Arsip Tag: resensi

Lomba Menulis Cerpen RetakanKata 2013

Kabar Budaya – RetakanKata

Sebenarnya kami kurang begitu suka menyebut ini sebuah lomba. Kami lebih suka menyebut ini sebagai ajang bersuka ria dengan menulis. Semacam seremoni merayakan kemerdekaan untuk menulis. Tapi, apa boleh buat, istilah lomba ini terlanjur memudahkan komunikasi kita tentang bagaimana sebuah perayaan ini dilakukan sehingga menjadi semacam kegembiraan bagi siapa saja. Yah, itulah tujuan utama kegiatan menulis kita kali ini: merayakan kemerdekaan menulis dengan penuh suka cita. Penggunaan istilah lomba cukup dipandang sebagai pemudahan komunikasi saja.

Seharusnya lomba ini diselenggarakan setiap menyambut ulang tahun berdirinya RetakanKata. Tetapi karena beberapa hal mengganggu agenda, terpaksa tahun ini sedikit mundur ke belakang. Dengan parade lomba yang begitu panjang sepanjang tahun 2012, kami berharap, mundurnya agenda lomba menulis cerpen ini dapat dimaklumi. Tentu kami membutuhkan sedikit jeda untuk bernafas setelah lomba cerpen RetakanKata 2012, menyusul rangkaian lomba-lomba yang lain, sebut saja misalnya lomba menulis opini sebanyak dua kali, lomba menulis resensi, lomba menulis flash fiction, weekly writing challenge dan festival blog sastra indonesia. Meski cukup melelahkan, namun kebahagiaan sahabat RetakanKata menjadi penghibur yang menyemangati kami untuk terus mempertahankan RetakanKata.

Mengawali lomba di tahun 2013 ini, RetakanKata kembali menyelenggarakan lomba menulis cerpen yang tetap GRATIS bagi siapa saja. Dengan menambah kategori lomba, mudah-mudahan perayaan kemerdekaan menulis ini menjadi lebih meriah. Ya, lomba kali ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu: kategori untuk umum dan kategori untuk buruh migran. Kategori umum terbuka bagi siapa saja, baik warga negara indonesia maupun bukan. Sedang kategori buruh migran hanya diperuntukkan bagi warga negara Indonesia yang bekerja sebagai buruh migran di mana pun mereka berada. Ketentuan lebih lengkap mengenai lomba cerpen ini dapat disimak di page Lomba Cerpen RetakanKata. Selain menambah kategori lomba, kali ini juga menambah daftar panjang hadiah untuk para juara. Semoga perayaan kemerdekaan menulis ini benar-benar membawa kegembiraan bagi siapa saja.

Untuk membaca ketentuan lomba dan mengunduh formulir pendaftaran klik: LOMBA CERPEN RETAKANKATA 2013.

Kami tunggu karya-karya Anda dan Selamat Bersukacita!

Berger dan Dialektika Sosiologis

Resensi Arif Saifudin Yudistira*)

dialektika sosiologisDunia filsafat memang lebih dikenal sebagai dunia yang indah, penuh dengan kebijaksanaan dan utopis. Kata terakhir ini yang menjadikan dunia filsafat lebih cenderung dipandang sebagai dunia yang hanya bermain-main dengan pemikiran. Bagaimana dengan Berger? Peter L Berger adalah sosiolog yang setidaknya mencoba menjawab tantangan itu. Menurutnya dunia yang ada sekarang ini adalah dunia yang perlu kita curigai. Sebab realitas dalam kajian Berger tak datang dengan sendirinya. Ia mengindikasikan realitas subjektif. Untuk itu, ia perlu menjadi realitas yang bernilai ilmiah. Berger memandang ilmiah itu objektivitas, empiris, sistematis dan teoritis (hal. 4).
Buku Peter L. Berger: Sebuah Pengantar Ringkas yang ditulis Hanneman Samuel seorang pengajar mumpuni yang senantiasa bergelut di dunia sosiologi di dalam kajian kesehariannya. Ia adalah pengajar di universitas, meski demikian, ia tak mau memandang sosiologi sebagai ilmu yang selalu dan senantias terhormat. Sebab itulah buku ini ditulis. Hanneman Samuel tak hanya ingin menunjukkan bahwa Berger perlu dikabarkan, Berger perlu diceritakan pada kita semua. Ini bukan hanya karena pemikiran Peter L. Berger begitu penting dalam kajian sosiologi, tapi pemikiran Berger memberikan satu pemahaman penting bagi kita, bahwa kajiannya tentang sosiologi dan ilmu pengetahuan sangat penting.
Berger memberikan satu kata kunci penting untuk memahami dunia kita, yakni “realitas”. Berger mendedah “realitas” perlu mengalami beberapa proses yakni eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Ketiga proses inilah yang membentuk pengetahuan kita. Melalui tiga proses itulah, kita memandang “sesuatu” dari pengetahuan akan “sesuatu” tersebut sebelumnya.
Nilai Penting Berger
Hanneman Samuel menghadirkan kembali pemikiran Berger dengan motif bahwa “kajian pemikiran Berger dinilai penting karena ia mengingatkan kembali akan kesejarahan dari sebuah “realitas sosial”. Dengan melihat kesejarahan realitas sosial itulah kita bisa membaca berbagai kepentingan atau realitas yang semu yang dibentuk dan dimanipulasi. Selain itu, Berger menekankan bahwa proses internalisasi itulah yang cenderung lebih dominan dalam diri kita. Sehingga kita tidak objektif memandang sesuatu.
Pemikiran Berger bisa kita praktikkan dengan realitas sosiologis negeri kita. Misalkan ketika muncul berita terorisme di suatu daerah, media menggunakan proses internalisasi yang terus menerus dan tak berhenti. Sehingga kita selaku warga yang berada di lingkungan penangkapan terorisme biarpun mengetahui bahwa sebenarnya lingkungan kita tidak ada masalah, kita akan ikut terpengaruh dan memiliki sugesti bahwa “ada teroris di sekitar kita”. Dengan pemikiran Berger, kita mampu membedakan apa yang sebenarnya terjadi dalam realitas sosiologis masyarakat kita. Meskipun media, berita, dan juga opini publik berkembang, kita bisa menganalisa “apa yang sebenarnya” terjadi. Di sinilah letak dialektika pemikiran Berger.
Dekonstruksi
Pemikiran Berger setidaknya mendekonstruksi atau menggugat pemikiran sosiolog sebelumnya yang memandang bahwa realitas itu dibentuk dari sesuatu yang general dan tampak di permukaan. Sehingga berbagai kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah seringkali berasal dari sesuatu yang dinilai umum dan general. Oleh karena itu, kebijakan yang demikian seringkali tak cocok di kalangan bawah. Akan tetapi Berger membalik itu semua, bahwa setiap individu mesti memiliki analisa dan kaca mata untuk menganalisa realitas kesehariannya, realitas keseharian itulah yang membentuk objektifikasi di masyarakat sehingga membentuk realitas sosial. Berger sebagaimana diungkap oleh Geger Riyanto sosiolog yang meneliti Berger bahwa “sumbangsih pemikiran Berger adalah memberikan satu penutup dan simpulan besar para sosiolog sebelumnya yakni kita hidup dalam realitas yang dibuat”.
Buku Peter Berger Sebuah Pengantar Ringkas ini menarik untuk dijadikan kajian awal bagi kita untuk mengenali Berger dan mempraktekkan metodologinya. Berger mengajak kita untuk curiga, waspada, tapi juga senantiasa berpikir ilmiah dan resah akan kondisi masyarakat kita. Ia menyarankan adanya dialektika di dalam realitas sosial. Sehingga kita memiliki objektifikasi terhadap realitas sosial yang benar. Tak berhenti sampai di sana, kita memiliki kewajiban dengan pengetahuan akan realitas sosial itulah, kita menyadarkan dan menyerukan masyarakat, bahwa realitas sosial yang dibuat ini perlu kita sadari dan mengerti bagaimana menyikapi realitas tersebut. Sehingga ia mengatakan dengan kesimpulan sederhana : “….fenomena manusia tidak berbicara dengan sendirinya : ia harus ditafsirkan” (Berger and Kellner,1981:10; hal.42).
Kajian Berger bisa kita gunakan untuk menelaah bagaimana “realitas politik”, “pencitraan penguasa” hingga berbagai pembohongan publik yang disiarkan melalui media bisa kita analisa. Dengan begitu, kita sebagai manusia yang memiliki modal “pengetahuan” bisa menggunakan sosiologi pengetahuan yang kita punya untuk lebih memahami dunia (realitas kita yang sesungguhnya). Karena itulah, buku ini dihadirkan, bahwa Hanneman Samuel tak mau terkungkung dalam satu realitas sosiologis di dunia perkuliahan yang cenderung terkungkung dengan realitas yang lebih cenderung kepada realitas keseharian. Dengan menghadirkan buku ini, Hanneman Samuel juga mengungkapkan pentingnya kesadaran sosiologis. “Kesadaran sosiologis perlu untuk seseorang yang menyebut dirinya “intelektual”. Kesadaran ini akan memberi insane yang hidup di jalan pemikiran kapasitas yang tajam untuk berefleksi, melihat segala sesuatu dalam bingkai yang utuh, bahkan daya ironi dan kemampuan menjaga jarak dengan dirinya sendiri. Meminjam istilah Elias (1987) penarikan diri (detachment) selayaknya berjalan beriringan dengan “keterlibatan” (involvement) (hal. 108).dialektika sosiologisJudul: Peter Berger Sebuah Pengantar RingkasPenulis: Hanneman Samuel
Penerbit: Kepik
Tahun: 2012
Tebal: 120 halaman
ISBN: 978  602 99608 6 0

