Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 16

Tanpa diketahui oleh Susanti, Muslimin sengaja diundang orangtuanya datang berdiskusi ke rumah.
“Syukurlah tadi Susanti pergi agak cepat ke rumah kawannya, sehingga kedatanganmu sesuai dengan rencana kita. Supaya jangan diketahui Susanti.”
Ibu persilahkan Muslimin duduk di ruang tamu. Sedangkan ayah masih pakai baju kantor ikut duduk bergabung di ruang tamu. Muslimin tampak bingung seolah dia duduk sebagai terdakwa di hadapan dua hakim yang siap memberi vonis. Ada salah apa aku, kok sengaja diundang mereka, pikir Muslimin. Tapi, sampai lelah Muslimin berpikir, dia tak menemukan jawaban atas pertanyaan besar yang ada di kepalanya. Apa lagi kedua hakim pengadilan itu kelihatan tegang menghadap terdakwa. Muslimin sudah menyediakan jawaban seandainya timbul perkataan menghujat:Jangan lagi dekati anakku!
Ah, bukan aku yang getol menjemput Susanti. Dia sendiri yang minta saya jemput setiap hari. Kalau ayah ibu keberatan saya menjemput anak ibu, mulai besok saya tak akan jemput. Muslimin keringat dingin duduk di hadapan para hakim.
“Begini ya.. Muslimin, kami tahu bahwa Susanti cukup cerdas dalam perkuliahan. Kecerdasannya juga diketahui oleh Om-nya yang ada di Trieste. Minggu lalu Om-nya kirim kabar ke kami. Kalau bisa Susanti pada akhir tahun kuliahnya bisa pindah ke Trieste. Dia bisa kerja di perusahaan Om-nya sambil kuliah. Sebuah jabatan penting akan dilimpahkan kepadanya. Jadi, kami harapkan pada akhir semester ini Susanti sudah berada di Trieste. Lagi pula, kalau Susanti berada di Trieste dengan kesibukannya setiap hari, lama kelamaan trauma ditinggal mati Mikail Pratama berangsur angsur hilang dari ingatannya. Kami sudah menganggap kamu adalah anak sendiri. Bagaimana pendapat kamu?” Ibu mempersilahkan Muslimin bicara.
Betapa bangganya Muslimin dianggap sebagai anak sendiri oleh sebuah keluarga kaya raya. Tak pernah terbayangkan olehnya status setinggi itu. Dianggap sebagai anak kandung sebuah keluarga kaya raya.
“Ah, bagi saya tentulah pindah ke Trieste lebih menjanjikan masa depan yang cerah.”
Sebenarnya ada juga kesedihan di hati Muslimin seandainya berpisah dengan Susanti. Tidak bisa lagi tertawa-tawa di atas motor, pergi ke Monza dan ngobrol asyik di FDP.
“Berarti kita sependapat. Kami pikir kamu tidak setuju Susanti ke Trieste karena fungsinya di FDP cukup menentukan. FDP itu kan hanya sebuah kegiatan sambilan sebelum menyelesaikan perkuliahan.”
Kali ini Muslimin suntuk. Kurang ajar! Apa program FDP itu tidak bisa menjadi sebuah pekerjaan profesionil yang terus menerus menuntut peningkatan kapasitas individual demi untuk memperjuangkan rakyat, Kurang ajar!! Pikirannya berkata begitu tapi mulut Muslimin mengucapkan,” Memang benar yang ibu bilang.” Lantas ayah bicara memecahkan kesunyian, “Bahkan saya takut gara-gara FDP kuliahnya jadi terganggu.”
Suasana kembali hening, masing-masing merenung dengan pikirannya masing-masing. “Kami harap kamu bisa bantu kami membujuk Susanti untuk menerima tawaran Om-nya pindah ke Trieste”. Tersentak Muslimin mendengar kalimat itu. “Iyalah..Bu saya usahakan,” jawabnya kemudian, sementara hatinya berontak : Akan kuhasut Susanti untuk tidak pindah ke Trieste. Betapa sunyinya hidup ini tanpa Susanti.
Setelah meneguk kopi yang sudah sedikit lagi, Muslimin berdiri. Ayah ibu juga berdiri. Ditepuk ayah pundak Muslimin sambil berkata, “Kenapa tak pernah lagi menulis di Koran? Saya senang sekali membaca tulisan kamu di koran.”
Kembali lagi Muslimin kelabakan memberi respon. Inilah dosa DR Pardomuan, saya dituntut pembaca koran untuk terus-menerus menulis. Semua orang tak tahu namanya saja opini Muslimin padahal itu adalah buah tulis DR Pardomuan. Dalam kesesakan jiwa, Muslimin masih sempat bicara, “Sebenarnya banyak buah pikir saya yang ingin dikirim ke koran. Tapi, karena kesibukan kuliah, saya tak sempat menulis.” Mampuslah kedua orang tua kaya raya ini, mereka pasrah kena tipu oleh mulut anak petani miskin. Hua…ha..dalam kemenangan ditinggalkannya rumah Susanti.
Ternyata kewajiban menjadi tukang ojek belum berakhir. Bersama Susanti acara-acara yang menyegarkan tetap saja dapat dilaksanakan dengan baik. Bahkan, beberapa acara yang membutuhkan saling keterbukaan yang semakin mendalam dapat mereka ciptakan. Minum es campur tempat yang tak pernah sepi dari kerumunan mahasiswa adalah tempat ngobrol panjang Muslimin dan Susanti mempererat perkawanan mereka.
“Mungkin sudah mulai ada getar cinta antar Muslimin dan Susanti, ya…,” kata Dirga Belanta sambil masukan kertas ke mesin tik. Arman, Ucok, Ningsih yang sedang di sekretariat tak ada yang memberi komentar. Dewi Lyana saja yang berani memberi respon, “Yah,..aku setuju saja seandainya mereka pacaran.”
Kemudian DR Pardomuan dating. “Mana Susanti? Kenapa dia belum juga susun jadwal ke lapangan?” DR Pardomuan menuju ruangannya. Baru sebentar berada di ruang kerja, dipanggilnya Dewi Lyana. “Uang akomodasi dan transportasi si Armand dan Ucok sudah diberikan. Apa Dirga Belanta sudah baca semua pedoman kelapangan? Tiap akhir refleksi bulanan saya akan wawancarai kalian berdua.” DR Pardomuan sudah full bekerja di sekretariat. Sedangkan Muslimin baru saja keluar dari sekretariat menyeberangi jalan menuju ruang meditasi samping rumah DR Pardomuan. Ke tempat monumental sejarah lahirnya FDP. Muslimin mau latihan meditasi karena belakangan ini banyak persoalan keluarga yang menimpa dirinya.
Iklim sekretariat FDP sedang berusaha menyesuaikan diri dalam suasana baru tanpa Tigor dan Mikail Pratama.
Syukurlah yang terjadi di FDP adalah maju dengan langkah harmonis. Walaupun mendapat tantangan yang berat dari keluarga, Susanti dapat mengerjakan tugas koordinator 3 wilayah kerja. Kemajuan interaksi antar FDP melalui Armand, Ucok dan Dirga bersama komunitas masyarakat petani mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. DR Pardomuan cukup berhasil dalam menjalin jaringan kerja dengan sesama LSM Rilmafrid. Sekaligus konsep dialog dalam menghadapi kemapanan konsep pemerintah yang sangat konvensionil, berhasil diterbitkan DR Pardomuan atas bantuan komunikasi dengan DR Tumpak Parningotan dan Mukurata.
Satu komentar pada “Torsa Sian Tano Rilmafrid* #16”