Untuk bapakku, lelaki yang pantang menyerah. Untuk bapakmu, ayah yang paling kauhargai keberadaannya. Untuk seluruh ayah di negeriku tercinta.
Pukul 12 siang, di suatu hari, di awal tahun 2005.
gambar diolah dari annida.online
Kami membunuh waktu dengan bermain bersama ketika menunggu Bapak pulang dari menjajakan sepatu kulitnya. Aku, Bimo, adikku yang paling kecil, dan Ibu. Canda tawa menepiskan lapar dari ingatan kami. Meski perut kami sesekali berbunyi, mendentangkan waktu diisi kembali, kami harus bertahan menunggu kepulangan Bapak dari menjajakan sepatu kulitnya. Memang perih perut kami, tapi itu tak berarti jika dibanding perih kaki Bapak yang menghujamkan sedikit nelangsa di hati kami.
Bapak bukan pedagang sepatu. Tetapi Bapak sedang menjajakan sepatu. Sepatu satu-satunya yang setiap hari menemaninya bekerja sebagai pendidik sebuah SMP di desa Sawit, Boyolali. Kami tahu persis sepatu itu. Susah payah Bapak menyisihkan sisa gaji guru yang tak seberapa untuk membeli sepatu itu. Dan lapar di perut kami tidak mau diberi janji. Meski begitu, Bapak tidak mengajarkan kami untuk berhutang atau mencari jalan-jalan pintas. Memberdayakan apa yang dimiliki, itu yang senantiasa ditanamkan pada kami.
“Jangan pernah menyerah pada keadaan. Ikhtiar. Selalu berusaha, insyaallah, Tuhan akan menunjukkan jalan.” Begitu pesannya pada kami ketika semangat kami merapuh menapaki hidup yang semakin sulit. Serba berkekurangan.
Melawan kekurangan, Bapak menyempatkan diri mengajar les di rumah. Pernah Bapak mengajar murid SLB, yang terbelakang mentalnya. Aku tahu mengajar anak seperti itu menguras tenaga Bapak, dan kadang menguras emosi juga. Kamu tahu, itu melakukan hal semacam itu membutuhkan kesabaran luar biasa. Meski begitu, Bapak tidak mengeluh, malah justru sangat menyayangi muridnya itu. Bapak ingin melihat muridnya lancar mengikuti pelajaran di sekolah. Kadang sukar kupahami ketulusan macam apa yang Bapak punya saat mengajar murid-muridnya, tak pelak Bapak menjadi guru matematika favorit bagi murid di sekolahnya.
Pernah suatu hari di hari ulang tahun Bapak, murid-murid di salah satu kelas yang diajarnya, memberikan kejutan ulang tahun berupa nyanyian ulang tahun dengan gitar dan kado untuk Bapak. Bapak menceritakan kejadian itu kepada kami sambil menangis haru. Haru karena tak menyangka ternyata murid-muridnya menyayangi dan memperhatikan Bapak. Mungkin diberikan kejutan ulang tahun adalah hal yang biasa bagi sebagian orang, namun tidak bagi Bapak yang tidak pernah sekalipun merayakan ulang tahunnya.
Semangat hidup yang tak pernah surut itu tidak hanya dinasehatkan, tetapi juga dicontohkan oleh Bapak. Berusaha, apapun caranya, selama masih di jalan-Nya, itu akan menjadi berkah. Begitu selalu pesannya pada kami. Dan menjual sepatu kulit Bapak, nyata menjadi satu-satunya pilihan untuk menyelamatkan kami saat itu.
Dua jam berlalu, Bapak pun pulang. Seperti biasa kami mencium tangannya. Beliau terlihat gembira pulang membawa makan siang untuk kami dan seiris buah semangka yang dibelinya di jalan. Kami membaginya bertiga dan menggigitnya tiga kali hingga tandas tinggal kulit buahnya. Bapak tersenyum menyaksikan kerakusan kami. Senyum bahagia demi melihat anak-anaknya kembali bercahaya. Kebahagiaan yang menepiskan ingatan bahwa ia sendiri belum menyantap nasi sehari itu. Ia melupakan dirinya sendiri demi kebahagiaan kami semua.
“Ini nasi dan lauknya. Mari kita nikmati bersama,” kata Bapak membuyarkan keasyikan kami. Ia tahu bahwa kami belum cukup kenyang.
“Nggih, Pak,”jawab kami hampir berbareng.
Ibu bergegas ke dapur mengatur makanan kami supaya cukup dimakan berempat. Alhamdulillah, siang itu kami makan dengan lahapnya. Senyum dan semburat bahagia kembali mengembang di paras Bapak. Tapi aku tak kan pernah lupa bahwa hari itu kami makan sepatu kulit kesayangan Bapak.
***
Dan bila surya mulai tenggelam,
malam pun menjelang,
ingin rasanya aku tidur dalam dongengmu.
Hari hampir natal. Maria, aku mengenalnya sebagai perempuan berkubang kemiskinan, seperti biasa menunggu lonceng tengah malam. Hari gelap memanggil, gegas ia bersimpuh di depan altar, berdoa pada malaikat pelindung. Kemiskinan, siapapun tidak menginginkannya. Itu sebabnya ia rajin berdoa.
Lalu malam itu, malam menyambut saat Sang Juruselamat dilahirkan, kyrie eleison mengema di kejauhan. Maria bersimpuh di depan gua. Airmatanya berlinang, ia menunggu lonceng tengah malam. Menunggu Sang Juruselamat. Hingga larut. Tepat tengah malam, sepi pecah berkelontang. Bukan lonceng yang berdentang, hanya sebuah bom yang diletakkan dan meledak tidak pada tempatnya. Maria lumat. Sepertinya Tuhan punya cara yang berbeda untuk menyelamatkannya.
2. Tekad
Ia tidak menyangka kekasihnya akan menulis begini di fesbuk: yakinlah, orang baik pasti indah pada akhirnya; orang jahat bisa saja indah pada akhirnya.
Sejak membaca status kekasihnya itu, ia memilih untuk menjadi orang jahat yang mencintai kekasihnya.
3. Saksi Hidup
Sepertinya sudah cukup lama ia di sana, menyaksikan nyawa-nyawa meregang lepas dari raga, satu demi satu. Tidak sekedar satu dua musim, barangkali bermusim-musim sebanyak bilangan terhitung dari helai-helai uban ibuku yang tercerabut dan tumbuh berulang kali. Itu lebih dari sangat lama aku kira. Ia sudah berdiri tegak pada saat ibuku seumur anak pemain boneka. Dan ia masih tegak hingga ibuku menimang cucunya. Entah berapa nyawa yang telah disaksikannya pergi pada masa sepanjang itu.
Meski tak lagi setegar dulu, tetapi basah embun pagi dan terik matahari tetap semacam hiburan baginya. Ia telah banyak menyaksikan orang mati. Kadang memang ada yang cukup mengerikan, misalnya, aku juga ingat kejadian itu, seorang lelaki terseret mobil di dingin aspal pagi hari, terseret 200 meter sebelum sebuah bus melaju melindasnya dari arah berlawanan. Terlalu pagi kejadian itu hingga orang mengira sebatang pelepah pohon kelapa luruh ke jalan. Semacam krak mendadak tanpa bunyi decit rem. Deru mesin lebih keras dari jerit kematian. Memang, lelaki itu tengah memanggul pelepah kelapa untuk bahan kayu bakar di pagi hari. Rupanya pelepah itu terlalu panjang hingga membawanya ke alam baka.
Aku yakin ia tahu betul kejadian itu sebab ia di sana lebih dulu daripada aku. Para pengendara itu tak pernah ditemukan, sebab pagi terlalu asyik dengan dirinya sendiri. Ia tetap diam, meski pembunuhan demi pembunuhan terjadi. Memang, bukan lagi sekedar kematian, tetapi lebih tepatnya pembunuhan. Suara dor di pagi buta, -itu berarti seorang bandeng mati-, atau lengking sirine menyayat di malam purba, -itu tandanya seseorang akan dikubur di bukit kopi-, adalah parade pembunuhan di sepanjang jalan kaki merbabu. Merapi Merbabu Komplek menjadi semacam catatan sejarah orang-orang mati tanpa sempat diadili. Dan ia di sana begitu menikmati takdirnya sebagai sepi.