 

*) Penulis adalah Mahasiswa UMS, pegiat di bilik Literasi Solo

Dalam Bus Padat ke Pontianak

Gerundelan Martin Siregar

Oke…okelah. Lebih baik aku ke Pontianak hari jumat 26 oktober, supaya lebih santai dilibur Idul Adha. Inilah keputusanku hari senin waktu istirahat bersama kekasih hati, sebelum getah karet dikutip.”Iyalah…Berarti kita masih bisa noreh hari kamis”:Istriku senang merespon keputusanku”. Kita pakai saja duit dari penjualan buku untuk ke Pontianak. Tak usah usik dana untuk biaya kehidupan sehari hari. Hua…ha…ha…Kalau dana keluarga sangat terbatas, pastilah bisa dikelola dengan bijaksana. Tapi seandainya dana yang tersedia agak berlebih, maka ada saja keperluan yang (seolah) mendesak. Tiba tiba saja perlu beli sepatu, baju baru atau lauk pauk yang enak.

Hari kamis hujan lebat semalaman, sehingga kami tidak bisa noreh. Pagi ini setelah antar Jati ke sekolah, banyak ngobrol berdua di ruang tamu. kayak masa pacaran pada zaman dahulu kala. Istriku sangat intens membicarakan penanggulangan biaya Jati yang harus kuliah. Beberapa peluang ekonomi untuk ditabung selama 3 tahun (Selama Jati SMA), dipaparkannya dengan lancar. Mulai dari ternak ikan lele yang sudah gagal 2 tahun, sampai ke soal membukukan tulisan tulisanku bersama Pay Jarot. Aku sangat yakin bahwa gagasan gagasan istriku sudah lama terpendam dalam benaknya. Tapi, aku pura pura mengangguk angguk seakan gagasan cemerlang itu baru kuketahui. Yah, Mudah mudahan saja istriku makin semangat karena aku mengangguk angguk. Mudah mudahan dia tak tahu bahwa anggukan itu adalah sebuah sandiwara (berpura pura) kagum sama pikirannya.

Lebih baik pagi ini kita susun bajumu ke Pontianak. Kau pilih baju serta perlengkapan ke Pontianak, aku mau masak. Maka akupun sibuk memilih baju celana serta buku buku yang perlu di fotocopy untuk bahan baku Anggie Maharani memahami unkonvensinil, teologia pembebasan, wacana perubahan sosial dan lain lain. (Terpaksa) aku harus fasilitasi Anggie sebagai peresensi sekaligus sukarelawan sales bukuku di kabupaten Sanggau. Pulang dari Pontianak aku akan segera ke Sanggau menyerahkan bukuku tuk dijualnya sekaligus membahas tahapan membangun Kelompok Cinta Baca Nulis di Sanggau

“Baju begini kau ke Pontianak ???”. Istriku geram melihat aku. Kau bilang, kau mau launching, bedah buku, bahas gerombolan unkonvensinil, bicara soal menulis. Harus kau usahakanlah berpenampilan rapi bersih agak terhormat. OooaaLlaa… Kembali lagi kudengar cerewet istriku yang bisa mengalahkan gaduhnya suara radio rusak. Yah,…Aku hanya pasrah membiarkan persekongkolan anak istriku mengatur dan memilih baju celana yang akan kubawa. ”Sudah kubeli sikat gigi, sabun cair, odol dan tempat peralatan mandimu yang agak keren. Waduh!!! Kok secantik ini tas kecil mahal hanya untuk keperluan mandi. Sebenarnya aku mau protes tapi tak kuasa.

Jati bilang sebaiknya bapak naik taksi saja, supaya laptop bapak yang sudah rusak (kalau dibuka harus disanggah pakai tongkat supaya tak jatuh). Aku keberatan atas usul Jati. Disamping harga tiket taksi yang mahal, aku lebih suka naik bus. Puas melihat para penumpang turun naik dengan tingkah laku berbagai macam kelas sosial. Akan makin tajam mata hati nurani meihat realitas kalau naik bus. Begitulah sikapku yang terlalu romantis melihat kehidupan yang sadis dan kejam . Sekali ini Jati tak berni memaksakan pendapatnya.

