Arsip Tag: flash fiction

Lomba Menulis Cerpen RetakanKata 2013

Kabar Budaya – RetakanKata

Sebenarnya kami kurang begitu suka menyebut ini sebuah lomba. Kami lebih suka menyebut ini sebagai ajang bersuka ria dengan menulis. Semacam seremoni merayakan kemerdekaan untuk menulis. Tapi, apa boleh buat, istilah lomba ini terlanjur memudahkan komunikasi kita tentang bagaimana sebuah perayaan ini dilakukan sehingga menjadi semacam kegembiraan bagi siapa saja. Yah, itulah tujuan utama kegiatan menulis kita kali ini: merayakan kemerdekaan menulis dengan penuh suka cita. Penggunaan istilah lomba cukup dipandang sebagai pemudahan komunikasi saja.

Seharusnya lomba ini diselenggarakan setiap menyambut ulang tahun berdirinya RetakanKata. Tetapi karena beberapa hal mengganggu agenda, terpaksa tahun ini sedikit mundur ke belakang. Dengan parade lomba yang begitu panjang sepanjang tahun 2012, kami berharap, mundurnya agenda lomba menulis cerpen ini dapat dimaklumi. Tentu kami membutuhkan sedikit jeda untuk bernafas setelah lomba cerpen RetakanKata 2012, menyusul rangkaian lomba-lomba yang lain, sebut saja misalnya lomba menulis opini sebanyak dua kali, lomba menulis resensi, lomba menulis flash fiction, weekly writing challenge dan festival blog sastra indonesia. Meski cukup melelahkan, namun kebahagiaan sahabat RetakanKata menjadi penghibur yang menyemangati kami untuk terus mempertahankan RetakanKata.

Mengawali lomba di tahun 2013 ini, RetakanKata kembali menyelenggarakan lomba menulis cerpen yang tetap GRATIS bagi siapa saja. Dengan menambah kategori lomba, mudah-mudahan perayaan kemerdekaan menulis ini menjadi lebih meriah. Ya, lomba kali ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu: kategori untuk umum dan kategori untuk buruh migran. Kategori umum terbuka bagi siapa saja, baik warga negara indonesia maupun bukan. Sedang kategori buruh migran hanya diperuntukkan bagi warga negara Indonesia yang bekerja sebagai buruh migran di mana pun mereka berada. Ketentuan lebih lengkap mengenai lomba cerpen ini dapat disimak di page Lomba Cerpen RetakanKata. Selain menambah kategori lomba, kali ini juga menambah daftar panjang hadiah untuk para juara. Semoga perayaan kemerdekaan menulis ini benar-benar membawa kegembiraan bagi siapa saja.

Untuk membaca ketentuan lomba dan mengunduh formulir pendaftaran klik: LOMBA CERPEN RETAKANKATA 2013.

Kami tunggu karya-karya Anda dan Selamat Bersukacita!

Bunga: Bukan Nama Sebenarnya

Fiksi Kilat Susan Gui

Pria berseragam cokelat meminta Bunga bercerita, kemudian menyebutkan ciri-ciri orang. Bunga tidak bisa melakukan dua hal yang diminta oleh pria berseragam itu, kemudian mereka meyakinkan Bunga kalau hal itu penting untuk menentukan siapa pelakunya.

ilustrasi-perkosaan
ilustrasi diunduh dari genuardis.net

Pria berseragam itu memohon agar Bunga membuka mulutnya, dan mulai bercerita. Bunga tetap bungkam. Untuk mencairkan ketegangan di wajah Bunga, pria-pria ini membuat lelucon. Bunga menatap mereka satu persatu. Putih kulit Bunga terlihat memucat, rambutnya berantakan, dan matanya membelalak; mengisyaratkan kemarahan yang tidak lagi bisa terdamaikan.

Kejadian itu tidak lama. Pria berseragam meminta Bunga dan ibunya pulang ke rumah.

“Bunga butuh istirahat, kita akan lakukan interogasi besok malam,” ujar salah satu pria berseragam. Hanya begitu.

Bunga dan ibunya pun pulang ke rumah. Rumah yang masih dilingkari oleh garis polisi berwarna kuning. Bunga langsung masuk ke kamarnya, sedangkan ibunya hanya menatap sedih.

***

Angin seperti memburu. Derunya begitu riuh, dan manusia dibiarkan gigil, memeluk diri masing-masing. Dalam kesunyian malam, angin bertiup seperti siulan alam. Binatang malam pun seperti tidak berani mengeluarkan suara; lindap dan senyap. Ada purnama, di balik rerimbun bambu, tampak bias cahaya lebih kemilau dari kemarin.

Di dalam rumah, sedari tadi tidak ada suara apapun. Kamar ini senyap, rumah ini sunyi. Tidak ada bunyi gelas, bunyi panci, apalagi suara manusia berbicara satu sama lain. Semua seakan tandas bersama dinginnya malam.

Air matanya belum kering betul ketika ia menaruh bedak pupur putih. Begitu pelan. Begitu letih. Asanya telah luruh, tinggal pudar serupa kusam warna celak yang menghias matanya. Hari-harinya menghitam sehitam kelopak matanya, memancarkan kepedihan dari luka yang paling dalam. Kaca yang sedari tadi ditatapnya, seakan tidak bergeming. Siapakah yang mampu mengerti derita ini, pikir Bunga.

Bunga berdiri, mendekat pada jendela segi empat yang sedari tadi dibiarkan terbuka. Angin tidak berhenti memburu masuk, Bunga memeluk tubuhnya sendiri. Lalu perlahan dia seperti melihat bayang-bayang seorang lelaki yang berdiri, badannya gigil.

Brakkk, sekuat tenaga Bunga menutup jendela, menguncinya, lalu menangis terisak. Bunga mendorong meja riasnya, menutupi jendela yang baru saja dikuncinya. Gegas dan gugup, Bunga mengambil selimut, menutupi tubuhnya, membebat dada sekencang-kencangnya dan sedikit juntai selimut jatuh ke lantai.