Pria berseragam cokelat meminta Bunga bercerita, kemudian menyebutkan ciri-ciri orang. Bunga tidak bisa melakukan dua hal yang diminta oleh pria berseragam itu, kemudian mereka meyakinkan Bunga kalau hal itu penting untuk menentukan siapa pelakunya.
ilustrasi diunduh dari genuardis.net
Pria berseragam itu memohon agar Bunga membuka mulutnya, dan mulai bercerita. Bunga tetap bungkam. Untuk mencairkan ketegangan di wajah Bunga, pria-pria ini membuat lelucon. Bunga menatap mereka satu persatu. Putih kulit Bunga terlihat memucat, rambutnya berantakan, dan matanya membelalak; mengisyaratkan kemarahan yang tidak lagi bisa terdamaikan.
Kejadian itu tidak lama. Pria berseragam meminta Bunga dan ibunya pulang ke rumah.
“Bunga butuh istirahat, kita akan lakukan interogasi besok malam,” ujar salah satu pria berseragam. Hanya begitu.
Bunga dan ibunya pun pulang ke rumah. Rumah yang masih dilingkari oleh garis polisi berwarna kuning. Bunga langsung masuk ke kamarnya, sedangkan ibunya hanya menatap sedih.
***
Angin seperti memburu. Derunya begitu riuh, dan manusia dibiarkan gigil, memeluk diri masing-masing. Dalam kesunyian malam, angin bertiup seperti siulan alam. Binatang malam pun seperti tidak berani mengeluarkan suara; lindap dan senyap. Ada purnama, di balik rerimbun bambu, tampak bias cahaya lebih kemilau dari kemarin.
Di dalam rumah, sedari tadi tidak ada suara apapun. Kamar ini senyap, rumah ini sunyi. Tidak ada bunyi gelas, bunyi panci, apalagi suara manusia berbicara satu sama lain. Semua seakan tandas bersama dinginnya malam.
Air matanya belum kering betul ketika ia menaruh bedak pupur putih. Begitu pelan. Begitu letih. Asanya telah luruh, tinggal pudar serupa kusam warna celak yang menghias matanya. Hari-harinya menghitam sehitam kelopak matanya, memancarkan kepedihan dari luka yang paling dalam. Kaca yang sedari tadi ditatapnya, seakan tidak bergeming. Siapakah yang mampu mengerti derita ini, pikir Bunga.
Bunga berdiri, mendekat pada jendela segi empat yang sedari tadi dibiarkan terbuka. Angin tidak berhenti memburu masuk, Bunga memeluk tubuhnya sendiri. Lalu perlahan dia seperti melihat bayang-bayang seorang lelaki yang berdiri, badannya gigil.
Brakkk, sekuat tenaga Bunga menutup jendela, menguncinya, lalu menangis terisak. Bunga mendorong meja riasnya, menutupi jendela yang baru saja dikuncinya. Gegas dan gugup, Bunga mengambil selimut, menutupi tubuhnya, membebat dada sekencang-kencangnya dan sedikit juntai selimut jatuh ke lantai.
Wajahnya yang tertutup pupur menjadi lebih putih dari sebelumnya. Pucat dan pasi. Bunga seperti kebingungan, televisi yang sedari tadi tidak diacuhkan tiba-tiba menarik perhatiannya.
Terkesiap Bunga pada sebuah berita, tubuhnya kaku. Si pembawa berita mengatakan kalau seorang calon hakim agung baru mengeluarkan sebuah pernyataan kontroversial tentang pemerkosaan. Lelucon di tengah malam buta, ketika angin lebih dingin dan gemirisik daun lebih menyeramkan dari ribuan petir yang menghantam bumi.
“Yang diperkosa dengan yang memerkosa ini sama-sama menikmati. Jadi, harus pikir-pikir terhadap hukuman mati.”
Bunga melolong sejadi-jadinya. Lelucon di tengah dunia yang tidak lebih waras dari pada kegilaan dunia.
Prangg..Bunga melempar vas bunga ke televisi yang masih riang memberitakan pernyataan sang hakim agung. Air mata terus mengalir, Bunga berbisik pelan.
“Katakan bagaimana saya melindungi diri sendiri. Ketika binatang dari segala binatang mengendap dan masuk tengah malam dan diam-diam. Tidak ada yang lebih binatang dari manusia yang berperilaku binatang, bukan manusia namanya jika dia berani melukai perempuan.”
Televisi masih terus menyala, kacanya belum remuk benar. Gambarnya menjadi siluet dengan kemiringan 180 derajat, dan suaranya menjadi seperti gemerisik sesarang semut. Bunga terus meneteskan air mata.
Bunga menatap jendela, pelan berbisik “Orang itu binatang, sekali pun melihat aku memohon tapi tetap dia lesakkan kelaminnya hingga menembus jantung hati.”
Keras Bunga memukul dadanya. Ada suara orang mengetuk pintu kamar Bunga, memanggil-panggil nama Bunga untuk keluar dari kamarnya. Bunga harus segera ke kantor polisi untuk divisum. Suara ibunya terdengar terisak dari balik pintu. Ada sekerat luka dalam dada yang tidak bisa dijawab dengan kalimat mana pun. Bunga mengambil gelas kaca dan melempar ke pintu.
“Bunga Bu.., dikoyak paksa dan si hakim agung membuat lelucon pemerkosaan. Tidak pernah ada lelucon selucu ini, dan tidak pernah ada kenyataan sepahit ini. Kita hidup di antara, kita tidak berada di mana-mana. Kehilangan hanya tentang apa yang biasa di tempatnya tapi tidak lagi bisa kita temukan.” Jerit Bunga dari dalam kamar.
Ibunya semakin terisak dan mengetuk pintu kamarnya dengan lembut, “Keluarlah Nak..”
Bunga mendekat ke pintu, menyentuh gagang pintu, lalu merambat pelan pada kayu-kayu pintu kamar. Tangannya mengambil pecahan gelas.
“Ibu, tidak pernah ada orang yang menginginkan terluka. Jika kita bisa hidup lebih benderang dari cahaya tanpa harus menjadi lilin, kenapa kita memilih untuk membakar diri kita seperti lilin. Ibu, aku ingin main komidi putar, makan gulali, ke taman yang membuat aku kembali hidup,” isak Bunga, tangannya memegang serpihan kaca dari telivisi.
Ibu Bunga terisak kembali. Darah mengucur dari tangan kecil Bunga. Sepintas, Bunga seperti mendengar lelucon pria berseragam itu, lelucon yang sama dengan apa yang dibilang oleh sang hakim agung. Kuping Bunga mendengung gaduh.
“Ibu, aku diperkosa, dan lelaki itu membuat lelucon tentang pemerkosaan. Siapa yang lebih waras ibu?” Suara Bunga pelan sekali, hingga akhirnya tidak terdengar apa-apa.
Angin menderu kencang, menelan isak tangis ibu Bunga hingga tersisa senyap. Tidak ada lagi bebunyi. Layar seperti tertutup, tidak ada lagi cerita, tidak ada lagi kata, tidak ada lagi kaca jendela, tidak ada lagi Bunga, dan cerita hakim agung yang melucu kembali menyala di televisi rusak. Suaranya sedikit serak.
gambar diunduh dari kompas.comPagi pelan beringsut. Sinarnya merangkak di sekat sebuah bilik. Pelan … tak sepelan hasrat perempuan empat puluhan tahun itu untuk meninggalkan tangis hatinya. Dengan segenggam harap di telapak tangan. Sekenanya dia rapikan tubuhnya. Sesaat dia hembuskan nafasnya untuk memuntahkan rasa salah di sudut hatinya. Sebelum sekat-sekat itu menyaksikan bayang tubuh lemahnya meninggalkan ruang itu. Meninggalkan seorang laki-laki yang menjadi bagian cerita salah satu malamnya. Laki-laki yang masih terlena. Bergulat mengembalikan tenaga yang dia pakai untuk mengabulkan hasratnya.
