinya, lalu di mana aku harus berada kini? Aku merintih dalam hati. Aku merasa ditinggalkan.
Hari-hari setelah pernikahan mereka adalah benar-benar gila. Musik selalu mengawali hari, mengawali kemesraan mereka di depanku sehingga aku harus-cepat-cepat berlalu untuk menghindari sakit hati lagi.
Buncitnya makin subur saja. Membuat Andre kehilangan selera terhadap kehidupan larut malamnya. Dia tidak pernah pulang subuh sejak Marida datang, lalu sekarang setiap petang dia telah sampai rumah. Aku tetap curiga tentang perempuan-perempuan teman kencannya. Entahlah apa wanita itu juga tahu mengenai ini. Kendati alasan Andre pulang larut waktu itu sebatas pekerjaan semata, karena studionya dibangun jauh dari rumah ini. Aku tetap curiga dia masih sering main dengan wanita lain.
Hari lekas berganti. Tak terasa telah enam bilangan bulan aku hidup bersama wanita itu dalam satu rumah. Kemesraan demi kemesraan melaburi waktu-waktu mereka berdua, menumpuk sakit hatiku.
Hari-hari melesat. Namun tak pernah mnyembuhkan perasaanku, setidaknya aku bertahan pada apa yang kini terasa telah menjadi bagian diriku. Marahku beranak-pinak. Pasti benci telah berkarat seperti jelaga. Dan dua tahun terlewat nyaris sempurna. Aku terus menantang Marida bertarung. Dengan segala hal dan pada kesempatan apa saja. Andre lebih banyak memilih bungkam. Aku sangka dia menjadi begitu jarang keluar malam lantaran wanita itu, aku sebenarnya iri dia mampu membuat Andre betah di rumah. Juga selama dua tahun ini, yang aku diam-diam berburuk sangka, bertiga kami selalu berakhir pekan. Merayakannya. Tetapi masih saja bagiku itu pura-pura sikap sang rupawati agar aku mengakui dia. Bah..!
“……. dokter dia …….. sejenis electra………,” kata-kata pertama di meja makan pada suatu hari di bulan agustus. Di luar dedaunan meranggas. Aku langsung tertegun di depan pintu kamarku, tidak jadi bergabung menghabiskan roti sarapan. Kendati aku tangkap hanya potongan-potongan kata, tetapi jelas mereka membicarakanku. Intuisiku berkata demikian.
“Jangan mengada-ada Andre, itu hanya masalah psikologis yang coba dirumuskan Freud. Aleksa tidak sakit.” Bantah Marida. Jadi mereka membicarakanku. Setelah nyaman hidup begini, maksudnya dengan tidak merasakan sakit apapun, tiba-tiba saja vonis itu terdengar mendakwa. Aku memaku langkah di depan pintu. Aku lemas dianggap sakit. Juga sakit hati jadi bertambah-tambah.
“Sekian persen kemungkinan memang itu terjadi pada manusia, Mar.”
“Tapi aku tak tega berkata begitu, itu hanya masalah psikis, mungkin aku berhasil mengembalikan kepercayaan dirinya.” Marida terdengar kacau.
“Kamu dokter, apa tidak bisa mengetahuinya dengan lebih pasti?”
“Dokter kandungan, bukan psikolog. Dia hanya tidak ingin kehilangan kamu.”
“Lalu? Apakah sepanjang hidup dia akan bergantung terus padaku?”
“Aku tidak tahu, Andre. Kadang-kadang ilmu tidak bisa menjelas hal-hal seperti ini.”
“Iya, tetap saja kamu lebih mengerti dariku.”
“Jangan memaksa aku Andre. Aku akan berusaha sekuat mungkin, tapi butuh waktu.”
Diam mengambil alih. Andre terlihat menghembus napas berat, mengolesi roti tawarnya dengan selai kacang.
“Aku tidak tahu bagaimana harus berterimakasih. Kamu orang yang tepat.”
“Jangan berkata begitu, aku terlalu kalut menghadapi ini semua, aku berpura-pura bertahan.” Andre terharu, terdengar dari katanya kemudian, “terima kasih sayang. Kamu tahu, aku tidak pernah salah pilih.”
“Maksudmu?”
“Kamu tahu kan, aku lebih memilih kamu ketimbang mereka.”
“Dulu kamu selalu meragukan; apakah wanita sepertiku, tukang aborsi ini bisa menerima seorang anak dalam hidupnya.”
“Kamu telah membuktikan bahwa kamu pantas.”
“Terima kasih. Jangan menyanjungku karena telah berhenti dari aborsi dan memilih menjadi pencinta anak-anak Andre.”
“Aku merasa jatuh cinta lagi.”
Terdengar mereka tertawa-tawa. Aku tetap diam saja. Sementara otakku mulai mengira-ngira. Aku sakit, namun rasanya bukan itu isi pembicaraan yang sebenarnya. Makin sembunyi mereka akan keadaanku, sebab aku tidak mungkin mencari tahu sendiri, tidak untuk saat ini, makin lestari rasa marahku.
Aku terus lampiaskan pada Marida. Terkadang aku menghabiskan hari di sekolah seniku, membiarkan Marida menunggu hingga malam di tempat parkir. Setiap kali dia bicara, aku diamkan saja. Lalu menyerangnya dengan kalimat-kalimat berisi penghinaan dan tuduhan-tuduhan. Tetapi sebalnya dia tak terpengaruh. Walaupun sering dia pias mukanya, oleh kalimatku yang serampangan.
Setelah aku tahu ada sebuah penyakit tersembunyi dalam diriku, aku uring-uringan. Apalagi bila Andre berada di rumah. Dan hanya kami berdua sementara Marida sibuk dengan pasien-pasien berperut buncit. Serta-merta Andre menyebut namaku, memintaku untuk diam dari keusilan atau sekedar berhenti dari sikap kanak-kanak. Bila kata-kata Andre menohok, aku berlari ke kamar tidur dan tetap di sana hingga malam hari. Kadang sampai malas berangkat belajar, sampai-sampai Andre menilai aku mundur pesat. Lalu aku pun berdalih karena kedatangan Marida.
Masih penasaran mengapa aku betah berada dekat Marida. Pernah aku bilang itu lantaran wangi lavender di tubuhnya. Bisa jadi jawaban itu tidak benar. Sebab tidak jarang dia menyiram tubuh pakai parfum jenis lain, dan aku tetap mau saja dia ajak berbelanja baju. Atau pada hari libur ke toko buku, ke toko peralatan musik sederhana. Aku tidak hubung-hubungkan ini dengan rasa marah. Memang, setiap berada dekatnya aku menyembur-nyembur lidah panas mirip naga dalam film kolosal.
“Aku tidak mau!” pintu kamar aku banting dengan kesal. Betapa tidak, hari ini, minggu, aku dia ajak ke salon. Mana aku mau. Bagiku itu hanya akan mempertegas kejelekan rupaku yang buat aku jadi perempuan sinting pembenci wanita cantik.
Marida buka pintu. Dia masih tetap cantik dari perempuan mana pun, menurut mataku ini.
“Tidak ada seorang wanita yang tidak mau tampil cantik…”
“Ada…aku,” aku sela bicaranya.
“Ayolah, cukup sekali ini saja.”
“Jangan buat malu, aku tidak mau!”
“Sayang, kamu terlalu keras pada dirimu. Sekali ini saja, setelah itu kamu boleh menolak.”
Aku lihat dia sungguh-sungguh. Atau setan tengah mempermainkanku sehingga aku bangun dari kasur. Melangkah gontai menuruti langkah kaki Marida. Kami ke salon, dan menjadi kunjungan terakhirku ke tempat bedah rupa itu.
Tak terbayangkan marahku meluap. Meja riasku berhamburan kaca-kacanya. Marida berdiri tegang di ambang pintu menyaksikan aku mengobrak seisi kamarku. Aku sakit minta ampun.
“Pipinya kelewat tembam, dia harus di…” aku menyerakan botol-botol kosmetik dari atas meja. Menghalau kata-kata yang menyinggung sisi hidupku yang terluka.
“Untuk hidung pesek, kamu mesti..” aku tidak mau ingat lagi kata-kata pelayan salon. Aku pungut sebotol penghitam rambut dari lantai, memandang wanita di ambang pintu melalu mata marah yang amat sangat, lantas melemparnya. Ah, Tuhan masih saja menyelamatkan hambanya itu. Padahal seandainya berhasil mengenai wajah Marida pastilah sedikit keindahan itu akan pudar.
“Aku tidak bermaksud buat kamu marah,”
“Diam!” aku bahkan berontak dalam pelukannya.
“Aleks..”
“Sialan!”
Sekilas sebelum dia keluar cepat-cepat dari kamar ada air mata terbentuk di mata Marida. Aku anggap itu bagian dari rasa bersalahnya, tetapi tetaplah pura-pura.
 
 
bersambung…
 
 
Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #8

Wanita Itu Bernama Marida #8

Cerbung Willy Wonga

“Enam malam aku tunggu, Mas tidak muncul. Aku kira tidak  mau datang lagi,” gerutu wanita bibir merah setelah sesap segelas bir.

Seorang pemula! Dua kata melekat di benak pria tercintaku. Selalu dari pemula untuk jadi terbiasa sebelum disebut pecandu. Yang mana posisi dia sekarang, Andre kehilangan pijakan. Pada hari-hari kerja dia memikirkan wanita itu. Wanita yang tidak pantas dia sandingi, namun pada remang malam keduanya terlihat pantas. Memang ada segepok rasa bersalah di hati, namun segera muncul pembelaan diri dari nuraninya kini. Aku lelaki yang sedang kesepian!  Dan teringat pula bentuk tipis bibir merahnya pada malam sebelum. Malam yang akan terulang selepas senja.

Kembali ke bar, pesona malam pun terulang mendekap. Membekap separuh otak, pun suara hati agar terabai. Biar tubuh segera terbuai oleh asap rokok dan buih minuman. Bir ini mirip malam itu sendiri. Beradidaya mengelabui akal sehat. Sekali teguk  terasa tak berasa. Dua teguk mengirim bunyi sendawa. Gelas ketiga dan keempat mengambil alih separuh kesadaran hingga suara terasa mengambang. Dunia sungguh indah dinikmati dalam kabut tembakau juga temaram cahaya lampu. Penat terbuang dengan sendirinya setelah  perut kenyang oleh tujuh gelas minuman.