Sial !! Rupanya hari ini adalah hari libur nasional. Idul Adha membuat buruh dari PT Erna Sanggau berbondong bondong padat memenuhi bus. Kesempatan libur pulang ke kampung halaman. Aku yang sudah sempat naik bus terpaksa berdiri padat bersama buruh perempuan yang cuti kerja. Dalam hati ada juga rasa senang karena aku bisa mengukur stamina tubuhku seberapa lama tahan berdiri. Dan, terbukti bahwa kondisiku cukup prima. Sampai Ngabang (sekitar 80 Km dari desaku) ada penumpang yang turun. Hus !!! Jangan kau yang duduk, bapak sudah tua ini yang harus duduk. Seorang buruh perempuan melarang kawannya duduk di tempat kosong. Pukimaknya cewek ini seenaknya saja tuduh aku:Bapak yang sudah tua, pasti dia tak tahu bahwa aku panggil jengkel mendengar sebutan tersebut. ”Terima kasih,…terima kasih. Aku obral senyum manis ke mereka, sambil duduk meninggalkan penumpang yang lain tetap berdiri sesak.

Sebelum negara republik Indonesia berdiri, leluhur mereka sudah mengelola tanah untuk kebutuhan hidup keluarga. Sampai republik Indonesia berumur 67 tahun, semakin seenaknya negara merampas tanah rakyat demi untuk kepentingan pejabat/pengusaha. Menginjak mampus masyarakat jadi sengsara demi untuk mendukung kestabilan “perekonomian negara”. Pemimpin pemerintahan memang berjiwa BANGSAT!!!. Mual perutku membayangkan kejahatan negara terhadap rakyatnya. Saudara saudaraku didalam bus adalah korban utama dari kebijakan negara. Aku juga korban kejahatan negara, tapi nasibku lebih baik dari mereka. Uh!!!

Gadis manis muda belia kelihatan agak dinamis tersenyum dan mendadak tanya aku:”Bapak ini pasti orang kaya pura pura miskin”. Terkejut aku mendengar pernyataannya. Pura pura pakai celana pendek bawa ransel usang, padahal bapak ini punya perkebunan yang luas. Iya..Kan Pak ?”. Betapa hangatnya pembawaan gadis manis ini. Tak mampu aku menjawab pertanyaannya. Mau kubantah, pasti dia pikir aku berbohong pura pura miskin. Mau kujawab jujur:”Aku mau ngurus penjualan bukuku yang keren”. Pasti akan bertubi tubi pertanyaannya tentang bukuku. Pasti aku akan lelah menjawabnya. Makanya aku hanya menjawab dengan senyum lembut pamerkan gigiku yang ompong. Dalam hati aku berdoa:”Kau doakan saja supaya solusi yang kucapai dengan Pay Jarot dapat berjalan mulus.  Sehingga ada keuntungan yang bisa ditabung untuk Jati bisa kuliah.

Pontianak, 26 Okt’ 2012

Sangat berharap kawan kawan segera membeli bukuku.

Resensi buku Martin Siregar dapat dibaca di BAH!

Bersahabat dengan Dunia Sekitar

Resensi Film – RetakanKata

kemah kepanduan
gambar diunduh dari wikipedia

Ingin tontonan yang menghibur sekaligus mendidik? Daddy Day Camp barangkali cocok menjadi teman Anda menikmati saat rehat di rumah bersama keluarga. Film yang disutradarai Fred Savage ini mengangkat tema pendidikan anak yang dikemas dalam film komedi. Film berdurasi 90 menit ini dipenuhi adegan kocak juga menggelikan. Lucunya lagi, film produksi TriStar Picture ini tercatat masuk dalam film box office dengan pendapatan lebih dari $ 19 juta dan menggondol banyak penghargaan antara lain aktor terburuk, sutradara terburuk, gambar terburuk dan skenario terburuk. Nah lho?
Adalah Charlie Hinton, seorang pengusaha tempat pengasuhan anak, berencana untuk mengisi liburan musim panas bagi anak tunggalnya. Bincang-bincang dengan sahabatnya, Phil, mereka sekeluarga akhirnya sepakat untuk mengirim anak-anak mereka ke perkemahan musim panas. Pada dasarnya Charlie tidak setuju anaknya dilepas di alam. Selain karena pengalaman buruk masa kecilnya saat berkemah, ia tidak menyukai anak tanpa perlindungan di alam terbuka. Mendidik anak bukan berarti harus melepas anak berhadapan dengan bahaya, begitu pendapatnya.
Pendapat tersebut tentu ada benarnya. Namun di sisi lain, seorang anak juga harus dididik untuk mandiri serta bersosialisasi. Kemah pada liburan musim panas adalah saat yang tepat untuk mengajak anak bersosialisasi sekaligus menempa anak untuk tidak menjadi sosok individualis. Hal itulah yang dingin ditanamkan oleh Buck Hinton, sang Kakek, dan Kim Hinton, istri Charlie.
Perdebatan tidak terlalu lama. Kesepakatan harus dijalankan. Sebagai seorang ayah, ia tidak ingin memberi contoh buruk pada anaknya, Ben Hinton. Maka berangkatlah Charlie dan Phil ke tempat perkemahan Driftwood, tempat di mana Charlie kecil berkemah. Alangkah terkejut mereka ketika mendapati Camp Driftwood sudah tidak aktif lagi, tergerus camp baru milik Warner yang menawarkan berbagai permainan modern di alam semacam balap mobil. Dan Warner sedang berencana untuk menghancurkan Camp Driftwood. Uncle Morty, pemilik Camp Driftwood, sudah kehabisan dana untuk mempertahankan bumi perkemahannya. Semua hancur terbengkalai dan tempat pendidikan kepanduan itu tidak memiliki harapan lagi. Situasi bertambah panas ketika Charlie mengetahui bahwa Warner adalah anak yang mengalahkannya pada Olimpiade antar Camp. Terbakar emosi, Charlie justeru beralih rencana mengambil alih kepemilikan Camp Driftwood.
Kekonyolan demi kekonyolan terjadi. Niat baik Charlie menolong Uncle Morty membuahkan kesulitan di kemudian hari. Uncle Morty tidak memberitahunya jika Camp Driftwood telah dijadikan jaminan hutang yang hampir jatuh tempo. JIka hutag tidak dapat dilunasi, maka maka seluruh harta Charlie akan dilelang sebagai pelunasan hutang. Dengan negosiasi yang alot, akhirnya Charlie diberi perjanjian: jika dapat mendatangkan 30 anak pada perkemahan musim panas, seluruh harta termasuk Camp Drifwood tidak akan disita.
Posisi Charlie semakin terjepit. Untung istrinya, Kim Hinton, dengan penuh totalitas mendukung usaha-usaha Charlie meskipun sang suami tampak seperti pengecut. Kim meminta bantuan Buck untuk menghidupkan Camp Driftwood sebab hanya itu satu-satunya cara menyelamatkan diri dari kehancuran keluarga. Cerita semakin menarik ketika usaha Buck dan Charlie mendapat gangguan sabotase dari Warner. Siapa yang akan menang, tentu sangat mudah ditebak.
Sebagai film ringan bagi remaja dan anak-anak, film ini juga patut ditonton orang tua. Kekonyolan dan komedi sebagai pemikat pemirsa muda, mengandung pesan-pesan moral yang dapat dicerna jika anak menonton didampingi orang tua. Nilai-nilai integritas, kekompakan sebuah tim, mengakui kelebihan dan kelemahan diri sendiri dan orang lain yang ditunjukkan selama berada di bumi perkemahan adalah pesan-pesan yang membutuhkan penjelasan dari orang tua. Dirilis tahun 2007, film ini tetap relevan untuk masyarakat Indonesia yang tengah gandrung dengan gadget dan minim pendidikan kepanduan.