“Terima kasih ya Mas …” katamu pelan kepadaku. Aku tersenyum. Mataku enggan beralih dari dua bocah itu. Tertawa lepas. Tawa yang menari di sela-sela percik air. Butir-butir air yang melayang ke udara terantuk telapak-telapak mungil itu.
“Ayo Le … sudah mandinya, masuk angin nanti. Pakai baju terus nanti jalan-jalan liat kembang api ya Nak …”
Mata kedua bocah itu begitu berbinar. Menyorotkan rasa hati mereka. “Horeeee nanti liat kembang api … kembang api!”
Aku ambil nafasku, aku hentakkan kuat-kuat. Terbayar sudah ketidakmampuanku membuang tangis kedua bocah itu semalaman. Kedua bocah yang tidak sempat tuntaskan mimpinya. Menyayatkan rintihan di atas bantal. Tangis kehilangan kehangatan di pekat dingin malam. Di antara deras hujan. Menanti sang ibu kembali. Kembali dari mempertaruhkan jiwanya untuk kedua buah nafasnya.
“Maafkan aku ya Mas, selalu rmerepotkanmu …”
Dan selalu saja aku hanya tersenyum. Senyum getir menertawakan kebodohanku. Ketidakmengertianku terhadap sketsa hidup yang ada di hadapanku. Aku hanya bisa memelihara rasa ini di salah satu ruang batinku. Selalu terhenti pada sebuah keinginan. Dan aku selalu datang terlambat. Datang di saat tangis-tangis itu telah pecah.
“Pak, nanti ikut liat kembang api ya …” suara anak ragilku membuyarkan anyaman di kepalaku.
“Mas, aku titip anak-anakku sebentar ya …”
Aku hanya ternganga. Seperti biasa, sorot mataku tak pernah mampu hentikan langkahmu. “Hanya sebentar kok Mas, aku sudah janji sama anak-anak …” gema suaramu hilang ditelan deru motor yang membawa tubuhmu. Terbawa serta sepotong harapan kedua anakmu.
Malam begitu cepat merayap. Membelit sebuah penantian. Secepat kilat aku datangi kedua bocah itu. Kali inipun aku terlambat! Kedua bocah itu telah melukiskan kesendiriannya di atas bantal itu. Aku dekap erat. Aku tampar kedua pipiku untuk mengusir kelemahanku. “Kita lihat kembang api … Kita bersama melihat kembang api itu …”
Aku sendiri … ketiga anakku sendiri … kedua bocah amanah itu sendiri …. Artinya kini tidak ada yang sendiri. Aku tersenyum, semakin lebar … hingga membahanakan tawaku. Bersanding dengan tawa kelima anak manusia itu!
“Tetetet … teeeeet … teeeeet …. selamat tahun baru kelima anakku!”
Tawa kami pecah. Berhamburan ke udara. Berkumpul dengan tawa-tawa lain. Tawa pijakan untuk tetap menjaga keinginan baik. Keinginan baik untuk menyongsong pintu hari baru. Langit yang biasanya muram. Ikut terkekeh-kekeh. Geli digelitik si kembang api.
gambar diunduh dari bp.blogspot.comBintang malam ini belum cukup cemerlang untuk menerangkan kepadaku akan siapa dirimu. Kisah belum lagi berubah ketika pada titik ini aku tersentak, bahwa yang selama ini kau lakukan bukan hanya mengenalkan dirimu kepadaku, tetapi juga memaksaku untuk yakin bahwa setiap kepingan penyusun diriku tak lain dan tak bukan hanyalah kelemahan semata. Yang mendudukkan dengan jelas siapa yang dirimu, siapa yang diriku. Mungkin kau dapati aku kebingungan, saat kau tegaskan bahwa ke arah manapun aku melangkah hanyalah sekedar mendekatkan diri kepadamu, tetapi tidak. Sejatinya aku tak sedang kebingungan. Kau membuat dirimu tak bisa habis untuk kunikmati. Setiap aroma barumu mengalahkan ketakutan ketakutanku untuk maju. Sedangkan kudapati kau tak pernah lama, senantiasa baru, hanya kau yang benar benar selalu baru. Tidak ada yang lain. Memang tidak ada yang lain.
Perempuan bernama Nira. Aku tak sedang menggugat setiap keputusan yang kau ambil, adalah boleh bagimu untuk berbuat sekehendakmu, tetapi oleh hal itu adalah mungkin juga bagiku untuk tak setiap waktu bisa mengimbangi nada nadamu. Dan kau tahu sedang seperti apa aku sekarang ini. Tertunduk, tak ingin bersikap, apapun, kepadamu. Jarak yang kau ambil sekaligus yang kubiarkan terjadilah yang akhirnya membuatku memakai keberanianku, memasuki belantara ini. Keterlanjuran yang hebat. Kini tinggal aku dan diriku, sementara tak kutahu seberapa luas belantara ini, juga seberapa pantas kesiapanku menemukan ujung jalan keluarnya. Aku, hanya bagai maju menghadapi seribu musuh tanpa satu pun senjata yang kugenggam bahkan tak juga tahu apakah memang tersediakan untukku senjata. Kau andalkan keyakinanmu untuk menumbuhkan keyakinanku, bahwa aku tak bisa mati diakhiri oleh semua ini.
Nira, kapan aku sampai kepadamu. Aku juga menanyakan, apakah aku telah bergeser dari tempatku semula, lebih dekat kepadamu?. Atau hanya senantiasa membenarkan arah pandangku, agar tepat lurus langsung kepadamu. Iya, aku memang lebih dekat kepadamu, tetapi juga sekaligus kau lebih jauh kepadaku. Kau selalu mengejutkanku dengan kebiasaanmu memasuki ruangan yang kusangka tak pernah ada. Kita bergerak dengan kecepatan yang sama, setiap yang kumasuki adalah bekas keberadaanmu, dan kau pasti tahu benar sakitnya mencumbu itu semua. Kita dikenai oleh aturan hebat yang bahkan kau pun tak sanggup menghindar darinya, bahwa setiap cintaku kepadamu menguat, maka pada saat yang sama cintamu kepadaku jauh lebih kuat. Itulah yang menciptakan semuanya. Mereka, kejadian kejadian itu adalah anak anak kita, yang lahir oleh kita. Maka kita setiap saatnya selalu tertuntut untuk membahagiakan anak anak kita, meletakkan segalanya pada tempatnya masing masing. Keterlaluan, kita dikebiri oleh kebahagiaan yang memabukkan.
Nira, kapan kau ijinkan aku pulang. Untuk bermakan malam denganmu. Saja. Untuk mengetahui apa yang kau ketahui, untuk melihat apa yang kau lihat, untuk merasakan apa yang kau rasakan. Nira, aku tahu benar bahwa rindu ini sejatinya adalah kendaraku, tetapi kengerian yang ditimbulkan olehnya membuatku seakan akan merasakan rindu ini adalah kerandaku, dan aku bagai jasad yang diusungnya saja, yang tak berhak memilih akan dimana tempat pemberhentian, yang telah mati, kehilangan kemampuan untuk merasakan. Nira, jika sedetik saja kau takut suatu saat aku akan takut, maka perjalananku menujumu tak lagi hendak memberi bunga, tetapi menghunus pedang. Nira, aku menantangmu untuk melawan setiap ketakutanmu kehilangan diriku!
Semua serasa tak beres di pagi menjelang kaupergi. Awan-awan hitam bergulung-gulung datang, angin dingin menusuk tulang membuatku menggigil ngilu saat membuka jendela yang kacanya masih buram tertutup embun dan percik air sisa hujan semalam. Aroma kopi hitam yang kuseduh tanpa gula memenuhi ruang makan sempit tempat kita berdua beradu pandang dalam diam yang menggelisahkan.