“Akhirnya kamu datang, Mas!” suara itu menembus kebisingan musik. Andre tergeragap. Hati ini, oh! Apa lagi namanya selain sejumput kebahagiaan? Dan yang pelan-pelan terkuak itu, kerinduankah namanya? Tidak! Andre membentak diri. Bahagiaku, rinduku bukan pada wanita pengunjung malam ini. Masih ada sekelompok wanita lain yang lebih layak, seorang penyanyi solo, pemain gitar hingga penjaga butik yang selama ini dia kencani secara bergantian.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com

“Aku ingin sekedar melepas lelah,” Andre berkata seadanya. Dia halau gambaran bibir merah di depan. Dia membandingkan dengan bibir-bibir lain. Tak sepadan jadinya.

“Enam malam aku tunggu, Mas tidak muncul. Aku kira tidak  mau datang lagi,” gerutu wanita bibir merah setelah sesap segelas bir.

“Diajak teman-teman. Kalau sendiri aku pasti tidak berani,” betapa polos Andre membohong.

“Lama-lama juga jadi berani,” lebih menggoda nada suaranya.

“Kamu kerja di sini?” Andre akhirnya berani bertanya. Setelah pertemuan pertama mereka berakhir dengan tidak saling memberi tahu nama. Sebab pikirnya waktu itu, hanya kebetulan mereka bertemu dan dia tak akan balik lagi. Jadi apa arti sebuah perkenalan singkat yang tak berujung.

“Tidak,”

“Jadi?”

“Aku seperti Mas. Hanya sebagai pengunjung,” ujar wanita itu lugas. Bebas seperti burung di langit. Dan Andre ikan di laut.

“Suamimu tahu?” sedikit lancang dalam suasana ini tidak jadi persoalan.

“Aku lajang, Mas.”

“Jadi sudah sering kamu ke sini rupanya,”

“Iya, sudah seminggu ini,”

“Maksudmu?”

Senyum manis mengambang. Tersirat perasaan yang buat Andre cuma menebak entah.

“Sebelumnya aku bukan pengunjung tetap. Hanya malam-malam jenuh aku akan mampir ke bar ini. Kemudian sejak seminggu lalu aku jadi rutin,”

“Hanya untuk menemuiku?” alkohol membuka semua simpul pengikat di akal, hingga Andre jadi berani membalas godaan serupa.

Senyum itu mengambang berulang.

“Aku butuh teman, Mas, di tempat seperti ini,”

“Teman dalam arti apa yang harus kuterjemahkan?”

“Sekedar pelepas penat.”

“Kau sangat terus terang.”

“Hmm, apa yang tersisa dari seorang seperti aku. Selain kesendirian yang meminta dikawani. Sungguh Mas, aku hanya mau berteman.” Wanita itu terdengar bersungguh-sungguh saat berkata.

Dan Andre terlalu mabuk untuk menduga. Malam itu lewat, masih seperti minggu kemarin. Setelah gelas bir terakhir keduanya berpamitan. Tiada janji. Tapi kini sebuah nama Andre bawa pulang: Marida. Seorang wanita lajang, dia rekam kata-kata itu. Wanita yang menawan meskipun dikerubuti remang malam. Andre membandingkan dengan usianya, cukup sebanding bagi suatu hubungan tak berdasar. Sekedar rasa saling membutuhkan untuk pelepas penat.

Seminggu kini terasa singkat. Sabtu menyapa lagi menawar akhir pekan di bar yang hingar-bingar. Ketika senja merayap lewat lembayung di ufuk barat, aneh, terasa hati tak tenang. Jantung pun berdebam dipalu godam kasat mata. Malam ini, Andre putuskan ke bar dengan pakaian santai. Kaus oblong dan celana pendek. Ada janji telah terucap untuk kembali ke sana malam ini.

Marida ibarat kupu-kupu yang cemerlang. Indah menggelitik hati untuk segera menangkap tetapi bukan untuk dipegang. Sekedar pemuas mata.

“Mas, pernah meneguk bir di pantai?”

“Pantai? Sepanjang kunikmati malam-malam di tempat ini hanya debur ombaklah yang terdengar.”

“Mas mau kan temani aku di sana?” Marida melempar pancing. Andre bertatap pada remang cahaya. Sekedar dia cari iblis di mata perempuan yang duduk berhadapan ini. Atau sedikit muslihat sebagai alasan penolakan. Namun remang kelewat temaram, memudarkan tiap gambar yang hendak dilihat. Saling bergandeng tangan mereka menuju pantai. Dengan segelas bir di tangan masing-masing, sementara Andre menambahkan botol minuman itu di tangan yang satu.

“Apa ada pria dalam hidupmu?”

“Aku terlalu sibuk untuk menerima perhatian seorang pria di siang hari,”

“Jadi apa kerjamu sebenarnya.”

“Dokter kandungan, mas.”

“Selain itu?”

“Hanya itu.”

“Apa yang buatmu ke sini, mengenalkan diri pada kebohongan malam seperti ini?”

“Jangan terlalu puitis,” dia tertawa, terkesan pahit.”Saat SMA aku melakukan aborsi sebanyak dua kali. Sangat mengerikan menyadari dirimu melakukan hal-hal yang bakal membuat ibu atau ayahmu mendadak mendapat serangan jantung. Itu sebenarnya pilihan paling sulit yang telah aku ambil, mas. Berturut-turut. Seperti keledai, dua kali jatuh pada lubang yang sama.” Marida menyesap segelas lagi. Hening sebentar sebelum dia lanjutkan,” Ceritakan tentang dirimu,”

“Seniman, pemusik, pencipta lagu,”

“Hahaha, sangat ringkas.”

“Kamu bisa bayangkan betapa tidak terlalu ringkas pada kenyataannya.”

“ Dan anehnya kita merasa penat pada kesibukan yang tak seberapa.”

“Hmm, tentu kita ada masing-masing alasan lain, kan?”

Demikianlah sekian tanya saling memanah. Hingga bibir mereka benar-benar saling melekat. Entahlah apa terpikir Andre. Seharusnya dia mengibas debu lalu berlalu dari tempat itu. Bukankah Marida secara gamblang dan berani memberitahu celanya? Dua kali aborsi. Wanita macam itu? Tetapi andre tidak mempedulikannya. Baginya, Marida seperti dia. Punya masa lalu, dan orang-orang bilang masa lalu adalah pelajaran paling berharga untuk tidak mengulang hal yang sama. Lebih dari itu mereka adalah dua manusia bebas. Maka, dari seekor burung dan seekor ikan mereka jadi sepasang kelamin binatang purba di atas pasir.

Begitu rupanya. Marida adalah seorang dokter kandungan kesepian. Hanya pada teguk bir dan sindikat malam dia beroleh kesenangan, penatnya terbebas. Oh, bila saja aku tahu cerita ini dari awal dia datang, benciku padanya bakal setinggi air bah. Mana bisa aku biarkan Andre membawa pelacur ke rumah ini. Aku terpaksa terima teman-teman kencannya yang lain selama aku tahu mereka perempuan bukan seperti Marida. Tetapi terlambat warta ini menyambangi telingaku, setelah semua permusuhan terbunuh dan kedamaian akhirnya datang pada suatu hari di masa mendatang.

 

bersambung…

Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #7

Wanita Itu Bernama Marida #7

Cerbung Willy Wonga
 

“Aku suka seorang pemula, Mas, maksudnya orang baru di tempat ini. Lebih menarik karena penuh rasa ingin tahu. Tidak seperti mereka yang hanya mau menenggak alkohol sebelum ber-ihik di tepi-tepi pantai.”

