Arsip Tag: cerbung

Wanita Itu Bernama Marida #11 -Tamat-

Cerbung Willy Wonga

Leo menciumku. Gemuruh tepuk tangan segera bergeletar. Bening meluap dari mataku yang tak mampu terbendung, dan sekali lagi aku berpaku tatap pada wanita itu.

“Demikian kalian bukan lagi dua…,” sabda sang pastor terdengar mengambang di udara yang kering. Seronok kembang mawar di pintu membubungkan asa akan warna-warni cerlang-cemerlang setelah ini. Warna-warni hidup. Sekilas kulempar tatap pada wajah-wajah menatap. Ada gelisah terbalut senyum pun ada bahagia tersiram air mata.

Wanita itu duduk di barisan depan, di samping lelaki berambut uban tipis-tipis. Si suami terkasih. Sepuluh tahun terasa cepat beranjak, tak terasa tiba di hari ini. Hari tatkala kuganti dengkiku dengan cinta berlumur terima kasih. Air mata yang mulai menitik kini menghapus semua luka lama, sebersih gaun pengantin yang pernah dikenakan pada wanita itu.

marida sayangSepuluh tahun masa perangku. Aku pernah mengutuk dokter yang mencetuskan vonis atas penyakitku. Sebab, tanpa dia tahu, tanpa Andre tahu, dan hanya aku bersama wanita itu yang mengerti akan perasaan terguncang mendengarnya. Marida membantah Andre dan menjejal benakku dengan kata-kata:

“Percaya padaku. Aku juga dokter, dan kamu tidak sakit sayang. Itu adalah reaksi yang wajar…reaksi yang wajar…”

“Kamu tidak mengalami kelainan seperti anggapanmu,” atau;

“Kau wanita normal, sayang.”

Sungguh aku minta maaf pada wanita itu melalui senyumku. Semoga dia paham. Pasti hari-harinya telah amat melelahkan, setelah ditafik kehadirannya di rumah oleh anak tiri pengidap electra complex. Kemudian mengembalikan rasa percaya diriku akan cinta seorang ayah yang diam-diam tengah berjuang menyembuhkan penyakit anaknya.

Aku tak pernah tahu selama masa itu. Bahwa pada usia enam belas tahun hingga awal dua puluh satu tahun aku mengidap penyakit itu. Kata dokter itu fakta yang langka, fakta yang timbul akibat kehilangan seorang ibu. Kasus yang tidak sering terjadi.

Dan Andre, mengelabui penyakitku dengan sering tidak di rumah. Sementara waktu itu aku tahu dia sering kencan dengan para wanita cantik. Memang demikian kenyataannya, namun dia telah akui perbuatannya. Bahwa dia kesepian, bahwa sebenarnya dia sangat mencintaiku lebih dari apapun di dunia serta ingin menyembuhkan putri tercintanya.

Akhh…

Leo menciumku. Gemuruh tepuk tangan segera bergeletar. Bening meluap dari mataku yang tak mampu terbendung, dan sekali lagi aku berpaku tatap pada wanita itu. Dia tersenyum, mengingatkan akan senyum yang pernah ditulus-tuluskan. Namun kini senyum itu begitu menyejukan.

“Biarkan aku menggantikan Yohana,” kalimat yang pernah terlepas dari bibir mahaindahnya yang tak pernah rusak. Dulu dia tak pantas menyebut nama milik wanita berhati malaikat. Sekarang aku nobatkan dia setara dengannya. Mereka sungguh berhati malaikat.

Sepuluh tahun penuh perjuangan mestinya terbayar sekarang. Sekiranya terbayar dua tahun terakhir ini. Bagaimanapun aku angkat jempol buat wanita seperti dia. Marida adalah pohon belimbing di samping rumah. Semakin dipangkas dia makin bertunas, tidak lelah, tidak pula jemu merindangi. Sebaliknya aku adalah mawar di tanah tandus. Sejak Bundaku tercinta, Yohana tercerabut dari muka bumi dan Andre lupa menyirami, aku kerdil dan layu hampir sekarat.

Sempat dia angkat tangan, mengaku kalah. Namun berdiri lagi, hingga aku sendirilah yang menjadi lelah. Bukan lelah, aku yang menyerah. Pada pengorbanan dan cinta  Marida.

Pada ayahku, sungguh benciku tak pernah berlangsung lama. Selalu aku jatuh cinta lagi padanya. Tak akan terlupakan denyar-denyar bahagia di mata pria itu saat mendampingi acara konserku yang pertama. Dia bilas senyum minta maafnya dengan memelukku. Kembali membisikan kata-kata yang pernah Aku rindukan,“Aku sayang kau, malaikatku.”

Seharusnya mereka menyalahkanku atas kecelakaan yang membuat anak dalam rahim Marida menyapa dunia terlalu awal lantas dipanggil kembali oleh penciptanya. Aku membuat sebuah kerusakan dengan memaksa Marida yang tak mampu lagi memandang jemari kakinya waktu itu mengantarku ke sekolah. Dan berujung pada kecelakaan itu. Sungguh kasihan, Marida tak pernah hamil lagi. Entah setan berhati baik padaku atau Tuhan tengah mengutuki kecuranganku, waktu itu aku tidak peduli. Malah bersyukur.

“Kamu tidak bersalah sayang,” terbaring di ranjang Marida menegurku. Aku berburai air mata buaya. Waktu itu aku tidak tahu bagaimana perasaan seorang wanita yang keguguran.

Itulah ingatanku pada pernikahanku enam bulan lalu dari hari ini. Hari ketika aku memberikan ginjalku untuk wanita itu, berharap dia kembali sembuh dan tidak berhenti menyayangi anak suaminya.

Aku genggam tangan wanita itu. Dia masih tersenyum dalam baringnya.

“Jangan menyia-nyiakan hidupmu, sayang. Aku sudah menuju usia petang sementara kamu masih harus memulai rumah tangga kalian. Simpan niatmu, bila nanti anak-anakmu membutuhkannya.”

“Biarkan aku menolongmu. Aku sudah bulatkan tekad, tidak ada yang lebih berarti daripada saat-saat seperti ini untuk mengorbankan diri.” Aku mengingatkan Marida bahwa dia telah mengkhianati rahimnya demi aku. Leo kurang setuju sebenarnya namun aku merasa akan lebih baik bila tindakan ini dilakukan.

“Aku baik-baik saja,” air matanya kembali mengalir deras. Nadanya terdengar tidak pasti dan aku tahu dia bukannya tidak menginginkan donor ginjal dariku. Mungkin sebenarnya dia mau, namun enggan menerimanya. Seharian kami membicarakan ini. Marida bergeming dan aku tetap memaksanya. Hingga akhirnya dia mau menerimanya. Aku menangis kini. Benar-benar menangis, di pelukan wanita itu. Aku tahu bahwa penebusanku belum seberapa dengan pengorbanan Marida, tetapi setidaknya hal itu akan membuat Marida kembali melanjutkan hidup dan cinta sebagai ibu tiriku.

Sekali lagi aku tatap wanita itu. Apa jadinya jika dia benar-benar menyerah; pasti tidak akan pernah ada keseruan meminum bir di sebuah bar pada suatu bulan desember yang menggigil. Marida bilang di situ mereka bertemu, dia dan Andre, aku mendengus saat itu, akan tidak ada seorang wanita yang berani menamparku di depan Andre, lantaran aku bilang anak dalam kandungannya adalah tidak sah. Marida menangis setelah tangannya mengenai wajahku, aku memakinya berkali-kali. Atau bila dia menyerah, -mana mungkin pernah terjadi-, selama tiga hari berdua kami keluyuran di Bandung. Keluar masuk tempat-tempat jualan gaun dan kosmetik tanpa sepengetahuan Andre. Aku tiba-tiba rindu akan masa di mana aku berusaha melawan cahaya cinta dari mata Marida.

Ahhh, setelah sekian banyak waktu berlalu, aku berpaling pada Tuhan serta berharap Dia memaafkanku. Seandainya Tuhan memaafkan dan mengarunia seorang bayi mungil akan aku sertai nama wanita itu dalam deretan nama panjangnya. Pamella Marida Nugraheni  jika perempuan dan Francois Marida Putra bila dia adalah bayi laki-laki yang manis. Dan di hari ulang tahunnya yang ke tujuh akan kuhadiahi dengan sebungkus kado tua di belakang baju terlipat. Aku harap dia tidak kecewa dengan isinya nanti. Tetapi bila dia kecewa, tak apa, sebab aku juga pernah menaruh kecewa pada kado itu. Semoga seperti aku pula, anakku akan menyimpan di tempat tersembunyi, hanya dia yang tahu apa isinya, untuk di kemudian hari dia pandangi kembali dengan senyum minta maaf pula. Kado sederhana, sesederhana sebentuk cinta yang paling istimewa.
T.A.M.A.T

Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #10

Wanita Itu Bernama Marida #10

Cerbung Willy Wonga

Perang sepihakku. Hingga akhirnya wanita itu menyerah. Saat itu sudah tahun ke tujuh. Ketika aku mulai menemukan sosok pengganti Andre dalam diri Leo.

Tahun ketiga, wanita itu melakukan tubektomi. Dia terbaring di kamarnya selama seminggu setelahnya. Teman-teman Andre datang dan pergi. Lebih banyak dari mereka memberi simpati agar Andre tabah dan menerima keputusan mulia istrinya. Aku hanya masuk ke sana ketika dibutuhkan, ketika Andre tenggelam dalam alunan musik piano dan lupa mengantar makanan masakan Bi Imah pada Marida. Dia tersenyum dalam baringnya. Menanyakan apakah Aku tidak apa-apa selama seminggu ini sebab dia tidak mengantar ke sekolah. Aku bilang tidak apa-apa. Tidak bernada ketus, sedikit bertoleransi dengan keadaannya.

“Mengapa kamu melakukan ini?”  aku bertanya, dia memaksa diri tersenyum. Juga terkesan ditulus-tuluskan. Bagi Marida ini pertanyaan yang sama yang keluar dari mulut Andre. Pada Andre dia menjelaskan begini; betapa dia ingin hanya dengan mencintai Aleksa seorang, untuk membuktikan dia bisa menjadi istri Andre dan ibu tirinya, betapa rasa memiliki anak sendiri sudah tidak terlalu penting dibandingkan mengabdikan diri untuk cinta tak terbalasnya. Secara tersirat dia lebih memilih berkorban untukku ketimbang Andre, dan waktu itu Andre kecewa pada Marida. Terlebih Marida berniat melakukannya bukan untuk sementara.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com

“Sakit?” mungkin suaraku terdengar berpura-pura, tetapi membuat Marida menggeleng lemah dan tersenyum lagi.

Tetapi hari-hari tetap berjalan dengan apa yang telah ada sebelum ini. Perang sepihakku. Hingga akhirnya wanita itu menyerah. Saat itu sudah tahun ke tujuh. Ketika aku mulai menemukan sosok pengganti Andre dalam diri Leo. Mungkin akhirnya jiwa-raganya telah terkorosi dengan intimidasiku yang tak kunjung habis.

Di matanya ada sembab. Sementara dadanya yang busung menyimpan sebak tertahan. Tiba-tiba dia merindukan seorang bayi lain untuk menghapus penatnya mengabdikan diri buatku. Aku dengar dia berkata begitu. Dia terdengar menyesali keputusannya melakukan tubektomi, dan meracau bahwa aku tak mungkin tersembuhkan dari perasaan benci.

Diam-diam aku perhatikan momen-momen kemenangan ini, tatkala aku berhasil mengambil kembali poin juara serta mengembalikan rasa sakit padanya. Andre duduk di samping, membungkus bahu si wanita dengan sebelah tangan, di bawah langit malam berbintang cukup banyak. Kata-kata penghiburan membanjir dari mulut Andre, bercampur bujuk rayu yang mendamba. Semuanya agar wanita itu tidak menyerahkan kemenangan. Demikian maksud Andre. Dari sikap dan polah, tergambar kalau dia ingin Marida tetap kokoh menghadapiku.

“Aku tahu, memang berat bagimu..” demikian kalimat penghiburan itu terucap.

“Kamu sebenarnya tahu dari awal bahwa aku akan menyerah, bukan?”

“Shh, dia memang keras kepala, sayang. Namun hanya hati orang sepertimu yang mampu mengembalikan kepercayaan Aleks,”

“Lalu aku harus bagaimana? Aku takut, Andre. Takut mengecawakanmu, juga takut menyakiti Aleksa lebih dalam lagi.”

“Itu tidak benar. Aku yakin kau dan dia hanya butuh waktu. Aku tahu kamu mulai menyayangi dia, atau hanya perasaanku sajakah itu?” tanya Andre hati-hati. Takut meremukkan makhluk berlinang air mata dipelukannya.

“Kamu benar…” Marida sesenggukan, air mata makin deras mengguyur dari dua sumber yang telah banyak terkuras.

“Aku janji kita akan menghadapi ini bersama-sama. Aku tidak akan membiarkan kamu sendirian.”