kemah kepanduan
gambar diunduh dari wikipedia

Judul Film: Daddy Day Camp
Sutradara: Fred Savage
Bintang: Cuba Gooding, Jr., Lochlyn Munro, Richard Gant, Tamala Jones
Distribusi: TriStar Picture
Release: Agustus 2007
Durasi: 93 menit
 
 
Artikel Resensi Lain:
witchblade
Sang Penebus
Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba
Kisah Seorang Putri Naga
Menyerukan Kembali Pentingnya Ijtihad

BAH!

Resensi Anggie Maharani

Ini adalah buku ketiga Martin Siregar. Buku pertama “Istriku” Kumpulan Cerpen Unkonvensionilm Jilid I (2003)”, langsung laris manis habis terjual. Buku terbit atas dukungan program kerjasama Ikatan Penerbit (IKAPI) Kalbar dengan Ford Foundation. Terbitnya buku ini mendorong Martin Siregar semakin mencintai kegiatan menulis. Sempat rutin menulis opini dan komentar pada surat kabar Suaka Pontianak tahun 2004. Dan selalu menulis makalah, refleksi, fiksi dan mencicil cerpen tuk diterbitkan. Sebenarnya naskah cerpen sudah tuntas naik cetak 2005. Tapi buku:”Kawan Kentalku Bason” Kumpulan Cerpen Unkonvensinil Jilid II, baru dapat diterbitkan tahun 2007 atas dukungan Members of The Camp Connection Medan. Buku kedua punya nasib yang sama dengan buku pertama. Laris manis laku terjual lewat gaya jual perkawanan model indi.Hadirnya facebook membuat Martin Siregar semakin terpacu, Sangat produkti menulis fiksi opini renungan yang disebarluaskan di kalangan perkawanan facebook. Naskah buku:”Kumpulan Renungan Singkat Unkonvensinil”. Sebenarnya sudah bisa diterbitkan tahun 2010. Kembali lagi Martin Siregar mengalami hambatan untuk menerbitkan buku ini. Dan, atas dukungan “gerombolan unkonvensinil” (**)buku ini terbit september 2012.

Diawali kata penghantar dari Pay Jarot Sujarwo Pontianak dan Jemie Simatupang Medan (keduanya perwakilan gerombolan unkonvensionil), buku langsung membahas Wacana Unkonvensionil yang sampai sekarang belum terformulasi dengan baik dan benar. Bab II Bertutur tentang:”Dunia Tulis Menulis”. Pada kesempatan ini Martin Siregar mengaku bahwa sejak zaman dahulu kala dihimbau untuk menulis. Tapi dia tidak memperdulikan dan baru bertobat mulai giat menulis ketika berumur 41 tahun, Nilai filosofi menulis, kegagalan membentuk kelompok, serta perdebatan hal ikwal unkonvensinil dipaparkan pada Bab II

Setelah itu Martin Siregar memberikan tinjauan kritis mengenai kehidupan ummat beragama. Kemunafikan, dan penyimpangan dogmatika/teologia agama ditelanjangi Martin Siregar pada …Bab III:”Perspektif Teologia”. Buku ini mengalir lancar karena pada Bab IV”Aku dan Kehidupan” menceritakan konflik bathin maupun kisah manis sejarah linear kehidupannya menyusuri garis matahari. Banyak pesan yang bisa memandu pembaca menghadapi kehidupan yang pincang. Selanjutnya Bab V:”Kisah Tentang Kawan Kawan” Realitas kehidupan sehari hari, kepincangan sosial, sosok sahabat muda yang kerja untuk perubahan sosial, pergumulan dalam gerakan sosial, dikupas tuntas pada bab ini.

Buku diakhiri dengan Bab VI:”Lampiran”.Jemie Simatupang menceritakan pengalaman Martin Siregar mengorganeser kelompok anak pedesaan korban Tsunami di Meulaboh Aceh Barat. Selanjutnya, cerita tentang keunikan yang dirasakan Budi Rahman melihat karakter bohemian acuh tak acuh sahabat tuanya Martin Siregar. Muchin cerita soal gaya Martin Siregar desak dan terror orang agar selalu menulis dengan gaya hasut PKI. Iphiet Safitri Rayuni kawan muda Martin Siregar ikut menulis. Semula Iphit pikir orang gendut Martin Siregar adalah kaki tangan intelijen yang nyusup ke aksi mahasiswa (1998). Tapi pada akhirnya mereka berkawan akrab saling curhat walaupun berjauhan. Pada lampiran ada juga tulisan kawan lama Martin Siregar. Yayak Yatmaka (sekaligus ilutrator dan cover buku ini) kartunis dan buron orde baru yang sampai sekarang masih membandel Hua…ha…ha.., menuliskan kesan tentang kawan kentalnya Martin Siregar.

Yah,..Buku ini berenergi menuntun kita semakin tajam melihat realitas kehidupan, walau dengan bahasa yang ringan santai. Tapi, memberi pesan yang sangat mendalam.

(**) Gerombolan Unkonvensionil: Merupakan kelompok kecil yang terus menerus mempertebal kecintaan terhadap kegiatan menulis dan usaha menerbitkan buku. Tidak patuh terhadap tata bahasa baku bahasa Indonesia. Lebih tertarik mempergunakan bahasa yang gampang dimengerti daripada bahasa Indoensia yang baik dan benar. Selalu bertutur tentang hiruk pikuk kehidupan sehari hari sebagai sarana menjernihkan mata hati sidang pembaca. Dan, berharap dapat memberi konstribusi untuk perubahan sosial dalam arti sesungguhnya.

Judul: BAH! :Kumpulan Renungan Singkat Unkonvensionil
Karya Tulis : Martin Siregar
Design Cover dan ilustrasi gambar : Yayak Yatmaka
Lay out : Pay Jarot Sujarwo
Tebal : xvi + 294 Halaman

*)Anggie Maharani adalah Pemerhati sastra Sanggau Kalbar.