Aku sebenarnya tidak mau membeberkan satu rahasia besar mengenai perempuan itu. Tentang siapa dia sebenarnya. Namun lantaran sekarang aku tengah melecut murka yang besar, biar aku tunaikan saja rasa ingin tahu akan dia. Marida, wanita itu ternyata pelacur. Hmm, betapa aku kasar memberi label padanya. Biar, supaya aku puas dengan menamai kehidupannya seperti itu. Lebih kasar dari pemuja malam atau pengejar rembulan atau penunggu pagi. Suatu hari di masa mendatang, tatkala perang ini berakhir dan masa damai mengalir bagai sungai dari surga, pelacur itu menceritakan sendiri kisah pertemuannya dengan Andre padaku. Penuh haru. Penuh bangga pula.
Begini aku terakan setelah aku kutip kisahnya;
Pada suatu malam terlupakan, sewaktu sepi menggigit dan penat menjalar hingga ke pangkal tubuh, Andre pertama kali jadi lelaki pulang subuh. Sebelum itu dia paling banter pulang larut, dengan alasan pekerjaan kendati aku telah simpan jawab bahwa ada perempuan teman kencannya.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com
Di salah satu tempat hiburan, Andre bertandang. Dia itu lelaki bebas, sebebas ikan berenang di lautan. Tetapi baru pertama kali ini dia berenang ke tempat hiburan paling vulgar. Di mana ada lautan segala macam serak suara. Di mana segala macam jenis ikan seperti dia datang setelah matahari melorot dari langit. Kemudian berenang terbius kemolekan kaum duyung setengah telanjang.
Lantas segelas bir terteguk. Riuh suara bersenggama dengan buih dari bibir-bibir gelas, bersatu menebarkan gairah para penikmat malam. Musik di sana berdecak, dan mengentak dalam irama yang hanya bisa diikuti dengan sedemikian indah para penari berbusana minim. Pada sudut gelap lenguh kadang terlempar begitu saja, melampaui sendawa alkohol dari masing-masing tenggorokan. Malam adalah malam, gelap serta penuh tipu daya. Kendati ada cahaya remang di sana, pun keramaian yang kentara.
Sebelum akhir kekacauan ini, aku tak tahu, selain bebas Andre pun lelaki sepi. Maafkan aku, semula kiraku cuma aku perempuan sepi kau jadi lelaki sepi pula sampai-sampai tega pula di waktu terkini aku benci akan dirimu!
“Mau ditemani, Mas?” sepotong nada bicara manja mendahului sesosok pribadi dengan rambut tergerai. Terkesan lupa disisir atau memang kesengajaan belaka. Kulit itu, dalam remang sekalipun Andre bisa menimbang seberapa lembut dan perlu berapa banyak bedak untuk melaburnya tiap hari. Namun, putihnya bukan lantaran bedak, asli. Tubuhnya matang sebagai wanita dan bukan seorang gadis lagi. Ada aura pesona di sana. Ya, seorang wanita yang menarik. Andre hanya tersenyum samar, membungkus gugup biar tak terlihat. Pantas dia gugup, sebab sebelumnya tak pernah muncul wanita secantik dia. Dan juwita malam melenggak duduk berhadapan, saling menatap sebelum Andre berpaling dengan muka merah.
“Mas sering ke sini? Atau baru pertama kali?” Bibir itu berlepot senyum.
Andre ragu sejenak lalu menggeleng pasti. Dia punya segudang wanita, namun bukan dari tempat begini dia dapat, juga tidak ke sini dia berajak kencan. Jadi ini pertama kali tentu. Tak apalah jadi pemula, toh setiap orang pasti pernah mengalami. Selalu jadi pemula sebelum terbiasa kemudian terbilang ketagihan. Segelas lagi bir tertuang, membasahi bibir Andre yang hitam oleh asap tembakau. Segelas lagi dia tuang untuk makhluk di depannya. Pasti akhir dua puluhan atau paling banter awal tiga puluh. Seorang wanita dewasa.
“Aku suka seorang pemula, Mas, maksudnya orang baru di tempat ini. Lebih menarik karena penuh rasa ingin tahu. Tidak seperti mereka yang hanya mau menenggak alkohol sebelum ber-ihik di tepi-tepi pantai.”
Andre tertegun. Dia cangkungi wajah wanita itu, bibirnya sedikit merah diwarnai, wajah polos tiada bercak. Pun tiada sebekas jerawat.
“Jadi, ini sebenarnya tempat apa?” tanya Andre polos sementara gelas bir ketiga telah memuarakan cairan kuning di lambung. Dia hanya tahu ini tempat minum. Bukan sekaligus wahana ber-ihik seperti kata wanita itu tadi. Di sini dia mirip anak kecil yang tersesat dalam permainan kartu orang dewasa.
“Mas seorang suami? Atau kekasih yang setia? Bila benar demikian, ini bukan tempatnya,” hanya perasaan atau benar kenyataan, suara wanita itu sangat mendayu, merayu barangkali lebih tepat.
Andre jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya perempuan ini, bila bukan seorang perayu, juga bukan penghibur. Apa dulunya dia tersesat pada gemerlap malam di sini hingga dia mau saja menasihati seorang pengunjung macamku? Gelas ketiga pun berlanjut jadi empat, lalu lima, enam…malam itu, untuk kali pertama Andre tidak pulang larut. Dia pulang subuh.
 
bersambung…
 
 
Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida 6

Wanita Itu Bernama Marida #6

Cerbung Willy Wonga

Dan pertanyaanku selama ini akhirnya terjawab. Bahwa mengapa tiba-tiba wanita itu telah berada di rumah tidak lain dari sebuah pertumbuhan kecil pada perutnya.

Aku pernah bilang; wewangian di tubuh Marida sering membuat aku betah berada di dekatnya. Wangi siraman parfum. Sebab saat menciumnya pertama kali aku jadi teringat suatu waktu pernah wewangian macam itu jadi milik kami, aku dan Yohana. Namun semenjak Yohana sudah tidak menjejaki bumi lagi aku pun berusaha melupakan segala kelimpahan surga yang pernah kami nikmati bersama. Aku suka wangi bunga lavender dalam kemasan botol parfumnya, entahlah ini mungkin sebuah kebetulan belaka. Bukan pekerjaan mulia mengusut-usut bau tubuh. Katakan saja Andre yang belikan dia parfum serupa milik Aku dan Yohana dulu. Berarti bukan kebetulan namanya.

Setelah secara menyakitkan gagal menang dalam perang frontal, aku mencetuskan perang dingin sepihak. Lebih-lebih saat-saat hanya aku dan Marida, semisal dia menjemputku usai belajar. Dia jemput dengan sebuah mobil yang tiba-tiba beberapa waktu lalu telah bersanding dengan mobil Andre di garasi. Aku tak mau ambil pusing mengetahui apakah mobil si wanita atau dibelikan Andre untuk dia. Kendati Andre pernah menabung untuk membelikan aku sebuah mobil lain yang sampai hari ini tabungan itu belum cukup juga.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com

“Mobil bukan barang mewah, Sayang. Aku akan membelikan satu lagi khusus buatmu.” Demikian katanya pada ulang tahunku, bukan yang kemarin itu, tetapi tiga tahun lalu.

Aku melancarkan diskriminasi terus-menerus selama perjalanan pulang itu. Apalagi Marida sering pula berputar mengelilingi beberapa tempat lebih dulu. Sekedar mengintip keramaian dan kemewahan kota dari balik kaca. Maka kupingnya kujejali sejumlah fitnah dan hinaan.

“Sampai kapan kau berhenti pura-pura jadi Yohana?”

“Maafkan aku jika aku nampak berpura-pura Aleks,” kata-katanya tidak berbelit, namun bagiku tetap kearifan dibuat-buat.

“Kau membohongi Andre bukan cuma dengan kecantikan saja. Rasanya aku lebih mencium kebusukan dari sikap baik seperti yang kau tunjukan.” Aku kunyah coklat di mulut hingga gigiku saling menekan. Gemas. Sadar aku telah sering bertindak kasar, aku tiada peduli. Marida bergeming. Dia pasti heran mendengar kata cela yang sangat pintar dan cekatan terformula oleh bibirku.

“Kau kira kau mampu bertahan setelah aku usir berkali-kali, tetapi bagiku itu tidak tahu malu.”

“Kamu kasar, Aleks. Perkataan macam itu hanya milik orang dewasa yang tidak berpendidikan. Belajarlah menggunakan kalimat yang lebih halus.” Dia tatap aku dan aku balas menantang matanya, sebelum dia memilih menghindar. Di matanya sama sekali tiada kemarahan.

“Kamu menyebabkan aku menjadi kasar, dan menyebabkan semua sikap burukku timbul.”

“Aku janji akan memperbaikinya, Aleks.” Marida pasti bosan beradu oceh, soalnya bicaranya tidak panjang lebar tiap aku menghinai dia.

Sering pula kami berhenti di tempat-tempat penjualan pakaian atau sepatu dan dia menggelontorkan sejumlah dana untuk menambah beban pada lemari pakaian dan rak sepatu. Selalu dia belikan dua. Buat kami berdua. Tetapi sogokan macam mana aku tidak surutkan dengki. Gaun yang dia belikan tak pernah kusentuh, apalagi sepatu.

Aku mengatakan untuk singgah di toko buku. Sebelum aku memaksa, Marida sudah suka rela menelusuri toko-toko yang ada dalam daftar mulutku. Dia tidak kesal, hanya menunggu di mobil sementara aku berlama-lama, pernah sejam lebih, mencari buku terbaik akan aku baca.

“Kamu tidak merasa bersalah?” sadar bahasa dan cara pengungkapan ledakan kemarahanku terkadang sering keluar jalur, aku tetap memaksakan membahasnya. Rasanya tidak cukup dengan bertindak, seperti membiarkan dia menunggu terlalu lama, atau mengusik waktu tidur siangnya dengan memutar penuh volume piano saat jari-jemariku bertingkah tidak setulus hati.

“Karena menyukai Andre? Andre butuh cinta yang berbeda, Aleks. Kamu tidak pantas bersikap mengikat. Dia mencintaimu, kamu mesti tahu itu. Tetapi dia tidak cukup dengan hanya memilikimu. Dia mau ada orang menggantikan tempat Yohana. Kamu tidak boleh berpikir egois.”

“Egoiskah mempertahankan seseorang yang kita cintai? Aku kira egois itu pantas tersemat pada dirimu.” Kami sama-sama wanita dewasa, pikirku, jadi aku terpikir pula kadar pemahaman kami sama.

Pernah sekali aku menghina bahwa dia mau menumpang tenar lewat karir Andre. Wanita itu tersenyum kecut, sejenak menampakan gusar pada raut. Sebelum gusar itu gegas seketika berganti diamnya yang seolah tabah.

“Mainkan sekali lagi Aleks.” Suatu siang Marida berhenti dari kursus memasak otodidaknya setelah mendengar dentingan piano.

“Bagus?” aku terpengaruh akan suara pemujiaannya dan lupa sejenak bahwa bisa saja itu akal bulus. Pura-pura senang.

“Kamu akan melampaui Andre dalam hal memainkan piano. Aku baru tahu kamu sehebat itu, ayo mainkan sekali lagi bagian terakhir tadi!”

“Itu hanya lagu bodohnya il Divo. Aku sudah sering memainkan lagu itu dan tidak ada yang benar-benar istimewa.”

“Siapa itu il Divo?

“Kamu tidak tahu? Setiap orang yang mengenal Andre mengenal musik. Il Divo para gelandang dari italia.” Aku mengoloknya. Menertawakan kebodohan Marida tentang sebuah nama grup musik.

“Mainkan sekali lagi lagu il divo itu.”  Dia bersungguh. Aku makin menertawakan, mengejek dengan memelodikan lagu itu dengan tidak terlalu benar. Tetapi Marida duduk di kursi sebelah dan terpaku mendengar. Kemudian bertepuk tangan.

Marida benar tidak tahu malu. Semakin aku keras mengingkari kehadirannya di rumah dia makin kerasan menghadapiku. Percekcokan kami berlarut-larut, bahkan sekarang aku syukuri Andre sering tidak pulang sampai larut. Dengan alasannya sebagai pencipta lagu. Jangankan hingga larut, hingga subuh seperti sebelum kala dia masih hanya denganku di rumah ini, aku sudah tak peduli. Sebab aku bisa bebas merajam dendam pada wanita itu.