Wajahnya yang tertutup pupur menjadi lebih putih dari sebelumnya. Pucat dan pasi. Bunga seperti kebingungan, televisi yang sedari tadi tidak diacuhkan tiba-tiba menarik perhatiannya.

Terkesiap Bunga pada sebuah berita, tubuhnya kaku. Si pembawa berita mengatakan kalau seorang calon hakim agung baru mengeluarkan sebuah pernyataan kontroversial tentang pemerkosaan. Lelucon di tengah malam buta, ketika angin lebih dingin dan gemirisik daun lebih menyeramkan dari ribuan petir yang menghantam bumi.

“Yang diperkosa dengan yang memerkosa ini sama-sama menikmati. Jadi, harus pikir-pikir terhadap hukuman mati.”

Bunga melolong sejadi-jadinya. Lelucon di tengah dunia yang tidak lebih waras dari pada kegilaan dunia.

Prangg..Bunga melempar vas bunga ke televisi yang masih riang memberitakan pernyataan sang hakim agung. Air mata terus mengalir, Bunga berbisik pelan.

“Katakan bagaimana saya melindungi diri sendiri. Ketika binatang dari segala binatang mengendap dan masuk tengah malam dan diam-diam. Tidak ada yang lebih binatang dari manusia yang berperilaku binatang, bukan manusia namanya jika dia berani melukai perempuan.”

Televisi masih terus menyala, kacanya belum remuk benar. Gambarnya menjadi siluet dengan kemiringan 180 derajat, dan suaranya menjadi seperti gemerisik sesarang semut. Bunga terus meneteskan air mata.

Bunga menatap jendela, pelan berbisik “Orang itu binatang, sekali pun melihat aku memohon tapi tetap dia lesakkan kelaminnya hingga menembus jantung hati.”

Keras Bunga memukul dadanya. Ada suara orang mengetuk pintu kamar Bunga, memanggil-panggil nama Bunga untuk keluar dari kamarnya.  Bunga harus segera ke kantor polisi untuk divisum. Suara ibunya terdengar terisak dari balik pintu. Ada sekerat luka dalam dada yang tidak bisa dijawab dengan kalimat mana pun. Bunga mengambil gelas kaca dan melempar ke pintu.

“Bunga Bu.., dikoyak paksa dan si hakim agung membuat lelucon pemerkosaan. Tidak pernah ada lelucon selucu ini, dan tidak pernah ada kenyataan sepahit ini. Kita hidup di antara, kita tidak berada di mana-mana. Kehilangan hanya tentang apa yang biasa di tempatnya tapi tidak lagi bisa kita temukan.” Jerit Bunga dari dalam kamar.

Ibunya semakin terisak dan mengetuk pintu kamarnya dengan lembut, “Keluarlah Nak..”

Bunga mendekat ke pintu, menyentuh gagang pintu, lalu merambat pelan pada kayu-kayu pintu kamar. Tangannya mengambil pecahan gelas.

“Ibu, tidak pernah ada orang yang menginginkan terluka. Jika kita bisa hidup lebih benderang dari cahaya tanpa harus menjadi lilin, kenapa kita memilih untuk membakar diri kita seperti lilin. Ibu, aku ingin main komidi putar, makan gulali, ke taman yang membuat aku kembali hidup,” isak Bunga, tangannya memegang serpihan kaca dari telivisi.

Ibu Bunga terisak kembali. Darah mengucur dari tangan kecil Bunga. Sepintas, Bunga seperti mendengar lelucon pria berseragam itu, lelucon yang sama dengan apa yang dibilang oleh sang hakim agung. Kuping Bunga mendengung gaduh.

“Ibu, aku diperkosa, dan lelaki itu membuat lelucon tentang pemerkosaan. Siapa yang lebih waras ibu?” Suara Bunga pelan sekali, hingga akhirnya tidak terdengar apa-apa.

Angin menderu kencang, menelan isak tangis ibu Bunga hingga tersisa senyap. Tidak ada lagi bebunyi. Layar seperti tertutup, tidak ada lagi cerita, tidak ada lagi kata, tidak ada lagi kaca jendela, tidak ada lagi Bunga, dan cerita hakim agung yang melucu kembali menyala di televisi rusak. Suaranya sedikit serak.

Perempuan Bernama Nira

Oleh Binandar Dwi Setiawan

 

