Arsip Tag: martin siregar

Dalam Bus Padat ke Pontianak

Gerundelan Martin Siregar

Oke…okelah. Lebih baik aku ke Pontianak hari jumat 26 oktober, supaya lebih santai dilibur Idul Adha. Inilah keputusanku hari senin waktu istirahat bersama kekasih hati, sebelum getah karet dikutip.”Iyalah…Berarti kita masih bisa noreh hari kamis”:Istriku senang merespon keputusanku”. Kita pakai saja duit dari penjualan buku untuk ke Pontianak. Tak usah usik dana untuk biaya kehidupan sehari hari. Hua…ha…ha…Kalau dana keluarga sangat terbatas, pastilah bisa dikelola dengan bijaksana. Tapi seandainya dana yang tersedia agak berlebih, maka ada saja keperluan yang (seolah) mendesak. Tiba tiba saja perlu beli sepatu, baju baru atau lauk pauk yang enak.

Hari kamis hujan lebat semalaman, sehingga kami tidak bisa noreh. Pagi ini setelah antar Jati ke sekolah, banyak ngobrol berdua di ruang tamu. kayak masa pacaran pada zaman dahulu kala. Istriku sangat intens membicarakan penanggulangan biaya Jati yang harus kuliah. Beberapa peluang ekonomi untuk ditabung selama 3 tahun (Selama Jati SMA), dipaparkannya dengan lancar. Mulai dari ternak ikan lele yang sudah gagal 2 tahun, sampai ke soal membukukan tulisan tulisanku bersama Pay Jarot. Aku sangat yakin bahwa gagasan gagasan istriku sudah lama terpendam dalam benaknya. Tapi, aku pura pura mengangguk angguk seakan gagasan cemerlang itu baru kuketahui. Yah, Mudah mudahan saja istriku makin semangat karena aku mengangguk angguk. Mudah mudahan dia tak tahu bahwa anggukan itu adalah sebuah sandiwara (berpura pura) kagum sama pikirannya.

Lebih baik pagi ini kita susun bajumu ke Pontianak. Kau pilih baju serta perlengkapan ke Pontianak, aku mau masak. Maka akupun sibuk memilih baju celana serta buku buku yang perlu di fotocopy untuk bahan baku Anggie Maharani memahami unkonvensinil, teologia pembebasan, wacana perubahan sosial dan lain lain. (Terpaksa) aku harus fasilitasi Anggie sebagai peresensi sekaligus sukarelawan sales bukuku di kabupaten Sanggau. Pulang dari Pontianak aku akan segera ke Sanggau menyerahkan bukuku tuk dijualnya sekaligus membahas tahapan membangun Kelompok Cinta Baca Nulis di Sanggau

“Baju begini kau ke Pontianak ???”. Istriku geram melihat aku. Kau bilang, kau mau launching, bedah buku, bahas gerombolan unkonvensinil, bicara soal menulis. Harus kau usahakanlah berpenampilan rapi bersih agak terhormat. OooaaLlaa… Kembali lagi kudengar cerewet istriku yang bisa mengalahkan gaduhnya suara radio rusak. Yah,…Aku hanya pasrah membiarkan persekongkolan anak istriku mengatur dan memilih baju celana yang akan kubawa. ”Sudah kubeli sikat gigi, sabun cair, odol dan tempat peralatan mandimu yang agak keren. Waduh!!! Kok secantik ini tas kecil mahal hanya untuk keperluan mandi. Sebenarnya aku mau protes tapi tak kuasa.

Jati bilang sebaiknya bapak naik taksi saja, supaya laptop bapak yang sudah rusak (kalau dibuka harus disanggah pakai tongkat supaya tak jatuh). Aku keberatan atas usul Jati. Disamping harga tiket taksi yang mahal, aku lebih suka naik bus. Puas melihat para penumpang turun naik dengan tingkah laku berbagai macam kelas sosial. Akan makin tajam mata hati nurani meihat realitas kalau naik bus. Begitulah sikapku yang terlalu romantis melihat kehidupan yang sadis dan kejam . Sekali ini Jati tak berni memaksakan pendapatnya.

Sial !! Rupanya hari ini adalah hari libur nasional. Idul Adha membuat buruh dari PT Erna Sanggau berbondong bondong padat memenuhi bus. Kesempatan libur pulang ke kampung halaman. Aku yang sudah sempat naik bus terpaksa berdiri padat bersama buruh perempuan yang cuti kerja. Dalam hati ada juga rasa senang karena aku bisa mengukur stamina tubuhku seberapa lama tahan berdiri. Dan, terbukti bahwa kondisiku cukup prima. Sampai Ngabang (sekitar 80 Km dari desaku) ada penumpang yang turun. Hus !!! Jangan kau yang duduk, bapak sudah tua ini yang harus duduk. Seorang buruh perempuan melarang kawannya duduk di tempat kosong. Pukimaknya cewek ini seenaknya saja tuduh aku:Bapak yang sudah tua, pasti dia tak tahu bahwa aku panggil jengkel mendengar sebutan tersebut. ”Terima kasih,…terima kasih. Aku obral senyum manis ke mereka, sambil duduk meninggalkan penumpang yang lain tetap berdiri sesak.

Sebelum negara republik Indonesia berdiri, leluhur mereka sudah mengelola tanah untuk kebutuhan hidup keluarga. Sampai republik Indonesia berumur 67 tahun, semakin seenaknya negara merampas tanah rakyat demi untuk kepentingan pejabat/pengusaha. Menginjak mampus masyarakat jadi sengsara demi untuk mendukung kestabilan “perekonomian negara”. Pemimpin pemerintahan memang berjiwa BANGSAT!!!. Mual perutku membayangkan kejahatan negara terhadap rakyatnya. Saudara saudaraku didalam bus adalah korban utama dari kebijakan negara. Aku juga korban kejahatan negara, tapi nasibku lebih baik dari mereka. Uh!!!