Kutahu kau ingin bicara, dengan serak suara tersisa, karena semalam tak kunjung henti menahan isak, hingga fajar menjemput dan memaksamu menghadapi hari dengan berat hati. Sebab kakimu akan melangkah amat jauh, menjemput entah apa yang lama bersemayam dalam pikiran sejak dulu. Lalu keheningan jadi kawan sepanjang jalan, hingga burung besi mengangkasa membawa separuh jiwaku turut serta.
Sendiri. Untuk kali ini, aku masih bisa terima, sambil diam-diam berhitung seiring hembusan nafas masygul kehilanganmu. Kutunggu, berapa lama pun itu.
—ooo—
Waktu jadi lambat. Dunia berputar di situ-situ saja. Mungkin cuma aku, sebab susah payah mengingkari betapa diri merana bila sendiri.
Tapi tak dinyana ternyata semua tak berjalan begitu lama. Tiba-tiba surat cinta dan kata manis jadi hambar tak berasa. Cerita-cerita menguap dalam ruang dan waktu yang tersia-sia. Terlampau banyak yang bisa dikerjakan tinimbang muram menunggumu datang. Pelan-pelan aku berdamai dengan sepi. Sendiri itu nikmat sekali.
—ooo—
Sudah empat kali putaran musim datang dan pergi. Ada yang tak beres di hari kaukembali. Hari begitu hangat di senja yang merona jingga. Degup jantungku berlomba dalam irama yang tak biasa. Bukankah rindu telah lama kusimpan dalam-dalam? Terkubur dalam jiwa yang kerontang tanpa pernah kusapa. Mungkin kali ini saatnya ia hadir menemukan muara.
Suara itu, langkah ringan yang mendekat, lembut sapa lewat tatapan mata penuh rasa. Entah apa. Sebab, aku hanya bisa terpaku, seperti dulu-dulu juga. Hadirku hanya buat menanti, kaupergi, kaukembali.
Senyum mengembang di wajahmu yang anggun. Kutahu, kau ingin menghambur dalam pelukku. Mendengar suaraku bergetar menyebut namamu, bukan seperti dalam surat-surat cinta itu.
Namun entahlah, apa bisa? Saat kupandangi wajahmu begitu rupa. Kucari-cari warna koral teduh matamu yang kerap kuingat dalam lamunan. Dia tak di sana. Kau tak di sana. Maafkan, tapi telah kulupa warna matamu
Isakan itu. Dua tetes meluncur di lembut pipimu. Mungkin kini kau tersadar, betapa mahal harga menunggu.
gambar diunduh dari bp.blogspot.comHari ini ada seorang teman yang sedang melakukan perjalanan ke bulan. Aku diam, tidak mengucapkan selamat berpisah padanya. Aku yakin, perjalanan ke bulan ini tidak berarti untuk selamanya, kami akan bertemu lagi. Tetapi alasanku bukan itu. Aku tidak mengantar kepergiannya, toh, nanti kami akan berjumpa kembali. Sekali lagi, bukan karena itu.
Sore ini mendung begitu pekat di langit kotaku. Aku tidak begitu tahu apakah perjalanannya baik-baik saja. Dengan enggan kuambil telepon genggam, penasaran ingin tahu kabar darinya. Teman, bagaimana perjalananmu?
Secepat kilat di antara mendung yang pekat, kuketik deretan huruf lantas kukirim ke nomornya. Oh ya, begitu lama kami tidak saling bicara. Biasanya jika tiga hari saja kami tidak saling bertegur sapa dia akan meledekku: sombong.
Aku kira, ini sudah lebih dari selamanya kami tidak saling bicara. Apa pun alasannya, ini sudah salah. Seperti ada semacam pengkhianatan perjanjian tidak tertulis yang telah kami sepakati bersama. Aku mencoba mengingat hari-hari yang lalu, ketika segala serupa pelangi terbit usai hujan reda. Memang, aku yang menjauh saat itu. Aku mengaku. Aku terlalu cemburu perlakuannya pada teman-temannya selain aku.
Kami sudah lama bersama, baik jika engkau tahu, itu lebih dari akrab dengan kata berdua. Tentu saja ada rasa tidak rela saat satu atau dua atau bahkan serombongan teman-temannya hadir di antara kami. Apalagi kemudian aku tahu, ada salah satu yang istimewa baginya.
Barangkali ini sudah salah. Tetapi debar di dadaku lebih menggelegar dari guntur di mendung sana. Aku deg-degan menanti balasan darinya.
Tentu saja sudah kuperkirakan sebelumnya bahwa sudah tidak ada lagi yang istimewa di antara teman-temannya. Aku yang lebih dulu, seharusnya aku yang paling istimewa. Akan tetapi soal hati siapa yang tahu, bukankah cinta tidak lantas tertuju kepada siapa yang datang lebih dahulu? pip,pip,pip… Pesan balasan darinya. Baik-baik saja. Sombong sekali baru menyapa sekarang. Ke mana saja?
Bah, memang pada awalnya aku yang menjauh darinya. Tetapi bukankah dirinya juga tidak mencariku? Tidak merasa kehilangan aku? Aku berharap di bulan juga sedang mendung. Seperti di sini, lalu gerimis. Semoga dia tidak lupa membawa jas hujan. Ada pelangi di ujung sini, cantik sekali. maaf aku lupa pernah berjanji untuk mengajakmu kemari.
Pesan lagi darinya. Satu permintaan maaf. Tanpa sesal. Tanpa usaha memenuhi janji. Sudahlah. Dia tinggal lama di bulan pun tidak mengapa. Aku cuma akan berdoa untuk kesehatannya. Dan untuk sisa waktunya di bulan, yang katanya akan ia gunakan untuk melakukan penghijauan.
Mengenai sisa perasaanku ini, kuusahakan untuk mengalirkannya perlahan-lahan, ke sungai. Supaya kelak bermuara di lautan, menguap kemudian menjadi hujan. Semoga kelak hujannya akan turun sampai ke bulan. Menemani perjalanannya.
*) Merry Fatma, saat ini tengah berkutat menyelesaikan skripsi di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogja.
KILAT cahya itu sekilat seterang kilat pedang tajam tapi ketajamannya begitu panjang membelah langit berselubung mega biru kehitam-legaman. Cahya belah bedahan yang teriring denyar guruh mengejutkan. Teriring hujan deras seperti air mancur tertumpah dari langit-langit megah yang bolong melompong. Kederasan hujan yang menggugah gelisah resah: apakah banjir akan kembali melanda lembah? Elang – karya lukis Abe alias AkiSeketika sekali lagi pedang cahaya yang besar-panjang luarbiasa itu beraksi pun teriring denyar halilintar menggelegar, sepintas lintas pandang mataku tertumpu tuju pada lembah. Pada jalur jemalur pematang sawah. Akan tetapi hujan deras pun seketika terhenti; gerimis mengganti. Kabut mengikut. ; lalu tersapu sang bayu. Meski langit masih berselimut mega biru kelabu kehitam-legaman, nun jauh di balik puncak gunung berapi yang tertidur, segoresan panjang kaki langit menampakkan kecerahan. Cahya bak pertanda pesan terkesankan : Jangan sampai kehilangan harapan.
Seketika pula aku menghela nafas panjang lega. Iya, selayaknyalah demikian itu begitu. Tanpa pernah kehilangan asa. Sekali pun batu batu ujian ringan pun berat selalu sering jadi penghalang sepanjang jalan. Jangankan dalam perjalanan panjang kehidupan, dari sejarak tempat kediaman hingga di ketinggian lereng di mana aku berdiri ini saja pun berapa kali aku tersandung sandung, nyaris jatuh mencium bumi. Tapi untunglah aku tak terjatuh. Dan hasrat keinginan mendapatkan kabar dari sorang lelaki yang aku sayang tak pernah punah. Sebaliknya malah. Aku ingin sekali menerima kabar darinya. Kabar bagaimana dan di mana kini dia berada sebenar benarnya.