“Ya, maafkan aku, Andre. Karena aku, dia kini turut memusuhimu. Seharusnya hanya aku seorang.”

“Tidak Marida. Aleksa telah memusuhiku sejak sebelum kedatanganmu. Ketika aku kehilangan jati diriku sendiri dan sering pergi meninggalkan dia.” Ucap Andre kacau. Terlihat kilau di mata pria itu. Aku tak yakin Andre bisa menangis.

“Semua lantaran dia butuh figur seorang seperti Yohana. Pasti dia sangat mencintai kalian berdua. Makanya dia tidak ingin kehilangan orang tercintanya lagi.”

“Jangan menyerah Sayang.” Tetapi wanita itu menggeleng layu.

Selain sembab, di mata Marida ada penat terjuntai. Sisa-sisa semangat telah terkuras selama tujuh tahun hidup bersama. Dia menyerah tanpa syarat dan hari-hari kemenanganku bakal datang setelah fajar menyingsing nanti. Namun, ternyata fajar baru benar-benar menyingsing setelah sepuluh tahun kedatangan wanita itu.

 

bersambung…

Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #9

Wanita Itu Bernama Marida #9

Cerbung Willy Wonga

 

“Demikian kalian bukan lagi dua melainkan satu…” suara Pastor bertalu-talu dalam telingaku. Aku tahu artinya, lalu di mana aku harus berada kini? Aku merintih dalam hati. Aku merasa ditinggalkan.

Suara musik di pagi buta menyingkap kantuk. Kendati kuap masih tergantung pada bibir, aku pasang telinga. Aku kenal aliran melodi serupa; yang mengalir bagai sungai tak berbatu, eine kleine nachtmusik. Musik favorit milik segitiga cinta. Andre menyukai Mozart dan Bethoven dan di masa lalu, kala pagi berdenyut dia putarkan musik itu. Seraya kami bertiga merayap bangun dari sarang berkasur.
Mungkin Mozart-lah yang memikatku lalu Andre menyekolahkan aku di sekolah musik sekarang. Musik semacam itu rupanya telah hilang selama ini, seiring runtuhnya kejayaan segitiga cinta milik kami. Baru pagi ini, serupa mimpi saja aku mendengar denting nostalgia berdengung. Mengalir menenangkan. Aku tahu kenapa. Nelangsa menggelayuti lagi. Otakku tak mau lekangkan aroma bahagia yang terkuar dari dua sosok antagonisku kemarin di gereja. Aku terpaksa memaksa diri tidak menangis kedua kali menyaksikan tali pernikahan tersemat pada masing-masing tangan di depan altar. Perut buncit Marida tertutup gaun pengantin putihnya, sementara Andre tak henti-henti tersenyum. Aku tahu dia bahagia setulus hati, mungkin setulus pernikahan pertama dengan Yohana, mungkin juga akan setulus pernikahan dengan wanita lain lagi bila Marida tak berjejak lagi lantaran sang Ilahi memanggil kelak. Selama Andre masih lelaki bebas.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com
“Demikian kalian bukan lagi dua melainkan satu…” suara Pastor bertalu-talu dalam telingaku. Aku tahu artinya, lalu di mana aku harus berada kini? Aku merintih dalam hati. Aku merasa ditinggalkan.
Hari-hari setelah pernikahan mereka adalah benar-benar gila. Musik selalu mengawali hari, mengawali kemesraan mereka di depanku sehingga aku harus-cepat-cepat berlalu untuk menghindari sakit hati lagi.
Buncitnya makin subur saja. Membuat Andre kehilangan selera terhadap kehidupan larut malamnya. Dia tidak pernah pulang subuh sejak Marida datang, lalu sekarang setiap petang dia telah sampai rumah. Aku tetap curiga tentang perempuan-perempuan teman kencannya. Entahlah apa wanita itu juga tahu mengenai ini. Kendati alasan Andre pulang larut waktu itu sebatas pekerjaan semata, karena studionya dibangun jauh dari rumah ini. Aku tetap curiga dia masih sering main dengan wanita lain.
Hari lekas berganti. Tak terasa telah enam bilangan bulan aku hidup bersama wanita itu dalam satu rumah. Kemesraan demi kemesraan melaburi waktu-waktu mereka berdua, menumpuk sakit hatiku.
Hari-hari melesat. Namun tak pernah mnyembuhkan perasaanku, setidaknya aku bertahan pada apa yang kini terasa telah menjadi bagian diriku. Marahku beranak-pinak. Pasti benci telah berkarat seperti jelaga. Dan dua tahun terlewat nyaris sempurna. Aku terus menantang Marida bertarung. Dengan segala hal dan pada kesempatan apa saja. Andre lebih banyak memilih bungkam. Aku sangka dia menjadi begitu jarang keluar malam lantaran wanita itu, aku sebenarnya iri dia mampu membuat Andre betah di rumah. Juga selama dua tahun ini, yang aku diam-diam berburuk sangka, bertiga kami selalu berakhir pekan. Merayakannya. Tetapi masih saja bagiku itu pura-pura sikap sang rupawati agar aku mengakui dia. Bah..!
“……. dokter dia …….. sejenis electra………,” kata-kata pertama di meja makan pada suatu hari di bulan agustus. Di luar dedaunan meranggas. Aku langsung tertegun di depan pintu kamarku, tidak jadi bergabung menghabiskan roti sarapan. Kendati aku tangkap hanya potongan-potongan kata, tetapi jelas mereka membicarakanku. Intuisiku berkata demikian.
“Jangan mengada-ada Andre, itu hanya masalah psikologis yang coba dirumuskan Freud. Aleksa tidak sakit.” Bantah Marida. Jadi mereka membicarakanku. Setelah nyaman hidup begini, maksudnya dengan tidak merasakan sakit apapun, tiba-tiba saja vonis itu terdengar mendakwa. Aku memaku langkah di depan pintu. Aku lemas dianggap sakit. Juga sakit hati jadi bertambah-tambah.
“Sekian persen kemungkinan memang itu terjadi pada manusia, Mar.”
“Tapi aku tak tega berkata begitu, itu hanya masalah psikis, mungkin aku berhasil mengembalikan kepercayaan dirinya.” Marida terdengar kacau.
“Kamu dokter, apa tidak bisa mengetahuinya dengan lebih pasti?”
“Dokter kandungan, bukan psikolog. Dia hanya tidak ingin kehilangan kamu.”
“Lalu? Apakah sepanjang hidup dia akan bergantung terus padaku?”
“Aku tidak tahu, Andre. Kadang-kadang ilmu tidak bisa menjelas hal-hal seperti ini.”
“Iya, tetap saja kamu lebih mengerti dariku.”
“Jangan memaksa aku Andre. Aku akan berusaha sekuat mungkin, tapi butuh waktu.”
Diam mengambil alih. Andre terlihat menghembus napas berat, mengolesi roti tawarnya dengan selai kacang.
“Aku tidak tahu bagaimana harus berterimakasih. Kamu orang yang tepat.”
“Jangan berkata begitu, aku terlalu kalut menghadapi ini semua, aku berpura-pura bertahan.” Andre terharu, terdengar dari katanya kemudian, “terima kasih sayang. Kamu tahu, aku tidak pernah salah pilih.”
“Maksudmu?”
“Kamu tahu kan, aku lebih memilih kamu ketimbang mereka.”
“Dulu kamu selalu meragukan; apakah wanita sepertiku, tukang aborsi ini bisa menerima seorang anak dalam hidupnya.”
“Kamu telah membuktikan bahwa kamu pantas.”
“Terima kasih. Jangan menyanjungku karena telah berhenti dari aborsi dan memilih menjadi pencinta anak-anak Andre.”
“Aku merasa jatuh cinta lagi.”
Terdengar mereka tertawa-tawa. Aku tetap diam saja. Sementara otakku mulai mengira-ngira. Aku sakit, namun rasanya bukan itu isi pembicaraan yang sebenarnya. Makin sembunyi mereka akan keadaanku, sebab aku tidak mungkin mencari tahu sendiri, tidak untuk saat ini, makin lestari rasa marahku.
Aku terus lampiaskan pada Marida. Terkadang aku menghabiskan hari di sekolah seniku, membiarkan Marida menunggu hingga malam di tempat parkir. Setiap kali dia bicara, aku diamkan saja. Lalu menyerangnya dengan kalimat-kalimat berisi penghinaan dan tuduhan-tuduhan. Tetapi sebalnya dia tak terpengaruh. Walaupun sering dia pias mukanya, oleh kalimatku yang serampangan.
Setelah aku tahu ada sebuah penyakit tersembunyi dalam diriku, aku uring-uringan. Apalagi bila Andre berada di rumah. Dan hanya kami berdua sementara Marida sibuk dengan pasien-pasien berperut buncit. Serta-merta Andre menyebut namaku, memintaku untuk diam dari keusilan atau sekedar berhenti dari sikap kanak-kanak. Bila kata-kata Andre menohok, aku berlari ke kamar tidur dan tetap di sana hingga malam hari. Kadang sampai malas berangkat belajar, sampai-sampai Andre menilai aku mundur pesat. Lalu aku pun berdalih karena kedatangan Marida.
Masih penasaran mengapa aku betah berada dekat Marida. Pernah aku bilang itu lantaran wangi lavender di tubuhnya. Bisa jadi jawaban itu tidak benar. Sebab tidak jarang dia menyiram tubuh pakai parfum jenis lain, dan aku tetap mau saja dia ajak berbelanja baju. Atau pada hari libur ke toko buku, ke toko peralatan musik sederhana. Aku tidak hubung-hubungkan ini dengan rasa marah. Memang, setiap berada dekatnya aku menyembur-nyembur lidah panas mirip naga dalam film kolosal.
“Aku tidak mau!” pintu kamar aku banting dengan kesal. Betapa tidak, hari ini, minggu, aku dia ajak ke salon. Mana aku mau. Bagiku itu hanya akan mempertegas kejelekan rupaku yang buat aku jadi perempuan sinting pembenci wanita cantik.
Marida buka pintu. Dia masih tetap cantik dari perempuan mana pun, menurut mataku ini.
“Tidak ada seorang wanita yang tidak mau tampil cantik…”
“Ada…aku,” aku sela bicaranya.
“Ayolah, cukup sekali ini saja.”
“Jangan buat malu, aku tidak mau!”
“Sayang, kamu terlalu keras pada dirimu. Sekali ini saja, setelah itu kamu boleh menolak.”
Aku lihat dia sungguh-sungguh. Atau setan tengah mempermainkanku sehingga aku bangun dari kasur. Melangkah gontai menuruti langkah kaki Marida. Kami ke salon, dan menjadi kunjungan terakhirku ke tempat bedah rupa itu.
Tak terbayangkan marahku meluap. Meja riasku berhamburan kaca-kacanya. Marida berdiri tegang di ambang pintu menyaksikan aku mengobrak seisi kamarku. Aku sakit minta ampun.
“Pipinya kelewat tembam, dia harus di…” aku menyerakan botol-botol kosmetik dari atas meja. Menghalau kata-kata yang menyinggung sisi hidupku yang terluka.
“Untuk hidung pesek, kamu mesti..” aku tidak mau ingat lagi kata-kata pelayan salon. Aku pungut sebotol penghitam rambut dari lantai, memandang wanita di ambang pintu melalu mata marah yang amat sangat, lantas melemparnya. Ah, Tuhan masih saja menyelamatkan hambanya itu. Padahal seandainya berhasil mengenai wajah Marida pastilah sedikit keindahan itu akan pudar.
“Aku tidak bermaksud buat kamu marah,”
“Diam!” aku bahkan berontak dalam pelukannya.
“Aleks..”
“Sialan!”
Sekilas sebelum dia keluar cepat-cepat dari kamar ada air mata terbentuk di mata Marida. Aku anggap itu bagian dari rasa bersalahnya, tetapi tetaplah pura-pura.
 
 
bersambung…
 
 
Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #8

Wanita Itu Bernama Marida #7

Cerbung Willy Wonga
 

“Aku suka seorang pemula, Mas, maksudnya orang baru di tempat ini. Lebih menarik karena penuh rasa ingin tahu. Tidak seperti mereka yang hanya mau menenggak alkohol sebelum ber-ihik di tepi-tepi pantai.”