siapa dirimu
gambar diunduh dari bp.blogspot.com
Bintang malam ini belum cukup cemerlang untuk menerangkan kepadaku akan siapa dirimu. Kisah belum lagi berubah ketika pada titik ini aku tersentak, bahwa yang selama ini kau lakukan bukan hanya mengenalkan dirimu kepadaku, tetapi juga memaksaku untuk yakin bahwa setiap kepingan penyusun diriku tak lain dan tak bukan hanyalah kelemahan semata. Yang mendudukkan dengan jelas siapa yang dirimu, siapa yang diriku. Mungkin kau dapati aku kebingungan, saat kau tegaskan bahwa ke arah manapun aku melangkah hanyalah sekedar mendekatkan diri kepadamu, tetapi tidak. Sejatinya aku tak sedang kebingungan. Kau membuat dirimu tak bisa habis untuk kunikmati. Setiap aroma barumu mengalahkan ketakutan ketakutanku untuk maju. Sedangkan kudapati kau tak pernah lama, senantiasa baru, hanya kau yang benar benar selalu baru. Tidak ada yang lain. Memang tidak ada yang lain.
Perempuan bernama Nira. Aku tak sedang menggugat setiap keputusan yang kau ambil, adalah boleh bagimu untuk berbuat sekehendakmu, tetapi oleh hal itu adalah mungkin juga bagiku untuk tak setiap waktu bisa mengimbangi nada nadamu. Dan kau tahu sedang seperti apa aku sekarang ini. Tertunduk, tak ingin bersikap, apapun, kepadamu. Jarak yang kau ambil sekaligus yang kubiarkan terjadilah yang akhirnya membuatku memakai keberanianku, memasuki belantara ini. Keterlanjuran yang hebat. Kini tinggal aku dan diriku, sementara tak kutahu seberapa luas belantara ini, juga seberapa pantas kesiapanku menemukan ujung jalan keluarnya. Aku, hanya bagai maju menghadapi seribu musuh tanpa satu pun senjata yang kugenggam bahkan tak juga tahu apakah memang tersediakan untukku senjata. Kau andalkan keyakinanmu untuk menumbuhkan keyakinanku, bahwa aku tak bisa mati diakhiri oleh semua ini.
Nira, kapan aku sampai kepadamu. Aku juga menanyakan, apakah aku telah bergeser dari tempatku semula, lebih dekat kepadamu?. Atau hanya senantiasa membenarkan arah pandangku, agar tepat lurus langsung kepadamu. Iya, aku memang lebih dekat kepadamu, tetapi juga sekaligus kau lebih jauh kepadaku. Kau selalu mengejutkanku dengan kebiasaanmu memasuki ruangan yang kusangka tak pernah ada. Kita bergerak dengan kecepatan yang sama, setiap yang kumasuki adalah bekas keberadaanmu, dan kau pasti tahu benar sakitnya mencumbu itu semua. Kita dikenai oleh aturan hebat yang bahkan kau pun tak sanggup menghindar darinya, bahwa setiap cintaku kepadamu menguat, maka pada saat yang sama cintamu kepadaku jauh lebih kuat. Itulah yang menciptakan semuanya. Mereka, kejadian kejadian itu adalah anak anak kita, yang lahir oleh kita. Maka kita setiap saatnya selalu tertuntut untuk membahagiakan anak anak kita, meletakkan segalanya pada tempatnya masing masing. Keterlaluan, kita dikebiri oleh kebahagiaan yang memabukkan.
Nira, kapan kau ijinkan aku pulang. Untuk bermakan malam denganmu. Saja. Untuk mengetahui apa yang kau ketahui, untuk melihat apa yang kau lihat, untuk merasakan apa yang kau rasakan. Nira, aku tahu benar bahwa rindu ini sejatinya adalah kendaraku, tetapi kengerian yang ditimbulkan olehnya membuatku seakan akan merasakan rindu ini adalah kerandaku, dan aku bagai jasad yang diusungnya saja, yang tak berhak memilih akan dimana tempat pemberhentian, yang telah mati, kehilangan kemampuan untuk merasakan. Nira, jika sedetik saja kau takut suatu saat aku akan takut, maka perjalananku menujumu tak lagi hendak memberi bunga, tetapi menghunus pedang. Nira, aku menantangmu untuk melawan setiap ketakutanmu kehilangan diriku!

Pengumuman Lomba Menulis Flash Fiction RetakanKata

Kabar RetakanKata

Satu bulan berlalu sejak pengumuman penyelenggaraan lomba menulis RetakanKata menyusul lomba-lomba menulis yang pernah diselenggarakan di sini. Setelah lomba menulis cerpen, lomba menulis opini, lomba menulis resensi buku, dan kini lomba menulis flash fiction. Lomba kali ini diselenggarakan dalam waktu yang cukup panjang agar sahabat RetakanKata dapat mempersiapkan diri dengan baik. Tentu bukan soal kalah dan menang yang diutamakan, namun lomba lebih sebagai ruang belajar bersama. Maka RetakanKata memaklumi jika dalam prosesnya, beberapa sahabat masih bertanya tentang apa yang dimaksud dengan flash fiction. Antusiasme tersebut sangat menggembirakan sehingga dengan senang hati pula, RetakanKata menurunkan tulisan tentang bagaimana menulis flash fiction. Hal tersebut, selain sebagai sarana berbagi pengetahuan, juga sebagai pedoman para sahabat RetakanKata untuk menulis flash fiction yang kemudian dapat diikutsertakan dalam lomba. Maka tibalah hari ini, tanggal 30 November 2012 sebagai hari yang ditentukan untuk mengumumkan pemenang lomba menulis flash fiction dengan tema “Kebangkitan Pemuda”. RetakanKata mengucapkan terima kasih dan apresiasi terhadap karya-karya yang telah masuk. Karya-karya yang menarik dan menyenangkan. Tentu karya yang dikirim akan menjadi lebih menarik jika para penulis lebih bersedia untuk melakukan penyuntingan naskah, membenahi penulisan sehingga mengurangi salah tulis dan juga memperhatikan ketentuan lomba, khususnya pembatasan ‘hanya’ sampai 1000 kata. Kata ‘hanya’ ini diberi tanda kutip karena sebenarnya jumlah 1000 kata tersebut lebih dari cukup bagi penulis untuk ‘bermain-main’ dengan kata-kata. Kekurangsabaran penulis dalam melakukan penyuntingan berakibat fatal sebab naskah tidak akan diikutsertakan dalam penilaian. Semoga hal ini juga menjadi pembelajaran bagi para sahabat RetakanKata agar ke depannya, ketika sahabat mengikuti lomba, baik di RetakanKata maupun di tempat lain, senantiasa memperhatikan aturan main lomba yang ditentukan.

Menilik naskah yang dikirim dan memperhatikan kelayakan naskah, dengan berat hati dan permohonan maaf yang sebesar-besarnya, pada lomba kali ini, RetakanKata terpaksa tidak memilih pemenang lomba menulis flash fiction. Namun sebagai bentuk penghargaan, RetakanKata akan memberikan buku Antologi Cerpen RetakanKata kepada pengirim naskah lomba berikut:

  1. Ika Hikmatilah
  2. Nena Fauzia
  3. Rofiatul Ainiyah
  4. Agista Kylanti Firsaputri.
  5. Alfian Nur Budiyanto

Kepada nama-nama tersebut di atas, mohon mengirim info alamat pengiriman buku lewat email retakankata@gmail.com. Selain itu, karya-karya yang masuk dan layak untuk dipublikasi, akan dipublikasikan di Blog RetakanKata.

