Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 21

Begitulah kehidupan FDP. Cukup progresif dengan dunia anak muda maju terus menghayati pekerjaan. Dewi dan Dirga juga sudah ikut latihan meditasi ke rumah DR Pardomuan. Setelah beberapa kali dibimbing, mereka lakukan sendiri latihan meditasi di ruang monumental FDP.
“Bagaimana perasaanmu setelah mengenal latihan pernafasan dan meditasi. Kalian berdua sudah menjadi keluarga besar FDP jadi harus memahami bahwa sakit suka dirasa bersama-sama di FDP ini.” DR Pardomuan memberi wejangan untuk kedua staf ini.
“Iya…Pak, rasanya daya tahan kerja saya meningkat. Dan, saya merasa damai dan tenang walaupun ada rintangan hidup.” Dirga memberi keterangan.
“Kalau kau macam mana Dewi?” DR Pardomuan beralih ke Dewi. “Sama saja Pak, sama dengan yang dirasakan Dirga.” Dewi bicara singkat saja. “Saya khawatir kalau kalian salah tafsir dengan meditasi. Karena meditasi itu oleh kaum mapan adalah hanya sebagai alat untuk menyempurnakan kepribadiannya saja. Bagaimana supaya mereka semakin sabar, semakin tabah dan semakin dapat diterima oleh masyarakatnya. Pemahaman seperti itu salah. Meditasi itu adalah alat agar kita semakin bersemangat melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang berlangsung di tengah-tengah rakyat tertindas. Mempertebal nafas perjuangan kita. Jadi bukan menempa kita menjadi genit dan eksklusif.” DR Pardomuan memberikan pendapatnya. “Jadi, dalam latihan kalian harus kaitkan dengan program FDP, bukan hanya sekedar penata kepribadian yang terlepas dari perlakuan ketidakadilan kepada masyarakat miskin.”
Pada akhir tahun 1984 penyusunan laporan FDP semakin rumit saja. Karena laporan dilampirkan proporsal baru untuk tahun 1985 – 1988 sebagai tindak lanjut. Disamping proporsal untuk tindak lanjut, proporsal untuk peningkatan kesejahteraan melalui ternak ikan lele secara kolektif juga dilampirkan. Oleh sebab itu perlu rekrut staf baru. Mungkin juga restruktur organisasi pelaksana FDP dan staf baru untuk program ternak lele kolektif. Harus ada penambahan staf dengan 2 bidang kerja. Itulah hal yang paling mendasar mulai tahun 1985 ini.
Susanti tampaknya ingin keluar dari FDP. Karena selama ini dia yang sebentar lagi selesai kuliah dari fakultas hukum harus meninggalkan tugas bagian keuangan. Lembaga dana menuntut bidang keuangan dikerjakan oleh sarjana ekonomi.
Setelah 3 bulan hidup bersama Yuni dalam kesesakan, akhirnya Susanti merasa kalah. Dia menyerah merasa tak mampu hidup penuh keprihatinan bersama Yuni di kamar yang sempit. Di kamar itu pula tempat mengupas bawang, menampi beras, menggoreng sayur dan lain sebagainya. Kegiatan dapur di dalam kamar membuat ruangan sempit itu menjadi jorok, panas dan berminyak. Beberapa kali Susanti mengajak Yuni untuk tidak makan di rumah. Lebih baik kita tidak usah repot masak di kamar. Lebih baik kita makan di warung saja. Semula Yuni mau dan senang hati diajak Susanti, tapi lama kelamaan Yuni tidak bersedia. Dia merasa terlalu banyak pengorbankan Susanti untuk hidupnya.
Makanya sore itu Susanti kembali memboyong segala harta bendanya pulang ke rumah orang tua. Orang tuanya dingin saja melihat Susanti sudah kembali ke rumah. Mereka takut mempertanyakan alasan Susanti kembali pulang ke rumah. Mereka hanya bicara soal-soal yang prinsip saja. Kedatangan tukang ojek menjemput sewanya juga tidak disambut hangat seperti dahulu. Dampak dari kesesakan Susanti berada dalam rumah berakibat juga terhadap Muslimin.
“Aku sedang heboh memikirkan tempat lain selain kamar Yuni,” kata Susanti.
“Ah! Kau ini bikin masalah saja. Tahankan saja tinggal di rumahmu itu sebelum mendapat rumah sendiri.”
Kembali lagi beda pendapat antar Susanti dan Muslimin terjadi sebagai bunga-bunga cinta.
Tanpa disadari Ningsih selesai dari fakultas ekonomi universitas Zatingon. Setelah makan siang bersama di sekretariat FDP sekedar ucapan syukur internal FDP, Ningsih katakana, “Saya sudah sangat cocok kerja seperti ini di FDP. Saya tidak akan cari kerja di tempat lain.” Ningsih membuat semacam pernyataan sikap.
“Syukurlah kalau begitu, asalkan kau jangan merasa dipaksakan harus di FDP. FDP memberikan kebebasan mutlak untuk kita semua memilih tempat kerja.”
Tahun 1985 adalah tahun pengembangan program FDP. Pada periode tahun proporsal 1985 – 1988 akan dibentuk 7 kelompok tani, 3 kelompok peternakan ikan lele oleh ibu-ibu dan akhir tahun 1988 berdiri bangunan Balai Latihan dan Pendidikan 2 lantai lengkap dengan aula, kamar peserta, dapur besar dan lain lain. Untuk itu dibutuhkan penambahan staf paling sedikit 8 orang.
Armand menyusul Ningsih selesai dari fisipol universitas Sandiega beberapa bulan kemudian juga punya komitmen untuk tetap bekerja di FDP sebagai koordinator kelompok tani. Ucok juga tidak tertarik kerja di tempat lain. Ucok mengaku bahwa pengalaman kerja di instansi negeri maupun swasta tidak memberi kebebasan berekspresi seperti di FDP. Yuni diajak Susanti untuk kerja sementara di FDP sebelum mendapat tempat kerja yang lebih sesuai. Yuni senang sekali berada di FDP. Walaupun di sekretariat FDP sudah ada kompor dan alat-alat dapur, diangkutnya segala harta benda masak memasaknya ke FDP.
“Lebih baik aku masak di sini, nanti pulangnya aku bungkus nasi untuk makan malam di rumah.”
Yuni menjadi fasilitator kelompok ibu di desa Jaejulu bersama staf baru Maemunah di desa Pohontoru dan Inggrid di desa Kembangbondar di bawah koordinasi Ucok. Maemunah yang sejalan dengan kost Yuni bersama-sama naik motor ke FDP. Muslimin di kelompok tani Pohontoru bersama Armand ditugaskan mendampingi staf-staf baru dalam interaksinya di kelompok tani yang baru.
DR Pardomuan senang sekali melihat kondisi FDP yang sudah ramai dengan para muda yang tidak tergiur hidup dengan kelimpahan. Justru ingin bekerja bersama petani secara kongkrit. Sebuah kondisi kerja yang sudah lama diidamkannya. Walaupun anak kandungnya Arben Rizaldi tidak punya minat bekerja bersama rakyat, tapi, banyak anak muda yang sudah dianggapnya anak kandungnya sendiri dengan senang hati bekerja di masyarakat.
Satu komentar pada “Torsa Sian Tano Rilmafrid* #21”