Aku sebenarnya tidak mau membeberkan satu rahasia besar mengenai perempuan itu. Tentang siapa dia sebenarnya. Namun lantaran sekarang aku tengah melecut murka yang besar, biar aku tunaikan saja rasa ingin tahu akan dia. Marida, wanita itu ternyata pelacur. Hmm, betapa aku kasar memberi label padanya. Biar, supaya aku puas dengan menamai kehidupannya seperti itu. Lebih kasar dari pemuja malam atau pengejar rembulan atau penunggu pagi. Suatu hari di masa mendatang, tatkala perang ini berakhir dan masa damai mengalir bagai sungai dari surga, pelacur itu menceritakan sendiri kisah pertemuannya dengan Andre padaku. Penuh haru. Penuh bangga pula.
Begini aku terakan setelah aku kutip kisahnya;
Pada suatu malam terlupakan, sewaktu sepi menggigit dan penat menjalar hingga ke pangkal tubuh, Andre pertama kali jadi lelaki pulang subuh. Sebelum itu dia paling banter pulang larut, dengan alasan pekerjaan kendati aku telah simpan jawab bahwa ada perempuan teman kencannya.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com
Di salah satu tempat hiburan, Andre bertandang. Dia itu lelaki bebas, sebebas ikan berenang di lautan. Tetapi baru pertama kali ini dia berenang ke tempat hiburan paling vulgar. Di mana ada lautan segala macam serak suara. Di mana segala macam jenis ikan seperti dia datang setelah matahari melorot dari langit. Kemudian berenang terbius kemolekan kaum duyung setengah telanjang.
Lantas segelas bir terteguk. Riuh suara bersenggama dengan buih dari bibir-bibir gelas, bersatu menebarkan gairah para penikmat malam. Musik di sana berdecak, dan mengentak dalam irama yang hanya bisa diikuti dengan sedemikian indah para penari berbusana minim. Pada sudut gelap lenguh kadang terlempar begitu saja, melampaui sendawa alkohol dari masing-masing tenggorokan. Malam adalah malam, gelap serta penuh tipu daya. Kendati ada cahaya remang di sana, pun keramaian yang kentara.
Sebelum akhir kekacauan ini, aku tak tahu, selain bebas Andre pun lelaki sepi. Maafkan aku, semula kiraku cuma aku perempuan sepi kau jadi lelaki sepi pula sampai-sampai tega pula di waktu terkini aku benci akan dirimu!
“Mau ditemani, Mas?” sepotong nada bicara manja mendahului sesosok pribadi dengan rambut tergerai. Terkesan lupa disisir atau memang kesengajaan belaka. Kulit itu, dalam remang sekalipun Andre bisa menimbang seberapa lembut dan perlu berapa banyak bedak untuk melaburnya tiap hari. Namun, putihnya bukan lantaran bedak, asli. Tubuhnya matang sebagai wanita dan bukan seorang gadis lagi. Ada aura pesona di sana. Ya, seorang wanita yang menarik. Andre hanya tersenyum samar, membungkus gugup biar tak terlihat. Pantas dia gugup, sebab sebelumnya tak pernah muncul wanita secantik dia. Dan juwita malam melenggak duduk berhadapan, saling menatap sebelum Andre berpaling dengan muka merah.
“Mas sering ke sini? Atau baru pertama kali?” Bibir itu berlepot senyum.
Andre ragu sejenak lalu menggeleng pasti. Dia punya segudang wanita, namun bukan dari tempat begini dia dapat, juga tidak ke sini dia berajak kencan. Jadi ini pertama kali tentu. Tak apalah jadi pemula, toh setiap orang pasti pernah mengalami. Selalu jadi pemula sebelum terbiasa kemudian terbilang ketagihan. Segelas lagi bir tertuang, membasahi bibir Andre yang hitam oleh asap tembakau. Segelas lagi dia tuang untuk makhluk di depannya. Pasti akhir dua puluhan atau paling banter awal tiga puluh. Seorang wanita dewasa.
“Aku suka seorang pemula, Mas, maksudnya orang baru di tempat ini. Lebih menarik karena penuh rasa ingin tahu. Tidak seperti mereka yang hanya mau menenggak alkohol sebelum ber-ihik di tepi-tepi pantai.”
Andre tertegun. Dia cangkungi wajah wanita itu, bibirnya sedikit merah diwarnai, wajah polos tiada bercak. Pun tiada sebekas jerawat.
“Jadi, ini sebenarnya tempat apa?” tanya Andre polos sementara gelas bir ketiga telah memuarakan cairan kuning di lambung. Dia hanya tahu ini tempat minum. Bukan sekaligus wahana ber-ihik seperti kata wanita itu tadi. Di sini dia mirip anak kecil yang tersesat dalam permainan kartu orang dewasa.
“Mas seorang suami? Atau kekasih yang setia? Bila benar demikian, ini bukan tempatnya,” hanya perasaan atau benar kenyataan, suara wanita itu sangat mendayu, merayu barangkali lebih tepat.
Andre jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya perempuan ini, bila bukan seorang perayu, juga bukan penghibur. Apa dulunya dia tersesat pada gemerlap malam di sini hingga dia mau saja menasihati seorang pengunjung macamku? Gelas ketiga pun berlanjut jadi empat, lalu lima, enam…malam itu, untuk kali pertama Andre tidak pulang larut. Dia pulang subuh.
 
bersambung…
 
 
Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida 6

Wanita Itu Bernama Marida #6

Cerbung Willy Wonga

Dan pertanyaanku selama ini akhirnya terjawab. Bahwa mengapa tiba-tiba wanita itu telah berada di rumah tidak lain dari sebuah pertumbuhan kecil pada perutnya.

Aku pernah bilang; wewangian di tubuh Marida sering membuat aku betah berada di dekatnya. Wangi siraman parfum. Sebab saat menciumnya pertama kali aku jadi teringat suatu waktu pernah wewangian macam itu jadi milik kami, aku dan Yohana. Namun semenjak Yohana sudah tidak menjejaki bumi lagi aku pun berusaha melupakan segala kelimpahan surga yang pernah kami nikmati bersama. Aku suka wangi bunga lavender dalam kemasan botol parfumnya, entahlah ini mungkin sebuah kebetulan belaka. Bukan pekerjaan mulia mengusut-usut bau tubuh. Katakan saja Andre yang belikan dia parfum serupa milik Aku dan Yohana dulu. Berarti bukan kebetulan namanya.

Setelah secara menyakitkan gagal menang dalam perang frontal, aku mencetuskan perang dingin sepihak. Lebih-lebih saat-saat hanya aku dan Marida, semisal dia menjemputku usai belajar. Dia jemput dengan sebuah mobil yang tiba-tiba beberapa waktu lalu telah bersanding dengan mobil Andre di garasi. Aku tak mau ambil pusing mengetahui apakah mobil si wanita atau dibelikan Andre untuk dia. Kendati Andre pernah menabung untuk membelikan aku sebuah mobil lain yang sampai hari ini tabungan itu belum cukup juga.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com

“Mobil bukan barang mewah, Sayang. Aku akan membelikan satu lagi khusus buatmu.” Demikian katanya pada ulang tahunku, bukan yang kemarin itu, tetapi tiga tahun lalu.

Aku melancarkan diskriminasi terus-menerus selama perjalanan pulang itu. Apalagi Marida sering pula berputar mengelilingi beberapa tempat lebih dulu. Sekedar mengintip keramaian dan kemewahan kota dari balik kaca. Maka kupingnya kujejali sejumlah fitnah dan hinaan.

“Sampai kapan kau berhenti pura-pura jadi Yohana?”

“Maafkan aku jika aku nampak berpura-pura Aleks,” kata-katanya tidak berbelit, namun bagiku tetap kearifan dibuat-buat.

“Kau membohongi Andre bukan cuma dengan kecantikan saja. Rasanya aku lebih mencium kebusukan dari sikap baik seperti yang kau tunjukan.” Aku kunyah coklat di mulut hingga gigiku saling menekan. Gemas. Sadar aku telah sering bertindak kasar, aku tiada peduli. Marida bergeming. Dia pasti heran mendengar kata cela yang sangat pintar dan cekatan terformula oleh bibirku.

“Kau kira kau mampu bertahan setelah aku usir berkali-kali, tetapi bagiku itu tidak tahu malu.”

“Kamu kasar, Aleks. Perkataan macam itu hanya milik orang dewasa yang tidak berpendidikan. Belajarlah menggunakan kalimat yang lebih halus.” Dia tatap aku dan aku balas menantang matanya, sebelum dia memilih menghindar. Di matanya sama sekali tiada kemarahan.

“Kamu menyebabkan aku menjadi kasar, dan menyebabkan semua sikap burukku timbul.”

“Aku janji akan memperbaikinya, Aleks.” Marida pasti bosan beradu oceh, soalnya bicaranya tidak panjang lebar tiap aku menghinai dia.

Sering pula kami berhenti di tempat-tempat penjualan pakaian atau sepatu dan dia menggelontorkan sejumlah dana untuk menambah beban pada lemari pakaian dan rak sepatu. Selalu dia belikan dua. Buat kami berdua. Tetapi sogokan macam mana aku tidak surutkan dengki. Gaun yang dia belikan tak pernah kusentuh, apalagi sepatu.

Aku mengatakan untuk singgah di toko buku. Sebelum aku memaksa, Marida sudah suka rela menelusuri toko-toko yang ada dalam daftar mulutku. Dia tidak kesal, hanya menunggu di mobil sementara aku berlama-lama, pernah sejam lebih, mencari buku terbaik akan aku baca.

“Kamu tidak merasa bersalah?” sadar bahasa dan cara pengungkapan ledakan kemarahanku terkadang sering keluar jalur, aku tetap memaksakan membahasnya. Rasanya tidak cukup dengan bertindak, seperti membiarkan dia menunggu terlalu lama, atau mengusik waktu tidur siangnya dengan memutar penuh volume piano saat jari-jemariku bertingkah tidak setulus hati.

“Karena menyukai Andre? Andre butuh cinta yang berbeda, Aleks. Kamu tidak pantas bersikap mengikat. Dia mencintaimu, kamu mesti tahu itu. Tetapi dia tidak cukup dengan hanya memilikimu. Dia mau ada orang menggantikan tempat Yohana. Kamu tidak boleh berpikir egois.”

“Egoiskah mempertahankan seseorang yang kita cintai? Aku kira egois itu pantas tersemat pada dirimu.” Kami sama-sama wanita dewasa, pikirku, jadi aku terpikir pula kadar pemahaman kami sama.

Pernah sekali aku menghina bahwa dia mau menumpang tenar lewat karir Andre. Wanita itu tersenyum kecut, sejenak menampakan gusar pada raut. Sebelum gusar itu gegas seketika berganti diamnya yang seolah tabah.

“Mainkan sekali lagi Aleks.” Suatu siang Marida berhenti dari kursus memasak otodidaknya setelah mendengar dentingan piano.

“Bagus?” aku terpengaruh akan suara pemujiaannya dan lupa sejenak bahwa bisa saja itu akal bulus. Pura-pura senang.

“Kamu akan melampaui Andre dalam hal memainkan piano. Aku baru tahu kamu sehebat itu, ayo mainkan sekali lagi bagian terakhir tadi!”

“Itu hanya lagu bodohnya il Divo. Aku sudah sering memainkan lagu itu dan tidak ada yang benar-benar istimewa.”

“Siapa itu il Divo?

“Kamu tidak tahu? Setiap orang yang mengenal Andre mengenal musik. Il Divo para gelandang dari italia.” Aku mengoloknya. Menertawakan kebodohan Marida tentang sebuah nama grup musik.

“Mainkan sekali lagi lagu il divo itu.”  Dia bersungguh. Aku makin menertawakan, mengejek dengan memelodikan lagu itu dengan tidak terlalu benar. Tetapi Marida duduk di kursi sebelah dan terpaku mendengar. Kemudian bertepuk tangan.

Marida benar tidak tahu malu. Semakin aku keras mengingkari kehadirannya di rumah dia makin kerasan menghadapiku. Percekcokan kami berlarut-larut, bahkan sekarang aku syukuri Andre sering tidak pulang sampai larut. Dengan alasannya sebagai pencipta lagu. Jangankan hingga larut, hingga subuh seperti sebelum kala dia masih hanya denganku di rumah ini, aku sudah tak peduli. Sebab aku bisa bebas merajam dendam pada wanita itu.

Hmm, terlalu banyak aku bicarakan dendam. Juga terlalu banyak menjual kata cinta. Tapi sebanyak itu pula hatiku merasai keduanya. Cinta hidup berdamping dengan benci yang berbuah dendam. Saat menghabiskan akhir pekan dengan memilih menonton film di bioskop bertiga, aku tersiksa menahan penderitaan batin. Aku dan wanita itu duduk di sisi-sisi Andre. Mereka berbicara sepanjang pemutaran film sementara aku berkesan mendalami cerita di layar. Cemburuku sampai ke ubun-ubun, mungkin akan muncul asap tidak lama lagi dari ubun-ubunku.

Panas hatiku ini. Sesekali Andre menyadari kehadiranku dan memberikan ciuman lembut di pipi. Tetapi tidak seindah biasanya. Tawar dan terlalu basa-basi. Aku curi-curi dengar cakap mereka yang mesra, lalu aku layu lagi oleh nyeri di hati. Aku tahu mereka bicara masa depan. Wanita itu tertawa renyah seenak perut, dia mencuri momen seperti ini membalas semua penghinaan dariku. Dan pembalasan serupa itu sangat menyakitkan. Benar-benar akhir pekan yang memakan hati.