Gadis manis muda belia kelihatan agak dinamis tersenyum dan mendadak tanya aku:”Bapak ini pasti orang kaya pura pura miskin”. Terkejut aku mendengar pernyataannya. Pura pura pakai celana pendek bawa ransel usang, padahal bapak ini punya perkebunan yang luas. Iya..Kan Pak ?”. Betapa hangatnya pembawaan gadis manis ini. Tak mampu aku menjawab pertanyaannya. Mau kubantah, pasti dia pikir aku berbohong pura pura miskin. Mau kujawab jujur:”Aku mau ngurus penjualan bukuku yang keren”. Pasti akan bertubi tubi pertanyaannya tentang bukuku. Pasti aku akan lelah menjawabnya. Makanya aku hanya menjawab dengan senyum lembut pamerkan gigiku yang ompong. Dalam hati aku berdoa:”Kau doakan saja supaya solusi yang kucapai dengan Pay Jarot dapat berjalan mulus.  Sehingga ada keuntungan yang bisa ditabung untuk Jati bisa kuliah.

Pontianak, 26 Okt’ 2012

Sangat berharap kawan kawan segera membeli bukuku.

Resensi buku Martin Siregar dapat dibaca di BAH!

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #Tamat

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 23

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Kemisteriusan almarhum Tigor dalam integrasinya bersama kelompok tani, terulang kembali oleh Ucok. Sudah 2 buah laporan lapangan Ucok tidak diserahkan ke sekretariat. Ucok semakin misterius.  Dan, semakin sering warga FDP kehilangan jejak, di mana Ucok berada ketika diperiksa di lapangan tidak ada, di sekretariat juga tak nongol, padahal dia punya tanggung jawab besar membimbing para  pemagang. DR Pardomuan tampak susah menerima laporan Armand.

“Dari Pak Regar aku dengar dia sudah bersama calo TKW menghabiskan malam di Pub Trienjel bersama para gadis dan minuman keras. Memang semakin marak kasus-kasus penculikan anak gadis orang dari desa-desa. Sudah ramai desa oleh para calo  berkeliaran.” Armand tambahkan keterangannya. DR Pardomuan hanya menatap jauh, sangat berat memikul beban. Karena laporan yang sama sudah diterimanya juga dari Maemunah dan Inggrid. Walaupun belum diangkat menjadi staff, tapi mereka berdua sangat konsisten menjaga citra FDP di tengah masyarakat.

“Yah…mungkin minggu depan kita sidang si Ucok. Kalau saja dia menerima cinta si Dewi, bisa semakin tertib hidup si Ucok itu.” DR Pardomuan kembali ke ruang kerjanya.

 ***

Sampailah saatnya penampilan teater perkawinan palsu dimulai. “Oleskan minyak gosok ini ke sekitar matamu,” kata Susanti. “Untuk apa?” Muslimin bingung.

“Supaya nampak baru siap nangis, Tolol!!” kata Susanti pula. “Pakai baju yang agak kusut agar terkesan kau sedang sangat susah menghadapi ini. Jam 8 malam diperkirakan ayah ibu baru siap makan malam bersama. Di situlah kita datang.”

Muslimin tak bisa menyembunyikan ketegangannya. Jantungnya yang berpacu kuat tak bisa dinetralisir. Dikeluarkanya motor dari garasi kostnya.

“Tenang kau menghadapinya. Masya.…debar jantungmu bisa kurasakan di goncengan ini. Tapi, aku yakin debar jantungmu pasti lebih kuat lagi kalau aku tak mau kawin sama kau, Jelekku oh Muslimin, hua..ha…ha..”

Susanti masih bisa iseng sambil mencubit perut si Muslimin di atas motor yang gemetar jalannya dibawa Muslimin.  Ayah, ibu…malam ini kami datang uh…uh…uh.. Susanti lap air mata buayanya. Muslimin tunduk gemetaran.

“Ada apa…?” Mata ibu terbelalak. Ayah juga tampak bingung melihat anak gadisnya yang selama ini keras kepala datang malam ini dalam kondisi yang sangat lemah.

“Aku yang salah Bu…” kata Susanti sambil peluk ibunya. “Aku sering lari malam dari kamar Yuni uh…uh… ke rumah Muslimin. Dan…, mendesak Muslimin melakukan zinah Bu..uh..uh..uh..” Susanti mahir sekali memainkan peran.

“HEH! Kurang ajar kau, kau rusak Muslimin, KURANG AJAR!!!” maki Ayah penuh berang.

“Maaf kan aku ayah Uh…uh…uh..” Muslimin tak berani mengangkat kepala. Hening beberapa saat, Susanti kembali tunduk duduk di tempat duduknya semula.

“Jadi, bagaimana rencana kalian?” akhirnya Ibu hapus air matanya.

“Saya harus masuk agama islam. Minggu depan kita makan bersama di desa rumah orang tua Muslimin, sekaligus akad nikah.” Susanti masih heboh menghilangkan sisa-sisa kepedihan hatinya. “Maafkan kami Ayah” Muslimin peluk tubuh mertuanya, lantas mertuanya pun memeluk kuat tubuh menantunya. Mereka saling peluk dan berurai air mata mirip di film-film India.

Baru saja keluar dari gerbang rumah.

“Hua…ha…ha….berhasil!” teriak Susanti merayakan kemenangannya, tak perduli orang-orang di jalan raya.