Lomba Menulis Flash Fiction RetakanKata

Kabar RetakanKata – Ingin mendapat pulsa plus buku Antologi Cerpen RetakanKata 2012: Hari Ketika Seorang Penyihir Menjadi Naga? Ikuti saja lomba menulis flash fiction di Blog RetakanKata. Lomba menulis ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari sumpah pemuda, 28 Oktober 1928 – 28 Oktober 2012. Kali ini lomba dikhususkan untuk menulis flash fiction bertema “Kebangkitan Pemuda”. Kamu bisa menulis segala lika-liku terkait dengan peran pemuda dan atau mahasiswa dalam berkontribusi pada kemajuan masyarakat atau pun generasinya.
Ketentuan lomba adalah sebagai berikut:
  1. Peserta lomba tidak perlu mendaftarkan diri. Siapa saja yang ingin mengikuti lomba dapat langsung mengirim naskah lomba sebanyak-banyaknya melalui email retakankata@gmail.com dengan subyek email LOMBA FF_nama pengirim.
  2. Karya yang dikirim dilampiri dengan kartu identitas (KTP/KTM/SIM/Kartu Pelajar atau Pasport Indonesia) dan alamat email atau nomor handphone yang mudah dihubungi.
  3. Karangan adalah karya asli, bukan saduran, bukan jiplakan dan belum pernah dipublikasikan.
  4. Jika ada kutipan dari pihak lain dalam karangan, harus mencantumkan referensi di catatan kaki.
  5. Karangan ditulis pada kertas A4 dengan menggunakan huruf Times New Roman, font 12, dengan spasi 1,5 margin 3 cm dari atas, 2 cm dari kiri, 3 cm dari bawah, 2 cm dari kanan, dengan jumlah kata antara 400 sampai dengan 1000 kata.
  6. Karya-karya pilihan akan dikumpulkan dan jika para pengarang menghendaki untuk dibukukan, RetakanKata akan membantu proses selanjutnya sepanjang memenuhi persyaratan untuk diterbitkan dalam sebuah buku.
  7. Hadiah:
  • Pemenang I mendapat pulsa sebesar Rp150.000,00 ditambah buku Antologi Cerpen RetakanKata 2012.
  • Pemenang II mendapat pulsa sebesar Rp 100.000,00 ditambah buku Antologi Cerpen RetakanKata 2012.
  • Pemenang III mendapat buku Antologi Cerpen RetakanKata 2012.
Batas akhir pengiriman naskah tanggal 16 November 2012 pukul 24.00 WIB.
Nama peserta dan naskah lomba tidak akan dipublikasikan. Pemenang lomba akan diumumkan pada tanggal 30 November 2012. Keputusan juri atas lomba ini tidak dapat diganggu gugat.
NB:
Hadiah pulsa dapat ditukar dengan uang tunai jika pemenang menginginkan.
Selamat Berkarya!
Didukung Oleh:

Kucing

Flash Fiction Maria Ita

gambar diunduh dari informazioniunique.blogspot.com

Bu Marno dibuat geregetan setahun belakangan. Kamar sebelah dihuni oleh seorang gadis jomblo penyuka kucing berusia dua puluh sembilan tahun. Bu Marno dan si Gadis sama-sama menghuni rumah dinas yayasan tempat mereka bekerja. Yang bikin pusing tentu saja semua kelakuan si Gadis dan kucing-kucingnya. Suara mereka yang sangat ribut beradu dengan suara televisi yang menggelegar. Kucingnya bukan hanya satu tapi tiga ekor. Mulai dari yang badannya paling kurus berkaki panjang dan berdada montok bernama Meme, lalu yang paling kecil berbulu putih paling merasa cantik bernama Tutik dan yang paling gemuk berbulu paling panjang, paling manja, bernama Titin.
Ajaib! Ketiga kucing itu bisa bicara. Setiap hari mereka bermalas-malasan di lantai sambil ngoceh tak karuan dan menonton film Korea. Topik ocehannya macam-macam. Ada yang ngomongin kucing-kucing jantan imajiner, lalu gosip-gosip selebriti di televisi, dan yang tak pernah absen adalah ngomongin makanan. Sore harinya mereka berkebun dengan berkostum tanktop-hotpant sambil tetap ngeang-ngeong tidak jelas.
Kucing-kucing itu sangat mendewakan si Gadis sebagai sosok mamak yang perhatian, konsultan cinta yang jitu, orang penting karena dekat dengan para pembesar yayasan dan sering tercatat sebagai bendahara dalam setiap kepanitiaan. Titin, kucing termuda, paling terlihat mengagungkan si Gadis. Bu Marno semakin muak melihat gaya si Gadis yang tertawa-tawa bangga mendengar celotehan para kucing.
Dinding rumah bu Marno yang terbuat dari batu bata pilihan sepertinya tak mampu menjadi tameng bagi lengkingan-lengkingan mereka. Suaranya seperti menembus dinding lalu menusuk-nusuk gendang telinga bu Marno. Bu Marno selalu mengurung diri di kamar atau minggat dari rumah jika lengkingan tak juga berhenti, menyumpal telinganya dengan headset atau menaikkan volume speaker laptopnya. Suatu kali bu Marno pernah membanting pintu kamar. Tapi malang, bantingan pintu itu hanya disambut dengan tawa cemoohan dan sindiran-sindiran. Tak ada yang mempedulikan keberadaan bu Marno, sedikitpun.