Pada sebulan terakhir ini Andre jarang keluar lagi. Apalagi di malam hari. Meski aku tetap menyebut dia dalam hati sebagai lelaki pulang subuh. Sekedar informasi saja, bahwa kedatangan Marida membuat Andre tidak pernah lagi pulang subuh. Dia jadi terbiasa pulang larut. Entahlah, pasti Andre tidak enak hati meninggalkan wanita itu sendirian sementara perasaanku terabai terus.

Dan pertanyaanku selama ini akhirnya terjawab. Bahwa mengapa tiba-tiba wanita itu telah berada di rumah tidak lain dari sebuah pertumbuhan kecil pada perutnya. Semula tak kuperhatikan, hingga suatu pagi hendak berangkat ke tempat aku belajar, kulihat gundukan samar di balik terusan yang dia kenakan. Kaki tanganku bergeletar. Betapa tidak, ternyata Andre tega berbuat curang. Bukan seorang saja dia datangkan ke rumah tetapi dua. Atau mungkin tiga bila ada dua mahluk lain pada perut Marida. Benar-benar kekejian paling menjijikan. Aku merasa makin tersingkir. Apalagi sebentar lagi Marida akan punya sekutu. Yang akan menggantikan perannya sebagai pengalih perhatian Andre dariku.

Oh, ya, Yohana, wanita berhati malaikat versiku mengajarkan; ketakjuban paling besar adalah ketika menyaksikan sesuatu tumbuh dari yang tak pernah terbayang sebelumnya. Dia mengubur dua buah biji salak di pekarangan, kemudian setiap pagi dia akan melewatkan waktu sekilas dengan memperhatikan pupus-pupus yang mungkin akan tumbuh dari balik gembur tanah. Aku kagum akan keteguhan hati Yohana, betapa dia sangat mengedepankan eksistensi Tuhan ketimbang ilmu pengetahuan. Saat kuncup-kuncup salak pertama kali membuka tirai tanah di atasnya, Yohana ingatkan aku bahwa hanya Tuhanlah yang mampu menciptakan keajaiban itu. Sains tidak punya penjelasan, menurutnya. Tuhanlah yang memberikan kekuatan menakjubkan pada tanah untuk merespon setiap benih yang ditanam, menutrisinya hingga pertumbuhan dapat terjadi. Aku percaya pada Yohana, hingga kemudian aku mencintai setiap kehidupan. Sebelum Marida turun tangan, akulah orang yang paling peduli pada tanaman di pekarangan itu. Aku kenang-kenang perasaan tak terdefenisi bila menyentuh bebungaan mekar menyeka pagi. Di waktu sebelum Marida datang lalu mendominasi kekuasaanku.

Namun ketika sebuah pertumbuhan lain terbentuk di perut Marida, pertama kali aku mengutuk keajaiban tersebut. Aku tak mau tahu apakah ini sebuah eksistensi Tuhan atau karena masalah sains yang dapat dijelaskan.

 

bersambung…

Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #5

Wanita Itu Bernama Marida #5

Cerbung Willy Wonga

“Kalian berencana menikah?” tanpa basa-basi, hujan badai persoalan itu kuturunkan. Aku telah memintal kepercayaan diriku untuk segera menanyakan perkara paling mendasar dalam rumah tangga ini yang mungkin sebentar lagi akan berantah. Setidaknya aku bakal remuk hingga ke tulang belakang.

Pernah membaca tulisan David J. Schwartz; The magic of thinking big? Wow, aku suka sekali. Aku suka kata-kata inspiratif dan provokatifnya tentang berpikir dan berjiwa besar. Bahwa segala hal berkaitan dengan proses berpikir. Aku sedikit banyak percaya.
Namun menerapkan ketika berhubungan dengan prahara Andre, adalah mustahil. Dengan runyam perasaan serupa ini, sulit bagiku terus berpura-pura suatu saat keberuntungan berpihak pada kesabaranku. Dan Andre akhirnya akan menjadi insaf bahwa aku mendambakan perhatian dari dia selama ini. Mana mungkin aku mengubah pola pikirku ini, yang selalu bercokol dalam benak dengan opini berbunyi; Andre akan dimiliki wanita lain atau setelah Yohana, sekarang Andre akan meninggalkanmu, mengkhianati cintamu yang seenteng seputih salju. Makanya aku benci kala ada wanita lain mengalihkan Andre. Terlebih wanita bernama Marida di rumahku kini.
Suatu hari, hari di mana untuk kesekian puluh kali Andre pergi dan tidak menjamin pulang sebelum larut aku mendekati Marida. Sementara wanita sainganku tengah menata ulang tata taman seenak udelnya. Aku tak hirau dia menata atau justru merusak. Itu urusan dia dengan beliau yang pecinta seni di mana entah dia berada kini. Aku masih kalut menghadapi persoalan datangnya manusia jenisku ke rumah ini. Karena dia datang tanpa persetujuanku lantas tinggal berhari-hari hingga hampir dua minggu. Padahal aku tahu dia punya rumah kontrakan di balik bangunan besar di sana. Hanya setengah jam berjalan kaki, sejauh aku dari sekolahku. Baru dua kali dia pulang ke rumahnya lalu kembali lagi ke sini. Kedengkianku padanya setara kebencian kepada Andre, tetapi kepada Andre selalu lebih kusembunyikan dalam lipatan senyum.
Menyadari kehadiranku, Marida berbalik. Telapak-telapak tangannya terbungkus plastik agar terhindar dari lepotan tanah sehingga bibirku mencibir. Bukan iri hati. Hanya merendahkan saja kendati kecantikan tetap membuat aku diam-diam terkagum padanya.
“Kalian berencana menikah?” tanpa basa-basi, hujan badai persoalan itu kuturunkan. Aku telah memintal kepercayaan diriku untuk segera menanyakan perkara paling mendasar dalam rumah tangga ini yang mungkin sebentar lagi akan berantah. Setidaknya aku bakal remuk hingga ke tulang belakang. Dia tebarkan tatap seolah bertanya. Berpura-pura bingung, dasar penggoda! makiku dalam hati.
“Mengapa kamu menanyakan hal itu?” ringan suaranya membuat aku makin meradang. Dia pasti tengah mempermainkan perasaanku. Sebab dia tahu dia sedang pada jalan kemenangan dalam pertarungan ini.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com
“Kamu tidak tahu aku punya hak untuk mengetahuinya? Atau kamu berpikir bisa bebas mencuri Andre dari hidupku?” sumbu percekcokan telah kunyalakan kini. Tinggal tunggu apakah dia masih wanita berhati sabar ketika menghadapi aku atau justru menuju titik rapuh kesabarannya sendiri. Semenjak dia berada di sini aku telah melepas umpan, sekiranya dia menelan lantas kulampiaskan tabungan kemarahanku. Namun hari-hari belakangan dia masih berpura-pura arif bijak. Tak masalah, aku akan mengikuti cara para pemburu paus di ujung pulau Flores, yang setia mengekor mangsanya hingga menyerah. Demikian aku menanti saat di mana Marida akan menyerah pada rasa frustrasiku. Kemudian perang ini menjadi benar-benar meletus.
Barangkali Marida belum tahu menahu bahwa Andre telah lama buat aku jatuh cinta. Cinta pertamaku. Bila bernostalgia di sudut kamarku akibat ditinggalkan Andre sendirian: aku kembali ke masa di mana awal aku menatapnya. Senyum penebar kehangatan begitu menawan di bibir yang telah mengucap bentak itu. Dialah pertama saat kubangun pagi yang menyapa dengan menyingkap korden kamarku. Kemudian menciumiku sepenuh hatinya, semurni cinta kami, hingga senyumku melumer pada dada bidangnya.
Barangkali aku tak akan lupa mengenai wanita istri pertama Andre. Betapa bijaksana perempuan macam dia. Oh, perempuan macam dia hanya patut dipasang sepasang sayap putih. Kemudian disandingkan dengan para malaikat langit, makhluk yang pernah disandangkan namanya oleh Andre padaku. Betapa dia berkorban membagi Andre dengan kehadiranku di rumah ini. Kendati kini aku kikir membagi pria itu kepada wanita lain. Dia merelakan cintaku yang sebening embun menyentuh mata hati Andre, sehingga aku tahu Andre kemudian mencintai aku. Yohana, nama perempuan berhati malaikat itu. Kami berbagi dalam hal cinta bersama Andre. Cinta segitiga sempurna. Pelan namun pasti, segitiga cinta menjadi alasan kenapa kami pernah atau ditakdirkan hidup bersama dalam satu rumah. Dua wanita mencintai seorang pria. Tentu dunia menyimpan sirik melihat cahaya cinta dari segitiga milik kami. Namun, entah Sang khalik tak setuju atau entah pula karena waktunya di bumi sudah cukup si wanita berhati malaikat akhirnya pergi. Saat aku masih tujuh tahun datang ke rumah ini. Bukan waktu yang lama untuk menikmati kekuatan segitiga cinta.
Perihal segitiga, manakala sebuah sisinya diambil mereka bukan segitiga lagi. Hanya sebuah bentuk yang entah. Masing-masing kehilangan sebuah penyangga. Niscaya berantakan. Ya, sepasang bentuk tak berbentuk apa; aku dan Andre. Aku tahu sejak Yohana meninggal, masing-masing kami goyah. Lalu jadi begini. Aku terbujur oleh kehancuran cinta yang pernah dibangun, sementara Andre terlepas bebas dari sekutu cintanya.
Tak usah lama-lama memikirkan kecemerlangan di masa lalu, Aku mesti kembali menatap wajah tak tahu malu ini.
“Kami sebenarnya tak mau menyakiti hatimu, Aleks. Andre bilang kamu belum bisa menerima kehadiran orang lain di rumah ini sehingga kami menyembunyikan hubungan kami selama ini.” Marida berujar seolah meminta maaf. Sayang aku bukan seperti Yohana, wanita berhati malaikat.
“Lalu mengapa sekarang kamu berada di rumah? Sementara tak sekalipun Andre tanya apakah aku sudah siap hidup dengan perempuan lain?” tak pernah surut lecut cambuk murka dari mulutku. Seperti melontarkan proyektil berulang-ulang ke medan saga.
“Aku mengerti perasaanmu, Aleks.”
“Kamu tidak mengerti karena tidak mengalaminya!” kesalku bertambah oleh suara sok tahunya.
“Aku bisa membayangkan bagaimana rasanya. Biarkan aku menggantikan Yohana. Aku tahu kamu amat kehilangan dia.” Tangan kotornya menyentuh bahuku. Aku menampik, kabut pekat makin gelantungan dalam benak mendengar nama wanita berhati malaikat disebut mulut perempuan hina ini. Demi kemuliaan nama Yohana, aku merasa dia tidak pantas menyebutnya.
“Kamu tidak tahu apa-apa mengenai dia. Tidak usah kamu berdalih atas kehilangan kami, namun lebih dari itu aku belum membutuhkan orang lain mencampuri hidupku. Juga Andre. Tak juga oleh wanita semacam kau!”
“Tak semestinya kamu jadi kasar, Aleks.” Dia buang muka. Berpaling, antara menyembunyikan sakit hati atau kejengkelan aku tidak tahu.
“Bukan urusanmu!” Memang aku bukan Yohana, si wanita berhati malaikat.
“Aku tahu kamu terluka, beri aku kesempatan membantu Andre menyembuhkan luka itu.”
Aku benar-benar kesal kini. Umpanku seolah terdampar pada air keruh. Dan wanita itu tidak juga terpercik api angkaraku.
“Aku bukan seorang anak kecil lagi. Jadi lukaku bisa aku sembuhkan. Asal jauhi Andre!”
“Orang dewasa juga punya luka, sayang. Malah lebih besar daripada seorang anak, kadang-kadang.”
Aku muak dia panggil sayang.
“Stop!” ya, aku mau berhenti mengulur waktu, ” jawab saja tanyaku; benarkah kalian mau menikah?”
Marida diam mengukur situasi. Matanya berkedip-kedip bukan disebabkan kotoran yang masuk. Walau aku harap kotoran telah merusak keindahan kejora mini itu. Dia hanya resah mendengar tanyaku.
“Ya,” jawabnya pasti. Aku terguncang nyaris rebah di tanah saat itu. Dunia terasa berputar terlalu cepat pada porosnya, merusak sistem kesadaranku. Dan aku merasa mengambang sewaktu dengar dia lanjut berujar,
“Dalam waktu dekat.”
Marida menang perang, dan pedangnya masih tertinggal di hatiku. Perih minta ampun.
 
 
bersambung…
 
 
Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #4

Wanita Itu Bernama Marida #4

Cerbung Willy Wonga

Aku teringat lagi akan wanita itu.
“Ini Marida,” kata Andre di hari ketika wanita itu muncul lagi. Ternyata seucap janji tentang cinta seumur hidupku tidaklah mudah dijalani. Ternyata cintaku pada Andre suatu hari, hari wanita itu datang, membara menerabas sekat kebencian yang telah kurenda sebelumnya. Kebencian terpendam akibat diabaikan demi wanita-wanita cantik pasangan kencan, juga teman minumnya, menemui saatnya mencuat seperti nanah dari bisul pecah.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com