Lagi dan sekali lagi kilat berdenyar guruh menggelegar tapi agak di kejauhan dan gemanya pun semakin jauh semakin lemah kedengaran. Terganti sunyi sepi. Tertinggalkan berkas luas kecerahan di tengah lembah lintang melintang pematang. Cahya dari kaki langit nun jauh di sana dan yang dari celah mega mendung jadi penambah penerang ingatanku serta kangenku pada sorang lelaki. Sorang lelaki yang suka terlentang di pematang sana; hanya mengenakan celana panjang hitam komprang berkaos merah dalu, kadang berikat kepala hitam atau merah pula, jika tidak merah-putih. Itulah makanya, aku pun mengenakan paduan warna yang dia suka. Berkerudung merah marong. Hadiah darinya.
Dia memang penggemar warna warni bervariasi, tetapi busana yang dikenakannya seringkali warna hitam hitam dan merah. Katanya, dulu, bahkan ketika ikut berjuang di Sumatera dan Sulawesi menumpas pemberontakan reaksioner dan bahkan seketika dalam perjuangan pembebasan Irja, busana yang dikenakan pun demikian warna-warninya. Alasannya, katanya, nyaman. Lebih lincah dalam mengayun gerak jejaknya. Sekalipun, ada perkecualiannya; terutama dalam masa genting, dalam perjuangan hidup-mati. Pada saat saat gawat malah dikenakannya ikat-kepala warna dwiwarna. Warna Sangsaka Merah-Putih.
Sekali dan sekali lagi kilat berdenyar guruh menggelegar, meski nampak dan gemanya di kejauhan. Kian jauh melemah lambat lamat. Tapi tak urung, cahya kilat meninggalkan bekas di seberkas pertengahan lembah. Di lintang melintang pematang. Oh, sepertinya aku menampak sosok sorang lelaki yang berbusana sederhana: bercelana panjang hitam komprang berkaos oblong merah dalu berikat kepala merah-putih. Aku buka mata lebar-lebar. Tetapi seketika dia sudah tiada. Seketika aku tutup mulut dengan tapaktangan kananku. Menahan jerit ekspresi kangenku. Hanya untuk mendengar ujar katanya yang pernah dibisikkan ke telingaku: “Kalau dikau sangat rindu, upaya menampak lengkung warna warni di atas puncak gunung. Jika warna merah Pelangi itu cerah, jangan nangis tapi senyum meski meringis miris: aku pasti pulang. Bukan berpulang….”
Dari menutup mulut, tapak tanganku beralih ke sepasang mataku, mengusap basah titik air bening yang tak tertahankan mengalir. Seketika aku nampak benar benarlah warna merah lengkung pelangi itu merahnya cerah. Secerah darah lelaki Sang Pemberani. Kekasihku.
27 September 2011
A.KOHAR IBRAHIM
Nama lengkap: Abdul Kohar Ibrahim
Nama Pelukis (tandatangan pelukis): Abe
Kelahiran Jakarta 1942.
MULAI kegiatan tulis menulis dalam usia belasan tahun di media massa Ibukota, terutama sekali Harian Bintang Timur, Bintang Minggu (BT Edisi Minggu), Warta Bhakti, Harian Rakyat, HRM (Harian Rakyat edisi Minggu) dan majalah seni & sastera Zaman Baru.
Pada tanggal 27 September berangkat ke Beijing sebagai anggota Delegasi Pengarang Indonesia atas undangan Himpunan Pengarang Tiongkok untuk menghadiri perasyaan Ultah Ke-XVI berdirinya RRT dan peninjauan kebudayaan.
Pernah bekerja di Majalah Tiongkok Bergambar edisi bahasa Indonesia.
Medio 1972, atas kemauan sendiri, bersama beberapa teman meninggalkan RRT, membelah benua dengan keretapi Trans Siberia. Sampai ujung Eropa Barat, Brussel, Belgia.
Menerima pendidikan terakhir di Akademi Seni Rupa — : Académie Royale des Beaux-Arts de Bruxelles, Brussel, Belgia.
Alamat:
Belgia : Bruxelles, Belgique.
Indonesia : Batam ; Jakarta, Ciputat Tangerang Selatan, Indonesia.
Penghargaan / Diploma:
(1) Brevet d’Exellence & Diplôme de Fin d’Etude de l’Académie Royale des Beaux-Arts de Bruxelles (1975, 1979).
(2) Prix de Gouden Pluim (Spectraal, Gent, 1981).
(3) Médaille d’Argent du Mérite Artistique Européen (Coxyde, 1987).
(4) Médaille d’Argent de l’Académie Internationale des Arts Contemporains et Diplôme d’Officier (pour reconnaître et protéger sa valeur artistique) 1986.
(5) Médaille d’Or (1987) et Médaille de Platine de l’AIAC (Enghien, 1988).
Biodata. Bibliographie :
(1) Media Massa, antara lain : Le Soir, La Lanterne, La Dernière Heure, L e Pourquoi Pas ? Le Jalon des Arts, Gazet Van Antwerpen, Het Laste Nieuws, De Autotoerist, Sontags Kurier, Cellerche Zeitung. Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Harian Sijori Pos, Harian Batam Pos, KB Antara dan media online: SwaraTV, DepokMetroNet, CybersastraNet, CimbuakNet. Sedangkan buku-buku dan kamus yang memuat biodata, antara lain :
(2) Spectraal Kunstkijkboek VI, éd. Spectraal, Gent 1984.
(3) 50 Artistes de Belgique, par Jacques Collard, critique d’art, éd. Viva Press Bruxelles 1986.
(4) Art Information, éd. Delpha, Paris 1986.
(5) Who’s who in Europe, éd. Database, Waterloo 1987.
(6) Who’s who in International Art, international biographical Art dictionary, éd. 1987-1996, Lausanne, Suisse.
(7) Dictionnaire des Artistes Plasticiens de Belgique de XIXe et XXe Siècles – Editions Art in Belgium 2005.
(8) Artis Peintre Abe Alias A.Kohar Ibrahim dan Karya Lukisnya oleh Lisya Anggraini, Batam, Indonesia 2005.
Exposisi :
Sejumlah eksposisi individual maupun kolektif. Antara lain : Galerie Hendrik De Braekeler (Antwerpen, 1977). Galerie Rik Wauters (Bruxelles, 1977). Galerie Van de Velde (Gent, 1979). Les Arts en Europe (Bruxelles, 1979). Galerie APAC (Schaerbeek, Bruxelles, 1980). Mérite Artistique Européen (Coxyde, 1980, 1987, 1990). Galerie Escalier (Bruxelles, 1980). Spectraal (Gent, 1981). Galerie Gouden Pluim (Gent, 1982). Galerie Erasme (Anderlecht, 1983, 1990). Galerie Schadow (Celle, RFA, 1986). Europa Bank (Gent, 1987, 1988, 1990). 50 Artistes de Belgique (Bruxelles, 1986). A.I.A.C. (Enghien, 1987). Spectraal (Nieuwpoort, 1988). Galerie Het Eeuwige Leven (Antwerpen, 1993). De Kreiekelaar (Schqerbeek 1997). Parcours d’Atistes (Commune de Schaerbeek, 1998). En Modus Vivendi (Oude Kerk, Vichte, 2003). Galeri Novotel (Batam, Kepri, 2004). Museum Haji Widayat (Magelang, Indonesie, 2004). Galeri Novotel (Batam, Kepri, 2006). Ruang Expo Balaikota Hotel Communale de Schaerbeek, Brussel 2007. Guilliaum & Caroline Gallery, Bruxelles 2008.
Sebagai Penulis:
Sebagai penulis, A. Kohar Ibrahim mulai banyak menulis prosa dan puisi serta esai atau kritik sastra dan seni sejak akhir tahun 50-an di beberapa media massa Ibukota, antara lain Bintang Timur, Bintang Minggu, HR Minggu, Warta Bhakti dan Zaman Baru. Setelah Era Reformasi, berkas-berkas karya tulisnya ada yang disiarkan di media massa cetak dan online. Anatara lain : Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, Harian Sijori Pos, Harian Batam Pos, Majalah Gema Mitra, Majalah Budaya Duabelas (Penerbit : Dewan Kesenian Kepri), Cybersastra, Depokmetro.com, Swara.tv, Bekasinews.com, Art-Culture Indonesia, Multiply.