Hmm, terlalu banyak aku bicarakan dendam. Juga terlalu banyak menjual kata cinta. Tapi sebanyak itu pula hatiku merasai keduanya. Cinta hidup berdamping dengan benci yang berbuah dendam. Saat menghabiskan akhir pekan dengan memilih menonton film di bioskop bertiga, aku tersiksa menahan penderitaan batin. Aku dan wanita itu duduk di sisi-sisi Andre. Mereka berbicara sepanjang pemutaran film sementara aku berkesan mendalami cerita di layar. Cemburuku sampai ke ubun-ubun, mungkin akan muncul asap tidak lama lagi dari ubun-ubunku.

Panas hatiku ini. Sesekali Andre menyadari kehadiranku dan memberikan ciuman lembut di pipi. Tetapi tidak seindah biasanya. Tawar dan terlalu basa-basi. Aku curi-curi dengar cakap mereka yang mesra, lalu aku layu lagi oleh nyeri di hati. Aku tahu mereka bicara masa depan. Wanita itu tertawa renyah seenak perut, dia mencuri momen seperti ini membalas semua penghinaan dariku. Dan pembalasan serupa itu sangat menyakitkan. Benar-benar akhir pekan yang memakan hati.

Pada sebulan terakhir ini Andre jarang keluar lagi. Apalagi di malam hari. Meski aku tetap menyebut dia dalam hati sebagai lelaki pulang subuh. Sekedar informasi saja, bahwa kedatangan Marida membuat Andre tidak pernah lagi pulang subuh. Dia jadi terbiasa pulang larut. Entahlah, pasti Andre tidak enak hati meninggalkan wanita itu sendirian sementara perasaanku terabai terus.

Dan pertanyaanku selama ini akhirnya terjawab. Bahwa mengapa tiba-tiba wanita itu telah berada di rumah tidak lain dari sebuah pertumbuhan kecil pada perutnya. Semula tak kuperhatikan, hingga suatu pagi hendak berangkat ke tempat aku belajar, kulihat gundukan samar di balik terusan yang dia kenakan. Kaki tanganku bergeletar. Betapa tidak, ternyata Andre tega berbuat curang. Bukan seorang saja dia datangkan ke rumah tetapi dua. Atau mungkin tiga bila ada dua mahluk lain pada perut Marida. Benar-benar kekejian paling menjijikan. Aku merasa makin tersingkir. Apalagi sebentar lagi Marida akan punya sekutu. Yang akan menggantikan perannya sebagai pengalih perhatian Andre dariku.

Oh, ya, Yohana, wanita berhati malaikat versiku mengajarkan; ketakjuban paling besar adalah ketika menyaksikan sesuatu tumbuh dari yang tak pernah terbayang sebelumnya. Dia mengubur dua buah biji salak di pekarangan, kemudian setiap pagi dia akan melewatkan waktu sekilas dengan memperhatikan pupus-pupus yang mungkin akan tumbuh dari balik gembur tanah. Aku kagum akan keteguhan hati Yohana, betapa dia sangat mengedepankan eksistensi Tuhan ketimbang ilmu pengetahuan. Saat kuncup-kuncup salak pertama kali membuka tirai tanah di atasnya, Yohana ingatkan aku bahwa hanya Tuhanlah yang mampu menciptakan keajaiban itu. Sains tidak punya penjelasan, menurutnya. Tuhanlah yang memberikan kekuatan menakjubkan pada tanah untuk merespon setiap benih yang ditanam, menutrisinya hingga pertumbuhan dapat terjadi. Aku percaya pada Yohana, hingga kemudian aku mencintai setiap kehidupan. Sebelum Marida turun tangan, akulah orang yang paling peduli pada tanaman di pekarangan itu. Aku kenang-kenang perasaan tak terdefenisi bila menyentuh bebungaan mekar menyeka pagi. Di waktu sebelum Marida datang lalu mendominasi kekuasaanku.

Namun ketika sebuah pertumbuhan lain terbentuk di perut Marida, pertama kali aku mengutuk keajaiban tersebut. Aku tak mau tahu apakah ini sebuah eksistensi Tuhan atau karena masalah sains yang dapat dijelaskan.

 

bersambung…

Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #5

Wanita Itu Bernama Marida #5

Cerbung Willy Wonga

“Kalian berencana menikah?” tanpa basa-basi, hujan badai persoalan itu kuturunkan. Aku telah memintal kepercayaan diriku untuk segera menanyakan perkara paling mendasar dalam rumah tangga ini yang mungkin sebentar lagi akan berantah. Setidaknya aku bakal remuk hingga ke tulang belakang.

Pernah membaca tulisan David J. Schwartz; The magic of thinking big? Wow, aku suka sekali. Aku suka kata-kata inspiratif dan provokatifnya tentang berpikir dan berjiwa besar. Bahwa segala hal berkaitan dengan proses berpikir. Aku sedikit banyak percaya.
Namun menerapkan ketika berhubungan dengan prahara Andre, adalah mustahil. Dengan runyam perasaan serupa ini, sulit bagiku terus berpura-pura suatu saat keberuntungan berpihak pada kesabaranku. Dan Andre akhirnya akan menjadi insaf bahwa aku mendambakan perhatian dari dia selama ini. Mana mungkin aku mengubah pola pikirku ini, yang selalu bercokol dalam benak dengan opini berbunyi; Andre akan dimiliki wanita lain atau setelah Yohana, sekarang Andre akan meninggalkanmu, mengkhianati cintamu yang seenteng seputih salju. Makanya aku benci kala ada wanita lain mengalihkan Andre. Terlebih wanita bernama Marida di rumahku kini.
Suatu hari, hari di mana untuk kesekian puluh kali Andre pergi dan tidak menjamin pulang sebelum larut aku mendekati Marida. Sementara wanita sainganku tengah menata ulang tata taman seenak udelnya. Aku tak hirau dia menata atau justru merusak. Itu urusan dia dengan beliau yang pecinta seni di mana entah dia berada kini. Aku masih kalut menghadapi persoalan datangnya manusia jenisku ke rumah ini. Karena dia datang tanpa persetujuanku lantas tinggal berhari-hari hingga hampir dua minggu. Padahal aku tahu dia punya rumah kontrakan di balik bangunan besar di sana. Hanya setengah jam berjalan kaki, sejauh aku dari sekolahku. Baru dua kali dia pulang ke rumahnya lalu kembali lagi ke sini. Kedengkianku padanya setara kebencian kepada Andre, tetapi kepada Andre selalu lebih kusembunyikan dalam lipatan senyum.
Menyadari kehadiranku, Marida berbalik. Telapak-telapak tangannya terbungkus plastik agar terhindar dari lepotan tanah sehingga bibirku mencibir. Bukan iri hati. Hanya merendahkan saja kendati kecantikan tetap membuat aku diam-diam terkagum padanya.
“Kalian berencana menikah?” tanpa basa-basi, hujan badai persoalan itu kuturunkan. Aku telah memintal kepercayaan diriku untuk segera menanyakan perkara paling mendasar dalam rumah tangga ini yang mungkin sebentar lagi akan berantah. Setidaknya aku bakal remuk hingga ke tulang belakang. Dia tebarkan tatap seolah bertanya. Berpura-pura bingung, dasar penggoda! makiku dalam hati.
“Mengapa kamu menanyakan hal itu?” ringan suaranya membuat aku makin meradang. Dia pasti tengah mempermainkan perasaanku. Sebab dia tahu dia sedang pada jalan kemenangan dalam pertarungan ini.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com
“Kamu tidak tahu aku punya hak untuk mengetahuinya? Atau kamu berpikir bisa bebas mencuri Andre dari hidupku?” sumbu percekcokan telah kunyalakan kini. Tinggal tunggu apakah dia masih wanita berhati sabar ketika menghadapi aku atau justru menuju titik rapuh kesabarannya sendiri. Semenjak dia berada di sini aku telah melepas umpan, sekiranya dia menelan lantas kulampiaskan tabungan kemarahanku. Namun hari-hari belakangan dia masih berpura-pura arif bijak. Tak masalah, aku akan mengikuti cara para pemburu paus di ujung pulau Flores, yang setia mengekor mangsanya hingga menyerah. Demikian aku menanti saat di mana Marida akan menyerah pada rasa frustrasiku. Kemudian perang ini menjadi benar-benar meletus.
Barangkali Marida belum tahu menahu bahwa Andre telah lama buat aku jatuh cinta. Cinta pertamaku. Bila bernostalgia di sudut kamarku akibat ditinggalkan Andre sendirian: aku kembali ke masa di mana awal aku menatapnya. Senyum penebar kehangatan begitu menawan di bibir yang telah mengucap bentak itu. Dialah pertama saat kubangun pagi yang menyapa dengan menyingkap korden kamarku. Kemudian menciumiku sepenuh hatinya, semurni cinta kami, hingga senyumku melumer pada dada bidangnya.
Barangkali aku tak akan lupa mengenai wanita istri pertama Andre. Betapa bijaksana perempuan macam dia. Oh, perempuan macam dia hanya patut dipasang sepasang sayap putih. Kemudian disandingkan dengan para malaikat langit, makhluk yang pernah disandangkan namanya oleh Andre padaku. Betapa dia berkorban membagi Andre dengan kehadiranku di rumah ini. Kendati kini aku kikir membagi pria itu kepada wanita lain. Dia merelakan cintaku yang sebening embun menyentuh mata hati Andre, sehingga aku tahu Andre kemudian mencintai aku. Yohana, nama perempuan berhati malaikat itu. Kami berbagi dalam hal cinta bersama Andre. Cinta segitiga sempurna. Pelan namun pasti, segitiga cinta menjadi alasan kenapa kami pernah atau ditakdirkan hidup bersama dalam satu rumah. Dua wanita mencintai seorang pria. Tentu dunia menyimpan sirik melihat cahaya cinta dari segitiga milik kami. Namun, entah Sang khalik tak setuju atau entah pula karena waktunya di bumi sudah cukup si wanita berhati malaikat akhirnya pergi. Saat aku masih tujuh tahun datang ke rumah ini. Bukan waktu yang lama untuk menikmati kekuatan segitiga cinta.
Perihal segitiga, manakala sebuah sisinya diambil mereka bukan segitiga lagi. Hanya sebuah bentuk yang entah. Masing-masing kehilangan sebuah penyangga. Niscaya berantakan. Ya, sepasang bentuk tak berbentuk apa; aku dan Andre. Aku tahu sejak Yohana meninggal, masing-masing kami goyah. Lalu jadi begini. Aku terbujur oleh kehancuran cinta yang pernah dibangun, sementara Andre terlepas bebas dari sekutu cintanya.
Tak usah lama-lama memikirkan kecemerlangan di masa lalu, Aku mesti kembali menatap wajah tak tahu malu ini.
“Kami sebenarnya tak mau menyakiti hatimu, Aleks. Andre bilang kamu belum bisa menerima kehadiran orang lain di rumah ini sehingga kami menyembunyikan hubungan kami selama ini.” Marida berujar seolah meminta maaf. Sayang aku bukan seperti Yohana, wanita berhati malaikat.
“Lalu mengapa sekarang kamu berada di rumah? Sementara tak sekalipun Andre tanya apakah aku sudah siap hidup dengan perempuan lain?” tak pernah surut lecut cambuk murka dari mulutku. Seperti melontarkan proyektil berulang-ulang ke medan saga.
“Aku mengerti perasaanmu, Aleks.”
“Kamu tidak mengerti karena tidak mengalaminya!” kesalku bertambah oleh suara sok tahunya.
“Aku bisa membayangkan bagaimana rasanya. Biarkan aku menggantikan Yohana. Aku tahu kamu amat kehilangan dia.” Tangan kotornya menyentuh bahuku. Aku menampik, kabut pekat makin gelantungan dalam benak mendengar nama wanita berhati malaikat disebut mulut perempuan hina ini. Demi kemuliaan nama Yohana, aku merasa dia tidak pantas menyebutnya.
“Kamu tidak tahu apa-apa mengenai dia. Tidak usah kamu berdalih atas kehilangan kami, namun lebih dari itu aku belum membutuhkan orang lain mencampuri hidupku. Juga Andre. Tak juga oleh wanita semacam kau!”
“Tak semestinya kamu jadi kasar, Aleks.” Dia buang muka. Berpaling, antara menyembunyikan sakit hati atau kejengkelan aku tidak tahu.
“Bukan urusanmu!” Memang aku bukan Yohana, si wanita berhati malaikat.
“Aku tahu kamu terluka, beri aku kesempatan membantu Andre menyembuhkan luka itu.”
Aku benar-benar kesal kini. Umpanku seolah terdampar pada air keruh. Dan wanita itu tidak juga terpercik api angkaraku.
“Aku bukan seorang anak kecil lagi. Jadi lukaku bisa aku sembuhkan. Asal jauhi Andre!”
“Orang dewasa juga punya luka, sayang. Malah lebih besar daripada seorang anak, kadang-kadang.”
Aku muak dia panggil sayang.
“Stop!” ya, aku mau berhenti mengulur waktu, ” jawab saja tanyaku; benarkah kalian mau menikah?”
Marida diam mengukur situasi. Matanya berkedip-kedip bukan disebabkan kotoran yang masuk. Walau aku harap kotoran telah merusak keindahan kejora mini itu. Dia hanya resah mendengar tanyaku.
“Ya,” jawabnya pasti. Aku terguncang nyaris rebah di tanah saat itu. Dunia terasa berputar terlalu cepat pada porosnya, merusak sistem kesadaranku. Dan aku merasa mengambang sewaktu dengar dia lanjut berujar,
“Dalam waktu dekat.”
Marida menang perang, dan pedangnya masih tertinggal di hatiku. Perih minta ampun.
 