Lahat, 15 Oktober 2012
*)Maria Ita, penulis kumpulan puisi Ibukota Serigala

The Secret Admirer

Flash Fiction Vivi Fajar

pengagum rahasia
gambar diunduh dari 4.bp.blogspot.com

Ah, ternyata begini rasanya terjebak dalam mobil bersama seseorang yang menarik seperti kamu. Di luar sana, hujan lebat. Dan kemacetan panjang berkilometer.Berhenti. Bukan cuma mobil ini, rasa-rasanya jantung ini juga jadi kurang lancar memompa darah ke seantero tubuh. Aku menggigil, bukan hanya karena dinginnya AC, tapi juga karena ada yang aneh di sini (menunjuk kening) dan di sini (mendekap dada…). Uhhhh…

Tapi sepertinya kamu nggak peduli. Sebab saat kulirik sepintas, jari-jari lentikmu asyik memainkan tuts Blackberry. Hush, ingin betul rasanya memprovokasi kamu supaya bersuara. Apa sih sebenarnya yang kamu tulis di situ, atau kamu cuma pura-pura membaca supaya terhindar dari intimacy bersamaku?

Suara hujan yang mengetuk-ketuk kaca mobil itu nggak mengganggu kamu ya? Tapi jelas menggangguku. Riuh rendah di sana, dan di sini rasanya sepi, sebab kamu nggak juga bereaksi. Atau kamu cuma menunggu aku memulai? Yah, supaya semua terlihat lebih mudah, lebih elegan, karena aku laki-laki dan kamu perempuan.

Rambutmu wangi, aroma tubuhmu aku suka. Hmm, kenapa baru sekali ini aku mencium aromanya? Parfume barukah itu? Hushhhh, tapi sedekat ini? Bagaimana aku bisa tahan?

Tahukah kamu, aku mengagumi kamu sejak beratus hari yang lalu, saat pertama kali aku menatapmu dan kesempatan seperti ini, sungguh takpernah kubayangkan bisa terjadi. Kudengar kata orang kamu begitu dingin dan pasif, tak peduli, terlalu sulit dimengerti.

Bayangkan, sedekat ini? Uhhh, aku cuma ingin merasakan betapa kehangatan bisa terbangun karena suasana begitu mendukung. Lalu mitos-mitos tentang kamu dan kebekuanmu bakalan cair di hadapanku.

Tapi, waktu kulirik sedikit lagi, kamu masih asyik berbalas kabar dengan entah siapa di ujung sana. Kamu sama sekali nggak menganggapku ada. Ahhh, kalau saja kemudi ini bisa kuajak bercakap, sudah kuajak dia bicara. Kamu tahu, ternyata kamu memang beku.

Tiba-tiba aku merasa rugi sendiri. Tadinya paling tidak ini kuanggap bonus dalam kesendirianku. Berbagi kabin sempit dan sejuk dengan orang semenarik kamu, tapi..

“Hei, please, kamu tau? Kamu itu cantik, kamu pintar, kamu mengagumkan, sungguh mati, aku fans beratmu!!!”.

Sudah.

Ah, leganya. Kulirik kamu di sisi kiriku sekali lagi. Kamu masih menunduk menatap layar Blackberry, membuatku jadi ingin tersenyum sendiri. Sungguh tak terbilang rasanya. Baru saja kuluncurkan pujian-pujian itu dan kamu tetap nggak tahu.

 

 

April 2008
Antara Cawang-Bekasi
Suatu hari, kala hujan di siang yang lengas

Semestinya Aku Menciumnya

Flash Fiction Ragil Koentjorodjati

marah romantis
gambar diunduh dari dreemstime.com

Jadi ceritanya begini. Malam itu sudah mendekati larut, kautahu, itu waktunya orang beranjak masuk kamar, tidur! Aku menemaninya, entah kegiatan apa aku harus menyebutnya, yang jelas berdua di lantai balkon, lebih tepatnya tempat jemuran. Lebih dari 3 jam aku menasehatinya dengan berbagai katakata bijak yang kupungut dari mana saja. Ia diam. Aku berpikir, pasti katakataku telah memikat hatinya.
Lalu malam itu, ya, malam itu, rambutnya tertiup angin, tepat menampar mukaku. Wanginya menggoda. “Aroma apa?” tanyanya. “Bunga lili,” jawabku sok tahu. “Ngawur! Cobalah lebih dekat.” “Jangan, itu tidak baik. Nanti jadi gosip gak sehat.”
Entah kenapa dia tiba-tiba marah. Aku ditinggalnya sendiri di atap rumah. Sebulan tanpa kabar hingga aku memberanikan diri bertanya, kenapa?
Lalu jawabannya mengejutkanku. “Aku ingin kaudiam dan segera mencium rambutku. Bukan memberi kotbah sepanjang jam!”