Dari tahun 1989-1999, selama sedasawarsa mengeditori terbitan yang tergolong pers alternatip, terutama sekali berupa terbitan Majalah Sastra & Seni « Kreasi » ; Majalah Budaya & Opini Pluralis « Arena » dan Majalah Opini « Mimbar ».
Sejumlah esai seni-budayanya, antara lain :
(1).“Sekitar Tempuling Rida K Liamsi », telaah buku kumpulan puisi Rida, terbitan Yayasan Sagang, Pekanbaru 2004.
(2).« Identitas Budaya Kepri », kumpulan esai bersama, terbitan Dewan Kesenian Kepri, Tanjungpinang 2005.
(3).« Kepri Pulau Cinta Kasih », kumpulan esai berddua dengan Lisya Anggraini, Yayasan Titik Cahaya Elka, Batam 2006.
(4).« Catatan Dari Brussel : Dari Bumi Pijakan Kaum Eksil »
(5).« Sekitar Tembok Berlin : Lagu Manusia Dalam Perang Dingin Yang Panas »
(6).« Hidup Mati Penulis & Karyanya : Polemik Pramoedya-Lekra vs Manikebu », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.
(7).”Sekitar Prahara Budak Budaya”.
(8).« Sekitar Aktivitas Kreativitas Tulis Menulis Di Luar Garis ».
Buku dan atau kumpulan tulisan bersama berupa kucerpen dan kupuisi, antara lain :
(1).Kumpulan cerpen « Korban » , penerbit Stichting Budaya, Amsterdam, 1989.
(2).Kumpulan puisi « Berkas Berkas Sajak Bebas », penerbit Stichting Budaya, Amsterdam, Kreasi N° 37 1998.
(3).Kumpulan esei bersama : « Lekra Seni Politik PKI », Stichting Budaya, Amsterdam, Kreasi N° 10 1992.
(4).Kumpulan sajak bersama : « Puisi », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 11 1992.
(5).Kumpulan esei bersama : « Kritik dan Esei », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 14 1993.
(6).Kumpulan cerpen bersama: « Kesempatan Yang Kesekian », Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 26 1996.
(7).Kumpulan sajak bersama : « Yang Tertindah Yang Melawan Tirani » I, Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 28 1997.
(8).Kumpulan sajak bersama : « Yang Tertindas Yang Melawan Tirani » II, Stichting Budaya Amsterdam, Kreasi N° 39 1998.
(9).Kumpulan sajak : « Di Negeri Orang », penerbit Yayasan Lontar Jakarta & YSBI Amsterdam, 2002.
(10).Kumpulan tulisan bersama: Antologi Puisi Cerpen Curhat Tragedi Nasional 1965-2005, penerbit Sastra Pembebasan & Malka, 2005.
(11).Novel : « Sitoyen Saint-Jean – Antara Hidup Dan Mati », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008.
(12).Kumpulan puisi : « Untukmu Kekasihku Hanya Hatiku », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.
(13).Kumpulan cerpen berdua Lisya Anggraini-A.Kohar Ibrahim : « Intuisi Melati », penerbit Titik Cahaya Elka, Batam, 2008-09.
Yang belum atau dalam perencanaan untuk dibukukan : Berkas berkas naskah kumpulan esai seni budaya, kumpulan cerpen, kumpulan puisi, Nota Puitika (sebanyak 700-an) dan lain sebagainya lagi.
SEGERA TERBIT:
(1).Kumpulan 30 Cerpen A.Kohar Ibrahim: “Seusai Badai & Korban”.
(2).Kumpulan 40 Esai Sastra: “CdB Dari Bum Pijakan Kaum Eksil.”
Penerbit: Titik Cahaya Elka, Batam Kepri. Editor: Lisya Anggraini.
Catatan : Nama asli, alias dan samaran. Sejak mulai melakukan kegiatan tulis menulis medio tahun 50-an, sebagai tanda-tangan digunakan nama asli A.Kohar Ibrahim atau lengkapnya : Abdul Kohar Ibrahim. Tanda-tangan untuk semua karya lukis : Abe. Sedangkan nama samaran atau pen-name : Aki, A. Brata Esa, Rahayati, Bande Bandega, DT atau Dipa Tanaera (Dipa Tanahaer Rakyat).
Entah sejak kapan ia mulai belajar berubah, yang aku tahu, tidak banyak orang yang bersedia berubah. Tentu berubah menjadi lebih baik, maksudku. Buat apa kita membicarakan perubahan ke yang lebih buruk. Secara alamiah, setiap orang memburuk. Itu sebabnya kita berbicara supaya tidak semakin buruk. Persoalannya, siapa yang sungguh-sungguh terurapi untuk menunjukkan perihal baik buruk ini.
Aku tidak ingin berdebat denganmu. Aku ingin bercerita tentang seseorang. Seseorang yang ingin menjadi batu. Mungkin kamu berpikir ini absurd. Jika demikian, itu persis dengan yang ada di benakku. Tetapi coba simak penjelasannya padaku. Begini kata-katanya waktu itu: “pada awalnya, aku bukan apa-apa, hingga aku belajar menjadi segala sesuatu karena seseorang memberitahuku, jadilah orang yang berguna.”
Aku pikir, kamu pun pernah mendengar nasehat yang sama: jadilah orang yang berguna. Celakanya, aku tidak paham arti “menjadi segala sesuatu”, dan ini kusampaikan padanya. Inilah jawabannya. gambar diunduh dari syahyudhi.blogspot.com“Lebih banyak orang yang hanya mau mendengar apa yang ingin didengarnya,” jelasnya suatu hari. “Itu sebabnya banyak nasehat yang tidak jujur.”
Kamu tahu, jawabannya semakin membuatku bingung. Dan itu menyedihkan.
“Segala sesuatu bukanlah manusia,” lanjutnya. Untung hari itu bukan malam Jumat. Aku lupa memberitahumu, kami biasa berbincang di malam purba nyaris larut. Andai waktu itu malam Jumat, mungkin pikiranku lari ke hantu atau segala macam jenis bukan manusia. Untungnya hari itu Sabtu malam di awal Desember. Itu sungguh menyenangkan. Tanpa bulan dan bintang, ia menyalakan lampu minyak. Lindap cahayanya resap ke dada. Suasana tenang. Begitu tenang hingga kadang kamu dapat mendengar degup jantungmu. Lalu dingin itu, begitu sempurna serupa tangan lembut udara malam menyentuh kulitmu, membangkitkan gairah terdalam sebuah kerinduan. Tangan lembut beraroma bunga kopi di atas tanah yang sedikit basah. Suara jengkerik atau serangga malam menjadi sesuatu yang biasa saja. Wajar jika ia memilih tinggal di sana, di tepi belantara.
Aku menatap teduh matanya, mencari sesuatu yang lebih jauh.
“Ketika manusia berambisi menjadi sangat berguna, tidak jarang terjebak menjadi bukan manusia. Tega membunuh. Tega mencuri. Tega menjual diri sendiri. Menjadi mesin, menjadi robot, menjadi tumbuhan, menjadi hewan, menjadi batu bahkan menjadi hantu. Ia menjadi segala sesuatu yang bukan manusia.”
Butuh waktu cukup lama bagiku untuk menangkap maksud kata-katanya. Dari rekam jejak yang kuselusuri, ia pernah menjadi kuli, pedagang asongan, penjudi, pengamen, dan ….pencuri. Tentu saja, semua itu masih tergolong manusia.
“Aku pernah menjadi batu!” Ia seperti tahu jalan pikiranku.
“Batu?” tegasku.
“Ya. Batu!” tegasnya. Sekali lagi. “Dan aku di sini untuk kembali menjadi batu.”