“Pukimak kau! Kau memang hebat!” Muslimin ikut gembira. Motor sudah berjalan normal atas kendali Muslimin yang beban beratnya  sudah terangkat dari jiwa. Minggu depan akan ada sandiwara lanjutan di rumah Muslimin. Sandiwara yang tidak seberat sandiwara malam ini.

TAMAT

Kisah Sebelumnya: Bagian 22

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #22

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 22

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Susanti justeru mau keluar dari FDP. “Kenapa kau keluar?” Muslimin marah. “Kau jangan langsung marah. Biasanya, dalam sebuah lembaga seperti FDP tidak boleh suami istri bekerja dalam tempat yang sama.” Susanti kasih pengertian. “Apa kita sudah suami istri?” suara Muslimin meninggi. “Kita kan masih lama kawin.” Masih belum diterima Muslimin alasan Susanti mengundurkan diri dari FDP. “Aku sudah diterima magang di BNT (Bank Negeri Trieste) selama 3 bulan di bagian perkreditan. Setelah itu diangkat menjadi staf. Gaji sebagai staf di FDP tidak begitu tinggi, walaupun kita berdua bekerja. Anak kita nantinya harus hidup agak nyaman, tidak tersendat-sendat dalam soal biaya masa perkembangannya. Itu makanya aku lebih baik kerja di BNT. Ini demi masa depan kita.”

Mengendur kemarahan Muslimin. “Besok aku akan sampaikan ke DR Pardomuan.” Kemudian tempat makan bakso di simpang Deigo mereka tinggalkan. “Mus,.. sebenarnya ada soal lain yang lebih prinsip ingin kusampaikan padamu. Tapi, aku takut kau marah.” Susanti masih melanjutkan pembicaraan di atas motor. “Apa itu?” Muslimin penasaran. “Besoklah kita bicarakan sepulang dari FDP. Ini memang rencana gila tapi kupikir cukup efektif,” jawab Susanti.

Pada manusia pertama Adam dan Hawa rencana Tuhan yang maha mulia dirusak iblis melalui buah terlarang dan ular. Adam dan Hawa digoda oleh buah terlarang dan ular sehingga dunia ini berantakan sampai saat sekarang ini. Rencana Tuhan tidak dapat terwujud, karena iblis sudah merajalela menguasai manusia.

Nah, sekarang rencana Tuhan sedang dirusak iblis melalui struktur organisasi yang mapan permanen. Negara, departemen pendidikan, departemen keuangan, partai politik, bahkan organisasi agama adalah organisasi-organisasi yang sudah sangat mapan dan permanen. Itu semua dipakai iblis merusak rencana Tuhan. Makanya tak perlu heran kalau orang ke gereja maupun ke masjid tidak lagi dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Justru, orang tersebut akan dipakai iblis merusak rencana Tuhan. Kita lihat sendiri, di masjid  dan gereja penuh dengan korupsi, kemunafikan, penyelewengan sexual, dan lain lain.

Penghantar diskusi yang disampaikan DR Tumpak Parningotan beberapa waktu yang lalu masih terngiang-ngiang di hati sanubari warga FDP. Itu makanya tak ada ketaatan hidup beragama di kalangan staf FDP. Dan, itu bukanlah dianggap suatu kesalahan. DR Pardomuan pun tak pernah sembayang ke masjid.

 

Demikian juga hubungan kisah cinta antar Susanti dan Muslimin yang berlainan agama. Mereka berdua sebenarnya tidak terganggu dengan perbedaan agama tersebut, tapi tentunya akan menjadi sorotan masyarakat umum. Oleh sebab itu, beberapa kali ayah Susanti ingin memutuskan hubungan mereka, tapi tidak juga berhasil.

“Begini usul gilaku, Mus. Minggu depan kembali aku pamit tidur lagi di rumah Yuni. Setelah seminggu kita menghadapi orang tuaku. Kita katakan bahwa kita terlanjur berkawan sehingga apa yang tidak layak dilakukan oleh pasangan yang masih pacaran sudah kita lakukan. Seolah aku sudah hamil dan datang menghadap orang tuaku minta maaf.” Susanti sampaikan pikirannya dengan sangat hati-hati.

“Rencana GILA! Apa kau kepingin melihat aku dipukuli orang tuamu? Sudah GILA KAU!” Muslimin panik atas usulan itu. Justru Susanti jadi marah melihat ekspresi Muslimin yang uring-uringan.

“Kau ini yang GILA. Kau pikir apa kita bisa kawin normal seperti penganten pada umumnya? Dipestakan lantas seluruh sanak saudara dan kawan-kawan hadir, salam-salaman, berfoto dan lain sebagainya. Apa mungkin?!” Susanti marah. “Belum lagi kita perhitungan biayanya yang sangat besar. Sebenarnya bisa untuk cicil rumah. PAKAI OTAKMU!” Susanti yang semula sangat hati-hati menyampaikan usulnya, ternyata lepas kontrol. Tak bisa ditahannya emosi menghadapi respon si Muslimin yang gamang itu.

“Okelah kalau begitu. Pokoknya aku patuh sama aturan main yang kau gariskan,” Muslimin duduk bersandar lemas kehilangan gairah hidup. Di sekretariat FDP semua orang sudah pulang, disinilah pikiran gila itu dibahas oleh dua insan sambil memadu kasih.

 

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 21

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

BAH!