 
bersambung…
 
 
Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #4

Wanita Itu Bernama Marida #4

Cerbung Willy Wonga

Aku teringat lagi akan wanita itu.
“Ini Marida,” kata Andre di hari ketika wanita itu muncul lagi. Ternyata seucap janji tentang cinta seumur hidupku tidaklah mudah dijalani. Ternyata cintaku pada Andre suatu hari, hari wanita itu datang, membara menerabas sekat kebencian yang telah kurenda sebelumnya. Kebencian terpendam akibat diabaikan demi wanita-wanita cantik pasangan kencan, juga teman minumnya, menemui saatnya mencuat seperti nanah dari bisul pecah.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com

“Marida, dia akan sering berada di rumah ini. Aku harap kamu bersikap baik pada dia,” Andre kembali bersuara memecah hening, memperkenalkan wanita itu. Aku terguncang: aku harap kamu bersikap baik pada dia!!
Tentu masih ingat aku akan kecantikan seperti itu. Natur hanya dipoles sedikit bedak. Aku menatap pesona di tengah ruang makan ini. Berdiri semenjulang Andre meski kini dia kenakan sepatu berhak. Dengan blazer biru langit. Kami bersipandang seberang menyeberang. Dia akhirnya lempar senyum, aku melengos mentah-mentah.
Tidak dibilang kalau kemungkinan ini terpikirkan. Bahwa Andre akan mendatangkan seorang wanita untuk menetap, bukan hanya sekedar teman kencan. Dari gelagatnya aku telah memastikan akan datang hari ini. Sungguh mengerikan punya pikiran demikian. Membagi Andre dengan wanita lain, bukan cuma terbakar cemburu tapi aku ingin mati sekalian saja. Meskipun sampai hari ini aku belum mati-mati juga.
Senyumnya terkembang lagi, aku tetap merasa senyum semacam itu ditulus-tuluskan. Drama permusuhan pasti tertangkap pada mata nan elok di sana. Oh, mata serupa sepasang kejora. Aku tiada berdusta. Meski tengah mempertahankan sesuatu yang masih samar dalam benak, aku mengakui kalah dalam hal keindahan rupa. Marida, nama wanita itu, punya wajah dua kali eloknya dariku. Kecantikannya makin menjadi-jadi saja. Bibir terbentuk sempurna, mengubah sepotong senyum yang -pasti biasa bila bertengger pada bibirku-, jadi sesuatu mirip rekahan kuncup mawar menyepuh mentari. Belum lagi pipi mahaindahnya. Aku berani bertaruh Andre akan menggadaikan semua miliknya hanya untuk merengkuh mahkluk di depanku. Tetapi nyatanya dia tidak mengeluarkan sedikit pun biaya memboyong Marida ke sini. Puja bercampur kutuk mengharubiru hatiku.
“Aku harap kamu suka dengan kado dariku.” Bicaranya sepotong. Tetapi suara seolah bermelodi dalam gendang telinga. Aku jadi limbung menyadari menyerah pada tawanan sebuah kecantikan yang sebentar lagi menguasai rumah ini. Setelah beberapa tahun hanya milik kami berdua, mungkinkah kini Andre telah memilih seorang lain untuk memiliki andil dalam hidup kami masing-masing? Lalu di mana akan dia taruh para gadis pasangan kencannya? Apakah aku akan makin tersingkir dalam persaingan yang tidak adil ini?
“Kupikir kamu punya nama bagus. Aleksandra kan? Kamu tahu betapa cantiknya nama itu?” pujian pura-pura. Jelas-jelas dia sedang memperolok titik lemahku, aku membatin. Aku selalu menyesal kenapa tidak dilahirkan secantik wanita seperti dia. Padahal ibuku cantik pula, kendati tetap kalah dari manusia mahakarya pelukis semesta ini. Bila ibuku kalahnya cuma sekali, aku dua kali.
“Jadi kau akan tinggal di sini?” akhirnya muncul juga tanya dari bibirku.
“Setidaknya kita akan sering bersama.” Sahut Marida ringkas. Dia beralih duduk di kursi menyusul Andre. Senyumnya tersungging sedikit malu-malu. Kecantikan dia, pesonanya juga senyumnya itu adalah satu hal yang terpisah dari dari rasa dengki yang dia terima dariku. Sampai hari ini, aku masih sering bertanya-tanya dalam hati mengapa hanya pada wanita itu, aku tidak menaruh benci pada kecantikan rupa? Malah terbalik secara ekstrim; aku memujanya.
“Maksudmu? Apakah kalian punya hubungan istimewa?” tatapku tertuju pada Andre. Menuduhnya, sementara dia balas menantang secara terbuka. Jadi lagi-lagi tanpa persetujuanku. Perasaanku tidak penting untuk jadi bahan pertimbangan.
“Ya.” Andre meneliti wajahku, tetapi cepat-cepat kubaluti dengan senyum. Aku adalah si pemurah senyum.
“Sudah berapa lama? Sebulan?”
Andre diam sebentar, menenun sekerat curiga di hatiku. Aku tak percaya mereka tidak sedang bermain mata di balik punggungku.
“Hampir enam bulan lalu. Baru sekarang aku perkenalkan Marida ke rumah.”
Pantasan dia tahu hari lahirku. Lalu menjejalkan kado tidak istimewa itu dengan berpura-pura memperhatikanku. Puih!! Pintar sekali mereka menyamarkan dusta, dan menurut sebuah tulisanm, dusta itu kebohongan terencana. Persis macam ulah sikap mereka. Pasti wanita itu telah mengakaliku. Pintar pula Andre menyembunyikan dia selama enam bulan ini. Sementara aku hanya tahu sebatas teman-teman kencannya. Dan manusia-manusia jenis lain yang sering datang mencuri hari-harinya. Sungguh sakit diabaikan, apalagi oleh seorang tercinta.
“Marida akan menemanimu di rumah bila aku tidak ada. Kamu tidak usah kesepian lagi sekarang.”
“Aku tidak pernah merasa sepi di sini.” Padahal seharusnya aku bilang sepiku telah menggunung dan bakal muncul lahar panas dari puncaknya.
“Aleksa!” tegur Andre. Dia menuangkan susu coklat panas ke cangkir untuk diletakan depan Marida. Andre menyadari nada ketidaksukaan terselip dalam sandiwara senyumku.
“Dia belum terbiasa,” bisik wanita bersenyum palsu pada Andre. Aku jadi muak diperlakukan demikian.
“Aku bukan anak kecil lagi. Juga tidak butuh ada orang lain mencampuri hidup kami.” Aku semprotkan amarah tepat ke muka Marida, membuat Andre berang. Dia tatapku dengan dingin yang membekukan hingga suasana benar-benar senyap. Sesuatu yang baru dalam diri Andre. Napasku tertatih menahan nyeri. Sekejap aku melambungkan harap agar Marida mengulangi bisik yang sama. Meski tidak tulus sekedar meredakan angkara siap meletus di puncak bibir. Tetapi dia diam.
“Aku tidak suka kamu bersikap kasar!” aku tak berani pandang sumber bentakan barusan. Mukaku terjepit antara dua pandangan mereka. Aku kecewa untuk kesekian kali; Andre begitu menghargai perasaan Marida dan mengabaikan Aku, wanitanya selama ini.
“Aku minta maaf,” desauku. Hancur hati ini berkeping-keping. Dan aku bersimbah malu pada perempuan di sampingnya. Sekali lagi, aku jadi wanita nomor dua dan aku makin kehilangan Andre.
“Kamu jangan terlalu keras padanya,” sekali lagi bisik halus terdengar. Dalam sumpek aku mendumal di hati; wanita tipu daya. Beraninya kau mengatur Andreku!
“Aku yang salah,,” aku tak tahan kini. Malunya diri ini mesti menyerah. Berurai air mata kutuntun tubuhku melewati mereka.
Mengabaikan pandangan-pandangan penuh kebohongan menuju kamar tidurku. Menumpahkan banjir air mata atas kecurangan Andre. Baru sekali ini Andre melontar amarah. Dan aku menangis di depan dia untuk pertama kali semenjak aku jatuh cinta. Bukan aku sengaja memang, tetapi karena senyum yang kugadai sebagai penawar luka hati sudah tak mempan. Aku menangis di atas kasur. Menumpahkan kekesalan pada lelaki yang kucintai selama ini.
Sudah kuberitahu Andre lelaki bebas. Sebebas ikan berenang di lautan. Lalu apakah wanita itu tahu pula bahwa Andre sering menghabiskan waktu dengan teman-teman kencan? Bila tidak, dengan teman minum?
Di hari Marida pertama kali tinggal di rumah Andre pergi hingga larut. Dia bilang ke Marida tidak usah menghubunginya hingga dia pulang sebab ada urusan penting. Wanita itu percaya begitu saja, sementara aku mengurung diri di kamar. Saat makan siang aku dengar ketukan di pintu kamar. Pasti Marida, mengingat Bi Imah senantiasa memanggil namaku bila menyatakan makanan telah siap di meja. Aku tak beranjak dari rebah, oleh sakit hati dan kecewa yang beranak pinak. Ketukan berulang lagi, diikuti sepotong suaranya,
“Bangunlah, aku memasak sesuatu untuk kamu coba.”
Perhatian pura-pura lagi! Belum apa-apa dia sudah unjuk kebolehan di dapur, pasti tidak lama lagi Bi Imah akan terusir. Dan aku akan mempertahankan wanita setengah baya tersebut sebagai pembantu. Persetan dia pintar masak atau keluaran sekolah koki di Itaia sekalipun jangan harap lidahku menyentuh makanan buatannya.
“Aleksandra…” aku bayangkan betapa bibir indahnya menyebut namaku hati-hati. Takut terdengar kasar serta terkesan tidak pantas mendampingi Andre pencinta seni.
“Kamu tidak boleh begitu. Tadi pagi kamu lupa sarapan lalu sekarang kamu tidak mau makan siang lagi?” dia rangkaikan kalimat perayu dalam sentuhan suara halus. Tapi aku tidak mudah disogok. Apalagi sesama wanita, sedikit banyak aku tahu perhatian macam itu kadang dibuat-buat. Dan aku bukan Andre, aku musuh besarmu! Aku biarkan beku semua ucapnya di depan pintu. Beberapa patah kata lagi terucap dari Marida sebelum dia berlalu.
“Aku tunggu kamu di meja makan, ya,”
Persetan dengan bujuk rayumu! Aku tak ingin makan sepanjang hari. Bahkan ketika malam hari, waktu Andre pulang, dan lelaki yang kini aku benci itu memanggil namaku berulang-ulang aku cuma menjawabnya dari balik pintu. Dia bilang aku harus makan malam bersama mereka berdua. Aku jawab tidak mau. Dia paksa aku membuka pintu dengan berkata akan mendobraknya. Aku katakan kalau aku sudah makan tadi sore masakan Bi Imah. Tak lama kemudian Andre pergi. Kemarahan dan kebencian yang menyala-nyala membuatku rela tidak makan sepenuh hari.
Kutekan rasa laparku dengan memikirkan semua kesalahan masa lalu ciptaan Andre agar aku punya alasan untuk makin membencinya. Malam itu aku tidur tengah malam. Setelah air mata kering dan tubuh benar-benar penat sementara besok pagi aku akan bangun kembali dengan semangat kebencian makin berkobar.

