Cerbung Willy Wonga
Leo menciumku. Gemuruh tepuk tangan segera bergeletar. Bening meluap dari mataku yang tak mampu terbendung, dan sekali lagi aku berpaku tatap pada wanita itu.
“Demikian kalian bukan lagi dua…,” sabda sang pastor terdengar mengambang di udara yang kering. Seronok kembang mawar di pintu membubungkan asa akan warna-warni cerlang-cemerlang setelah ini. Warna-warni hidup. Sekilas kulempar tatap pada wajah-wajah menatap. Ada gelisah terbalut senyum pun ada bahagia tersiram air mata.
Wanita itu duduk di barisan depan, di samping lelaki berambut uban tipis-tipis. Si suami terkasih. Sepuluh tahun terasa cepat beranjak, tak terasa tiba di hari ini. Hari tatkala kuganti dengkiku dengan cinta berlumur terima kasih. Air mata yang mulai menitik kini menghapus semua luka lama, sebersih gaun pengantin yang pernah dikenakan pada wanita itu.
Sepuluh tahun masa perangku. Aku pernah mengutuk dokter yang mencetuskan vonis atas penyakitku. Sebab, tanpa dia tahu, tanpa Andre tahu, dan hanya aku bersama wanita itu yang mengerti akan perasaan terguncang mendengarnya. Marida membantah Andre dan menjejal benakku dengan kata-kata:
“Percaya padaku. Aku juga dokter, dan kamu tidak sakit sayang. Itu adalah reaksi yang wajar…reaksi yang wajar…”
“Kamu tidak mengalami kelainan seperti anggapanmu,” atau;
“Kau wanita normal, sayang.”
Sungguh aku minta maaf pada wanita itu melalui senyumku. Semoga dia paham. Pasti hari-harinya telah amat melelahkan, setelah ditafik kehadirannya di rumah oleh anak tiri pengidap electra complex. Kemudian mengembalikan rasa percaya diriku akan cinta seorang ayah yang diam-diam tengah berjuang menyembuhkan penyakit anaknya.
Aku tak pernah tahu selama masa itu. Bahwa pada usia enam belas tahun hingga awal dua puluh satu tahun aku mengidap penyakit itu. Kata dokter itu fakta yang langka, fakta yang timbul akibat kehilangan seorang ibu. Kasus yang tidak sering terjadi.
Dan Andre, mengelabui penyakitku dengan sering tidak di rumah. Sementara waktu itu aku tahu dia sering kencan dengan para wanita cantik. Memang demikian kenyataannya, namun dia telah akui perbuatannya. Bahwa dia kesepian, bahwa sebenarnya dia sangat mencintaiku lebih dari apapun di dunia serta ingin menyembuhkan putri tercintanya.
Akhh…
Leo menciumku. Gemuruh tepuk tangan segera bergeletar. Bening meluap dari mataku yang tak mampu terbendung, dan sekali lagi aku berpaku tatap pada wanita itu. Dia tersenyum, mengingatkan akan senyum yang pernah ditulus-tuluskan. Namun kini senyum itu begitu menyejukan.
“Biarkan aku menggantikan Yohana,” kalimat yang pernah terlepas dari bibir mahaindahnya yang tak pernah rusak. Dulu dia tak pantas menyebut nama milik wanita berhati malaikat. Sekarang aku nobatkan dia setara dengannya. Mereka sungguh berhati malaikat.
Sepuluh tahun penuh perjuangan mestinya terbayar sekarang. Sekiranya terbayar dua tahun terakhir ini. Bagaimanapun aku angkat jempol buat wanita seperti dia. Marida adalah pohon belimbing di samping rumah. Semakin dipangkas dia makin bertunas, tidak lelah, tidak pula jemu merindangi. Sebaliknya aku adalah mawar di tanah tandus. Sejak Bundaku tercinta, Yohana tercerabut dari muka bumi dan Andre lupa menyirami, aku kerdil dan layu hampir sekarat.
Sempat dia angkat tangan, mengaku kalah. Namun berdiri lagi, hingga aku sendirilah yang menjadi lelah. Bukan lelah, aku yang menyerah. Pada pengorbanan dan cinta Marida.
Pada ayahku, sungguh benciku tak pernah berlangsung lama. Selalu aku jatuh cinta lagi padanya. Tak akan terlupakan denyar-denyar bahagia di mata pria itu saat mendampingi acara konserku yang pertama. Dia bilas senyum minta maafnya dengan memelukku. Kembali membisikan kata-kata yang pernah Aku rindukan,“Aku sayang kau, malaikatku.”