Resensi Anggie Maharani

Ini adalah buku ketiga Martin Siregar. Buku pertama “Istriku” Kumpulan Cerpen Unkonvensionilm Jilid I (2003)”, langsung laris manis habis terjual. Buku terbit atas dukungan program kerjasama Ikatan Penerbit (IKAPI) Kalbar dengan Ford Foundation. Terbitnya buku ini mendorong Martin Siregar semakin mencintai kegiatan menulis. Sempat rutin menulis opini dan komentar pada surat kabar Suaka Pontianak tahun 2004. Dan selalu menulis makalah, refleksi, fiksi dan mencicil cerpen tuk diterbitkan. Sebenarnya naskah cerpen sudah tuntas naik cetak 2005. Tapi buku:”Kawan Kentalku Bason” Kumpulan Cerpen Unkonvensinil Jilid II, baru dapat diterbitkan tahun 2007 atas dukungan Members of The Camp Connection Medan. Buku kedua punya nasib yang sama dengan buku pertama. Laris manis laku terjual lewat gaya jual perkawanan model indi.Hadirnya facebook membuat Martin Siregar semakin terpacu, Sangat produkti menulis fiksi opini renungan yang disebarluaskan di kalangan perkawanan facebook. Naskah buku:”Kumpulan Renungan Singkat Unkonvensinil”. Sebenarnya sudah bisa diterbitkan tahun 2010. Kembali lagi Martin Siregar mengalami hambatan untuk menerbitkan buku ini. Dan, atas dukungan “gerombolan unkonvensinil” (**)buku ini terbit september 2012.

Diawali kata penghantar dari Pay Jarot Sujarwo Pontianak dan Jemie Simatupang Medan (keduanya perwakilan gerombolan unkonvensionil), buku langsung membahas Wacana Unkonvensionil yang sampai sekarang belum terformulasi dengan baik dan benar. Bab II Bertutur tentang:”Dunia Tulis Menulis”. Pada kesempatan ini Martin Siregar mengaku bahwa sejak zaman dahulu kala dihimbau untuk menulis. Tapi dia tidak memperdulikan dan baru bertobat mulai giat menulis ketika berumur 41 tahun, Nilai filosofi menulis, kegagalan membentuk kelompok, serta perdebatan hal ikwal unkonvensinil dipaparkan pada Bab II

Setelah itu Martin Siregar memberikan tinjauan kritis mengenai kehidupan ummat beragama. Kemunafikan, dan penyimpangan dogmatika/teologia agama ditelanjangi Martin Siregar pada …Bab III:”Perspektif Teologia”. Buku ini mengalir lancar karena pada Bab IV”Aku dan Kehidupan” menceritakan konflik bathin maupun kisah manis sejarah linear kehidupannya menyusuri garis matahari. Banyak pesan yang bisa memandu pembaca menghadapi kehidupan yang pincang. Selanjutnya Bab V:”Kisah Tentang Kawan Kawan” Realitas kehidupan sehari hari, kepincangan sosial, sosok sahabat muda yang kerja untuk perubahan sosial, pergumulan dalam gerakan sosial, dikupas tuntas pada bab ini.

Buku diakhiri dengan Bab VI:”Lampiran”.Jemie Simatupang menceritakan pengalaman Martin Siregar mengorganeser kelompok anak pedesaan korban Tsunami di Meulaboh Aceh Barat. Selanjutnya, cerita tentang keunikan yang dirasakan Budi Rahman melihat karakter bohemian acuh tak acuh sahabat tuanya Martin Siregar. Muchin cerita soal gaya Martin Siregar desak dan terror orang agar selalu menulis dengan gaya hasut PKI. Iphiet Safitri Rayuni kawan muda Martin Siregar ikut menulis. Semula Iphit pikir orang gendut Martin Siregar adalah kaki tangan intelijen yang nyusup ke aksi mahasiswa (1998). Tapi pada akhirnya mereka berkawan akrab saling curhat walaupun berjauhan. Pada lampiran ada juga tulisan kawan lama Martin Siregar. Yayak Yatmaka (sekaligus ilutrator dan cover buku ini) kartunis dan buron orde baru yang sampai sekarang masih membandel Hua…ha…ha.., menuliskan kesan tentang kawan kentalnya Martin Siregar.

Yah,..Buku ini berenergi menuntun kita semakin tajam melihat realitas kehidupan, walau dengan bahasa yang ringan santai. Tapi, memberi pesan yang sangat mendalam.

(**) Gerombolan Unkonvensionil: Merupakan kelompok kecil yang terus menerus mempertebal kecintaan terhadap kegiatan menulis dan usaha menerbitkan buku. Tidak patuh terhadap tata bahasa baku bahasa Indonesia. Lebih tertarik mempergunakan bahasa yang gampang dimengerti daripada bahasa Indoensia yang baik dan benar. Selalu bertutur tentang hiruk pikuk kehidupan sehari hari sebagai sarana menjernihkan mata hati sidang pembaca. Dan, berharap dapat memberi konstribusi untuk perubahan sosial dalam arti sesungguhnya.

Judul: BAH! :Kumpulan Renungan Singkat Unkonvensionil
Karya Tulis : Martin Siregar
Design Cover dan ilustrasi gambar : Yayak Yatmaka
Lay out : Pay Jarot Sujarwo
Tebal : xvi + 294 Halaman

*)Anggie Maharani adalah Pemerhati sastra Sanggau Kalbar.