“Marida, dia akan sering berada di rumah ini. Aku harap kamu bersikap baik pada dia,” Andre kembali bersuara memecah hening, memperkenalkan wanita itu. Aku terguncang: aku harap kamu bersikap baik pada dia!!
Tentu masih ingat aku akan kecantikan seperti itu. Natur hanya dipoles sedikit bedak. Aku menatap pesona di tengah ruang makan ini. Berdiri semenjulang Andre meski kini dia kenakan sepatu berhak. Dengan blazer biru langit. Kami bersipandang seberang menyeberang. Dia akhirnya lempar senyum, aku melengos mentah-mentah.
Tidak dibilang kalau kemungkinan ini terpikirkan. Bahwa Andre akan mendatangkan seorang wanita untuk menetap, bukan hanya sekedar teman kencan. Dari gelagatnya aku telah memastikan akan datang hari ini. Sungguh mengerikan punya pikiran demikian. Membagi Andre dengan wanita lain, bukan cuma terbakar cemburu tapi aku ingin mati sekalian saja. Meskipun sampai hari ini aku belum mati-mati juga.
Senyumnya terkembang lagi, aku tetap merasa senyum semacam itu ditulus-tuluskan. Drama permusuhan pasti tertangkap pada mata nan elok di sana. Oh, mata serupa sepasang kejora. Aku tiada berdusta. Meski tengah mempertahankan sesuatu yang masih samar dalam benak, aku mengakui kalah dalam hal keindahan rupa. Marida, nama wanita itu, punya wajah dua kali eloknya dariku. Kecantikannya makin menjadi-jadi saja. Bibir terbentuk sempurna, mengubah sepotong senyum yang -pasti biasa bila bertengger pada bibirku-, jadi sesuatu mirip rekahan kuncup mawar menyepuh mentari. Belum lagi pipi mahaindahnya. Aku berani bertaruh Andre akan menggadaikan semua miliknya hanya untuk merengkuh mahkluk di depanku. Tetapi nyatanya dia tidak mengeluarkan sedikit pun biaya memboyong Marida ke sini. Puja bercampur kutuk mengharubiru hatiku.
“Aku harap kamu suka dengan kado dariku.” Bicaranya sepotong. Tetapi suara seolah bermelodi dalam gendang telinga. Aku jadi limbung menyadari menyerah pada tawanan sebuah kecantikan yang sebentar lagi menguasai rumah ini. Setelah beberapa tahun hanya milik kami berdua, mungkinkah kini Andre telah memilih seorang lain untuk memiliki andil dalam hidup kami masing-masing? Lalu di mana akan dia taruh para gadis pasangan kencannya? Apakah aku akan makin tersingkir dalam persaingan yang tidak adil ini?
“Kupikir kamu punya nama bagus. Aleksandra kan? Kamu tahu betapa cantiknya nama itu?” pujian pura-pura. Jelas-jelas dia sedang memperolok titik lemahku, aku membatin. Aku selalu menyesal kenapa tidak dilahirkan secantik wanita seperti dia. Padahal ibuku cantik pula, kendati tetap kalah dari manusia mahakarya pelukis semesta ini. Bila ibuku kalahnya cuma sekali, aku dua kali.
“Jadi kau akan tinggal di sini?” akhirnya muncul juga tanya dari bibirku.
“Setidaknya kita akan sering bersama.” Sahut Marida ringkas. Dia beralih duduk di kursi menyusul Andre. Senyumnya tersungging sedikit malu-malu. Kecantikan dia, pesonanya juga senyumnya itu adalah satu hal yang terpisah dari dari rasa dengki yang dia terima dariku. Sampai hari ini, aku masih sering bertanya-tanya dalam hati mengapa hanya pada wanita itu, aku tidak menaruh benci pada kecantikan rupa? Malah terbalik secara ekstrim; aku memujanya.
“Maksudmu? Apakah kalian punya hubungan istimewa?” tatapku tertuju pada Andre. Menuduhnya, sementara dia balas menantang secara terbuka. Jadi lagi-lagi tanpa persetujuanku. Perasaanku tidak penting untuk jadi bahan pertimbangan.
“Ya.” Andre meneliti wajahku, tetapi cepat-cepat kubaluti dengan senyum. Aku adalah si pemurah senyum.
“Sudah berapa lama? Sebulan?”
Andre diam sebentar, menenun sekerat curiga di hatiku. Aku tak percaya mereka tidak sedang bermain mata di balik punggungku.
“Hampir enam bulan lalu. Baru sekarang aku perkenalkan Marida ke rumah.”
Pantasan dia tahu hari lahirku. Lalu menjejalkan kado tidak istimewa itu dengan berpura-pura memperhatikanku. Puih!! Pintar sekali mereka menyamarkan dusta, dan menurut sebuah tulisanm, dusta itu kebohongan terencana. Persis macam ulah sikap mereka. Pasti wanita itu telah mengakaliku. Pintar pula Andre menyembunyikan dia selama enam bulan ini. Sementara aku hanya tahu sebatas teman-teman kencannya. Dan manusia-manusia jenis lain yang sering datang mencuri hari-harinya. Sungguh sakit diabaikan, apalagi oleh seorang tercinta.
“Marida akan menemanimu di rumah bila aku tidak ada. Kamu tidak usah kesepian lagi sekarang.”
“Aku tidak pernah merasa sepi di sini.” Padahal seharusnya aku bilang sepiku telah menggunung dan bakal muncul lahar panas dari puncaknya.
“Aleksa!” tegur Andre. Dia menuangkan susu coklat panas ke cangkir untuk diletakan depan Marida. Andre menyadari nada ketidaksukaan terselip dalam sandiwara senyumku.
“Dia belum terbiasa,” bisik wanita bersenyum palsu pada Andre. Aku jadi muak diperlakukan demikian.
“Aku bukan anak kecil lagi. Juga tidak butuh ada orang lain mencampuri hidup kami.” Aku semprotkan amarah tepat ke muka Marida, membuat Andre berang. Dia tatapku dengan dingin yang membekukan hingga suasana benar-benar senyap. Sesuatu yang baru dalam diri Andre. Napasku tertatih menahan nyeri. Sekejap aku melambungkan harap agar Marida mengulangi bisik yang sama. Meski tidak tulus sekedar meredakan angkara siap meletus di puncak bibir. Tetapi dia diam.
“Aku tidak suka kamu bersikap kasar!” aku tak berani pandang sumber bentakan barusan. Mukaku terjepit antara dua pandangan mereka. Aku kecewa untuk kesekian kali; Andre begitu menghargai perasaan Marida dan mengabaikan Aku, wanitanya selama ini.
“Aku minta maaf,” desauku. Hancur hati ini berkeping-keping. Dan aku bersimbah malu pada perempuan di sampingnya. Sekali lagi, aku jadi wanita nomor dua dan aku makin kehilangan Andre.
“Kamu jangan terlalu keras padanya,” sekali lagi bisik halus terdengar. Dalam sumpek aku mendumal di hati; wanita tipu daya. Beraninya kau mengatur Andreku!
“Aku yang salah,,” aku tak tahan kini. Malunya diri ini mesti menyerah. Berurai air mata kutuntun tubuhku melewati mereka.
Mengabaikan pandangan-pandangan penuh kebohongan menuju kamar tidurku. Menumpahkan banjir air mata atas kecurangan Andre. Baru sekali ini Andre melontar amarah. Dan aku menangis di depan dia untuk pertama kali semenjak aku jatuh cinta. Bukan aku sengaja memang, tetapi karena senyum yang kugadai sebagai penawar luka hati sudah tak mempan. Aku menangis di atas kasur. Menumpahkan kekesalan pada lelaki yang kucintai selama ini.
Sudah kuberitahu Andre lelaki bebas. Sebebas ikan berenang di lautan. Lalu apakah wanita itu tahu pula bahwa Andre sering menghabiskan waktu dengan teman-teman kencan? Bila tidak, dengan teman minum?
Di hari Marida pertama kali tinggal di rumah Andre pergi hingga larut. Dia bilang ke Marida tidak usah menghubunginya hingga dia pulang sebab ada urusan penting. Wanita itu percaya begitu saja, sementara aku mengurung diri di kamar. Saat makan siang aku dengar ketukan di pintu kamar. Pasti Marida, mengingat Bi Imah senantiasa memanggil namaku bila menyatakan makanan telah siap di meja. Aku tak beranjak dari rebah, oleh sakit hati dan kecewa yang beranak pinak. Ketukan berulang lagi, diikuti sepotong suaranya,
“Bangunlah, aku memasak sesuatu untuk kamu coba.”
Perhatian pura-pura lagi! Belum apa-apa dia sudah unjuk kebolehan di dapur, pasti tidak lama lagi Bi Imah akan terusir. Dan aku akan mempertahankan wanita setengah baya tersebut sebagai pembantu. Persetan dia pintar masak atau keluaran sekolah koki di Itaia sekalipun jangan harap lidahku menyentuh makanan buatannya.
“Aleksandra…” aku bayangkan betapa bibir indahnya menyebut namaku hati-hati. Takut terdengar kasar serta terkesan tidak pantas mendampingi Andre pencinta seni.
“Kamu tidak boleh begitu. Tadi pagi kamu lupa sarapan lalu sekarang kamu tidak mau makan siang lagi?” dia rangkaikan kalimat perayu dalam sentuhan suara halus. Tapi aku tidak mudah disogok. Apalagi sesama wanita, sedikit banyak aku tahu perhatian macam itu kadang dibuat-buat. Dan aku bukan Andre, aku musuh besarmu! Aku biarkan beku semua ucapnya di depan pintu. Beberapa patah kata lagi terucap dari Marida sebelum dia berlalu.
“Aku tunggu kamu di meja makan, ya,”
Persetan dengan bujuk rayumu! Aku tak ingin makan sepanjang hari. Bahkan ketika malam hari, waktu Andre pulang, dan lelaki yang kini aku benci itu memanggil namaku berulang-ulang aku cuma menjawabnya dari balik pintu. Dia bilang aku harus makan malam bersama mereka berdua. Aku jawab tidak mau. Dia paksa aku membuka pintu dengan berkata akan mendobraknya. Aku katakan kalau aku sudah makan tadi sore masakan Bi Imah. Tak lama kemudian Andre pergi. Kemarahan dan kebencian yang menyala-nyala membuatku rela tidak makan sepenuh hari.
Kutekan rasa laparku dengan memikirkan semua kesalahan masa lalu ciptaan Andre agar aku punya alasan untuk makin membencinya. Malam itu aku tidur tengah malam. Setelah air mata kering dan tubuh benar-benar penat sementara besok pagi aku akan bangun kembali dengan semangat kebencian makin berkobar.

bersambung…

Baca cerita sebelumnya:

Wanita Itu Bernama Marida #3

Wanita Itu Bernama Marida #1

Cerbung Willy Wonga

 