Catatan:

Harga Eceran: Rp.70.000 (belum termasuk ongkos kirim di luar pontianak)
Transfer No. Rekening :

Bank Mandiri Sanggau 146 – 00 – 0652365 – 3 atas nama Martin Siregar
atau
Bank BCA no rekening: 0291465781 atas nama PY. Djarot Sujarwo

Bagi pemesan di luar pontianak, yang berminat membeli ongkos kirim 20.000 rupiah. dan jika sudah transfer, harap alamat pengiriman dikirim ke inbox Pay Jarot Sujarwo atau Martin Siregar, atau SMS ke 085750568003 atau 081256918507

Kehidupan dalam Bingkai Kesederhanaan

Resensi Riza Fitroh K*)

“Pergilah ke mana kau harus pergi, tapi jangan sampai keadaan mendesakmu untuk melakukan apa pun yang sedang kau lakukan. Kau harus melakukannya karena kau memang memutuskan untuk itu. Jangan biarkan orang lain mendikte jalan hidupmu.”

            
syafii maarifSyafii tumbuh menjadi salah satu anak Muhammadiyah yang siap mengabdi dimanapun demi tanah airnya. Dengan berbekal kesederhanaan dan kemauan yang teguh, ia mampu melewati setiap rintangan yang didepannya. Karier pertama dimulai dengan menjadi guru sekolah dasar di Lombok Timur. Namun kerinduan yang terpendam selama 5 tahun kembali membawanya ke kampung halamannya di Sumpur Kudus.

Kesejukan alami dan keasrian yang belum terjamah teknologi modern menjadi daya tarik tersendiri bagi Lombok. Sesaat Pi’i-nama panggilan syafii- merasa berada di tempat kelahirannya kembali. Di lombok dia mengajar sekolah dasar dengan 4 kelas yang dikelompokkan berdasarkan umur dan mereka akan masuk kelas dengan bergantian. Dengan segera syafii menyukai murid-muridnya yang berwajah polos. Saat menatap wajah merek, ia bertekad, bahwa beberapa dari wajah mereka yang dilihatnya ini harus melanjutkan pelajaran ke sekolah yang lebih tinggi, mencencang awan, meraih langit.

Dua bulan berjuang sendirian dipulai ini, mencoba mencintai ilmu pasti yang tak disukainya. Pi’i tak menghiraukan kehidupan sosialnyam ia tak memperhatikan ketika beberapa wanita di desa itu meliriknya dan berusaha menarik perhatian sang guru alim tampan ini. Ia berkonsentrasi pada apa yang harus dikerjakannya, dan ia melakukannya dengan sepenuh hati.

Ditengah konsentrasinya di daerah perantauan, ditengah semangatnya para muridnya, tataannya jatuh pada munaris, sang orator cilik. Munaris maju kedepan dengan penuh percaya diri dengan wajah berseri-seri, muli berbicara mengenai penerapan islam dalam kehidupan sehari-hari. Melakukan apa yang diperintahkan dalam Alquran selama di sekolah dan di rumah. Itulah gambaran semangat anak didik Pi’i saat lomba pidato.

Sebelas bulan kebersamaannya dengan masyarakat Kampung Pohgading menjadi purna, dan Syafii mulai mengalami pa yang dirasakan santoso-teman seperjuangannya yang telah pulang ke kampung halaman-. Kerindun akan kampung halamannya terasa dahsyat, tempatnya dibesarkan dan membuai diri dalam kelembutan kasih sayang. Ia mengabarkan kepulangannya kepada Pak halifah, saudagar kaya di padang, untuk mengabarkan bahwa ia akan menginap di tempatnya selama sehari sebelum melanjutkan perjalanannya e Sumpur Kudus.

Bulan Maret 1957 Syafii menatap laut luas didepannya. Dua puluh dua tahun sudah terlewati dengan hampir lima tahun merantau, akhirnya ia pulang ke kampungnya. Setelah kapal lautna berlabuh, ia menuju rumah pak halifah dengan menenteng keranjang bawang merah. Sesampainya dirumah Pak Halifah yang kelak menjadi keluarganya, ia disambut dengan hangat oleh keluarga saudagar kaya itu. Tingkah laku Nurkhalifah gadis 13 tahun, putri ketig Sarialam -lip sapaannya- yang sangat lugu tak membuat Syafii berpikir panjang. Tidak ada yang dipikirkan dalam benaknya saat itu, bahwa wanita itu akan memainkan bagian penting dalam hidup Syafii.

Taun 1958. Perjuangan rakyat Sumatra barat bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dilakukan dalam pemahaman mereka yang bertentangan dengan Presiden Soekarno, di bawah pimpinan Letkol Ahmad Husein semakin panas, dan akhirnya terputuslah hubungan para perantau Minang di Jawa dengan kampung halaman mereka. Saat itu Syafii berusia du puluh tiga tahun. Pertama-tama yang dilakukan adalah berpikir untuk melanjutkan sekolah tingkat enam Mua’limin Yogyakarta. Syafii berembuk dengan teman-temannya yang bernasib sama mereka semua masih ingin melanjutkan pendidikan dan akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti kelas persiapan masuk Universitas Tjokroaminoto.

Di Surakarta ini Syafii bersama Masiak, Hamid dan Talman menyewa sebuah tempat indekos mahasiswa. Untuk berhemat mereka menawarkan untuk menolong tante Nani sang pemilik kos, dengan memotong kebun setiap minggu dan mengepel lantai kos setiap pagi demi mendapatkan sewa kamar kos yang lebih murah.

Langkah pertama yang mereka lakukan adalah mendaftar di Universita Tjokroaminoto. Mereka tidak menemui banya kesulitan. Kelas persiapan yang diselenggarakan adalah persyaratan dan berfungsi hanya sebagai jembatan agar mereka dapat masuk ke universitas. Langkah berikutnya adalah berusaha menyambung nyawa agar tetap bernapas di bumi, khususnya di Surakarta: mencari pekerjaan.

Syafii menjadi pengajar mengaji bagi Saidah, gadis lim belas tahun yang menaruh harapan pada Syafii, Ia putri pak Lenggogeni seorang juragan kerajinan Surakarta. Yang sebelumnya ia menganggap bahwa dia akan mengajar anak laki-laki. Syafii merasa janggal harus mengajari seorang perempuan. Ia bukan seseorang yang anti kesetaraan gender. Hanya saja, ia sering merasa canggung berhadapan dengan wanita. Selama ini ia selalu bergaul dengan laki-laki.

Syafii mengambil pendidikan di kelas persiapan dan menenpuh ujian. Ia yakin telah mengerjakan ujiannya dengan baik. Tante nani sedang duduk-duduk di depan rumah dan melihat kedatangan Syafii dengan wajah serius. Dan keadaan ini membuat Tante Nani menyapanya. Dari perbincangan keduannya, akhirnya Syafii memperoleh pekerjaan baru setelah purna mengajar saidah yang tak terpikirkan lagi olehnya. Ia bekerja pada juragan tukang besi namanya Dalga. Beberapa bulan berlalu dan Syafii diangkat menjadi mandor, ia bertahan hidup, namun kuliahnya tidak.