bersambung…

Baca cerita sebelumnya:

Wanita Itu Bernama Marida #3

Wanita Itu Bernama Marida #3

Cerbung Willy Wonga

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com
Sering aku bolak-balik memori-memori usang. Dan mengenai dia adalah seni, seperti goresan pena di tiap lagu ciptaan. Atau denting piano mengalun di pagi-pagi prematur. Pernah aku bersyukur menjalani hidup hanya dengan mendengar dia menembang lagu cinta. Pikirku, seelok lagu demikian hidup yang akan dirintis bersama. Di sana ada ritme lembut sebelum menghentak, pula ada barisan kata indah terdengar kuping.

Adalah kesalahanku tidak mengenal banyak pria dalam hidup. Aku minder, itu poin penting akibat kurang cantik. Sehingga lelaki pertama yang buat aku jatuh hati ini adalah cinta segala rupa. Menjeratku.

Mengenal seni, bikin aku beranggap semua pencinta seni adalah pria romantis. Dan aku menyukai hal-hal berbau romantis. Ada hal romantis dilakukan Andre dalam hidupku yakni menemaniku berkeliling pulau Flores. Sebuah pulau kecil yang ada danau tiga warnanya serta aroma asli dari pepohonan dan stepa di pinggir jalan. Istri pertamanya kelahiran Flores sehingga sedikit banyak Andre sudah mengenal pulau itu. Sebuah petualangan yang mestinya monumental bagiku. Mengingat setelahnya Andre mulai mengabaikanku.

“Dari mana kita harus memulai?” tanyaku waktu pesawat mendarat di kota Ende. Kota kecil namun tak kalah kotor dan hiruk pikuk seperti di sini.

“Dari sini kita ke timur. Hingga tiba di ujung pulau, di mana orang-orang sering berburu ikan paus. Semoga kita tiba pas musim berburu. Lalu balik lagi ke arah barat, ke ujung pulau ini pula. Kau akan lihat hewan raksasa yang namanya komodo.”

Jadi mulailah sebuah perjalanan memakan waktu tiga hari. Momen-momen penuh bahagia tiada terkira merasakan kehadiran Andre yang utuh. Di Lembata kami menikmati daging paus di antara penduduk setempat. Berperahu motor bersama nelayan yang bersedia membawa kami melihat-lihat tandusnya sebagian pulau tersebut dari tengah laut. Aku muntah-muntah, Andre memijitku dengan kekhawatiran tingkat tinggi hingga kami kembali ke darat dan mualku berhenti. Waktu kami berdua menyelusuri tepian pembatas menyaksikan danau Kelimutu, tiga warna, aku merasakan nirwana terbentuk kala itu. Cinta bergelora dan dia tidak henti-henti memelukku. Sebuah anugerah belaka. Tidak ada seorang penyanyi, pemusik dan wartawan di sana yang merenggut Andre dari sisiku. Aku bahagia bukan main. Kemudian perjalanan berakhir di Labuan Bajo. Kota kecil pula, tempat di mana beberapa pulau kecil dihuni komodo. Berdua kami menghabiskan waktu menyambangi kadal raksasa sebelum menikmati keindahan pantai di daerah itu. Kemesrahan berlimpah ruah di sini. Cinta bermekaran laksana kembang albesia di awal musim penghujan. Seperti bentangan terumbu karang di bawah laut Labuan Bajo. Penuh semarak canda tawa.

“Aku ingin kamu tahu bahwa kau diselimuti oleh cinta. Tidak ada orang lain lebih mencintaimu selain aku. Kamu harus tahu itu. Jangan pernah merasa sendirian lagi, ya.” Bisiknya di antara peluk. Begitu lembut membuat aku bergelayut manja pada lengannya.

“Apakah aku begitu berarti bagimu?”

“Huss, kamu ingat sebaris syair lagu baruku?”

Kaulah pertama saat kuawali hari dan terakhir ketika tertidur malam nanti: kusebut namamu..” kami melantun bersama.

“Berikan aku sepotong arti cinta!”  Aku tersenyum. Menggoda Andre dengan menirukan salah satu kalimat dalam lagu ciptaannya.

“Saat aku bertahan di sisimu dan masih bertahan di sana meski tanpa alasan aku kira itulah cinta.” Dia kecup keningku. Ahh..

Dan aku berjanji saat itu; untuk mencintainya seumur hidup. Apapun yang terjadi.