cerita bersambung
gambar diunduh darii bp.blogspot.com
Kali pertama berjumpa dengannya, wanita itu, aku ingat; bibirnya terbelah membentuk senyuman ditulus-tuluskan, rambutnya tergerai kusut terterpa angin dan dia berjalan dari pinggir jalan dengan sebungkus kado berpita merah terang sementara pertemuan dua ujung pita dijalin jadi sebentuk hati tidak terlalu sempurna. Aku takar usianya, sekitar awal tiga puluhan. Boleh jadi awal empat puluhan sebab rias selalu berhasil menipu. Belum lagi aku tak pandai menebak usia. Dia semampai dengan kulit terang menakjubkan. Barangkali seanggun ratu Elisabeth yang belum pernah kulihat, atau bahkan setara peri yang tak pernah aku percayai dongengnya. Pada rentang jarak begini saja, bahkan dalam dedas angin sekalipun masih bisa terasakan pesona tertebar dari cara dia menatap. Pun dari cara dia tersenyum meski terkesan ditulus-tuluskan. Aku putuskan kecantikannya adalah anugerah Tuhan semata dan sungguh untuk pertama kalinya aku memuja kecantikan milik si wanita. Tetapi senyumnya hanya senyum buatan.
Gigil membuat gegar tubuhnya sangat kentara di balik balutan baju kemeja serta celana dari katun sebatas lutut sewaktu dia berjalan. Aku berdiri di tempatku berdiri menyaksikan dedaunan basah terseret menjauh dari pohon searah angin dingin, menyaksikan perempuan itu datang mendekat. Dia terburu-buru akibat iklim tak bersahabat dan cepat-cepat berdiri di depanku. Terlalu terburu-buru bagi sosok seanggun dia. Kemudian, secara tiba-tiba, aneh dan sangat tidak kumengerti adalah dia lantas menabrakku. Aku tak terkejut karena dia orang asing, lebih karena tiba-tiba dia mendekapku. Menangkupkan wajahku ke dadanya yang busung seraya mengucapkan selamat ulang tahun.
“Semoga panjang umur dan Tuhan senantiasa memberkati.”
Ucapnya pun terasa ditulus-tuluskan. Tak apalah, aku biarkan saja dia melempar perhatian kepadaku dan aku tak berusaha memeluknya. Aku kaku dalam dekapnya, dan dalam dekapnya hidungku membaui wewangian yang menguar dari tubuh serta rambut si wanita, wangi bunga lavender. Tubuhku sedikit tergeragap, tergeletar. Wangi itu benar nyata meski aku harap hanya ilusi. Ini tentang masa lalu, wangi ini, aku telah sangat menyukainya. Bunga lavender seolah hendak memeras kenangan lama lewat wangi khasnya yang menerobos hidung.
Pernah ada wanita lain, di suatu waktu yang kini telah jadi sejarah. Semua orang setuju dia adalah wanita menarik. Berkulit hitam manis, berambut ombak dengan senyuman menyejukan. Barangkali semenarik wanita yang mendekapku ini. Dan wanita hitam manis yang dulu juga akan melakukan hal-hal terindah dan terajaib saat ulang tahunku. Hadiah darinya merupakan hadiah paling tulus di antara hadiah lain. Kendati hanya sebuah sepatu bukan model terbaru, atau sepotong gaun yang belum sekalipun terlihat dikenakan gadis-gadis dalam televisi. Tetapi, kendati terwujud sederhana, dia berikan sebagai simbol cinta seorang terkasih kepada kekasihnya. Aku tahu itulah arti dari cinta; tak terkatakan dalam bahasa manis, tak termapatkan dalam sebuah kado ulang tahun, tidak tergombal dalam satu pelukan asing. Layaknya akan ada lantunan komposisi Mozarth atau Bethoven meretaki desau angin, aku rindu sepasang tangan lembut membopongku menghapus dingin merajam kulit. Akh, segera kubelit lidahku yang hendak mengucap kata terima kasih, kututup keran air mata yang hendak terbuka sendiri, sebab kiraku wanita itu hanya pura-pura. Dan masa lalu menjadi selayang angan-angan.
Kemudian, secepat dia datang demikian wanita itu berlalu setelah menyerahkan bingkisan dari tangan. Seolah memburu kereta, hanya sekali dia berbalik melambai. Lalu tidak lagi. Mataku tak lekang dari punggungnya hingga dia menghilang di balik bangunan besar di depan sana.
Malamnya, pesta. Aku duduk menekuri lantai, hanya telingaku meningkahi setiap senda gurau orang-orang terundang. Betapa tak berarti apa-apa semua ini. Tangan-tangan dengan menggenggam segelas minuman mondar-mandir dalam ruang tamu cukup besar di rumah ini. Di luar desau angin menerpa jendela, mendesir lewat dedaunan. Selepas tengah malam, semua akan berakhir pada satu tarikan napas berat. Orang-orang angkat kaki dengan mencoba tersenyum terbaik. Membahasakan harapan agar aku makin dewasa, makin sukses dan makin lalu makin yang lain lagi. Aku sudah merasa penat, pusing serta kehilangan selera terhadap tradisi omong kosong ini. Sebenarnya aku tidak suka pesta. Tidak butuh berapa banyak orang datang mengucapkan selamat, jemu mengumpulkan kado-kado di pojok kamar dekat lemari hingga tiba saatnya diberikan pada pemulung atau sering aku sengaja menjatuhkannya di jalan pangkalan para pengemis. Tidak suka akan pesta, berarti aku tidak suka diperhatikan orang-orang. Tidak, aku tidak seharus mengatakan sebaliknya: aku tidak suka orang memperhatikanku sehingga aku tidak suka pesta. Apalagi bila banyak dihadiri wanita cantik seperti sekarang.
Saat tengah malam, selesai menjamu tetamu aku duduk setengah berbaring di kamarku. Tatapku lekat pada kado dari wanita asing tadi siang. Aku membayangkan sesuatu yang istimewa di dalam bungkus kado yang meyakinkan tersebut, sebab ada bentuk hati pada jalinan pita. Pahamilah, aku suka diberi bingkisan bagus, mewah dan tidak urakan. Bukan karena perempuan mata duitan aku ini, lebih karena perempuan semata wayang. Kemungkinan pula lantaran terlahir sebagai anak semata wayang, maka jangan sampai aku lempar hadiah itu ke pinggir jalan yang menurutku lebih pantas dipungut pengemis biar dia kesenangan ketiban rezeki.
Sialan, tidak timbul rasa suka pada diriku melihat isinya. Biarlah aku saja yang tahu itu apa. Dikiranya aku anak kecil yang manis sehingga perlu dibekali dengan ini? Atau gadis kemayu, agar dengan ini seorang pemuda bakal bertekuk lutut, menyembah kecantikan? Tetapi aku bertoleransi, sebut saja pengecualian, sebab tidak aku buang untuk si pengemis beruntung. Seandainya bukan karena kedatangan yang mengesani tadi, aku pasti sudah membuang hadiah ulang tahunku itu, minimal setelah beberapa minggu terpajang di atas meja. Namun, sebaliknya setelah melihat isinya dan memutuskan tidak terlalu istimewa dari segi manapun aku membungkus kembali. Dipitai kembali tepat seperti semula dengan jalinan hati pada ujung-ujung pita lalu kusimpan dalam lemari pada belakang timbunan baju terlipat.
Wanita itu hanyalah salah satu perempuan yang datang di hari itu. Hari ulang tahun tanpa seri bahagia pada wajahku. Aku pun jadi terkenang-kenang akan senyum terpaksa milik dia. Andaikan tadi bukan senyum yang ditulus-tuluskan niscaya kelihatan lebih menawan lagi, pasti akan memekari wajah cantiknya. Ahoi, jangan heran bila nanti aku selalu memuji kecantikan serupa milik si wanita. Bukan aku keterlaluan dengan menganggap dia wanita tercantik di bumi lantas mengabaikan wanita lain, tetapi lantaran sepanjang aku bertemu dengan segala wanita dialah orang paling cantik. Jadi, tak apalah hingga akhir cerita ini dan bahkan hingga akhir hidup nanti aku terus membuka mulut soal kecantikan wanita itu.
Di kemudian hari, aku yakin akan takdir. Bahwasanya perempuan itu dan aku terlahir ke dunia dalam satu paket, dan bahwa hari ketika dia datang dengan kado tidak istimewa hanyalah awal kisah yang telah tersemat dalam semesta. Begitu pula, mengapa sampai sekarang aku masih ingat-ingat dia, besok pun pasti aku tetap kenang dia, dan akan terus demikian.
 
 
bersambung…

 
 
Barangkali Anda tertarik membaca cerita yang lain:
Torsa Sian Tano Rilmafrid*
Gadis Terbungkus Kertas Koran
Istri yang Sempurna
Kecantikan Perempuan: Membawa Berkah atau Musibah?

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #19

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 19

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Tidak ada yang menyangka bahwa Susanti berani bertindak nekad meningalkan rumah hanya berbekal beberapa helai baju. Dan, sudah dua hari dilacak, belum juga ada perkembangan. Muslimin yang paling heboh ke sana ke mari mondar mandir mencari di mana Susanti berada, belum juga menemukan titik terang. DR Pardomuan sudah janji akan tulis proposal untuk arisan ternak ikan lele untuk diajukan ke Sabidaor Foundation terpaksa menunda kerjanya. Kembali lagi FDP dirundung malang. Memang program FDP dapat terus berjalan, walaupun suasana hati warga FDP tersendat gara-gara kasus yang menimpa keluarga Susanti.

 Tanpa diketahui oleh orang lain, akhirnya Muslimin menemukan Susanti.

“Om dari Trieste akan datang ke Rilmafrid. Setelah menghadiri pernikahan sepupuku, aku akan pulang bersama dia ke Trieste. Aku sama sekali tidak tertarik menetap di Trieste. Itu makanya aku melarikan diri dari rumah,” terang Susanti.

Muslimin baru teringat bahwa dia pernah dapat amanah untuk menyampaikan hal ini ke Susanti. Tapi, karena dia tak berani melaksanakan amanah orang tua Susanti, terpaksa Susanti harus melarikan diri dari rumah.

“Dua hari lagi aku akan pulang ke rumah, karena Om akan pulang besok. Aku segan saja bertengkar dengan orang tua di hadapan Om,” Susanti lanjutkan menerangkan.

“Oh…,kalau begitu tak ada persoalan serius, — yang penting kau bisa mengatasi masalahmu dengan orang tuamu.” Muslimin mencoba menenangkan jiwa Susanti.

Tadi pagi kawan kuliah Susanti yang tidak dikenal warga FDP dan tak dikenal orang tua Susanti sengaja menjumpai  Muslimin di rumahnya. Juni kawan Susanti sampaikan pesan bahwa Susanti berada di rumahnya kepingin jumpa dengan Muslimin.

Perjumpaan tersebut tidak disampaikan Muslimin kepada siapapun. Hanya kepada DR Pardomuan saja Muslimin sampaikan kabar baik itu, agar DR Pardomuan bisa langsung kerja memburu tugas membuat proposal susulan ke Sabidaor Foundation. Dia serahkan persoalan lari dari rumah dapat diselesaikan berdasarkan proses yang berlangsung. Muslimin yakin bahwa Susanti pasti mampu mengatasi masalah ini dengan baik dan benar.

Berada di rumah orang tua yang melahirkannya, dari waktu ke waktu membuat Susanti semakin sesak. Sudah tak dirasakannya kebahagian tinggal bersama  keluarga dalam satu atap. Tidak seperti dulu, ketika almarhum Tigor dan Mikail sering main ke rumah. Intervensi keluarga terhadap kehidupannya membuat Susanti semakin merasa sesak nafas. Sementara, sang ayah ibu merasa bahwa Susanti semakin sulit diatur. Segala bentuk penggunaan waktu dan uang Susanti sama sekali tak bisa lagi mereka monitor. Susanti semakin misterius di mata orang tuanya.

“Seolah ada api dalam sekam di rumah kami,” Susanti curhat ke Muslimin.

“Sabarlah kau, kan  sebentar lagi akan selesai kuliah,” Muslimin coba besarkan hati Susanti.

“Eh, kok sok kali bicaramu! Sok orang tua. Sok memahami jiwa anak muda. Padahal kita sebaya.” Ternyata Susanti kesal mendengar ucapan Muslimin.

“Sama kau ini serba salah. Suntuk kau lihat keluargamu, aku jadi kena sasaran,” Muslimin jadi jengkel.

“Hua..ha..ha..dijatuhkan Susanti kepalanya ke bahu kiri Muslimin. Digenggamnya tangan Muslimin penuh mesra. “Untunglah kau ada di sampingku Mus. Aku tidak merasa sunyi.”

Di dinding tepas pinggir pantai yang agak terbuka mereka duduk menghabiskan ikan bakar makanan kesenangan Susanti. Warung sederhana itu sedang tidak ramai pengunjung sehingga mereka lebih leluasa bercengkerama.

Anak gubernur Rilmafrid telah menyelesaikan studi sipil arsitektur di Amerika. Bersama rekan-rekan alumus Amerika mendirikan perusahaan kontraktor di Trieste. Tentu saja dengan gampang segala proyek kebijakan pembangunan phisik di tingkat nasional dimenangkan oleh perusahaan mereka. Membangun koneksi dengan berbagai departemen pemerintahan atas restu orang tua sebagai pejabat negara langsung terjalin. Salah satu mega proyek pembangunan pusat perumahan mewah di Rilmafrid dipimpin oleh Ir Ricard Lonardo anak gubernur Rilmafrid.

Ricard Lonardo adalah kawan Susanti satu SMA, patah arang karena cintanya tak disambut Susanti. Malam ini datang lagi ke rumah Susanti dengan penampilan yang sudah sangat berbeda dengan penampilan anak SMA ABG belasan tahun yang lalu. Betapa gembiranya ibu dan ayah menyambut Ricard. Betapa inginnya hati mereka apabila dapat berkeluarga  dengan gubernur. Tapi, hati nurani Susanti bertolak belakangan. Susanti sama sekali tidak tertarik pacaran dengan Ricard.

Secara filosofi Susanti katakan, “Aku sekarang mau mencoba menghargai hal hal yang non material. Aku mencoba mengerti bahwa manusia tidak akan puas hanya karena soal-soal material”. Ricard mungkin tak paham maksud Susanti yang secara tidak langsung menyatakan tidak setuju dengan profesi Ricard yang penuh gemerlapan material. Karena tidak mengerti kalimat yang dimaksud Susanti, Ricard tetap saja selalu datang  untuk melakukan pendekatan. Dipikirnya lama kelamaan pasti Susanti akan luluh dan menerima kehadirannya. Apalagi kedua orang tua tersebut mendukungnya.

Kekesalan Susanti memuncak di rumahnya yang macam api dalam sekam. Obsesi Susanti yang kuat untuk mengenal kehidupan mahasiswa yang hidup pas-pasan, kembali lagi menggugah pikiran Susanti. Ditinggalkannya rumahnya berbekal beberapa helai baju saja. Ricard nampak kecewa malam itu di hadapan ayah ibu. Tapi, tak bisa bilang apa-apa, selain menunjukan rasa solidaritasnya terhadap kepedihan hati kedua orang tua tersebut.  

Kamar indekost Yuni beserta kompor dan segala peralatan dapur sederhana adalah tujuan Susanti. Yuni sangat heran melihat sikap kawan dekatnya, Susanti, yang tidak mau hidup cukup sejahtera. Tapi dia tak berani bertanya tentang hal ini, karena Susanti kelihatan tegang dan berbeban berat.

“Aku yang besok belanja dan masak makan pagi dan siang. Kebetulan besok aku kuliah sore.” Yuni diam saja sambil menjahit sarung bantal yang koyak untuk Susanti. “Tapi, jangan lupa, kalau bisa sempatkan jumpai Muslimin, Ini ongkos ya…Yuni.” Yuni terima duit itu dan tetap diam kebingungan.

“San,.. kalau besok masak di sini, hati hati ya. Kompor sangat dekat dengan buku kuliah dan lemari pakaian.” Diusap Yuni keringatnya yang bercucuran. Kali ini tidak ada lagi yang heboh mencari Susanti, karena alamat jelas Yuni ditinggalkan waktu berangkat dari rumah.

“Yah,…kalau itu pilihan hidupnya, Kita bisa bilang apa?” “Biarkanlah dinikmatinya hidup yang dipilihnya itu.” Ibu kesal tidak membolehkan Ricard menjumpa Susanti di rumah Yuni.

Tetap bersama tukang ojeknya Susanti juga ke sekretariat FDP. DR Pardomuan ingatkan Susanti,”Yah,…walaupun sudah pisah rumah, sesekali kau perlu juga berkunjung ke rumah ayahmu. Terus mengikuti perkembangan rumah sekaligus informasikan kegiatanmu. DR Tumpak Parningotan juga sudah tahu bahwa kau tidak tinggal di rumah orang tuamu. Beliau ikut memberi pengertian agar orang tuamu membebaskanmu dalam menentukan jalan hidup.”

Susanti tak sangka bahwa begitu besar perhatian DR Pardomuan dan Om-nya, DR Tumpak Parningotan, terhadap dirinya. Teman-teman se-FDP juga demikian. Ada rasa prihatin melihat Susanti merasa terkekang di rumah orang tuanya.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 18

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #17

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 17
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Tak terasa waktu berjalan terus. Seakan hari yang berkesan di FDP datang kembali  bersama Tigor dan Mikail. Kesibukan menyusun laporan tahunan membuat iklim FDP mengenang dan merenungkan kedua rekan sejati yang telah kembali ke pangkuan Illahi. Tampak kapasitas Dirga Belanta dan Dewi Lyana kurang mampu mengimbangi semangat kerja kedua teman tercinta itu. Susanti yang paling repot dibikinnya. Harus ajari Dewi menyusun laporan keuangan, harus juga dialog panjang dengan Ucok, Arman dan Dirga merancang program kerja tahun mendatang.

Tapi, di sisi lain FDP merasa gembira. Karena Muslimin sudah mulai pintar menulis artikel, opini dan apa saja untuk diterbitkan mass media atau pun jadi bahan baku refleksi internal FDP. Tak perlu lagi DR Pardomuan pakai nama samaran di koran. Karya orisinil Muslimin sudah lolos seleksi artikel di media massa.

Kemampuan sosialisasi di tengah masyarakat umum dengan suguhan lelucon-lelucon segar adalah cara khusus Muslimin di FDP. Singkat cerita cita rasa Muslimin sudah berubah. Sudah tak kampungan lagi karena kepercayaan dirinya meningkat tajam. Muslimin sekarang memangku jabatan ketua 1 Senat Mahasiswa.

Kota Rilmafrid sudah menjelma menjadi kota metropolitan. Bangunan gedung mewah gemerlapan bertaburan menambah kesesakan kota. Berjalan seiring dengan meningkatnya masyarakat urban memadati sudut-sudut Trieste. Sebuah konsekwensi logis akibat dari perkembangan Rilmafrid tanpa kontrol adalah: biaya hidup meningkat tajam, kriminalitas semakin tinggi, kehidupan malam yang melecehkan harkat kaum hawa dan masih banyak lagi dampak negatif yang terjadi.

Beberapa LSM baru tumbuh mengkonsentrasikan programnya untuk mengantisipasi akibat-akibat buruk yang disebabkan oleh paham developmentalis yang dianut Trieste sebagai negara boneka kapitalisme.

Beberapa kali diusahakaan ada kerja sama yang baik antar FDP dengan LSM yang bekerja diperkotaan. Tapi, sampai sekarang belum ada program kongkrit yang dapat dikerjakan secara bersama-sama. Sedangkan tentara, polisi dan preman mendapat tugas tambahan guna menghadang keberadaan LSM yang dituduh anti pemerintah.

Tanpa disadari, FDP juga harus ikut menyesuaikan diri terhadap realitas Rilmafrid yang berubah ini. Citra diri FDP juga harus bergeser. Sudah jauh dari apa yang ada di kepala Tigor dan Mikail yang terobsesi gerakan radikal revolusioner.

Dalam diskusi perdana FDP Januari 1984 terjadi perdebatan yang keras antar sesama staf dalam rangka merumuskan arah gerakan FDP ke depan. DR Pardomuan yang memulai pembicaran dalam rapat tersebut: “Revolusi Perancis adalah revolusi yang dilakukan oleh kaum proletar. Kaum proletar adalah kelas sosial yang paling rasionil dalam sejarah peradaban manusia. Karena mereka yang secara langsung dapat mengikuti proses produksi di pusat-pusat industri. Misalnya saja seorang buruh rendahan yang bekerja memotong tali listrik dalam pabrik yang memproduksi lampu neon. Kalau kita tanya dia  tentang tahapan produksi di pabrik tersebut, maka dengan lancar dapat diterangkannya dengan lengkap. Termasuk kalau dia diberi tugas untuk mencatat berapa banyak bahan baku yang masuk setiap hari ke pabrik. Dan, berapa banyak hasil produksi yang dikeluarkan oleh pabrik tersebut setiap hari, pasti dia dengan mudah dapat memahaminya. Dan, seandainya buruh pabrik mempelajari manajemen keuangan perusahaan, pasti mereka dapat paham seberapa banyak uang yang harus diterimanya setiap bulan. Pasti jumlahnya jauh di bawah gajinya. Oleh sebab itu untuk membangun tingkat kesadaran buruh dengan menguraikan realitas yang terjadi lebih gampang dari pada kaum tani.

Beda dengan kaum tani. Ada dua orang petani memiliki lahan pertanian yang sama luasnya.  Dan menanam tanaman yang sama dari bibit yang sama pula. Tapi, seorang petani lebih sejahtera dari pada kawannya. Hasil panennya jauh lebih banyak dari pada petani lain. Maka dengan gampang si petani akan menuduh bahwa lahan itu bisa berhasil karena ada arwah nenek moyang mereka yang memberkati lahan pertanian tersebut. Sangat gampang mitos-mitos ditelan begitu saja oleh kaum tani. “Nah, apakah dalam FDP program pembelaan petani kita konsentrasikan untuk penyadaran hukum, atau kita beri dana khusus untuk mengelolah usaha produktif lainya di samping usaha tani yang sudah mereka geluti sejak 2-3  generasi yang terdahulu?”

Inilah pangkal perdebatan yang tajam di FDP.

Susanti bersitegang untuk mengatakan bahwa gerakan seperti yang digariskan pada awal FDP menjalankan program sudah tidak tepat dilaksanakan saat sekarang ini. Karena kesempatan petani untuk banyak berpikir tentang pembelaan secara hukum sudah tidak ada lagi. Mereka sudah sangat letih dan miskin untuk penyadaran hukum. Oleh sebab itu pengembangan ekonomi melalui  bidang usaha pertanian lainnya sebagai konsentrasi program FDP pada tahun ini.

“Kita harus mengubah cita rasa petani terhadap kehidupan ini. Peluang untuk bertani tanaman lainnya yang lebih produktif masih terbuka luas. Sedangkan  usaha menuntut dinas pertanian untuk menyalurkan bibit dan pupuk kepada petani sangatlah memerlukan energi yang besar.”

Ucok keberatan atas sikap Susanti. “Apa kita akan menciptakan kaum kapitalisme kelas rendah di masyarakat petani? Dan, membiarkan korupsi terus merajarela di pemerintahan?”

Pendapat Ucok didukung oleh Dirga Beranta dan Arman. Sedangkan Muslimin walaupun tidak terlalu ekspresif sebenarnya mendukung pikiran Susanti. DR Pardomuan yang bingung untuk memfasilitasi dua arus pemikiran yang bertentangan ini. “Nampaknya kita butuh satu kali pertemuan lagi untuk mentuntaskan masalah ini. Pertemuan kita malam ini hanya sampai di sini.”

Ningsih dan Dewi Lyana sudah menyediakan dirinya untuk tidak perlu terlalu paham atas perbedaan pendapat yang sedang terjadi di tubuh FDP. Dewi katakan, “Makan merekalah program itu sampai mual. Yang penting soal duit dan kerapian administrasi dapat kita kerjakan dengan baik.” Ningsih hanya senyum simpul mendengar pernyataan Dewi yang sangat mencintai pekerjaan keuangan FDP.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 16

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #5

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 5
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom
“Tigor.., tak usah kau bingung. Nanti aku jumpakan kau dengan Om (adik mamaku) yang doktor teologi,” kata Susanti, “beliau mungkin nasibnya persis sama dengan DR Pardomuan.
Tigor tersentak. “Persis sama? macam mana maksudmu?” Mikail juga terkejut mendengar ucapan Susanti.
“Gagasannya tentang pelayanan jemaat sering ditentang oleh pendeta-pendeta. Tapi, dia tak perduli, dia tetap berkotbah dan selalu mendapat simpatik dari jemaat. Dia tidak mengundurkan diri dari hirarki gereja. Jadi tidak macam DR Pardomuan yang meninggalkan perguruan tinggi.” Susanti tampaknya kenal betul dengan Om-nya yang doktor teologia.
“Sekarang dia tugas di mana?” Tampak hasrat Mikail ingin jumpa dengan Om-nya Susanti.
“Oh,…dia tugas di Propinsi Kepriano. Bulan ini akan datang berkunjung ke sini, karena ada keponakannya yang melangsungkan perkawinan. Kalian todong saja dia untuk diskusi panjang, Pasti dia bersedia,” kata Susanti sambil berdiri menuju dapur membuat minum untuk Tigor dan Mikail.
“Okelah kalau begitu. Segera kirim surat untuk beliau mengatakan maksud kita kalau Om itu datang ke sini.” Tigor lega, beban beratnya tak dipikul oleh dirinya sendiri. Sudah ada Om-nya Susanti yang bersedia membantunya memikul beban berat tersebut.
Keluarga DR Pardomuan adalah orang kaya berat sejak tujuh keturunan sebelumnya. Sehingga, profesi dosen yang ditinggalkannya tidaklah menggangu biaya hidup keluarga. DR Pardomuan sekarang hidup dari bunga deposito bank setiap bulan warisan keluarga. Beliau berhasrat juga berjumpa dengan bapak Pendeta DR Tumpak Parningotan (Om-nya Susanti). Di ruang meditasi samping rumah utama DR Pardomuan, Tigor sampaikan kabar baik dari Susanti. Setelah mendengar kabar baik itu, DR Pardomuan mengalihkan pembicaraan. “Sekarang ruang meditasi kita masih sunyi dikunjungi orang. Mungkin masih sibuk dengan urusan tahun baru bersama keluarga. Tapi, saya khawatir tahun ini semakin berkurang anggota FDP,” kata DR Pardomuan.
“Ah..! tak usah khawatir Pak,..kapal tetap bisa berjalan walaupun hanya tinggal nahkodanya saja di dalam kapal.” Mikail memberi semangat DR Pardomuan. “Forum kita harus tetap berjalan walaupun hanya tinggal kita bertiga anggotanya.” Mikail melanjutkan ucapannya.
“Ah.., sudahlah. Tolong tutup pintunya, aku mau latihan pernafasan,” kata Tigor kepada Mikail.
Duduk layaknya seorang pendeta Budha dengan mata terpejam, Tigor mulai latihan pernafasan. Sementara DR Pardomuan dan Mikail duduk di teras depan menikmati kopi hangat sore hari. Sedangkan istri DR Pardomuan, sedang kedatangan tamu, mengintip mereka dari jendela rumah utama. Sang tamu adalah ibu tetangga yang merasa heran melihat kegiatan mereka.
“Apa mereka tak capek dengan cara hidup yang sangat serius,” kata sang tamu.
“Saya pun heran dan sering kesal melihat suami saya menghabiskan hari-harinya hanya untuk meditasi sepanjang waktu. Tapi, saya tak kuasa melarang suami saya, karena saya yakin batinnya tersiksa melihat realitas perguruan tinggi yang sangat bobrok. Makanya saya biarkan saja dia heboh melayani kedua murid setia yang goblok ini. Hua…ha…ha….” Mereka tertawa melihat DR Pardomuan dan Mikail sedang ngobrol serius. “Anak saya, saya larang mengikuti kegiatan ayahnya. Saya takut nanti anak saya sudah puas hidup seadanya seperti ayahnya. Untuk apa hidup seadanya kalau kesempatan hidup mewah masih terbuka lebar. Hua…ha…ha..” Kembali lagi istri DR Pardomuan tertawa puas.
Arben Rizaldi, anak tunggal DR Pardomuan, muncul dari kamar. Rupanya dia dari tadi mendengar isi pembicraan ibunya dengan ibu tetangga. “Semua anak muda sedang mendaki gunung yang puncaknya berbeda,” katanya. “Ada yang puncak gunungnya hidup kaya berlimpah ruah. Ada yang puncak gunungnya hidup seperti selebrity. Tapi, tak ada anak muda mendaki gunung yang puncaknya “kekonyolan” seperti Tigor dan Mikail. Hua..ha..ha..” Sekarang ketawa mereka bertiga semakin deras. DR Pardomuan dan Tigor tak sadar bahwa mereka menjadi objek pembicaraan. Sekaligus objek bahan tertawaan. Mereka tetap saja dengan muka ketat berbeban berat mendiskusikan soal-soal yang mendasar dalam hidup ini.
Tibalah waktunya Pendeta DR Tumpak Parningotan berada di rumah Susanti. Hanya basa basi sebentar saja, Tigor langsung undang tamu penting tersebut berkunjung ke rumah DR Pardomuan. Bukan ke rumah utama, tapi ke ruang meditasi.
“Inilah gubuk tempat kami selalu berkumpul,” kata Mikail merendah.
“Seperti rumah sendiri, mau makan atau minum tinggal ambil dari rumah utama. Mau bermalam bermeditasi atau bermalas-malasan sendirian juga boleh nginap di sini. Biasanya kami ada 6- 7 orang yang sering ke sini,” sambung Tigor.
“Ah… sebuah tempat yang menyenangkan. Saya rasa aura saya dingin bahagia berada di sini. Kiranya ini pertanda bahwa kita dapat berkawan dalam tempo yang panjang. Kiranya pula, itulah harapan kita bersama.” Dari bahasa serta intonasi suara yang lembut dan kalimat-kalimat yang dipakai Pendeta DR Tumpak Parningotan kelihatan jelas sekali dia adalah rohaniawan yang rendah hati.
Ibu dan Arben Rizaldi anak sulung DR Pardomuan kembali lagi melakukan kebiasaan mereka. Mengintip kegiatan sambil menyimak ucapan-ucapan gerombolan ayahnya di ruang meditasi.
“Kok macam pengusaha kaya raya tamu mereka sekali ini,” kata Ibu.
“Mungkin mereka sudah mulai sadar bahwa hanya Yesus Kristus saja yang bisa hidup dengan makan roti saja. Sedangkan manusia biasa butuh baju yang cantik, makanan yang lezat di tempat yang bergengsi,” Arben tampak terkejut melihat tamu mereka.
“Ah! mana mungkin orang-orang yang sudah keras membatu seperti mereka dapat merubah falsafah hidupnya.” Ibu membantah Arben Rizaldi.
“Atau mungkin mereka sedang menghasut orang kaya raya supaya meninggalkan kekayaannya dan ikut bergabung bersama mereka yang sudah gila.”
“Huuss !! .. diam kau! Mari kita dengar isi pembicaraan mereka.”
Lalu Ibu dan Arben diam senyap mengkonsentrasikan kupingnya untuk mendengar isi percakapan ayah dan tamu barunya.
“Saya tidak percaya kerajinan orang ke gereja sebagai jaminan orang bisa masuk ke kerajaan Allah,” kata Pendeta Dr Tumpak Parningotan. Mendengar ucapan tersebut Arben segera memberi komentar “Oh..rupanya pakaian dan penampilannya saja seperti pengusah kaya raya. Ternyata isi kepala tamu baru itu sama gilanya dengan mereka. Hi…hi…hi…” Suara sayup volume rendah kedengaran lembut. Kemudian ibu dan Arben meninggalkan tempat, sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Sudah lelah kuping ibu dan Arben mendengar nada-nada suara kaum pemberontak norma sosial.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 4

Cerita Bersambung: Tunangan (5)

Cerita Anton Chekhov
Alih Bahasa RetakanKata

kasih tak sampai
Ilustrasi dari 3_bp_blogspotdotcom1
Angin berhembus memukul atap dan jendela. Ada suara siulan. Dan di dalam tungku, aura rumah cemberut dan sedih mengocehkan lagunya. Hari sudah lewat tengah malam, semua orang rumah telah beranjak pergi ke kamar masing-masing, tapi tidak ada yang tertidur, dan tampaknya semua seperti itu bagi Nadya. Seolah-olah mereka sedang bermain biola di bawah. Ada suara berdebam keras; daun jendela telah ditutup. Semenit kemudian Nina lvanovna dengan masih memakai baju tidur datang dengan lilin di tangan.
“Apa yang berdebam tadi, Nadya?” tanyanya.
Ibunya, dengan rambut ekor kuda dan senyum malu-malu di wajahnya, tampak lebih tua, lebih sederhana, lebih kecil pada malam berhujan badai. Nadya ingat beberapa waktu lalu pernah berpikir bahwa ibunya adalah seorang wanita yang luar biasa dan ia mendengarkan setiap kata-katanya dengan bangga. Sekarang dia tidak bisa mengingat hal-hal itu, segala sesuatu yang kini datang ke dalam pikirannya adalah ibu yang begitu lemah dan tak berguna. Dari dalam tungku terdengar suara-suara bass paduan suara, dan bahkan dia juga mendengar suara, “Oh.., Tuhanku!” Nadya duduk di tempat tidur, dan tiba-tiba dia mencengkeram rambutnya dan terisak.
“Ibu, oh, ibuku,” katanya. “Kalau saja Ibu tahu apa yang terjadi padaku! Aku mohon, aku meminta pengertianmu, biarkan aku pergi. Aku mohon padamu!”
“Ke mana?” tanya Nina Ivanovna tidak memahami permasalahan, dan dia duduk di ranjang. “Kamu hendak pergi ke mana?”
Selama beberapa saat Nadya menangis dan tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.
“Biarkan aku pergi jauh dari kota,” akhirnya ia berkata. “Pernikahan ini tidak ada dan tidak akan ada, pahamilah! Saya tidak mencintai pria itu. Aku bahkan tidak bisa berbicara sesuatu pun tentang dia.”
“Tidak, anakku, tidak!” Nina Ivanovna berkata cepat, sangat khawatir. “Tenangkan dirimu – itu hanya karena semangatmu melemah dan akan segera berlalu. Hal seperti ini sering terjadi. Mungkin kamu sedang bertengkar dengan Andrey, tetapi hanya pertengkaran kecil dan pecinta yang bertengkar selalu berakhir dengan ciuman..!”
“Oh, pergilah, ibu, oh, pergi,” isak Nadya.
“Ya…,” kata Nina lvanovna setelah diam beberapa saat, “semua ini tampak begitu singkat, dulu kamu masih bayi, menjadi seorang gadis kecil, dan sekarang bertunangan dan akan menikah. Di alam ini ada transmutasi zat terus-menerus. Sebelum kamu tahu di mana kamu saat ini, kamu akan menjadi ibu bagi dirimu sendiri dan seorang wanita tua, dan akan punya anak perempuan pemberontak seperti yang kumiliki sekarang.”
“Sayangku, manisku, anda pandai, anda tahu, anda sedang tidak bahagia,” kata Nadya. “Ibu sangat tidak bahagia, mengapa kaukatakan semua seperti sangat membosankan, hal-hal biasa itu? Demi Tuhan, mengapa?”
Nina Ivanovna mencoba mengatakan sesuatu, tapi tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, dia terisak dan pergi ke kamarnya sendiri. Di tungku suara-suara bass mulai mengoceh lagi, dan Nadya tiba-tiba merasa ketakutan. Dia melompat dari tempat tidurnya dan dengan cepat pergi menyusul ibunya. Nina Ivanovna, dengan air mata berlinang di wajahnya, berbaring di tempat tidur terbungkus selimut biru pucat dan memegang sebuah buku di tangannya.
“Ibu, dengarkan aku!” kata Nadya. “Saya mohon Anda mengerti! Jika saja Ibu memahami betapa kehidupan kita begitu kecil dan rendah. Mataku telah terbuka, dan sekarang saya mengerti. Dan tentang Andrey Andreitch? Ia tidak cerdas, ibu! Demi surga yang penyayang, mengertilah, Ibu, dia bodoh!”
Nina Ivanovna tiba-tiba duduk.
“Kamu dan nenekmu sama-sama menyiksaku,” katanya sambil terisak. “Aku ingin hidup! Hidup!” ulangnya, dan dua kali ia memukulkan tinju kecilnya di atas dadanya. “Biarkan aku bebas! Aku masih muda! Aku ingin hidup, dan kalian telah membuat aku menjadi perempuan tua di antara kalian!”
Nina Ivanovna tenggelan dalam air mata pahit, berbaring dan meringkuk di bawah selimut, tampak begitu kecil, begitu menyedihkan, dan begitu bodoh. Nadya pergi ke kamarnya, berpakaian, dan duduk di jendela menunggu pagi tiba. Sepanjang malam ia berpikir, sementara seseorang tampak menyelinap jendela dan bersiul di halaman.
Pagi hari Nenek mengeluh bahwa angin telah meruntuhkan semua buah apel di kebun, dan mematahkan pohon anggur tua. Semua tampak abu-abu, suram, muram, cukup gelap untuk nyala lilin, semua orang mengeluhkan hawa dingin, dan hujan mendera di jendela. Setelah minum teh Nadya pergi ke kamar Sasha dan tanpa mengucap sepatah kata berlutut di depan kursi di pojok dan menyembunyikan wajah di tangannya.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Sasha.
“Aku tidak bisa …” katanya. “Bagaimana bisa aku tinggal di sini selama ini, aku tidak mengerti. Aku tidak bisa hamil dengan orang yang kubenci. Aku benci tunanganku. Aku benci diriku sendiri, aku benci semua ini. Aku benci kehampaan ini dan semua hal yang tidak masuk akal.”
“Wah, wah,” kata Sasha, belum menangkap apa yang dimaksud. “Tidak apa-apa … itu bagus.”
“Aku muak dengan kehidupan ini,” lanjut Nadya. “Aku tidak tahan sehari lagi di sini. Besok aku akan pergi. Demi Tuhan bawa aku pergi!”
Untuk satu menit Sasha menatapnya dengan heran; akhirnya ia mengerti dan senang seperti seorang bocah. Dia melambaikan tangannya dan mulai bergegas mengenakan sandal seolah-olah dia sedang menari dengan gembira.
“Luar biasa,” katanya sambil menggosok tangannya. “Ya ampun, betapa menakjubkan semua ini!”
Dan Nadya menatapnya tanpa berkedip, dengan mata memuja, seakan terpesona, berharap setiap menit ia akan mengatakan sesuatu yang penting, sesuatu yang jauh signifikan. Dan Sasha belum mengatakan apa-apa, tapi bagi Nadya sudah tampak sesuatu yang baru dan besar telah terbuka di hadapannya sampai saat itu, dan Nadya menatap Sasha penuh harapan, siap menghadapi apa pun, bahkan kematian.
“Besok aku akan pergi,” akhirnya Sasha berkata setelah berpikir sejenak. “Temui aku di stasiun, aku akan membawa barang-barangmu di koporku, lalu aku akan membeli tiket untukmu, dan ketika bel ketiga berbunyi, masuklah ke kereta, dan kita akan pergi. Kita akan pergi sejauh ke Moskow dan kemudian ke Petersburg. Kamu punya paspor?”
“Ya.”
“Aku jamin, kamu tidak akan menyesal,” kata Sasha, dengan penuh keyakinan. “Kamu akan pergi, akan belajar, dan kemudian pergi ke mana nasib membawamu. Bila kamu mengubah hidupmu, membalikkan hidupmu, semuanya akan berubah. Hal yang besar adalah mengubah hidupmu dan membaliknya sedemikian rupa, dan yang lainnya tidak penting. Jadi kita akan berangkat besok? ”
“Oh ya, demi Tuhan!”
Tampak Nadya merasa sangat bahagia, dan hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Ia akan menghabiskan sepanjang waktu menunggu sampai saat dia pergi dalam kesengsaraan dan menyiksa pikiran, tetapi ia tidak pergi ke atas dan berbaring di tempat tidurnya ketika ia jatuh tertidur, dengan jejak air mata dan senyum di wajahnya, dan tidur nyenyak hingga malam larut.

Bersambung…
Cerita sebelumnya:
Cerita Bersambung: Tunangan (4)