Seharusnya mereka menyalahkanku atas kecelakaan yang membuat anak dalam rahim Marida menyapa dunia terlalu awal lantas dipanggil kembali oleh penciptanya. Aku membuat sebuah kerusakan dengan memaksa Marida yang tak mampu lagi memandang jemari kakinya waktu itu mengantarku ke sekolah. Dan berujung pada kecelakaan itu. Sungguh kasihan, Marida tak pernah hamil lagi. Entah setan berhati baik padaku atau Tuhan tengah mengutuki kecuranganku, waktu itu aku tidak peduli. Malah bersyukur.
“Kamu tidak bersalah sayang,” terbaring di ranjang Marida menegurku. Aku berburai air mata buaya. Waktu itu aku tidak tahu bagaimana perasaan seorang wanita yang keguguran.
Itulah ingatanku pada pernikahanku enam bulan lalu dari hari ini. Hari ketika aku memberikan ginjalku untuk wanita itu, berharap dia kembali sembuh dan tidak berhenti menyayangi anak suaminya.
Aku genggam tangan wanita itu. Dia masih tersenyum dalam baringnya.
“Jangan menyia-nyiakan hidupmu, sayang. Aku sudah menuju usia petang sementara kamu masih harus memulai rumah tangga kalian. Simpan niatmu, bila nanti anak-anakmu membutuhkannya.”
“Biarkan aku menolongmu. Aku sudah bulatkan tekad, tidak ada yang lebih berarti daripada saat-saat seperti ini untuk mengorbankan diri.” Aku mengingatkan Marida bahwa dia telah mengkhianati rahimnya demi aku. Leo kurang setuju sebenarnya namun aku merasa akan lebih baik bila tindakan ini dilakukan.
“Aku baik-baik saja,” air matanya kembali mengalir deras. Nadanya terdengar tidak pasti dan aku tahu dia bukannya tidak menginginkan donor ginjal dariku. Mungkin sebenarnya dia mau, namun enggan menerimanya. Seharian kami membicarakan ini. Marida bergeming dan aku tetap memaksanya. Hingga akhirnya dia mau menerimanya. Aku menangis kini. Benar-benar menangis, di pelukan wanita itu. Aku tahu bahwa penebusanku belum seberapa dengan pengorbanan Marida, tetapi setidaknya hal itu akan membuat Marida kembali melanjutkan hidup dan cinta sebagai ibu tiriku.
Sekali lagi aku tatap wanita itu. Apa jadinya jika dia benar-benar menyerah; pasti tidak akan pernah ada keseruan meminum bir di sebuah bar pada suatu bulan desember yang menggigil. Marida bilang di situ mereka bertemu, dia dan Andre, aku mendengus saat itu, akan tidak ada seorang wanita yang berani menamparku di depan Andre, lantaran aku bilang anak dalam kandungannya adalah tidak sah. Marida menangis setelah tangannya mengenai wajahku, aku memakinya berkali-kali. Atau bila dia menyerah, -mana mungkin pernah terjadi-, selama tiga hari berdua kami keluyuran di Bandung. Keluar masuk tempat-tempat jualan gaun dan kosmetik tanpa sepengetahuan Andre. Aku tiba-tiba rindu akan masa di mana aku berusaha melawan cahaya cinta dari mata Marida.
Ahhh, setelah sekian banyak waktu berlalu, aku berpaling pada Tuhan serta berharap Dia memaafkanku. Seandainya Tuhan memaafkan dan mengarunia seorang bayi mungil akan aku sertai nama wanita itu dalam deretan nama panjangnya. Pamella Marida Nugraheni jika perempuan dan Francois Marida Putra bila dia adalah bayi laki-laki yang manis. Dan di hari ulang tahunnya yang ke tujuh akan kuhadiahi dengan sebungkus kado tua di belakang baju terlipat. Aku harap dia tidak kecewa dengan isinya nanti. Tetapi bila dia kecewa, tak apa, sebab aku juga pernah menaruh kecewa pada kado itu. Semoga seperti aku pula, anakku akan menyimpan di tempat tersembunyi, hanya dia yang tahu apa isinya, untuk di kemudian hari dia pandangi kembali dengan senyum minta maaf pula. Kado sederhana, sesederhana sebentuk cinta yang paling istimewa.
T.A.M.A.T
Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #10