Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 15
“Kira-kira begini surat kita untuk Sabidaor Foundation,” kata DR Pardomuan sambil menyerahkan selembar kertas ke Susanti. Seminggu kemudian beliau tidak dipapah lagi, walaupun wajahnya masih layu kurang bersemangat. “Tolonglah translitkan ke bahasa inggris ya…Susan”.

“Baiklah Pak, mungkin 3 hari ini selesai, saya langsung kirim,” kata Susanti. Ningsih tadi sudah datang bersama Lyana Dewi, kawan satu kuliahnya yang akan magang di FDP sebelum diangkat menjadi staf.
Surat itu tak begitu panjang.
Rilmafrid, 9 April 1984
Kepada Yth
Sabidaor Foundation
di.
t e m p a t
Salam sejahtra,
Setelah berpulangnya Mikail dan Tigor, staf andalan FDP, saat sekarang ini FDP sedang merekrut 2 orang staf baru. Lyana Dewi akan menggantikan posisi Susanti di keuangan. Susanti akan menggantikan posisi Tigor sebagai koordinator lapangan. Dan, Dirga Belanta menggantikan Mikail sebagai tenaga lapangan.
Kedua rekan ini adalah kawan dekat warga FDP yang sudah lama mengenal program kita melalui perkawanan. Bahkan beberapa kali sudah ikut gabung bersama FDP di sekretariat. Jadi mereka bukan orang asing lagi di tengah-tengah FDP.
Kiranya mereka dapat ikut bergabung melanjutkan program FDP.
Atas perhatian kami haturkan terima kasih banyak,
hormat kami
DR Pardomuan
sekretaris pelaksana
Muslimin semakin acap menggantikan posisi almarhum Mikail sebagai tukang ojek Susanti. Dengan gaya kampungan, Muslimin, warga FDP yang paling sengsara, juga mulai dikenal di keluarga Susanti. Mungkin karena penampilan dan tingkah laku lugu kaku tapi penuh hormat Muslimin dapat diterima dengan baik oleh keluarga Susanti.
Setelah dari kantor pos “Mus…kalau tak ada kerja bisa kawani aku ke Monza? Sejak Monza mulai bermunculan 6 bulan yang lalu, Aku kepingin ke sana. Tapi, aku malu dilihat kawan-kawan dan keluarga.” Susanti menyampaikan lagu permintaannya sebelum sampai ke sekretariat.
“Aku juga nggak ada kerja. Lantas kenapa malu? Aku sering ke Monza, pakaian dan kaos-kaosnya cantik-cantik semua, walaupun bekas orang Eropa.” Muslimin tak memahami bahwa orang kelas atas akan merasa dirinya rendah kalau membeli baju bekas. Dia pikir semua kelas sosial di dunia ini wataknya sama dengan kelas sosialnya.
“Kios ini langgananku. Dia sudah kenal aku, kau bisa bongkar habis seluruh pakaian yang bertumpuk itu. Dan, harganya pasti lebih murah.” Muslimin ikut mempromosikan Monza, ketika Susanti turun dari motor. Dengan gaya malu-malu sedikit menyembunyikan wajahnya Susanti menuju kios.
“Namboru…Ini ito kandungku,” kata Muslimin.
“Ah! Banyak kali cerita kau!! Mana ada itomu secantik ini, Hua..ha..ha..,” Namboru pemilik kios tertawa. Susanti sambil tersenyum malu mencubit perut Muslimin. Semaksimal mungkin Muslimin melayani Susanti agar puas membongkar tumpukan kaos dan jaket. “Ini jaket cocok untuk kau kalau bermalam di lapangan.” Muslimin memamerkan jaket yang didapatnya.
Dalam perjalanan ke sekretariat Susanti tak henti hentinya ketawa. “Lucu kali belanja di Monza ya? Hii…hi…hii.” Susanti cekikikan diboncengan Muslimin. “Pacarilah anak namboru itu biar kau dikasih kaos gratis Hua..ha..ha..” Susanti gembira sekali.
Di sekretariat Ningsih dan Dewi Lyana juga sangat terpengaruh oleh promosi Muslimin. Mereka juga berhasrat belanja ke Monza di kawani Muslimin. Dirga Belanta tak menaruh perhatian, karena dia sudah lama termasuk langganan tetap Monza. Buku-buku almarhum kekasih yang sudah terkumpul rapi di sekretariat FDP sangatlah memikat hati Susanti. Semula maksudnya dengan Ningsih hanya sebatas merapikan perpustakaan FDP, tapi di tengah kerepotan menyusun perpustakaan, otaknya bicara: “Untuk apa kususun semua buku ini tanpa membaca buku-buku ini. Aku kan bukan mesin yang tak punya otak. Lagi pula, dengan membaca buku-buku ini aku semakin mengenal mendiang suamiku Mikail Pratama lelaki idaman hatiku sepanjang hidup.” Dewi Lyana sebenarnya kasihan melihat kawan kerjanya yang dirundung malang di saat dirinya bersemangat menghabiskan tenaga di sekretariat FDP merapikan perpustakaan. Di sekretariat ini Dewi akan mulai meniti karir profesinya yang tidak konvensionil.
Tidak betul rakyat Trieste adalah masyarakat primitif . Memang kekerasaan komunal serta rumitnya kasus-kasus kekerasan dan kebrutalan tak pernah absen di republik Trieste. Inilah argumentasi yang kuat untuk mengatakan rakyat Trieste adalah primitif. Oleh sebab itu, (sebenarnya) Trieste belum siap menjalankan demokrasi moderan.
“Justru saya menuduh bahwa tuduhan itu diterbitkan oleh kaum terpelajar yang masih primitive.” Dalam makan malam bersama keluarga Susanti katakan sikapnya. Sang ayah sangat terkejut, Seolah kalimat Susanti ditujukan untuk memojokan dirinya sebagai pengusaha yang selalu menjalin kolaborasi dengan calon besannya ayah almarhum Mikail Pratama. Agar suasana tidak menjadi keruh,” Sudahlah Susanti tekun saja kau membaca buku buku pedoman perkuliahanmu. Ayah dengar sekarang ini banyak buku terbitan baru yang menyesatkan pikiran kaum muda.” Ternyata dugaan sang ayah keliru. Dipikirnya temperamen Susanti akan reda setelah mendengar ucapannya.
“Apa ayah bilang? Apa aku harus pasrah dijadikan bidak catur sistem kapitalisme yang biadab ini?” Mata Susanti terbelalak nada suaranya meninggi membuat kondisi meja makan semakin tegang.
Diceritakan Susanti kisah di meja makan tersebut di atas goncengan motor Muslimin. Susanti sebenarnya akan diantar ke sekretariat FDP untuk lanjutkan tugas sampai jam 2 siang. Lantas dijemput Muslimin lagi dari sekretariat antarkan kuliah dan akan diantar pulang ke rumah oleh tukang ojek paling setia jam 5 sore. Tapi, rencana itu sedikit berubah. Jalan Sisingamangaraja arah menuju sekretariat FDP ditutup. Ada unjuk rasa besar-besaran oleh tukang becak yang digusur kotapraja selama seminggu ini. Tukang becak marah besar karena cara kotapraja yang seenaknya mencabut pentil becaknya membiarkan tukang becak harus mendorong becak ke tukang tempel ban. Kemarahan tukang becak sudah sangat memuncak. Mereka didukung oleh KNPT (Komite Nasional Pemuda Trieste) beserta seluruh underbownya. Para pengurus organisasi pemuda sudah ada di lapangan di tengah-tengah massa tukang becak yang merah padam menahan kemarahan atas sikap aparat negara yang tidak menghargai mereka.
Minggu lalu sudah ada pertemuan sangat tertutup di hotel Mincister, hotel mewah bintang lima yang baru diresmikan. Assisten I Gubernur Rilmafrid, Komandan Militer Rilmafrid, Panglima Tentara Trieste beserta beberapa pimpinan organisasi pemuda hadir dalam pertemuan itu. Pada intinya pembicaraan membahas rencana pengembangan ekonomi Rilmafrid. Banyak tawaran dari modal asing untuk mendirikan cabang pemasaran produk-produk asing di Rilmafrid.
Booming pusat penjualan mulai dari mobil mewah sampai ke sepeda trendy akan dibuka di Rilmafrid. Salah satu syarat yang diajukan pemodal adalah penataan sarana transportasi. Diharuskan seluruh jalan-jalan utama di kota bersih dari kepadatan becak dan pasar trasdisionil. Organisasi pemuda diharapkan dapat menginvestigasi kekuatan organisasi tukang becak. Mereka diharapkan dapat menyusup dalam unjuk rasa itu. Merancang chaos memancing pengunjuk rasa bertindak keras menciptakan unjuk rasa menjadi kerusuhan sosial. Agar ada alasan militer dan polisi bertindak brutal membantai para demonstran. Sehingga pada akhirnya kekuatan tukang becak semakin lemah. Tukang becak tidak bisa solid lagi dalam memperjuangkan tuntutan mereka kepada pemerintah. Dan, terpaksa dengan berat hati meninggalkan tempatnya selama ini beroperasi.
Begitulah kebusukan pemerintahan Trieste akibat kekuatan modal asing. Negara menjadi budak dari modal asing yang tanpa rasa kemanusian menindas rakyatnya sendiri.
Satu komentar pada “Torsa Sian Tano Rilmafrid* #15”