Hidup sebagai perantauan membuat Syafii memegang prinsip bahwa prinsip hidup memang tidak boleh mudah dipatahkan. Dan kerinduan akan kampung halaman pun kembali dirasakannya. Payakumbuh, 1962, diseberang sana Etek Bainah sedang memikirkan keadaan Pi’i, dissampingnya ada Ismael Rusyid, keduannya terlibat perbincangan serius akan Pi’i. Perbincngan mengenai sebuah perjodohan antara Pi’i dan Lip, gadis lincah yang ditemuinya saat singgah di rumah saudagar kaya di Padang, pak halifah.

Bagi Syafii sekolah bukan saja menjanjikan sebuah pekerjaan yang lebih baik di masa depan., namun ia merasa bahwa berpengetahuaan sebanyak-banyaknya adalah sesuatu yang harus dilaksanakannya. Syafii dijodohkan dengan Lip, ia sosok wanita berjiwa sosial meski hidup dalam kecukupan yang lebih. Ia menyadari dirinya sangat pencemburu, bahkan apabila ada hal kecil yang kurang beralasan pun, ia dapat menjadi cemburu.

 Setelah itu Syafii harus kembali ke Surakarta, sejak ssat itu ula kabar tak sedap tentang Syafii terdengar ditelinga sang tunangan-Lip-. Dikabarkan Syafii telah memiliki satu anak, dan hal ini membuat Lip kian bersedih setelah kepergiann Sarialam-Ibundanya-. Syafii mengisi hari-harinya dengan kuliah, membaca di perpustakaan, menulis skripsi, pergi ke Pasar Pon naik kereta menuju Baturetno untuk mengajar di STPN, mengajar di sekolah Surakarta, dan satu kegiatan lagi: menulis surat pada Lip, menceritakan apa yang dilakukannya, menceritakan buah pikirannya, menceritakan perjuangannya.

Sumatra Barat, 5 februari 1965, sebuah catatan penting dalam kehidupan Syafii terukir pada hari itu dalam sebuah relief hidup yang berwujud akad nikah. Syafii Maarif, berdiri dengan gagah, memakai pakaian yang didominasi warna hitam dengan taburan sulaman emas dan kain songket bertaburan emas dengan ornamen khas Padang dan keris, menandatangani akad nikahnya. Disana Lip telah menunggu kedatangannya, wanita yang disandingkan menjadi istrinya itu memiliki sebuah aura kuat dan ketegasan yang tidak mudah ditaklukkan yang membuatnya merasa tertantang.

Syafii kembali merantau dengan membawa istrinya, meninggalakan kehidupan nyaman yang selama ini dijalani Lip. Diperantauan dari hari ke hari Lip makin gelisah, ia merasa tidak nyaman terus-terusan berada di kontrakan suaminya ditambah dengan kecemburuannya pada suaminya ini. Akhirnya Syafii memutuskan untuk mengambil program doktoralnya di FKIS-IKIP Yogya.

Dalam perjalanannya memasuki program doktoral di FKIS-IKIP tak semudah yang dibayangkan. Ia harus berhadapan dekan pembantu dekan FKIS-IKIP, Drs. Lafran Pane, yang merupakan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dengan pertolongan beberapa orang mulia yang menemaninya maupun memberikan surat rekomendasi. Hingga akhirnya ia dapat diterima dengan bantuan Onga Sanusi Pane, seseorang yang membawanya ke tanah rantau pertama kali.

Sementara untuk biaya kuliahnya, Syafii menerima bantuan dari halifah. Di kotagede, Syafii menghabiskan waktu dengan menimba ilmu dari Profesor Kahar. Ia juga melakukan dialog agama dan intelektual dengannya. Seiring dengan berjalannya waktu, Syafii sering diminta menjadi khatib di masjid Kotagede dan masjid Perak-tempat alm. Kiai Amir, yang pernah menjadi majelis tarjih PP Muhammadiyah.

Tahun 1965 menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Syafii dan Lip, mereka akan memiliki buah hati dalam beberapa saat lagi. Bagi Syafii kelahiran adalah sebuah anugerah yang datang dalam kemasan kebahagiaan, harapan, dan konsekuensi.

30 september 1965, terjadi peristiwa G30S/PKI yang juga merupakan puncak peristiwa yang menuntun pada pergantian Soekarno sebagi presiden pada Soeharto. Pada waktu itu terjadi berbagai kejadiaan besar yang mengguncangkan tatanan negara. Kehidupan ekonomi masyarakat, termasuk kehidupan ekonomi Syafii dan Lip mengalami ujian yang berat, dan Syafii pun terbelenggu dengan keadaanya-tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan calon ayah, lagi pula ia masih kuliah. Kesulitan ekonomi sedang mengalami masa puncak.

Syafii tidak dapat banyak berperan bagi masyarakatnya dan berbela rasa karena kantong pertahanannya pun sedang menipis. Kekuatannya sebagai seorang laki-laki, kepala keluarga, dan cendekiawan sedang diuji dan dengan merangkak, menyeret berbagai beban berat di pundaknya, ia berusaha terus bertahan. Ia menyimak dan berkomentar dengan aktif di kampung, namun tidak dapat sampai turut berjuang kecuali secara konsep, bahwa ia memeras otak dan keringat ersama rakyat kecil yang juga berpayah lelah mengisi perutnya-berjuang untuk sekadar bertahan hidup.

Pada awal tahun 1966 terjadi demonstrasi di mana-mana. Tuntutan Tritura (Tri tuntutan Rakyat) meminta pemerintah membubarkan PKI, membersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI, dan menurunkan harga dan meningkatkan perbaikan ekonomi. Sementara itu perut Lip mulai membesar. Akhirnya, pada bulan Maret 1966, saat Syafii baru pulang dari tempat kuliah, ia melihat Lip mengejag kesakitan sambil memegang perutnya. Dengan keringat mengalir deras, Syafii berlari untuk memanggil becak, kemudiaan menggotong istrinya ke Pusat Kesehatan muhammadiyah.

Anak pertama mereka bernama Salman, seorang anak yang tampan dan manis sekali. Syafii dan Lip menyadari akan kesehatan yang memburuk pada putra pertamanya ini, hingga akhirnya Lip memutuskan untuk mebawa Salaman ke Padang, agar memperoleh perawatan yang lebih baik sembari menunggu keadaan syafii membaik.

Pada saat anak dan istrinya berada di padang, syafii diangkat menjadi pegawai negeri dengan jabatan asisten Perguruan tinggi dengan gaji 868 rupiah sebulan, dan ia diberi tugas mengajar Sejarah indonesia kuni, dan Sejarah Islam pada Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah UII (Universitas Islam Indonesia).

