kekejaman-penumpasan-pki

HANTU-HANTU HALAMAN RUMAH

Puisi Ahmad Yulden Erwin

kekejaman-penumpasan-pki
Gambar diunduh dari bp.blogspot.com

1

 

Sedikit  aneh,  sedikit  terlambat, buah-buah  mangga  matang

Terlalu  cepat,  jejak  kemarau  menapak  langkan  rumah  tua.

Pagi-pagi  seorang  tukang  pos mengantarkan sepucuk surat,

Seolah semacam  isyarat: satu keluarga  mesti pergi, sebelum

 

Kabut  menjemput  kutuk  sewarna  marun. Angin  hijau pastel

Di halaman  rumah, membelai sebiji embun  di daun cempaka,

Sebelum  sesetel  sayap tekuku  berkepak menembus cahaya

Pagi melepas bebulu sepasang bajing mati ke dahan angsana.

 

Tak  bisa  lagi  kauhantarkan  segelas teh  pahit itu, terbayang 

Wajah bocah lima tahun dengan sepasang biji mata terkagum,

Berteriak,  ‘Bak, ada  surat!’  Tukang  pos  sejenak  tersenyum

Menatapmu  berlari  mengacungkan  selembar  amplop coklat,

 

Setelah  sebuah  siulan kecil;  ‘Taruh  saja  di meja,’ sahutnya.

Lalu,  kau terjerembab.  Ia menghampiri,  cuma tegas berkata,

‘Bangun, Nak.  Jadilah lelaki.’  Dan kini,  dalam rasa  asing ini,

Kauurai  satu-satu  lontai  kenangan dalam kisah  paling nyeri.

 

 

2

 

Serakan daun petai cina  dan belimbing di halaman rumah tua

Dibakar  sebelum  selesai  senja,  usai  ketukan pintu, mereka

Menculik lelaki renta itu, sepucuk senapan teracu ke dagunya;

Mereka mengikat tangan dan kakinya seolah pelanduk buruan,

 

Orang tak bertuhan  dibuang ke tepi  hutan. Begitu kaudengar

Takdir  kakekmu  dari  bibirnya,  sedikit  gemetar, hawa  dingin

Seliar  angin  menggigit  reranting   waru.  Kupu-kupu  kuning

Hinggap pada  selembar  kenangan jatuh di samping tumitmu.

 

‘Bak,  kenapa  kita  bisa mati?’  Begitu kauingat  sebisik tanya

Bocah  lima  tahun itu; matanya  sembab menatap  langit biru.

Lelaki  itu  menghirup  tehnya.  ‘Pagi ini  kakek  tidur  di surga,

Tak bisa  mereka  sembelih kakek di sana,’  katanya, kautatap

 

Awan putih  menyusut  seperti  rintih  di lekung  pipi  lelaki  itu.

Sekarang ia  kembali mengarit halaman  rumah, subuh-subuh

Membikin  siring  antara vanili  dan sulur sirih  berdaun merah

Kini melilit  sebatang  pohon seri.  ‘Jangan pernah membenci,

 

Anakku, jangan  pernah  membenci,’  lirihnya  di tepi senja itu.

Begitulah,  kami  mulai  lagi  permainan  purba itu,  mendekap

Rasa kutuk yang aneh tahun-bertahun, lolong yang terbantun

Pada  bibir  sejarah, kekejian yang dipahami tanpa rasa salah.

 

 

3

 

Di ketek  adek  paku  dipantek, kali-berkali beliung ditancapkan

Menembus  laung kesakitan; bunda memeluk betis penghukum

Sebelum  lancip  gancu  ditusuk  ke perutnya; atas nama  dosa

Kegilaan massal itu  dihajatkan, seakan  upacara pembersihan.

 

Bersuit angin sebentar, gerimis senja menyentuh sayap lelawa,

Di dahan nangka  terbakar digantung sederet  tebasan kepala;

Jari-jari putih  menghapus  noda kesumba di ujung pedangnya,

Di kubangan  kerbau algojo itu  berkaca sebagai pemilik surga.

 

Tanpa  nisan, sebuah lubang baru  digali, tiada bakal jadi saksi

Tubuh-tubuh  penghujah  telah disucikan. Jadi juadah dan kopi

Boleh  dihidangkan. Di bawah  pohon  siwalan  itu  arwah  kami

Berkerumun, masih  ketakutan,  ketika  kenduri  pemburu  babi

 

Dimulai:  bebareng  melantunkan  doa, ayat-ayat penyejuk jiwa

Melepas arwah kami mengembara, menggoyang sarang lelaba

Di atas   jendela. Sesekali lubang itu menguarkan bacin darah,

Tanda  arwah kami bergentayang  di sudut kiri halaman rumah.

 

 

4

 

Sebab kami tidak akan menyerah, debu-debu di jalan senyap 

Meluku mata  dua ekor kambing jantan; kemarau  di halaman

Telah berkisar hingga jantung  dipacu dari tanggal ke tanggal

Pada kalender kusam  tergantung  di dinding  gelap meracau.

 

Jadi  batu-batu  dekat cincin sumur tua itu  boleh disingkirkan

Sebagai  nisan, meskipun  arwah kami terlalu lama dilupakan;

Memeram pertanyaan di bawah  lidah sakit kaum pemberang,

Kami hanya tak bisa menjerit, sebab di bawah rumpun ilalang

 

Kami terus  dipaksa menyanyi lagu kebangsaan, seriuh  kicau

Ratusan pipit  berebut  mematuki remah padi; sawah ditinggal

Sebab para  petani mengungsi, sebab truk-truk para penjagal

Mencegat  dari simpang  dukuh  memburu orang-orang kalah.

 

Sebab kami tidak akan menyerah, debu-debu di jalan senyap

Menyeret kami  bebas  ke negeri orang-orang mati, memang,

Hantu-hantu tidak tewas dua kali, kami bisa tenang sekarang,

Hidup  tanpa  membenci,  di sini,  di negeri  orang-orang mati.

Catatan: 

  1. Bak: sapaan untuk ayah dalam bahasa satu subetnis di Sumatera Selatan.
  2. Adek: adik.

Puisi diambil dari kumpulan Enam Puisi ‘Politik’ Ahmad Yulden Erwin.

Beri Tanggapan