Catatan:

Harga Eceran: Rp.70.000 (belum termasuk ongkos kirim di luar pontianak)
Transfer No. Rekening :

Bank Mandiri Sanggau 146 – 00 – 0652365 – 3 atas nama Martin Siregar
atau
Bank BCA no rekening: 0291465781 atas nama PY. Djarot Sujarwo

Bagi pemesan di luar pontianak, yang berminat membeli ongkos kirim 20.000 rupiah. dan jika sudah transfer, harap alamat pengiriman dikirim ke inbox Pay Jarot Sujarwo atau Martin Siregar, atau SMS ke 085750568003 atau 081256918507

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #20

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 20

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Siang itu FDP kedatangan 2 orang tamu. Bertampang preman gaya bicara membentak-bentak dipersilahkan Ningsih duduk di ruang tamu. Ucok kawani mereka bicara. “Kalian ini memberi penyadaran atau menganjurkan urban kota memberontak.” “Pembebasan tanah sudah selesai 2 semester yang lalu, tapi kenapa unjuk rasa tetap dilakukan?” Salah seorang tamu gencar bicara. “Apa apaan ini ? Abang jangan sembarangan bicara ya… Kami belum tahu apa masalahnya, sudah langsung main bentak bentak!” Ucok keberatan atas cara tamu yang datang ini. “Kalau kami pukuli abang berdua di sini lantas kami adukan abang ingin merampok, pasti abang berurusan dengan polisi.” Armand lanjutkan bicara Ucok. Nampak kedua tamu tak menyangka dapat perlawanan dari tuan rumah. “Kalau di tempat lain abang bisa sembarangan tapi kalau di sini jangan sembarangan.” Muslimin juga naik darah nampaknya. Mendengar respon yang bertubi-tubi sang preman lontong yang 2 ekor itu mengendur.

“Begini, Dik, dekat jalan keluar menuju desa Kembang Bondar akan dibangun perumahan mewah. Tadi, masyarakatnya unjuk rasa ke DPR dan kontraktornya hampir terbunuh oleh unjuk rasa itu. Kami dengar FDP adalah organisasi yang mengorganisir masyarakat di sana.” Preman itu menjelaskan.

“Terus terang kami mendukung sikap keberatan masyarakat terhadap rencana pembangunan tersebut. “Kami punya data tentang itu. Tapi, karena terlalu banyak unsur yang bermain dalam kasus itu, kami tidak ikut bergabung,” kata DR Pardomuan.

Kedua preman itu langsung tarik diri dari FDP. Dari ucapan DR Pardomuan jelas kelihatan bahwa FDP tidak takut berhadapan dengan preman. Hanya saja kebetulan FDP tidak terlibat pada kasus yang dimaksud, maka kedua preman itu tidak dilayani. Di meja tugas Muslimin, Susanti datang berbisik,” Rupanya Ricard Lonardo tadi hampir dibunuh pengunjuk rasa.” Muslimin hanya mengangguk-angguk kecil. Lalu DR Pardomuan katakana, “Cok,…kalau mau investigasi kasus itu silahkan saja, tapi jangan bawa nama FDP. Kita sudah merubah citra.”

“Hua…ha..ha…,” ketawa semua orang yang ada di FDP. Sudah ringan rasanya perbedaan pendapat yang sempat terjadi di FDP.

Ternyata, Ricard Lonardo mendapat tantangan yang cukup serius sebagai developer. Beberapa kontraktor lokal yang tidak kebagian proyek, bersatu menggugat keberadaan perusahaan Ricard.  Ikatan alumni fakultas teknik Universitas Sandiega bergabung dengan alumni dari Universitas Zatingon mempertanyakan: “Kenapa mesti menunjuk kontraktor nasional, padahal kontrakor lokal punya kemampuan untuk mengerjakannya”. Organisasi pemuda secara bertubi-tubi setiap hari datang ke kantor Ir Ricard Lonardo minta uang keamanan. Termasuk minta jatah pemasuk pasir, semen dan material lainnya. Ini membuat rasa iba Susanti, tapi dia lebih cenderung memihak kawan-kawannya kontraktor lokal.

Kalau sudah begini, jangan harap rakyat pemilik tanah bisa menang. Kalau kasusnya begini, pastilah perwakilan kontraktor lokal diundang ke Trieste, kemudian diberi jatah pembangunan oleh departemen, sehingga kontraktor nasional tidak mendominasi pembangunan tersebut. Hanya ini persoalan di departemen, sementara persoalan keadilan di tengah-tengah rakyat yang kena gusur, pastilah ditangani militer. Trieste oh…Trieste…entah kapan keadilan dan kedamaian dapat tercipta di sini. Ucok patah semangat.

Ucok memang agak repot belakangan ini. Karena semakin santer kedengaran bahwa Dewi Lyana jatuh cinta kepadanya. Sedangkan Ucok belum tertarik untuk menjalin asmara dengan Dewi.

“Terlalu manja dan tidak tahan banting si Dewi itu. Cantiknya sih…cantik, tapi itulah…manja kali kutengok.” Inilah pengakuan Ucok di tengah-tengah Armand dan Muslimin.

“Yah,…tapi, lama kelamaan ‘kan bisa juga Dewi berubah kau bikin.” Arman mencoba menjelaskan. “Lagi pula Dewi itu dari keluarga baik-baik,” Armand menambahkan.

“Pukimak kau Mand! Berapa kau dibayar Dewi.” Ucok suntuk mendengar ucapan Arman.

“Tidak…tidak Cok, dari pada Dewi yang lugu itu jatuh ke tangan laki-laki hidung belang, kan gawat…,”  Muslimin mendukung maksud Arman.

“Ah, taiklah sama kalian berdua. Kok jadi ini yang kita bicarakan. Apa tak ada lagi pembicaraan yang lebih bermutu ?” Ucok semakin suntuk mendengar celotehan-celotehan Arman dan Muslimin. Rumah makan langganan mereka siang itu jadi gemuruh dibuat ketiga staf FDP.

 

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 19

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #19

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 19

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Tidak ada yang menyangka bahwa Susanti berani bertindak nekad meningalkan rumah hanya berbekal beberapa helai baju. Dan, sudah dua hari dilacak, belum juga ada perkembangan. Muslimin yang paling heboh ke sana ke mari mondar mandir mencari di mana Susanti berada, belum juga menemukan titik terang. DR Pardomuan sudah janji akan tulis proposal untuk arisan ternak ikan lele untuk diajukan ke Sabidaor Foundation terpaksa menunda kerjanya. Kembali lagi FDP dirundung malang. Memang program FDP dapat terus berjalan, walaupun suasana hati warga FDP tersendat gara-gara kasus yang menimpa keluarga Susanti.