Kehidupannya mulai lancar dan kini Syafii mulai dapat menabung untuk anak dan istriya. Pada awal bulan Februari 1967, ia mengetahui bahwa mereka baik-baik saja, karena Lip mengirimnya paket dengan catatan dari Lip. Pertengahan semester, Syafii bermaksud menjemput Lip dan anaknya, namun niat itu diurungkan sampai tutup semester. Hingga akhirnya menjelang akhir tahun, saat itu musim penghujan yang dingin. Tiba-tiba Syafii menerima telefon dari Lip dengan nada sendu di kantor Suara Muhammadiyah, ia meminta untuk dijemput, ia akan menyusulnya kembali.

Syafii pun merasakan kerinduan yang memuncak pada keluarganya. Sudah waktunya mereka kembali bersama. Tabungannya sudah cukup memadai dan universitas sedang libur semester. Hal pertama yang dilihatnya di pelabuhan setelah kapalnya merapat adalah istrinya yang memakai pakaian hitam. Hati syafii langsung memberikan tanda bahaya. Sesuatu telah terjadi. Namun ia tak melihat kedatangan lip dengan buah hatinya. Ismael yang menemani Lip menyatakan bahwa anaknya sudah lemah, ia meninggal tanggal 21 november 1967. Begitu pilunya hati Syafii yang belum sempat melihat dan merawatnya kembali. Terselip dalam dirinya sebuah kesakitan yang melebihi sebuah penghakiman yang ingin dijatuhkan orang padanya.

 Buih-buih ombak mencium pantai kemudian berlalu dalam rangkaiaan waktu dan irama music sendu mengiring langkah-langkah berat perjuangan hidup yang bagai tak kunjung lalu…..

Ia merintih pilu, merasa paku menusuk kalbu, dan mendakwa hati yang menjadi kelu…..

Namun nurani itu tahu……..

Sebuah kejujuran hati dan imannya pada sang Illahi mengerti… dan memberinya kekuatan untuk bangkit berdiri…..

sekalipun dalam sepi,

syafii maarifJudul buku: Si Anak Panah (BERDASAKAN KISAH BUYA SYAFII MAARIF)
Penulis: Damien Dematra
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Harga : Rp. 50.000
Tahun: 2010
Tebal: 260 halaman
ISBN: 978-979-22-5812-7

*) Peresensi adalah Mahasiswa FKIP Biologi Semester IV Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Teka-teki Mati dalam Kematian

Resensi Riza Fitroh K*
Editor Ragil Koentjorodjati

Kematian, adalah kejadian paling pasti yang memberikan konfirmasi
atas kesementaraan ini. Adanya kematian sejelas adanya diri kita: maka,
tak ada alasan untuk tidak membicarakannya.
buku muhammad dammMengungkap tabir akan arti dari sebuah kematian antara ada dan mengada-ada. Kematian sering kita lihat dalam kehidupan bersosial. Fenomena kematian sangatlah dekat dengan kita, bahkan kematian adalah suatu sisi lain dari kehidupan. Namun, tahukah kita akan makna dari kematian itu sendiri. Konsep kematian yang berkembang di tengah masyarakat pada umumnya adalah berpisahnya antara ruh dan tubuh. Dalam kehidupan bersosial kematian selalu dinilai dengan hilangnya harapan, terputusnya cita-cita dan hilangnya eksistensi diri dari kehidupan nyata.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah kematian itu berwujud? Mengapa pula kematian harus kita takuti, mengapa pula kematian dianggap sebagai sebuah kondisi yang meniadakan apapun yang ada pada manusia sedangkan kematian itu sendiri menjadi sesuatu yang nyata untuk kita. Dalam buku ini kita akan banyak bertanya-tanya tentang bagaimanakah hakikat dari kematian itu sendiri dan apakah sebenarnya kita membutuhkan kematian itu. Teka-teki tentang kematian tak akan pernah hilang dan lenyap begitu saja tanpa kita menyelami dari makna mati itu sendiri.
Persepsi yang terbangun tentang apakah yang menentukan keberadaan seorang individu adalah tubuh biologisnya, jiwanya atau kemampuan untuk memiliki kesadaran diri, merupakan persoalan yang tak bisa kita abaikan ketika membicarakan tentang kematian yang terjadi pada manusia. Jikalau kematian selalu diidentikan dengan tangisan, bendera putih, batu nisan, kain mori, dan diiringi dengan berselang selingnya tangisan dari para peziarah, benarkah kematian selalu identik dengan kesedihan dan keputusasaan?
Mengingat akan fenomena penciptaan manusia, di sana harus ada beberapa peristiwa kematian, dalam perkembangannya kita harus merelakan pula kematian-kematian itu sehingga terwujudlah bentuk yang sangat sempurna seperti yang ada pada diri masing-masing kita. Ketika kita membicarakan tentang kematian, kemudian kita akan menjumpai istilah bahwa kematian adalah sebuah pilihan atas keadaan, seperti apa yang dilakukan oleh Socrates yang mati karena meminum racun cemara. Lalu benarkah kematian sebagai sebuah noktah atas penerimaan diri akan takdir?
Konsepsi yang mengendap dalam alam pikiran kita tentang kematian adalah kematian yang terjadi pada tubuh korporeal, karena tubuh korporealah yang pernah dilahirkan sehingga memiliki kehidupan, sedangkan tubuh sosial tak pernah dilahirkan namun di-ada-kan. Dalam diri manusia tidak hanya melekat satu tubuh. Namun juga tubuh yang diadakan pula, yang bukan dihasilkan secara institusionalisasi. Mampukah tubuh sosial ini lenyap pula?
Steven Luper (2009:44-46) mengadakan satu eksperimen yang bisa membuat manusia hidup kembali dengan cara; meletakkan atom-atom penyusunnya, lantas diletakkan di tempat mereka semula, sebelum kematian itu terjadi, sehingga orang yang bersangkutan bisa hidup kembali. Bertolak dari teori Steven Luper, Sigmund Freud memperkenalkan sebuah teori Death Drive yang merenungkan tentang dorongan untuk melakukan perubahan melalui disolusi, sebuah dorongan untuk mengubah keadaan dengan mengobrak-abrik situasi yang sudah ada dan terbangun. Dalam teori ini sangat erat dengan munculnya bunuh diri sebagai sebuah perwujutan untuk mendapatkan harapannya.
Dari buku Kematian Sebuah Risalah Tentang Eksistensi Dan Ketiadaan ini kita akan mengetahui di manakah kita akan menemukan kehidupan dan dari manakah kita tahu akan keberadaan kematian itu. Pengetahuan akan kematian ini akan membuat kita lebih memahami akan kehidupan, karena kematian hanya menjadi urusan bagi orang-orang yang masih hidup, tidak pernah menjadi urusan mereka yang telah mengalaminya. Namun, hal ini tidak membawa kita semakin dekat pada pengetahuan paripurna. Di sini kita akan menemukan tentang manakah orang yang mati dan manakah orang yang hidup.