 
 

bersambung…

 

Baca cerita sebelumnya:

Wanita Itu Bernama Marida #2

Cerbung Willy Wonga

cerita bersambung
gambar diunduh darii bp.blogspot.com
Aku memiliki koleksi perempuan cantik. Bukan hobiku sejatinya, tetapi sekadar koleksi untuk bahan perbandingan mana di antara mereka yang paling banyak kubenci. Pernah aku menatap wajahku di cermin untuk mencari-cari perasaan tersirat terhadap para perempuan itu. Sirik. Dengki lebih pas. Barangkali demikian aku mengetahui perasaan tersebut. Aku benci pada kecantikan mereka. Coba perhatikan mimikku bila ada wanita lain, dari golongan rupawan, di rumah ini. Mulut ini akan bengkok sebagai sinis, alis terangkat dengan mata menyipit. Semacam refleks reaktif terhadap adonan rupa yang lebih menarik. Sesekali kulampiaskan marah pada penciptaku yang teledor sehingga lupa merapikan wajahku dari timbunan lemak di kedua pipi. Juga lupa membetulkan hidungku yang kempis ini.
Ah! Seandainya mereka tidak merebut waktuku dengan lelaki kesayanganku pastilah aku tidak menanam benci semacam ini. Gara-gara kecantikanlah orang paling kucinta di muka bumi ini mengabaikanku. Aku teliti lagi rupa pada cermin, sering pula menatap lama-lama foto-foto kenangan; gambarku sama. Jauh dari cantik. Pantas aku kalah bersaing dengan wanita lain.
“Kecantikan mengubah dunia! “
“Kau terlahir cantik? Yakinlah dunia akan kau genggam!”
Sejak kapan kalimat-kalimat penghancur itu tersisip dalam memori otak? Pasti aku telah membaca dari salah satu buku bacaan, atau kalimat terucap dari seorang bintang film yang kutonton. Kata-kata itu melekat bagaikan tumor ganas, atau ular berbisa, menetes-teteskan racun tiap kali hatiku mengutuki kecantikan wanita lain. Dengan alasan itu aku senantiasa minder bila para perempuan lain datang ke rumah. Mereka datang selalu untuk mengunjungi lelaki terkasihku. Sehingga diam-diam aku pelihara gunjing dan fitnah kepada para pemilik rupa cantik.
“Malaikatku” atau “Bidadariku” atau ”Gadis tercantikku”, demikian Andre pernah menyapa di setiap hari-hariku. Aku melambung ke ufuk timur, terjerang matahari hingga hati ini terasa hangat. Bagiku dia matahari. Bersinar, tampan dan cemerlang. Itulah mengapa aku perlu mencintai Andre sekudus cintaku pada bunga-bunga, pada lapisan awan gemawan, pada bintang-bintang, biarlah terkesan tak terkatakan betapa agung cintaku itu.
Andre, aku sebut ia lelaki pulang subuh! Memang kejam aku menamai Andre begitu. Aku namai dia sesuai tindaknya. Lebih halus ketimbang pemuja malam, atau pengejar rembulan atau penunggu pagi. Sebab sekejam-kejamnya mencecar Andre, aku akan tetap bersama dia. Mana mungkin meninggalkan dia lantaran dia adalah lelaki pulang subuh. Barangkali karena dia pulang subuh itu yang buat aku tetap bertahan hidup dengannya. Pikirku, sudah bagus dia pulang subuh daripada tidak pulang sama sekali? Lalu aku akan jadi wanita paling sepi di bumi, sehingga lebih baik mati saja? Ahh…
“Jam berapa pulangnya, Bi?” aku sering tanya begitu pada pembantu. Bi Imah menatapku, di matanya tergurat kasihan yang mendalam. Dia telah mengasuhku sejak bayi hingga rambutnya telah banyak ubannya kini.
“Biasa, Non. Jam tiga lagi.”
Aku hidup bersama Andre di rumah ini. Dia seorang pianis cukup handal serta sering menciptakan lagu bagus sementara aku hanya seorang pelajar seni. Hidup cukup mewah dengan mengenal orang-orang mewah pula. Dari penyanyi, pemusik bahkan para wartawan yang tak jarang mencuri-curi liput, hingga kami tidak terlalu banyak menghabiskan waktu bersama. Andre, pria yang hidup denganku masih di ambang usia tiga puluh pula. Dia menarik walau bukan tampan hingga pada akhir-akhir ini kutahu dia sering mengencani gadis-gadis cantik. Bila tidak berkencan mereka berteman. Tak jarang teman-teman wanitanya datang ke rumah ini dan mengulurkan tangan mereka yang halus terawat menyalamiku. Dan Andre hanya tersenyum sebelum mereka berlalu ke ruang kerjanya.
“Terlalu banyak perempuan yang datang. Studio kan bukan di rumah ini,” keluhku suatu hari. Andre sedang membenah ruang kerjanya, tempat kertas-kertas berserakan berebut tempat di lantai. Sebuah komputer tua bertengger pongah meski telah dipakai sejak Andre di bangku kuliah. Aku jarang sekali masuk ke ruang kerjanya selain sewaktu-waktu mengingatkannya untuk tidak berkubang sampah. Lagipula dia lebih banyak keluar, dengan dalih studio.
“Mereka datang ada urusan dengan lagu-lagu, Sayang.”
Aku akan diam. Aku sebenarnya kecewa atas sikap Andre yang tidak mau tahu perasaanku. Mungkin dia pikir aku tak masalah menghadapi polahnya. Hanya saja aku biarkan dia begitu, sebab dari dulu aku tahu dia lelaki bebas. Sebebas ikan berenang di lautan. Tidak pernah mau terikat sejak kematian istri pertamanya. Hingga aku menjadi terbiasa disepelekan.
Bagi orang-orang macamku, setidaknya, sebagian dari yang pernah mengalami hidup jarang diperhatikan oleh orang terkasih, akan timbul marah pada diri. Atau frustrasi akibat sering diabaikan. Tetapi aku belajar menyembunyikan perasaan. Sampai-sampai orang lain di sekitar menamaiku si pemurah senyum. Aku belajar tersenyum ketika Andre hanya menghabiskan sedikit waktu dalam seharinya denganku pada saat sarapan. Itu pun tidak berlebihan. Sekedar mengingatkanku menghabiskan roti serta menenggak segelas susu coklat panas kesukaan kami berdua. Lalu dia mengantarku ke tempat aku belajar sebelum dia menghilang. Aku tidak pernah tahu di mana dia berada pada kerumunan kota ini. Lumrah, pikirku, hidup dan mencintai seorang pemusik.
Apalagi jarak sekolah dan rumah tidak seberapa jauh jadi ia tidak berpikir untuk menjemput aku lagi sepulang sekolah seni. Cukup pagi hari dia mengantarku. Tak mengapa memang, Aku sudah menikmati berjalan kaki dari sekolah ke rumah seorang diri sejak Andre memutuskan aku bukan seorang anak kecil lagi. Dulu, setahuku sejak tiga tahun lalu Andre lebih banyak pulang rumah pada larut malam. Mendekati tengah malam dan segera tidur dengan dengkurnya yang tidak hilang-hilang. Sebagai orang terdekatnya, dalam persepsiku, aku sering meminta penjelasan.
“Lembur di studio.” Selalu demikian Andre memberi jawab atas tanyaku.
Kendati menyerah dengan perlakuan sebelah mata Andre terhadapku, aku tetap mengkhawatirkannya bila dia belum pulang selepas pukul sepuluh malam. Aku tidak tidur dan lebih banyak tenggelam pada buku-buku bacaan hingga akhirnya dia datang dengan wajah suntuk. Kemudian beberapa pekan terakhir Andre pulang lebih lambat. Selalu menjelang subuh, dan Bi Imah-lah yang terbangun menyambutnya.
Barangkali sebelum cerita ini berakhir, orang akan pertanyakan mengapa aku tidak memilih jalan sendiri bagi hidupku ketimbang pasrah menebah dada tiap kali Andre pergi dengan wanita lain? Lalu pulang subuh? Apalagi bukan tali pernikahan yang menyatukan kami pada satu rumah. Hanya sebuah ikatan natural yang terbentuk. Demikian aku selalu mengartikan kebersamaan kami yang semu.
 
bersambung…
 
 
Baca cerita sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #1

Wanita Itu Bernama Marida #1

Cerbung Willy Wonga

 