 Tanpa diketahui oleh orang lain, akhirnya Muslimin menemukan Susanti.

“Om dari Trieste akan datang ke Rilmafrid. Setelah menghadiri pernikahan sepupuku, aku akan pulang bersama dia ke Trieste. Aku sama sekali tidak tertarik menetap di Trieste. Itu makanya aku melarikan diri dari rumah,” terang Susanti.

Muslimin baru teringat bahwa dia pernah dapat amanah untuk menyampaikan hal ini ke Susanti. Tapi, karena dia tak berani melaksanakan amanah orang tua Susanti, terpaksa Susanti harus melarikan diri dari rumah.

“Dua hari lagi aku akan pulang ke rumah, karena Om akan pulang besok. Aku segan saja bertengkar dengan orang tua di hadapan Om,” Susanti lanjutkan menerangkan.

“Oh…,kalau begitu tak ada persoalan serius, — yang penting kau bisa mengatasi masalahmu dengan orang tuamu.” Muslimin mencoba menenangkan jiwa Susanti.

Tadi pagi kawan kuliah Susanti yang tidak dikenal warga FDP dan tak dikenal orang tua Susanti sengaja menjumpai  Muslimin di rumahnya. Juni kawan Susanti sampaikan pesan bahwa Susanti berada di rumahnya kepingin jumpa dengan Muslimin.

Perjumpaan tersebut tidak disampaikan Muslimin kepada siapapun. Hanya kepada DR Pardomuan saja Muslimin sampaikan kabar baik itu, agar DR Pardomuan bisa langsung kerja memburu tugas membuat proposal susulan ke Sabidaor Foundation. Dia serahkan persoalan lari dari rumah dapat diselesaikan berdasarkan proses yang berlangsung. Muslimin yakin bahwa Susanti pasti mampu mengatasi masalah ini dengan baik dan benar.

Berada di rumah orang tua yang melahirkannya, dari waktu ke waktu membuat Susanti semakin sesak. Sudah tak dirasakannya kebahagian tinggal bersama  keluarga dalam satu atap. Tidak seperti dulu, ketika almarhum Tigor dan Mikail sering main ke rumah. Intervensi keluarga terhadap kehidupannya membuat Susanti semakin merasa sesak nafas. Sementara, sang ayah ibu merasa bahwa Susanti semakin sulit diatur. Segala bentuk penggunaan waktu dan uang Susanti sama sekali tak bisa lagi mereka monitor. Susanti semakin misterius di mata orang tuanya.

“Seolah ada api dalam sekam di rumah kami,” Susanti curhat ke Muslimin.

“Sabarlah kau, kan  sebentar lagi akan selesai kuliah,” Muslimin coba besarkan hati Susanti.

“Eh, kok sok kali bicaramu! Sok orang tua. Sok memahami jiwa anak muda. Padahal kita sebaya.” Ternyata Susanti kesal mendengar ucapan Muslimin.

“Sama kau ini serba salah. Suntuk kau lihat keluargamu, aku jadi kena sasaran,” Muslimin jadi jengkel.

“Hua..ha..ha..dijatuhkan Susanti kepalanya ke bahu kiri Muslimin. Digenggamnya tangan Muslimin penuh mesra. “Untunglah kau ada di sampingku Mus. Aku tidak merasa sunyi.”

Di dinding tepas pinggir pantai yang agak terbuka mereka duduk menghabiskan ikan bakar makanan kesenangan Susanti. Warung sederhana itu sedang tidak ramai pengunjung sehingga mereka lebih leluasa bercengkerama.

Anak gubernur Rilmafrid telah menyelesaikan studi sipil arsitektur di Amerika. Bersama rekan-rekan alumus Amerika mendirikan perusahaan kontraktor di Trieste. Tentu saja dengan gampang segala proyek kebijakan pembangunan phisik di tingkat nasional dimenangkan oleh perusahaan mereka. Membangun koneksi dengan berbagai departemen pemerintahan atas restu orang tua sebagai pejabat negara langsung terjalin. Salah satu mega proyek pembangunan pusat perumahan mewah di Rilmafrid dipimpin oleh Ir Ricard Lonardo anak gubernur Rilmafrid.

Ricard Lonardo adalah kawan Susanti satu SMA, patah arang karena cintanya tak disambut Susanti. Malam ini datang lagi ke rumah Susanti dengan penampilan yang sudah sangat berbeda dengan penampilan anak SMA ABG belasan tahun yang lalu. Betapa gembiranya ibu dan ayah menyambut Ricard. Betapa inginnya hati mereka apabila dapat berkeluarga  dengan gubernur. Tapi, hati nurani Susanti bertolak belakangan. Susanti sama sekali tidak tertarik pacaran dengan Ricard.

Secara filosofi Susanti katakan, “Aku sekarang mau mencoba menghargai hal hal yang non material. Aku mencoba mengerti bahwa manusia tidak akan puas hanya karena soal-soal material”. Ricard mungkin tak paham maksud Susanti yang secara tidak langsung menyatakan tidak setuju dengan profesi Ricard yang penuh gemerlapan material. Karena tidak mengerti kalimat yang dimaksud Susanti, Ricard tetap saja selalu datang  untuk melakukan pendekatan. Dipikirnya lama kelamaan pasti Susanti akan luluh dan menerima kehadirannya. Apalagi kedua orang tua tersebut mendukungnya.

