Arsip Tag: santi

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #18

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 18

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Beberapa hari kemudian, dalam menjalankan tugas tukang ojek yang paling setia menjemput sewa manis dari kampus, Muslimin membuka pembicaraan.

“Aku heran tengok Arman. Pendapatku sebagai anak petani turun temurun tak pernah dihargainya. Seolah dialah orang yang paling paham tentang kehidupan petani.”

Susanti digoncengan lantas menjawab,”Sudahlah! Diamlah kau… Yok kita minum es campur sambil ngobrol.” Dicoleknya punggung Muslimin.

“Baiklah tuan putri nan jelita,” Muslimin langsung mengarahkan motor ke arah tukang es campur langganan mereka. Tempat mereka memperdalam intensitas perkawanan alias memperdalam hubungan interpersonal.

“Aku sangat setuju sama usulmu itu San. Pikiran petani itu tak usah dipaksakan untuk belajar seperti mahasiswa. Kasihan mereka. Kasihan bapakku.” Muslimin menyatakan dukungannya. dengan wajah serius.

“Ah!! Kau terus hubungkan diskusi kita dengan kondisi keluargamu.” Nampaknya Susanti tidak bernafsu bercerita serius sore ini. “Lebih baik kita ngobrol santai saja, tak usah yang berat berat.” Disendoknya tape dari gelas es campur. Makanan kesenangan Susanti.

“Tidak San, dua hari lagi kita akan membicarakan hal itu. Jadi kau harus punya argumentasi yang kuat mendukung sikapmu.” Muslimin dengan wajah tegang masih tetap kepingin Susanti tertarik membahas topik pembicaraan, sementara Susanti jadi iba hati melihat kawan dekatnya itu. Disentuhnya tangan Muslimin, “Iyalah Mus,.. terima kasih atas dukunganmu. Aku sudah tulis 2 lembar argumentasiku pada rapat mendatang. Nanti kau editnya.” Digenggam Muslimin jari tangan Susanti dengan penuh kasih.

Ketika Muslimin akan berangkat keluar dari es campur, berpapasan dengan Arman dan Ucok yang juga ingin minum es campur. Hanya bertegur sapa seadanya mereka berpisah. “Seenaknya Susanti ingin merubah cita rasa  FDP yang sudah capek-capek kita rumuskan.” Ucok menyalakan rokoknya.

“Iya…mungkin Susanti dan Muslimin tadi membahas hal yang sama dengan kita di tempat es campur ini. Ha…ha..ha..” Arman ringan saja melihat perbedaan pendapat yang terjadi pada pertemuan yang lalu.

“DR Pardomuan pasti tidak setuju dengan sikap Susanti. Dia berani meningalkan perguruan tinggi karena sangat percaya terhadap gerakan revolusioner.” Ucok memberi pendapat agar Arman tidak main-main dengan persoalan beda pendapat yang terjadi.

“Maaf ya… Cok, sampai rumah malam itu aku berpikir bahwa FDP tak mungkin mampu untuk mewujudkan mimpi-mimpimu.” Totalitas kita hidup menyatu dengan petani masih sangat kurang. Kita masih minat hidup agak genit tak mau ketinggalan trend anak muda masa kini. Lagi pula,…Kita sama sekali tidak punya kekuatan politik untuk merubah kebijakan pemerintah.” Akhirnya Arman terpancing untuk mengupas isi pembicaraan yang ditawarkan Ucok. “Macam mana pendapatmu?” Arman justru mendesak Ucok untuk berpikir realistis.

“Nantilah kupikir dulu masak-masak.” Ucok kelihatan melemahkan temperamennya.  Dirga Belanta juga tadi siang sudah nyatakan pikirannya bahwa untuk gerakan struktural di kalangan petani, kapasitas FDP masih belum memungkinkan. Sementara himpitan biaya hidup mungkin akan membuat petani semakin tidak bisa bergerak. Ucok yang mendengar pernyataan Dirga waktu di kampus merasa kecewa. Didesaknya Dirga agar konsisten terhadap garis ideologi FDP. Tapi, sikap keras Ucok sudah tidak dinampakkan lagi pada ngobrol dengan Arman di tukang es campur.

Sementara Ningsih dan Dewi Lyana tidak perduli dengan perbedaan pendapat itu. Mereka  habiskan waktu sampai 3 jam belanja di Monza setelah makan bakso di simpang empat Deigo. Tempat lain sarang mahasiswa-mahasiswa Rilmafrid sering bersantai.

Pada malam lanjutan pertemuan untuk menentukan garis kebijakan FDP, Susanti dan Muslimin tidak hadir. Tak ada yang tahu kenapa mereka berdua tidak hadir. Padahal tadi siang sudah ada tanda-tanda kuat akan terjadi rekonsiliasi. DR Pardomuan di sekretariat sudah memberitahukan angin segar tentang strateginya memecahkan perbedaan pendapat antar Ucok dan Susanti. Maka malam ini disampaikannya pesan itu.

“Baiklah, … tanpa Susanti dan Muslimin kita buka rapat malam ini. Sebenarnya Susanti yang paling perlu hadir, tapi ternyata sudah hampir jam 8 mereka belum juga datang. Pada awal perkenalan kita dengan Mukurata, sudah dinyatakannya bahwa di samping dana untuk organeser petani ada juga tersedia dana untuk peningkatan kesejahteraan petani melalui kegiatan ekonomi mikro maupun usaha-usaha produktif lainnya. Tapi, karena saya dan almarhum Tigor dan Mikail ingin mempraktekan gerakan revolusioner, maka untuk sementara kami tolak tawaran dana untuk pengingkatan kesejahteraan.”

Tiba-tiba sekretariat FDP diketuk. Rupanya ayah ibu Susanti yang datang, langsung dipersilahkan masuk. “Tadi sore Susanti lari dari rumah. Muslimin kami tugaskan untuk melacak di mana Susanti berada. Itu makanya hari ini mereka tak hadir pada rapat FDP.” Ayah Susanti mohon maaf merasa mengganggu acara FDP, sekaligus mohon bantu warga FDP untuk melacak keberadaan anak mereka.

“Di FDP maupun dalam pergaulan Susanti di kampus sama sekali kami tidak melihat ada persoalan mendasar yang membuat Susanti terluka.” DR Pardomuan memberi keterangan. Ucok tunduk seakan ada hal yang membuat dia menyesali dirinya. Hanya sebentar saja tamu sekaligus keluarga FDP itu berkunjung. DR Pardomuan tutup pertemuan dengan tamu. “Baiklah ..Pak kami akan bantu melacak Susanti. Kami pun minta maaf karena tidak mengikuti perkembangan anggota kami.”

 

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 17

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’