Aku pernah mendengar, setidaknya beberapa cerita tentang manusia yang kemudian menjadi batu, tapi cerita-cerita itu semacam mitos buatku. Kisah Malin Kundang, aku yakin kamu pun tahu persis jalan ceritanya. Yang lebih tua lagi, kisah Bandung Bondowoso dan Roro Jonggrang, – kamu dapat melihat patung Roro Jonggrang di candi Prambanan. Manusia yang dikutuk menjadi batu. Jika kamu menyukai Yogyakarta, cobalah sesekali berkunjung ke candi Prambanan. Itu hanya sedikit berjarak ke arah timur, megah menantang langit Merapi di utara, dan kokoh serupa benteng bagi komplek keraton jaman purba, Candi Boko. Pada musim hujan begini, ia begitu tenteram dengan hamparan hijau bukit berpepohon di sekitarnya. Sunyi adalah candi, dan engkau dapat datang padanya saat ingin bersembunyi. Maaf, ceritaku sedikit menyimpang.
Kembali ke soal manusia menjadi batu, sekali lagi kutegaskan, itu mitos. Ada satu lagi kisah manusia menjadi batu, atau lebih tepatnya menjadi patung. (Entah setan mana yang merasuki Seno Gumira hingga mampu membuat cerita yang begitu gila). Jadi, ceritanya begini, kamu tahu, iblis tidak pernah mati, nah itulah judul bukunya. Judul buku Seno Gumira. Sudah tahu kalau iblis tidak pernah mati, namun ada saja orang yang mencoba membunuhnya. Dalam buku itu dikisahkan seseorang yang begitu membenci iblis dan ingin membunuhnya. Lalu pergilah orang itu ke barat. Seseorang itu, boleh kamu bayangkan sebagai sesosok pendekar sakti mandraguna dengan pedang di punggung. Barangkali pendekar itu pernah bertemu Sun Go Kong atau Pendeta Tong, kamu tahu, mereka sama-sama pergi ke barat. Bedanya, yang satu hendak membunuh iblis, sedang lainnya hendak mengambil kitab suci. Aku tidak mengerti mengapa iblis dan kitab suci berada di sudut yang sama: barat. Tapi itu akan menjadi kisah lain lagi. Yang menarik adalah bahwa Pendeta Tong dan Sang Pendekar, sama-sama selibat, artinya tidak menyentuh lawan jenis. Nah, mungkin di sini ada semacam kekacauan pikiran ketika seorang gadis menunggu Sang Pendekar pulang dari barat. Dengan setia sang gadis berdiri menghadap ke barat menunggu dan terus menunggu kekasihnya kembali hingga menjadi patung. Ya, patung. Hingga berlumut. Hingga ada lagi pendekar lain yang pergi ke barat. Hingga ada lagi gadis lain yang duduk di hadapannya, menunggu kekasihnya kembali dari barat. Hingga dia tahu akan ada manusia menjadi patung serupa dirinya, membeku dan berlumut. Sendiri dan kesepian. Dan pertarungan melawan iblis menjadi pertarungan setiap orang.
Itu kisah manusia menjadi batu versi abad ini. Dan semua itu hanya dongeng.
“Tapi aku pernah menjadi batu!” ulangnya,” hingga aku belajar tidak lagi menjadi segala sesuatu, tetapi menjadi seseorang.”
“Ah, kata-katamu terlalu sulit kumengerti,” ucapku.
“Menjadi berguna itu baik, asal kamu tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Dan itulah arti menjadi seseorang.”
Malam itu, ya itulah percakapan di malam nyaris larut itu, di sebuah gubug sederhana di tepi belantara. Sangat hutan hingga bagiku kadang pekatnya terasa menjepit dada. Siapa yang dapat bertahan dalam sepi begini, pikirku saat itu. Ia yang dulu pernah menjadi pencuri, lalu berkuasa bagai raja, entah mengapa, ia kini menjadi bukan siapa-siapa.
Ia seperti membaca keraguanku.
“Jika engkau belum siap menjadi bukan siapa-siapa, jadilah seseorang di luar sana,” katanya penuh kasih.
“Aku ingin membunuh iblis. Harus selalu ada orang yang melawan iblis, meski iblis tidak pernah mati,” kataku mengulang kalimat di buku Seno Gumira. Entah mengapa, aku tidak merasa segagah para pendekar itu. Bahkan aku berlalu dari hadapannya dengan muka berlumur malu. Sangat sedikit orang yang bersedia berubah. Barangkali ia kini sudah moksa. Atau mungkin telah menjadi batu. Batu penjuru yang kuharap menuntunku kembali menjadi batu.
Being Stone
Flash FictionRagil Koentjorodjati
I don’t know since when he started learning to change, I know, not many people are willing to change. Certainly changed for the better, I mean. Why should we talk about a change to the worse. Naturally, everyone is getting worse. That’s why we talk so as not to get worse. The issue is, who is truly anointed to show the good and bad.
I don’t want to argue with you. I want to tell you about someone. Someone who wants to be a stone. Maybe you think this is absurd. If so, that is exactly what I had in mind. But try to see his explanation. Here’s his words at the time: “at first, I was nothing, until I learned to be everything because someone told me, be useful.”
I thought you had heard the same advice: be a handy person. Unfortunately, I don’t understand the meaning of “be all things”, and I told him about this. Here’s the answer.
“More and more people who just want to hear what tehy want to hear,” he said one day. “That’s why a lot of advice is unhonest.”
You know, his answer is getting me confused. And that’s sad.
“Everything is not human,” he continued. Fortunately, that day is not Friday night. I forgot to tell you, we used to talk late at night almost primeval. If time was a Friday night, my mind might run into a ghost or all sorts of non-human. Fortunately it was Saturday night in early December. It was really fun. Without the moon and the stars, he lit the oil lamp. Shade of light penetrating into the chest. The atmosphere is quiet. So quiet until sometimes you can hear the pounding of your heart. So cold, so perfect night air like a gentle hand touches your skin, arousing the deepest longing. Hand gently scented flowers of coffee which grown on a little wet ground. Insect cicada sound into something ordinary. Understandable if he chose to live there, at the edge of the wilderness.
I looked shady eyes, searching for something more.
“When people are ambitious to be very useful, it is not uncommon to be stuck not being a human. The heart to kill. The heart to steal. The heart to sell yourself. Being a machine, a robot, a plant, a pet, a rock and even a ghost. He became everything that is not human. ”
It took a while for me to catch the words mean. From the track record I’ve searched, he had become porters, hawkers, gamblers, singers, and …. thieves. Of course, all of that is still quite human.
“I’ve been a stone!” He seemed to know the way my mind.
“Stone?” I said.
“Yes. Stones!” he said. Once again. “And I’m here to get back into stone.”
I’ve heard, at least some of the stories about the man who became a stone, but the stories of myth for me. Story Malin Kundang, I’m sure you also know exactly how the story goes. The older again, the story of Bondowoso and Jonggrang, – you can see the statue of Jonggrang in the Prambanan temple. Condemned man to stone. If you like Yogyakarta, try an occasional visit to Prambanan temple. It is just a little to the east, the magnificent sky challenging Merapi in the north, and a similar strong fort for ancient palace complex, Boko temple. In this rainy season, he was so serene with the green hills surrounding by trees. Silent is a temple, and you can come to him when you want to hide. Sorry, my story a little distorted.
Return to the story of man who turned into stone, once again I assure, it’s a myth. There’s another story of a man into stone, or rather into a statue. (I do not know where the demon possessed Seno Gumira to be able to create a story that is so crazy). So, the story goes like this, you know, the devil never dies, well that’s the title of his book. The title of the book Seno Gumira. Already know that the devil never dies, but there are people who try to kill him. In the book it is told someone that hates the devil and wanted to kill him. Then the man went to the west. Someone that you think may be as powerful as warrior with a sword on his back. Perhaps swordsman that ever met Sun Go Kong or Tong Priest, you know, they both went to the west. The difference is, the one try to kill the devil, while others want to take the holy book. I do not understand why the devil and the holy book is in the same corner: west. But that would be another story. What’s interesting is that the Tong priest and the Swordsman, both celibate, that is not touching the opposite sex. Well, maybe here there is such a mess of mind when a girl waiting for the Warrior returned from the west. Faithfully the girl stood facing west waited and waited until his girlfriend back into a statue. Yes, sculpture. Until the moss. Until there is again another swordsman who went west. Until there is again another girl who sat in front of her, waiting for her lover back from the west. Until she knew there would be people like her, turned into statue, frozen and mossy. Alone and lonely. And the battle against the devil is become the battle of everyone.