buku muhammad dammJudul buku : KEMATIAN
Sebuah Risalah Tentang Eksistensi Dan Ketiadaan
Penulis : Muhammad Damm
Penerbit : Kepik
Harga : Rp. 30.000
Tahun : 2011
Tebal : 115 halaman
ISBN : 978-602-99608-1-5

*Riza Fitroh K adalah Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta

Ketika Delapan Bidadari Bersimfoni (24 – Senarai Kisah dari Kampung Fiksi)

Buku 24 - Senarai Kisah dari Kampung Fiksi
Apa yang kau rasakan ketika menyaksikan delapan bidadari bersimfoni? Gundahkah? Resahkah? Atau terbengong-bengong terhujam selaksa rasa yang sepertinya hanya ada dalam imaji khayalmu? Cinta. Rindu. Bahagia. Lega. Harap. Mimpi. Maya. Atau hanya rasa sederhana: suka!
Aku? Terpelanting pada rasa tidak percaya. Delapan bidadari itu memainkan simfoni kata-kata. Saling mengisi. Saling melengkapi. Hingga nada sumbang menjadi tembang. Dan tarian kata mencipta pesan nyata: hidup ini indah!
Seperti ketika engkau berdiri di tepi laut biru. Mencecap aromanya setetes demi setetes. Lalu desah debur ombaknya dapat kau rasa bersama Lelaki yang Melukis Negeri di Seberang Laut yang berkata: Akan kulukis negeri ini, seperti indahnya negeri seberang yang terletak di balik horizon, nun jauh di sana. Itu persis seperti ketika engkau menikmati nada lembut alunan organ yang mengalir tanpa sela hingga membawamu melayang, Bertualang dalam Lamunan bersama Indah Widianto yang terperangkap angan bersama Francesco Totti.
Jangan salahkan dirimu jika ketika menyaksikan delapan bidadari bersimfoni lantas kau nyaris ekstase. Permainan denting-denting melodi G pada Bayi dalam Diksi menimpali nada sederhana 13 Perempuan Endah Raharjo hingga mungkin saja ekstasemu nyaris semakin menjadi-jadi. Jangan pula salahkan dirimu jika kemudian engkau menjadi ketagihan. Sebab, simfoni itu Bagai Shabu-sabhu. Melambungkanmu ke awan. Berulang. Berkali-kali. Up-down-up-down yang kemudian mengajakmu untuk mengulang lagi, lagi, sekali lagi dan lagi.
Untuk menjagamu tetap sadar, selingi keasyikanmu dengan menyantap Cupcake Cinta Winda Krisnadefa. Agar selagi engkau menikmati simfoni, tetaplah kakimu berpijak pada bumi seperti Sri dan Merapi. Tak perlu Takut kehilangan, karena ada kata Setia Ria Tumimomor. Hidup ini memang indah, meski kadang berbalut kesah bagai Wanita di Balik Jendela yang mungkin tersiksa Gara-gara Main Hati. Saat resah menyapa, dengarkan simfoni dari delapan bidadari. Pagi. Siang. Senja. Malam. Jangan kau penggal-penggal nadanya. Jangan kau acak-acak aransemennya. Sebab, jika engkau begitu, engkau tidak akan mendapat yang lebih sempurna. Dengarkan secara utuh. Lihat tarian kata dengan penuh. Niscaya sampai Akhir Sebuah Perjalanan, semua terasa indah. Bersama delapan bidadari bersimfoni -Winda Krisnadefa, Deasy Maria, Endah Raharjo, G, Sari Novita, Indah Widianto, Ria Tumimomor, dan Meliana Indie– melantunkan 24 Senarai Kisah dari Kampung Fiksi.

Judul Buku : 24 – Senarai Kisah dari Kampung Fiksi
Penulis : @Kampung Fiksi (Winda Krisnadefa, Deasy Maria, Endah Raharjo, G, Sari Novita, Indah Widianto, Ria Tumimomor, dan Meliana Indie)
Penerbit : Kampung Fiksi
Cetakan : I, 2011
Tebal : 196 halaman

Selamat Datang di Ibukota Serigala

Ledakan ekspresi kebebasan, itulah yang ingin saya sampaikan untuk sebuah buku kumpulan puisi Ibukota Serigala. Ada marah yang tertahan. Ada sedih yang tertindih. Ada duka yang terlupa. Kejahatan tersembunyi yang terus menerus menjangkiti sendi-sendi kehidupan. Basa basi busuk. Semua tersimpul dalam dua kata sederhana: kekerasan psikologis! Jika dada tidak mampu lagi menahan luka, maka puisi menyuarakan yang tak berbunyi. Bagi Maria Immaculata Ita, semua rentetan kejahatan psikis tersebut terangkai menjadi sesuatu yang indah sekaligus ironis dalam Ibukota Serigala sebagaimana dapat kita simak pada penggalan bait puisinya;
: ingatkan aku untuk selalu mengucapkan salam saat memasuki pintu gerbangnya, wahai maria sofia
ingatkan aku untuk selalu membantu mengelap keringat wanita-wanita berantena,
ingatkan aku untuk mengamini ajakannya berdisko ria,
lalu kita akan tertawa bersama karena ternyata kita amnesia/

Tidak dapat dipungkiri bahwa karya penyair muda kelahiran 6 Oktober 1985 ini sarat dengan aroma kebosanan pada status quo generasi tua. Satu dari sekian banyak anak muda yang berani menyuarakan bahwa tua belum tentu dewasa, lama belum tentu baik, berkuasa belum tentu bijak. Kemapanan yang diterima sebagai sesuatu yang benar karena banyak orang mengamininya, itulah yang ingin didobrak. Menjadi sesuatu yang sangat masuk akal jika fenomena sekitar kita menunjukkan tingginya berbagai bentuk pemberontakan kaum muda. Inilah suara hati mereka:
Litani Sakit Hati
lama terdiam,
akhirnya ego kami melawan/
lama dibungkam,
akhirnya ego kami menyerang/
lama menangis,
membuat mata kami bengis/
lama menurut,
membuat ego kami menuntut/
lama ditirani,
membuat ego kami berani/
lama sendiri,
membuat kami tak perduli/
lama ditipu,
membuat kami berlalu/
lama merenung,
membuat kami susah tersenyum/
lama disakiti,
membuat kami sakit hati/

Selain puisi-puisi tersebut, Ibukota Serigala menyajikan 66 puisi yang sangat spontan dan cenderung impulsive. Sesuatu yang memikat sekaligus membutuhkan pencernaan yang baik di otak pembaca. Cerminan kegilaan yang memukau dari sang penulis di tengah badai hedonisme yang menggila. Sangat Layak dibaca. Proficiat! Selamat Datang di Ibukota Serigala.

Judul Buku : Ibukota Serigala
Penulis : Maria Immaculata Ita
Penerbit : Greentea
Cetakan : I, 2010
Tebal : xv + 110 halaman