Kekesalan Susanti memuncak di rumahnya yang macam api dalam sekam. Obsesi Susanti yang kuat untuk mengenal kehidupan mahasiswa yang hidup pas-pasan, kembali lagi menggugah pikiran Susanti. Ditinggalkannya rumahnya berbekal beberapa helai baju saja. Ricard nampak kecewa malam itu di hadapan ayah ibu. Tapi, tak bisa bilang apa-apa, selain menunjukan rasa solidaritasnya terhadap kepedihan hati kedua orang tua tersebut.  

Kamar indekost Yuni beserta kompor dan segala peralatan dapur sederhana adalah tujuan Susanti. Yuni sangat heran melihat sikap kawan dekatnya, Susanti, yang tidak mau hidup cukup sejahtera. Tapi dia tak berani bertanya tentang hal ini, karena Susanti kelihatan tegang dan berbeban berat.

“Aku yang besok belanja dan masak makan pagi dan siang. Kebetulan besok aku kuliah sore.” Yuni diam saja sambil menjahit sarung bantal yang koyak untuk Susanti. “Tapi, jangan lupa, kalau bisa sempatkan jumpai Muslimin, Ini ongkos ya…Yuni.” Yuni terima duit itu dan tetap diam kebingungan.

“San,.. kalau besok masak di sini, hati hati ya. Kompor sangat dekat dengan buku kuliah dan lemari pakaian.” Diusap Yuni keringatnya yang bercucuran. Kali ini tidak ada lagi yang heboh mencari Susanti, karena alamat jelas Yuni ditinggalkan waktu berangkat dari rumah.

“Yah,…kalau itu pilihan hidupnya, Kita bisa bilang apa?” “Biarkanlah dinikmatinya hidup yang dipilihnya itu.” Ibu kesal tidak membolehkan Ricard menjumpa Susanti di rumah Yuni.

Tetap bersama tukang ojeknya Susanti juga ke sekretariat FDP. DR Pardomuan ingatkan Susanti,”Yah,…walaupun sudah pisah rumah, sesekali kau perlu juga berkunjung ke rumah ayahmu. Terus mengikuti perkembangan rumah sekaligus informasikan kegiatanmu. DR Tumpak Parningotan juga sudah tahu bahwa kau tidak tinggal di rumah orang tuamu. Beliau ikut memberi pengertian agar orang tuamu membebaskanmu dalam menentukan jalan hidup.”

Susanti tak sangka bahwa begitu besar perhatian DR Pardomuan dan Om-nya, DR Tumpak Parningotan, terhadap dirinya. Teman-teman se-FDP juga demikian. Ada rasa prihatin melihat Susanti merasa terkekang di rumah orang tuanya.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 18

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #18

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 18

boncengan mesra
gambar diunduh dari http://www.mygoldmachine.files.wordpress.com

Beberapa hari kemudian, dalam menjalankan tugas tukang ojek yang paling setia menjemput sewa manis dari kampus, Muslimin membuka pembicaraan.

“Aku heran tengok Arman. Pendapatku sebagai anak petani turun temurun tak pernah dihargainya. Seolah dialah orang yang paling paham tentang kehidupan petani.”

Susanti digoncengan lantas menjawab,”Sudahlah! Diamlah kau… Yok kita minum es campur sambil ngobrol.” Dicoleknya punggung Muslimin.

“Baiklah tuan putri nan jelita,” Muslimin langsung mengarahkan motor ke arah tukang es campur langganan mereka. Tempat mereka memperdalam intensitas perkawanan alias memperdalam hubungan interpersonal.

“Aku sangat setuju sama usulmu itu San. Pikiran petani itu tak usah dipaksakan untuk belajar seperti mahasiswa. Kasihan mereka. Kasihan bapakku.” Muslimin menyatakan dukungannya. dengan wajah serius.

“Ah!! Kau terus hubungkan diskusi kita dengan kondisi keluargamu.” Nampaknya Susanti tidak bernafsu bercerita serius sore ini. “Lebih baik kita ngobrol santai saja, tak usah yang berat berat.” Disendoknya tape dari gelas es campur. Makanan kesenangan Susanti.

“Tidak San, dua hari lagi kita akan membicarakan hal itu. Jadi kau harus punya argumentasi yang kuat mendukung sikapmu.” Muslimin dengan wajah tegang masih tetap kepingin Susanti tertarik membahas topik pembicaraan, sementara Susanti jadi iba hati melihat kawan dekatnya itu. Disentuhnya tangan Muslimin, “Iyalah Mus,.. terima kasih atas dukunganmu. Aku sudah tulis 2 lembar argumentasiku pada rapat mendatang. Nanti kau editnya.” Digenggam Muslimin jari tangan Susanti dengan penuh kasih.

Ketika Muslimin akan berangkat keluar dari es campur, berpapasan dengan Arman dan Ucok yang juga ingin minum es campur. Hanya bertegur sapa seadanya mereka berpisah. “Seenaknya Susanti ingin merubah cita rasa  FDP yang sudah capek-capek kita rumuskan.” Ucok menyalakan rokoknya.

“Iya…mungkin Susanti dan Muslimin tadi membahas hal yang sama dengan kita di tempat es campur ini. Ha…ha..ha..” Arman ringan saja melihat perbedaan pendapat yang terjadi pada pertemuan yang lalu.

“DR Pardomuan pasti tidak setuju dengan sikap Susanti. Dia berani meningalkan perguruan tinggi karena sangat percaya terhadap gerakan revolusioner.” Ucok memberi pendapat agar Arman tidak main-main dengan persoalan beda pendapat yang terjadi.