Ketika Bang Tigor Galau

Flash Fiction Risma Purnama

butet dan tigor
Gambar diunduh dari ivanaldie.files.wordpress.com

Sudah hampir sebulan ini Butet tak bertemu Tigor. Jangankan batang hidungnya, suaranya pun tak terdengar. Seperti hilang diculik alien! Berkali kali Butet memeriksa sms, inbox atau email, tak ada pesan di sana. Hapenya pun tak pernah aktif. YM, Twitter, fesbuk pun tak ada menunjukkan aktivitas terbaru. Ke mana kau bang Tigor? Butet mulai bertanya tanya dalam hati. Resah! Aku harus segera menemuimu! Butetpun mengambil keputusan, bergegas pergi ke rumah kontrakan Tigor, kekasih hatinya selama setahun terakhir ini. Tapi ke mana? Tigor tak pernah memberitahu alamatnya yang jelas. Jangan jangan alamat palsu, nanti aku kesasar pula, batin Butet berbisik.
Malam minggu mendadak menjadi selalu kelabu bagi Butet. Biasanya ada tawa canda Tigor di ujung telepon, atau sms gombal lebay, atau hanya sekedar jalan berdua di sepanjang trotoar kota sambil gandengan tangan…, hm romantisnya. Tukang bakso lewat pun tak lagi dihiraukan! Tapi kini semua itu seakan menjadi kenangan tak terlupakan. Tapi kenapa Tigor menghilang begitu saja? Apa sebabnya? Mungkinkah karena aku pernah menyinggung soal pernikahan? Ah, Tigor juga ga bilang kok kalau dia menolak akan melamarku, bahkan sepertinya Tigor sudah mempersiapkan arah ke sana. Butet mencoba menghibur diri sendiri. Langkah kakinya terus tak henti,sampai terdengar suara nyanyian, suara yang Butet kenal betul. Butet mengarahkan pandangan matanya ke sekitarnya.
Nah, itu dia asalnya suara itu. Di perempatan jalan dari sebuah lapo tuak di bawah rerimbunan pohon yang di depannya ada tambal ban. Butet berjalan mendekat, bibirnya tersenyum lega. Orang yang sedang dicarinya, bang Tigor sedang memainkan gitar sambil bernyanyi. Marmitu sambil marlissoi. Bah,di sini kau rupanya! Tanpa rasa malu Butet masuk ke sana di antara ramainya tetamu lapo yang  sedang  asyik dengan mendengarkan Tigor bernyanyi. Ueeee…Tigor kaget begitu melihat Butet hadir di sana, sontak dia menghentikan gitarnya dan nyanyiannya. Tigor menarik tangan Butet keluar…
“Bah, Tet…kenapa kau cari aku ke sini, apa kau tak malu?” tanya Tigor dengan raut wajah serius dahi berkernyit.” Kok dia tahu aku di sini ya,” hati  Tigor bertanya.
“ Tak sengaja bang, tadi aku lewat sini, kudengar seperti suaramu…” jawab Butet sambil tertunduk, takut kalau kalau Tigor marah karena dikira telah mengintainya. Berdua mereka duduk di kursi panjang di samping lapo itu di bawah rimbunnya daun pohon ceremai.” Kau tak ada kabar sebulan ini bang…”lanjut Butet lagi. Tigor menghela nafas mencoba menenangkan diri membersihkan pikirannya yang lagi galau.
“Begini ya Tet, aku bukannya menghilang apalagi diculik alien! Aku lagi ada masalah besar ini, sebulan lalu aku menabrak motor dan aku terpaksa ganti rugi, mana pula SIM aku sudah mati. Angkotku disita sama juraganku Tet! Angkot itu akan dijual karena rusak bekas tabrakan, mana pula BBM akan naik nanti. Juraganku  babeh Tohir terpaksa mau menjual saja angkot itu karena tak mau menanggung  kerugian yang lebih besar kalau ga dapat setoran. Sudah sebulan aku tak bayar kontrakan Tet, makanya aku hidup hanya menumpang di rumah teman. Aku memutuskan akan pulang kampung saja ke Laguboti, aku akan bertani saja! Soal hubungan kita, aku minta maaflah kalau aku tak kasih kabar berita, aku takut menyakiti hatimu dan menganggu pikiranmu.”
Butet hanya terdiam sambil menelan ludah di kerongkongannya yang kering. Hatinya tercekat. Pikirannya pun ikut menjadi galau. Tigor akan memutuskan hubungan mereka?”Oh…aku belum siap, “ teriak bathin Butet.
“Tapi begini Tet, kalau kau memang cinta sama aku, ikutlah aku pulang ke kampung, kita menikah di sana, hidup bertani, orangtuaku masih punya sawah yang bisa kita olah, bagaimana Tet?” tanya Tigor mendesak.
“Pulang kembali ke kampung?Oh…tidak! aku sudah meninggalkan kampungku Samosir karena sulitnya hidup bertani di sana, sekarang aku sudah ada pekerjaan meskipun hanya kerja kantoran staff rendahan. Sekarang aku harus kembali lagi demi mengejar cinta Bang Tigor?” bathin Butet berkecamuk. Dia harus memilih.
Sekarang tak lagi hanya Tigor yang galau, Butet pun tertular menjadi galau! Berdua mereka menghabiskan waktu hingga larut malam, membicarakan akan nasib masa depan mereka. Semoga kau tak sedang mabuk Tigor, bisik hati Butet, karena tercium bau aroma tuak dari mulut Tigor, kekasihnya yang sekarang jadi pengangguran.

Pay Jarot Bermalam di Rumahku

Flash Fiction: Martin Siregar

Sprei, sarung bantal sudah kuganti. Kamarmu kusapu dan pel supaya lebih segar. Ruang tamu juga sudah kurapikan. Aku hanya senyum manis mendengar suara tegas istriku yang sudah capek menyambut kedatangan  Pay beberapa jam mendatang. ”Kau…Tidur di depan tv, sudah kusediakan bantal selimutmu. Tak usah kau sekamar sama si Pay. Nanti dia yang sudah capek naik motor tak bisa tidur karena kau tidur sangat lasak. Bisa saja kakimu macam orang mabok menendang mukanya.” “Hua…ha…ha.. Iyalah ..Hua…ha…ha..” Aku ketawa terbahak bahak mendengar garis komando yang selalu aku dengar kalau kawanku berkunjung dari tempat jauh.

Satu jam yang lalu Pay SMS katakan sudah meluncur dari Sosok. Berarti satu jam mendatang sampai di rumahku. ”Cepat!! Kau mandi, nanti jijik si Pay ngobrol sama kau yang masih bauk dan jorok.” Hua…ha…ha..Matilah aku ini. Kupikir sudah berakhir  cerewet istriku. Rupanya masih berlanjut ketika aku mau duduk menghabiskan kopi sekitar jam setengah enam sore.

Tidak terlalu meleset, Pay sudah tiba ketika aku sedang mandi. “Cepat !!! Cepat bapak mandi, Om Pay sudah datang. Cepppaaatttt….!!”. OooaaLlaa…Anakku Jati ketularan cerewet mamaknya. Maka akupun macam cacing kepanasan bergegas menyambut Pay di ruang tamu. ”Nah !!! Ini Pay kakakmu terpingkel pingkel baca buku karya tulismu:”Sepok”. Pay hanya tersenyum tipis merespon ucapanku.