cerita bersambung
gambar diunduh darii bp.blogspot.com
Kali pertama berjumpa dengannya, wanita itu, aku ingat; bibirnya terbelah membentuk senyuman ditulus-tuluskan, rambutnya tergerai kusut terterpa angin dan dia berjalan dari pinggir jalan dengan sebungkus kado berpita merah terang sementara pertemuan dua ujung pita dijalin jadi sebentuk hati tidak terlalu sempurna. Aku takar usianya, sekitar awal tiga puluhan. Boleh jadi awal empat puluhan sebab rias selalu berhasil menipu. Belum lagi aku tak pandai menebak usia. Dia semampai dengan kulit terang menakjubkan. Barangkali seanggun ratu Elisabeth yang belum pernah kulihat, atau bahkan setara peri yang tak pernah aku percayai dongengnya. Pada rentang jarak begini saja, bahkan dalam dedas angin sekalipun masih bisa terasakan pesona tertebar dari cara dia menatap. Pun dari cara dia tersenyum meski terkesan ditulus-tuluskan. Aku putuskan kecantikannya adalah anugerah Tuhan semata dan sungguh untuk pertama kalinya aku memuja kecantikan milik si wanita. Tetapi senyumnya hanya senyum buatan.
Gigil membuat gegar tubuhnya sangat kentara di balik balutan baju kemeja serta celana dari katun sebatas lutut sewaktu dia berjalan. Aku berdiri di tempatku berdiri menyaksikan dedaunan basah terseret menjauh dari pohon searah angin dingin, menyaksikan perempuan itu datang mendekat. Dia terburu-buru akibat iklim tak bersahabat dan cepat-cepat berdiri di depanku. Terlalu terburu-buru bagi sosok seanggun dia. Kemudian, secara tiba-tiba, aneh dan sangat tidak kumengerti adalah dia lantas menabrakku. Aku tak terkejut karena dia orang asing, lebih karena tiba-tiba dia mendekapku. Menangkupkan wajahku ke dadanya yang busung seraya mengucapkan selamat ulang tahun.
“Semoga panjang umur dan Tuhan senantiasa memberkati.”
Ucapnya pun terasa ditulus-tuluskan. Tak apalah, aku biarkan saja dia melempar perhatian kepadaku dan aku tak berusaha memeluknya. Aku kaku dalam dekapnya, dan dalam dekapnya hidungku membaui wewangian yang menguar dari tubuh serta rambut si wanita, wangi bunga lavender. Tubuhku sedikit tergeragap, tergeletar. Wangi itu benar nyata meski aku harap hanya ilusi. Ini tentang masa lalu, wangi ini, aku telah sangat menyukainya. Bunga lavender seolah hendak memeras kenangan lama lewat wangi khasnya yang menerobos hidung.
Pernah ada wanita lain, di suatu waktu yang kini telah jadi sejarah. Semua orang setuju dia adalah wanita menarik. Berkulit hitam manis, berambut ombak dengan senyuman menyejukan. Barangkali semenarik wanita yang mendekapku ini. Dan wanita hitam manis yang dulu juga akan melakukan hal-hal terindah dan terajaib saat ulang tahunku. Hadiah darinya merupakan hadiah paling tulus di antara hadiah lain. Kendati hanya sebuah sepatu bukan model terbaru, atau sepotong gaun yang belum sekalipun terlihat dikenakan gadis-gadis dalam televisi. Tetapi, kendati terwujud sederhana, dia berikan sebagai simbol cinta seorang terkasih kepada kekasihnya. Aku tahu itulah arti dari cinta; tak terkatakan dalam bahasa manis, tak termapatkan dalam sebuah kado ulang tahun, tidak tergombal dalam satu pelukan asing. Layaknya akan ada lantunan komposisi Mozarth atau Bethoven meretaki desau angin, aku rindu sepasang tangan lembut membopongku menghapus dingin merajam kulit. Akh, segera kubelit lidahku yang hendak mengucap kata terima kasih, kututup keran air mata yang hendak terbuka sendiri, sebab kiraku wanita itu hanya pura-pura. Dan masa lalu menjadi selayang angan-angan.
Kemudian, secepat dia datang demikian wanita itu berlalu setelah menyerahkan bingkisan dari tangan. Seolah memburu kereta, hanya sekali dia berbalik melambai. Lalu tidak lagi. Mataku tak lekang dari punggungnya hingga dia menghilang di balik bangunan besar di depan sana.
Malamnya, pesta. Aku duduk menekuri lantai, hanya telingaku meningkahi setiap senda gurau orang-orang terundang. Betapa tak berarti apa-apa semua ini. Tangan-tangan dengan menggenggam segelas minuman mondar-mandir dalam ruang tamu cukup besar di rumah ini. Di luar desau angin menerpa jendela, mendesir lewat dedaunan. Selepas tengah malam, semua akan berakhir pada satu tarikan napas berat. Orang-orang angkat kaki dengan mencoba tersenyum terbaik. Membahasakan harapan agar aku makin dewasa, makin sukses dan makin lalu makin yang lain lagi. Aku sudah merasa penat, pusing serta kehilangan selera terhadap tradisi omong kosong ini. Sebenarnya aku tidak suka pesta. Tidak butuh berapa banyak orang datang mengucapkan selamat, jemu mengumpulkan kado-kado di pojok kamar dekat lemari hingga tiba saatnya diberikan pada pemulung atau sering aku sengaja menjatuhkannya di jalan pangkalan para pengemis. Tidak suka akan pesta, berarti aku tidak suka diperhatikan orang-orang. Tidak, aku tidak seharus mengatakan sebaliknya: aku tidak suka orang memperhatikanku sehingga aku tidak suka pesta. Apalagi bila banyak dihadiri wanita cantik seperti sekarang.
Saat tengah malam, selesai menjamu tetamu aku duduk setengah berbaring di kamarku. Tatapku lekat pada kado dari wanita asing tadi siang. Aku membayangkan sesuatu yang istimewa di dalam bungkus kado yang meyakinkan tersebut, sebab ada bentuk hati pada jalinan pita. Pahamilah, aku suka diberi bingkisan bagus, mewah dan tidak urakan. Bukan karena perempuan mata duitan aku ini, lebih karena perempuan semata wayang. Kemungkinan pula lantaran terlahir sebagai anak semata wayang, maka jangan sampai aku lempar hadiah itu ke pinggir jalan yang menurutku lebih pantas dipungut pengemis biar dia kesenangan ketiban rezeki.
Sialan, tidak timbul rasa suka pada diriku melihat isinya. Biarlah aku saja yang tahu itu apa. Dikiranya aku anak kecil yang manis sehingga perlu dibekali dengan ini? Atau gadis kemayu, agar dengan ini seorang pemuda bakal bertekuk lutut, menyembah kecantikan? Tetapi aku bertoleransi, sebut saja pengecualian, sebab tidak aku buang untuk si pengemis beruntung. Seandainya bukan karena kedatangan yang mengesani tadi, aku pasti sudah membuang hadiah ulang tahunku itu, minimal setelah beberapa minggu terpajang di atas meja. Namun, sebaliknya setelah melihat isinya dan memutuskan tidak terlalu istimewa dari segi manapun aku membungkus kembali. Dipitai kembali tepat seperti semula dengan jalinan hati pada ujung-ujung pita lalu kusimpan dalam lemari pada belakang timbunan baju terlipat.
Wanita itu hanyalah salah satu perempuan yang datang di hari itu. Hari ulang tahun tanpa seri bahagia pada wajahku. Aku pun jadi terkenang-kenang akan senyum terpaksa milik dia. Andaikan tadi bukan senyum yang ditulus-tuluskan niscaya kelihatan lebih menawan lagi, pasti akan memekari wajah cantiknya. Ahoi, jangan heran bila nanti aku selalu memuji kecantikan serupa milik si wanita. Bukan aku keterlaluan dengan menganggap dia wanita tercantik di bumi lantas mengabaikan wanita lain, tetapi lantaran sepanjang aku bertemu dengan segala wanita dialah orang paling cantik. Jadi, tak apalah hingga akhir cerita ini dan bahkan hingga akhir hidup nanti aku terus membuka mulut soal kecantikan wanita itu.
Di kemudian hari, aku yakin akan takdir. Bahwasanya perempuan itu dan aku terlahir ke dunia dalam satu paket, dan bahwa hari ketika dia datang dengan kado tidak istimewa hanyalah awal kisah yang telah tersemat dalam semesta. Begitu pula, mengapa sampai sekarang aku masih ingat-ingat dia, besok pun pasti aku tetap kenang dia, dan akan terus demikian.
 
 
bersambung…

 
 
Barangkali Anda tertarik membaca cerita yang lain:
Torsa Sian Tano Rilmafrid*
Gadis Terbungkus Kertas Koran
Istri yang Sempurna
Kecantikan Perempuan: Membawa Berkah atau Musibah?

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #Tamat

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 23

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Kemisteriusan almarhum Tigor dalam integrasinya bersama kelompok tani, terulang kembali oleh Ucok. Sudah 2 buah laporan lapangan Ucok tidak diserahkan ke sekretariat. Ucok semakin misterius.  Dan, semakin sering warga FDP kehilangan jejak, di mana Ucok berada ketika diperiksa di lapangan tidak ada, di sekretariat juga tak nongol, padahal dia punya tanggung jawab besar membimbing para  pemagang. DR Pardomuan tampak susah menerima laporan Armand.

“Dari Pak Regar aku dengar dia sudah bersama calo TKW menghabiskan malam di Pub Trienjel bersama para gadis dan minuman keras. Memang semakin marak kasus-kasus penculikan anak gadis orang dari desa-desa. Sudah ramai desa oleh para calo  berkeliaran.” Armand tambahkan keterangannya. DR Pardomuan hanya menatap jauh, sangat berat memikul beban. Karena laporan yang sama sudah diterimanya juga dari Maemunah dan Inggrid. Walaupun belum diangkat menjadi staff, tapi mereka berdua sangat konsisten menjaga citra FDP di tengah masyarakat.

“Yah…mungkin minggu depan kita sidang si Ucok. Kalau saja dia menerima cinta si Dewi, bisa semakin tertib hidup si Ucok itu.” DR Pardomuan kembali ke ruang kerjanya.

 ***

Sampailah saatnya penampilan teater perkawinan palsu dimulai. “Oleskan minyak gosok ini ke sekitar matamu,” kata Susanti. “Untuk apa?” Muslimin bingung.

“Supaya nampak baru siap nangis, Tolol!!” kata Susanti pula. “Pakai baju yang agak kusut agar terkesan kau sedang sangat susah menghadapi ini. Jam 8 malam diperkirakan ayah ibu baru siap makan malam bersama. Di situlah kita datang.”

Muslimin tak bisa menyembunyikan ketegangannya. Jantungnya yang berpacu kuat tak bisa dinetralisir. Dikeluarkanya motor dari garasi kostnya.

“Tenang kau menghadapinya. Masya.…debar jantungmu bisa kurasakan di goncengan ini. Tapi, aku yakin debar jantungmu pasti lebih kuat lagi kalau aku tak mau kawin sama kau, Jelekku oh Muslimin, hua..ha…ha..”

Susanti masih bisa iseng sambil mencubit perut si Muslimin di atas motor yang gemetar jalannya dibawa Muslimin.  Ayah, ibu…malam ini kami datang uh…uh…uh.. Susanti lap air mata buayanya. Muslimin tunduk gemetaran.

“Ada apa…?” Mata ibu terbelalak. Ayah juga tampak bingung melihat anak gadisnya yang selama ini keras kepala datang malam ini dalam kondisi yang sangat lemah.

“Aku yang salah Bu…” kata Susanti sambil peluk ibunya. “Aku sering lari malam dari kamar Yuni uh…uh… ke rumah Muslimin. Dan…, mendesak Muslimin melakukan zinah Bu..uh..uh..uh..” Susanti mahir sekali memainkan peran.

“HEH! Kurang ajar kau, kau rusak Muslimin, KURANG AJAR!!!” maki Ayah penuh berang.

“Maaf kan aku ayah Uh…uh…uh..” Muslimin tak berani mengangkat kepala. Hening beberapa saat, Susanti kembali tunduk duduk di tempat duduknya semula.

“Jadi, bagaimana rencana kalian?” akhirnya Ibu hapus air matanya.

“Saya harus masuk agama islam. Minggu depan kita makan bersama di desa rumah orang tua Muslimin, sekaligus akad nikah.” Susanti masih heboh menghilangkan sisa-sisa kepedihan hatinya. “Maafkan kami Ayah” Muslimin peluk tubuh mertuanya, lantas mertuanya pun memeluk kuat tubuh menantunya. Mereka saling peluk dan berurai air mata mirip di film-film India.

Baru saja keluar dari gerbang rumah.

“Hua…ha…ha….berhasil!” teriak Susanti merayakan kemenangannya, tak perduli orang-orang di jalan raya.

“Pukimak kau! Kau memang hebat!” Muslimin ikut gembira. Motor sudah berjalan normal atas kendali Muslimin yang beban beratnya  sudah terangkat dari jiwa. Minggu depan akan ada sandiwara lanjutan di rumah Muslimin. Sandiwara yang tidak seberat sandiwara malam ini.

TAMAT

Kisah Sebelumnya: Bagian 22

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’