Flash Fiction Ragil Koentjorodjati

“Berpuluh tahun kita tinggal di sini, tapi tak sekalipun kita pernah hinggap di altar itu,” bisik burung gereja jantan pada pasangannya.
“Karena kita adalah burung gereja, kasihku,” balas berbisik sang betina,”kita tidak berduka. Altar itu diperuntukkan bagi mereka yang terlalu berat memanggul salib.”
Seorang lelaki berjalan lesu memasuki pintu gerbang. Wajahnya pucat, hilang hati. Perlahan meraup air suci lalu membasuh mukanya. Yang dilakukannya di luar kelaziman tata cara peribadatan gereja. Seharusnya ia hanya mencelupkan jari, lalu membuat tanda salib dan berlutut. Tanda takluk dan penghormatan.
“Ia tidak membasuh muka. Lelaki itu sedang menghapus air matanya,” bisik burung jantan.
“Satu lagi peziarah yang payah,” kata burung betina,”sepertinya manusia lahir hanya untuk menderita.”
“Yah..mungkin itu sebabnya kita ada di sini. Mereka membutuhkan kicau burung, wangi bunga dan dupa, denting organ memainkan agnus dei dan manusia lemah itu terhibur.”
Kemudian kedua burung gereja itu terbang melayang menyusuri atap-atap tinggi gereja, meliuk di antara simfoni lonceng, organ dan ratap jerit belas kasihan. Mereka bercecuit melengkapi irama minggu pagi hingga pesta usai. Dan kemudian kembali ke sarang di balik plafon. Dalam senyum lelah tapi bahagia, mereka mendengar imam kepala berkata,”bersihkan gereja ini dari burung-burung pengganggu peribadatan. Jika perlu bunuh saja.”
hhmm…
SukaSuka
bagus
SukaSuka
anjir! keren!
SukaSuka
ini muji atau misuhi sebenarnya ya? 🙂
SukaSuka
saking kerennya saya sampe misuh sendiri hihi :))))
SukaSuka
Mendalam…….
SukaSuka