Menjelang malam, Pay malas mandi. Lebih baik kita secepatnya makan supaya kerja edit naskah bisa segera selesai sebelum larut malam. Siap makan, langsung ke ruang tamu sudah tersedia seteko kopi dan air putih disediakan Jati. Pay segera buka notesnya dan dengan ringan kami kategorikan tulisan tulisanku. ”Bang lebih cocok Bab I Wacana Unkonvensionil. Supaya sidang pembaca punya panduan tuk melangkah ke Bab II. Nah !! Bab II kita masuk ke: Dunia Tulis Menulis” Pay memberi saran yang langsung kusambut sangat setuju. Kalau  begini ceritanya berarti penerbitnya bukan LPs Air, karena mereka tak jadi kasih konstribusi. Oke…Pay soal itu nanti saja kita diskusikan. ”Tapi abang nggak kecewa kan?” Aku hanya senyum kecut menahan gigi supaya jangan berlaga Hua….ha…ha…

Ternyata tugas rombak naskah tidak serepot yang kami bayangkan. Sekitar jam setengah sebelas kerja tuntas dan laptop tak aktif lagi. Pay mengaku agak sulit tidur apabila tubuh terlalu letih. Maka akupun (senang ?) punya kesempatan tanya pendapat Pay tentang sikapku. “Iya…Pay. Kurasa dunia ini sudah terlalu sering berpendapat bahwa paham humanisme universal adalah missi penjajahan negara maju ke negara berkembang. Menyebarkan nilai universil (menyeragamkan) pandangan hidup di negara berkembang. Dengan demikian, negara maju akan lebih mulus menjalankan (A) Eksploitasi sumber daya negara berkembang. Agar kesadaran pemerintah (negara berkembang) semakin mandul maka negara maju (biasanya) melakukan strategi (B) Penetrasi budaya. Dihancurkan budaya lokal dan tak sadar sumber daya semakin banyak di eksploitasi. Supaya eksploitasi dapat berjalan permanent, maka (C) Politik negara berkembang harus di dominasi.”

Ketiga (A,B,C) di atas sudah terjadi di Indonesia. Dalam aksi mahasiswa sering disebut dengan semangat:”Usir NeoLibs”. Mendadak aku tersadar sudah terlalu banyak bicara membiarkan Pay hanya diam mendengar.”Gimana pendapatmu Pay?” Aku sentak si Pay.”Abang teruskan saja, aku tetap menyimak.” “Okelah…Pay.”

Jadi humanisme universal adalah poros utama imperialisme. Begitu pemahaman yang terjadi sejak zaman dahulu kala. Nah !! tulisanku terlalu banyak tinggalkan pesan humanisme universal. “Apa mahasiswa tak benci sama tulisanku?” Pay diam saja isap rokok makin dalam matanya menerawang.

Yah.., Hal ini yang berkecamuk dalam benakku. Pada sisi lain aku melihat bahwa nilai humanisme universil adalah obat mujarab untuk meruntuhkan watak primordialisme primitif (pemicu konflik SARA). Kusudahi kalimatku. Selang beberapa waktu Pay angkat bicara:”Walau lelah aku sudah bisa tangkap pesan yang abang sampaikan.” Ini pergumulan kita dalam proses penerbitan buku abang yang jalannya terseok seok. Hi…hi..hi… Okelah…Mari kita tidur Pay.

Reuni Bersama Isim

Flash Fiction Martin Siregar

Lanjutan: Kantril Dinasehati

Gambar dari Shutterstock

Terkejut Isim karena calon adik iparnya Payman adalah kawan dekat Pak Longor, Bason dan Kantril. Kebetulan libur musim panas tahun ini Isim kembali ke Indonesia setelah 23 tahun menetap di Italia. “Hallo…Aku Isim baru tiba di bandara Polonia Medan bersama keluarga mau liburan, 3 hari ke danau Toba, Pulau Samosir, tongging dan tanah karo. Jadi mungkin hari ke empat aku bisa main ke Jakarta. Bason terkejut menerima telepon Isim. Tak ubahnya Kantril yang sudah mulai tekun bermeditasi dipandu Bason. Rindu tak jumpa selama puluhan tahun akan terhapus 4 hari lagi.

Kantril, Bason dan Kantril sejak SMA tahun 80-an gabung di The Campino Connection, club anak muda yang mereka dirikan bersama  kawan-kawan sebaya di Medan. Club yang cukup diperhitungkan pada waktu itu. Punya diskotik yang selalu disewakan, balap di jalanan, tapi aktif  softball, skateboard dan selalu mendaki gunung Sinabung maupun gunung Sibayak apabila libur sekolah. The Campino Connection adalah ajang kegiatan anak muda multidimensionil.

Walaupun setelah mahasiswa mereka berpisah, tapi tetap saja berkawan erat. Isim di fakultas pertanian, Kantril fisipol dan Bason di ekonomi. Hanya saja karakter Isim berbeda dengan Kantril dan Bason, Bason Kantril kutu buku aktif membangun kelompok diskusi bedah buku ilmiah di beberapa tempat. Konsep pemikiran ‘Das Kapital’ karya Karl Marx, maupun ‘Pendidikan Kaum Tertindas’ Paulo Friere dikuasai mereka secara mendalam. Merasa pejuang kelas berat memberikan tinjauan kritis terhadap sistem pembangunan yang dilaksanakan orde baru dinilai sarat dengan ketidakadilan. Sedangkan Isim dijuluki “manusia penikmat hidup”. Playboy kelas kakap yang selalu mencari sasaran mahasiswi kaya raya.

Biasanya, momentum yang ditunggu Isim adalah perayaan natal setiap tahun. Walaupun Isim tak pernah ke gereja, tapi setiap perayaan natal seluruh fakultas di universitas tersebut — pasti Isim hadir sambil menggandeng gadis yang dicintainya —-. Pacaran 3-4 bulan putus hubungan dan cari mahasiswi lain. Kantril dan Bason kagum terhadap kemampuan gombal Isim dihadapan gadis. Dan, tak henti hentinya mereka ingatkan Isim agar menghentikan tabiat buruknya itu. Tapi Isim tetap saja tak perduli.