That’s the version of a man who turned into a stone on this century. And it’s all just a fairy tale.
“But I’ve become a stone!” he repeated, “until I learned to no longer be everything, but to be someone.”
“Ah.., your words are too difficult to understand,” I said.
“Being useful is good, as long as you do not become a stumbling block for others., And that’s what it means to be a person.”
That night, yes, that’s a conversation late at night almost, in a simple hut on the edge of the wilderness. Very woods to me untill the feeling of the darkness pinch my chest. Who can survive in a quiet way, I thought at the time. He who used to be a thief, then ruling like a king, for some reason, he has become a nobody.
He was like reading my doubts.
“If you are not ready to be a nobody, be someone out there,” she said lovingly.
“I want to kill the devil. Should always be people who resist the devil, although the devil is never dead,” I said, repeating the phrase in the book Seno Gumira. Somehow I do not feel as strong as warriors. Even, I left him with a face covered in shame. Very few people are willing to change. Perhaps now he is moksha. Or may have been a stone. I hope capstone which led me back into the stone.
gambar diunduh dari informazioniunique.blogspot.com
Bu Marno dibuat geregetan setahun belakangan. Kamar sebelah dihuni oleh seorang gadis jomblo penyuka kucing berusia dua puluh sembilan tahun. Bu Marno dan si Gadis sama-sama menghuni rumah dinas yayasan tempat mereka bekerja. Yang bikin pusing tentu saja semua kelakuan si Gadis dan kucing-kucingnya. Suara mereka yang sangat ribut beradu dengan suara televisi yang menggelegar. Kucingnya bukan hanya satu tapi tiga ekor. Mulai dari yang badannya paling kurus berkaki panjang dan berdada montok bernama Meme, lalu yang paling kecil berbulu putih paling merasa cantik bernama Tutik dan yang paling gemuk berbulu paling panjang, paling manja, bernama Titin.
Ajaib! Ketiga kucing itu bisa bicara. Setiap hari mereka bermalas-malasan di lantai sambil ngoceh tak karuan dan menonton film Korea. Topik ocehannya macam-macam. Ada yang ngomongin kucing-kucing jantan imajiner, lalu gosip-gosip selebriti di televisi, dan yang tak pernah absen adalah ngomongin makanan. Sore harinya mereka berkebun dengan berkostum tanktop-hotpant sambil tetap ngeang-ngeong tidak jelas.
Kucing-kucing itu sangat mendewakan si Gadis sebagai sosok mamak yang perhatian, konsultan cinta yang jitu, orang penting karena dekat dengan para pembesar yayasan dan sering tercatat sebagai bendahara dalam setiap kepanitiaan. Titin, kucing termuda, paling terlihat mengagungkan si Gadis. Bu Marno semakin muak melihat gaya si Gadis yang tertawa-tawa bangga mendengar celotehan para kucing.
Dinding rumah bu Marno yang terbuat dari batu bata pilihan sepertinya tak mampu menjadi tameng bagi lengkingan-lengkingan mereka. Suaranya seperti menembus dinding lalu menusuk-nusuk gendang telinga bu Marno. Bu Marno selalu mengurung diri di kamar atau minggat dari rumah jika lengkingan tak juga berhenti, menyumpal telinganya dengan headset atau menaikkan volume speaker laptopnya. Suatu kali bu Marno pernah membanting pintu kamar. Tapi malang, bantingan pintu itu hanya disambut dengan tawa cemoohan dan sindiran-sindiran. Tak ada yang mempedulikan keberadaan bu Marno, sedikitpun.
Lahat, 15 Oktober 2012
*)Maria Ita, penulis kumpulan puisi Ibukota Serigala
Ah, ternyata begini rasanya terjebak dalam mobil bersama seseorang yang menarik seperti kamu. Di luar sana, hujan lebat. Dan kemacetan panjang berkilometer.Berhenti. Bukan cuma mobil ini, rasa-rasanya jantung ini juga jadi kurang lancar memompa darah ke seantero tubuh. Aku menggigil, bukan hanya karena dinginnya AC, tapi juga karena ada yang aneh di sini (menunjuk kening) dan di sini (mendekap dada…). Uhhhh…
Tapi sepertinya kamu nggak peduli. Sebab saat kulirik sepintas, jari-jari lentikmu asyik memainkan tuts Blackberry. Hush, ingin betul rasanya memprovokasi kamu supaya bersuara. Apa sih sebenarnya yang kamu tulis di situ, atau kamu cuma pura-pura membaca supaya terhindar dari intimacy bersamaku?
Suara hujan yang mengetuk-ketuk kaca mobil itu nggak mengganggu kamu ya? Tapi jelas menggangguku. Riuh rendah di sana, dan di sini rasanya sepi, sebab kamu nggak juga bereaksi. Atau kamu cuma menunggu aku memulai? Yah, supaya semua terlihat lebih mudah, lebih elegan, karena aku laki-laki dan kamu perempuan.
Rambutmu wangi, aroma tubuhmu aku suka. Hmm, kenapa baru sekali ini aku mencium aromanya? Parfume barukah itu? Hushhhh, tapi sedekat ini? Bagaimana aku bisa tahan?
Tahukah kamu, aku mengagumi kamu sejak beratus hari yang lalu, saat pertama kali aku menatapmu dan kesempatan seperti ini, sungguh takpernah kubayangkan bisa terjadi. Kudengar kata orang kamu begitu dingin dan pasif, tak peduli, terlalu sulit dimengerti.
Bayangkan, sedekat ini? Uhhh, aku cuma ingin merasakan betapa kehangatan bisa terbangun karena suasana begitu mendukung. Lalu mitos-mitos tentang kamu dan kebekuanmu bakalan cair di hadapanku.
Tapi, waktu kulirik sedikit lagi, kamu masih asyik berbalas kabar dengan entah siapa di ujung sana. Kamu sama sekali nggak menganggapku ada. Ahhh, kalau saja kemudi ini bisa kuajak bercakap, sudah kuajak dia bicara. Kamu tahu, ternyata kamu memang beku.
Tiba-tiba aku merasa rugi sendiri. Tadinya paling tidak ini kuanggap bonus dalam kesendirianku. Berbagi kabin sempit dan sejuk dengan orang semenarik kamu, tapi..
“Hei, please, kamu tau? Kamu itu cantik, kamu pintar, kamu mengagumkan, sungguh mati, aku fans beratmu!!!”.
Sudah.
Ah, leganya. Kulirik kamu di sisi kiriku sekali lagi. Kamu masih menunduk menatap layar Blackberry, membuatku jadi ingin tersenyum sendiri. Sungguh tak terbilang rasanya. Baru saja kuluncurkan pujian-pujian itu dan kamu tetap nggak tahu.
April 2008 Antara Cawang-Bekasi Suatu hari, kala hujan di siang yang lengas
Jadi ceritanya begini. Malam itu sudah mendekati larut, kautahu, itu waktunya orang beranjak masuk kamar, tidur! Aku menemaninya, entah kegiatan apa aku harus menyebutnya, yang jelas berdua di lantai balkon, lebih tepatnya tempat jemuran. Lebih dari 3 jam aku menasehatinya dengan berbagai katakata bijak yang kupungut dari mana saja. Ia diam. Aku berpikir, pasti katakataku telah memikat hatinya.
Lalu malam itu, ya, malam itu, rambutnya tertiup angin, tepat menampar mukaku. Wanginya menggoda. “Aroma apa?” tanyanya. “Bunga lili,” jawabku sok tahu. “Ngawur! Cobalah lebih dekat.” “Jangan, itu tidak baik. Nanti jadi gosip gak sehat.”
Entah kenapa dia tiba-tiba marah. Aku ditinggalnya sendiri di atap rumah. Sebulan tanpa kabar hingga aku memberanikan diri bertanya, kenapa?
Lalu jawabannya mengejutkanku. “Aku ingin kaudiam dan segera mencium rambutku. Bukan memberi kotbah sepanjang jam!”