Pernah satu waktu semester 4 Kantril yang sudah tak kuliah, mencoba hidup bersama gelandangan pinggir rel kereta api. Ikut merasakan penderitaan kaum sengsara mencari kardus, kaleng, besi botol sebagai mata pencaharian. Kantril terhasut buku ‘Partispasi Riset Aksi’ pengalaman Paulo Friere di Brazil. Sekitar 2 bulan Kantril tinggal di pondok sengsara pinggir rel kereta api. Sesekali Bason yang heboh mengorganisir petani pedesaan bermalam di gubuk Kantril. Karakter mahasiswa sok pembela rakyat miskin melekat kuat pada jiwa Kantril dan Bason.

Terpikir Kantril tuk menanam pekarangan sempit pinggir rel kereta api dengan sayur-sayuran maupun anggrek yang mahal harganya. Secepat kilat Bason usul: ”Kita suruh Isim tuk mencuri bibit sayur mayur yang bertebaran di halaman fakultas pertanian. Lantas kita minta Isim bujuk pacarnya Isti (yang cinta tanam anggrek)  kasih bibit anggrek tuk saudara saudara kita yang sengsara ini.”

Dengan ringan senang hati, Isim laksanakan pesan kedua kawannya. Bahkan Isti terlibat mengajari para gelandangan cara bercocok tanam anggrek. ”Nampaknya Isti gadis baik budi. Jangan kau putuskan hubungan kaliam, jadikan Isti jadi istrimu.” Kantril dan Bason sangat terkesan atas kemampuan Isti berintegrasi di tengah-tengah gelandangan sengsara. Segala atribut gadis kaya raya ditinggalkannya di rumah, apabila interaksi ke rumah gubuk pinggir rel kereta api. Tapi, yang namanya Isim palyboy kampungan hanya bertahan 7 bulan pacaran dengan Isti.

Hanya Isim yang berhasil menggenggam ijazah sarjana. Bason Kantril larut akibat jiwa romantisme pejuang rakyat tak tuntas menyelesaikan perkuliahan. Walaupun begitu, Bason yang tak mengantongi gelar sarjana berhasil duduk di posisi penting di penerbitan majalah politik bergengsi. Kantril punya toko kelontong  dan Isim penguasa travel biro di Italia.

Ketika Bason Kantril akan kutatap, hatiku terharu. Seakan hari-hari yang berkesan itu datang kembali membuai kami bertiga. Deg-degan Isim di bandara Sukarno Hatta menunggu kedatangan Bason dan Kantril. Sebenarnya Isim masih sangat capek meninggalkan anak istrinya di Medan melanjutkan liburan. Isim butuh istirahat sebelum lanjutkan perjalanan ke Jakarta. Hasrat jumpa kawan lama tak boleh ditunda, Isim paksakan fisik harus ke Jakarta. Duduk lemas lunglai di ruang tunggu bandara, kepalanya pusing tujuh keliling. Dan, ketika Kantril dan Bason menepuk bahu, Isim tak kuat berdiri. Sakit jantungnya kumat, Isim hampir pingsan,  terpaksa dibopong ke polklinik bandara dalam keadaan tak sadarkan diri.

Istri yang Sempurna

Flash Fiction Vivi Fajar A.

big smile
Ilustrasi dari shutterstock
Nobody’s perfect, “omong kosong”, batin Luna. Ia harus menjadi sempurna untuk lelakinya. Begitulah, Luna merasa bagai terlahir kembali manakala tiba waktunya menjadi seorang istri dari lelaki yang dikaguminya. Tiba-tiba saja Luna mendapati dirinya melakukan hal-hal baru yang bahkan tak pernah terpikirkan olehnya dulu.
Ia belajar memoles wajahnya yang sederhana agar selalu tampak indah di mata suaminya. Ia menyemprotkan wewangian agar lelaki itu nyaman saat didekatnya, sekalipun sejujurnya ia tak terlalu suka mencium aroma parfume manapun. Ia mulai membaca tabloid otomotif, ikut mendengarkan musik jazz, bahkan rela bangun dini hari untuk menonton kompetisi piala champion di televisi, sekalipun matanya selalu setengah tertutup dan tak pernah bisa membedakan siapa tim yang sedang turun berlaga, semua itu dilakukannya semata agar dapat menjadi teman bicara yang menyenangkan. Ia tertawa untuk lelucon sang suami yang kadang ia tak mengerti, ia ingin jadi yang pertama memberi penghiburan saat suaminya tiba di rumah dengan wajah muram tanpa bertanya apa alasannya tampak berduka. Bagi Luna, menjadi perempuan sempurna adalah harga mati demi menjaga cintanya.
Seperti saat ia berusaha menghidangkan sup terlezat yang pernah dimasaknya. Ia telah memilih resepnya dengan sangat teliti, meracik bumbu rempah selengkap yang ia punya, membuat kaldu ayam asli dengan suwiran daging ayam nan lembut, memasukkan potongan wortel organik segar, kentang dan daun bawang, menambahnya dengan butiran kacang polong serta beberapa kuntum daun seledri pelengkap aroma.
Saat makan malam berdua, dari seberang meja Luna memperhatikan sang suami menikmati sup hangat yang terhidang di hadapannya. Ia mengunyahnya perlahan-lahan, menambah sedikit lada halus, sedikit saus tomat dan sesendok teh sambal kecap ke dalam mangkuk sopnya dan memakannya hingga tak bersisa. Puas rasanya melihat masakannya dinikmati begitu rupa.
Sesaat seusai ia membereskan meja, Luna mendapat hadiah kecupan ringan di keningnya. Sesaat hadir desiran lembut di dada, terlebih saat suaminya berbisik lembut ditelinga, “sayangku, terima kasih untuk supnya, lain kali jangan lupa tambahkan garam secukupnya saat kau memasak”.
Ah, pipi Luna memerah menahan malu. Seketika itu ia menyadari, ketulusan lelaki ini saat menerima kekhilafan dan kekurangannyalah yang telah membuatnya sempurna.

Adelaide, 24 May 2012
The end of the fall