“Maaf ya… Cok, sampai rumah malam itu aku berpikir bahwa FDP tak mungkin mampu untuk mewujudkan mimpi-mimpimu.” Totalitas kita hidup menyatu dengan petani masih sangat kurang. Kita masih minat hidup agak genit tak mau ketinggalan trend anak muda masa kini. Lagi pula,…Kita sama sekali tidak punya kekuatan politik untuk merubah kebijakan pemerintah.” Akhirnya Arman terpancing untuk mengupas isi pembicaraan yang ditawarkan Ucok. “Macam mana pendapatmu?” Arman justru mendesak Ucok untuk berpikir realistis.

“Nantilah kupikir dulu masak-masak.” Ucok kelihatan melemahkan temperamennya.  Dirga Belanta juga tadi siang sudah nyatakan pikirannya bahwa untuk gerakan struktural di kalangan petani, kapasitas FDP masih belum memungkinkan. Sementara himpitan biaya hidup mungkin akan membuat petani semakin tidak bisa bergerak. Ucok yang mendengar pernyataan Dirga waktu di kampus merasa kecewa. Didesaknya Dirga agar konsisten terhadap garis ideologi FDP. Tapi, sikap keras Ucok sudah tidak dinampakkan lagi pada ngobrol dengan Arman di tukang es campur.

Sementara Ningsih dan Dewi Lyana tidak perduli dengan perbedaan pendapat itu. Mereka  habiskan waktu sampai 3 jam belanja di Monza setelah makan bakso di simpang empat Deigo. Tempat lain sarang mahasiswa-mahasiswa Rilmafrid sering bersantai.

Pada malam lanjutan pertemuan untuk menentukan garis kebijakan FDP, Susanti dan Muslimin tidak hadir. Tak ada yang tahu kenapa mereka berdua tidak hadir. Padahal tadi siang sudah ada tanda-tanda kuat akan terjadi rekonsiliasi. DR Pardomuan di sekretariat sudah memberitahukan angin segar tentang strateginya memecahkan perbedaan pendapat antar Ucok dan Susanti. Maka malam ini disampaikannya pesan itu.

“Baiklah, … tanpa Susanti dan Muslimin kita buka rapat malam ini. Sebenarnya Susanti yang paling perlu hadir, tapi ternyata sudah hampir jam 8 mereka belum juga datang. Pada awal perkenalan kita dengan Mukurata, sudah dinyatakannya bahwa di samping dana untuk organeser petani ada juga tersedia dana untuk peningkatan kesejahteraan petani melalui kegiatan ekonomi mikro maupun usaha-usaha produktif lainnya. Tapi, karena saya dan almarhum Tigor dan Mikail ingin mempraktekan gerakan revolusioner, maka untuk sementara kami tolak tawaran dana untuk pengingkatan kesejahteraan.”

Tiba-tiba sekretariat FDP diketuk. Rupanya ayah ibu Susanti yang datang, langsung dipersilahkan masuk. “Tadi sore Susanti lari dari rumah. Muslimin kami tugaskan untuk melacak di mana Susanti berada. Itu makanya hari ini mereka tak hadir pada rapat FDP.” Ayah Susanti mohon maaf merasa mengganggu acara FDP, sekaligus mohon bantu warga FDP untuk melacak keberadaan anak mereka.

“Di FDP maupun dalam pergaulan Susanti di kampus sama sekali kami tidak melihat ada persoalan mendasar yang membuat Susanti terluka.” DR Pardomuan memberi keterangan. Ucok tunduk seakan ada hal yang membuat dia menyesali dirinya. Hanya sebentar saja tamu sekaligus keluarga FDP itu berkunjung. DR Pardomuan tutup pertemuan dengan tamu. “Baiklah ..Pak kami akan bantu melacak Susanti. Kami pun minta maaf karena tidak mengikuti perkembangan anggota kami.”

 

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 17

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #17

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 17
parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Tak terasa waktu berjalan terus. Seakan hari yang berkesan di FDP datang kembali  bersama Tigor dan Mikail. Kesibukan menyusun laporan tahunan membuat iklim FDP mengenang dan merenungkan kedua rekan sejati yang telah kembali ke pangkuan Illahi. Tampak kapasitas Dirga Belanta dan Dewi Lyana kurang mampu mengimbangi semangat kerja kedua teman tercinta itu. Susanti yang paling repot dibikinnya. Harus ajari Dewi menyusun laporan keuangan, harus juga dialog panjang dengan Ucok, Arman dan Dirga merancang program kerja tahun mendatang.

Tapi, di sisi lain FDP merasa gembira. Karena Muslimin sudah mulai pintar menulis artikel, opini dan apa saja untuk diterbitkan mass media atau pun jadi bahan baku refleksi internal FDP. Tak perlu lagi DR Pardomuan pakai nama samaran di koran. Karya orisinil Muslimin sudah lolos seleksi artikel di media massa.

Kemampuan sosialisasi di tengah masyarakat umum dengan suguhan lelucon-lelucon segar adalah cara khusus Muslimin di FDP. Singkat cerita cita rasa Muslimin sudah berubah. Sudah tak kampungan lagi karena kepercayaan dirinya meningkat tajam. Muslimin sekarang memangku jabatan ketua 1 Senat Mahasiswa.

Kota Rilmafrid sudah menjelma menjadi kota metropolitan. Bangunan gedung mewah gemerlapan bertaburan menambah kesesakan kota. Berjalan seiring dengan meningkatnya masyarakat urban memadati sudut-sudut Trieste. Sebuah konsekwensi logis akibat dari perkembangan Rilmafrid tanpa kontrol adalah: biaya hidup meningkat tajam, kriminalitas semakin tinggi, kehidupan malam yang melecehkan harkat kaum hawa dan masih banyak lagi dampak negatif yang terjadi.

Beberapa LSM baru tumbuh mengkonsentrasikan programnya untuk mengantisipasi akibat-akibat buruk yang disebabkan oleh paham developmentalis yang dianut Trieste sebagai negara boneka kapitalisme.

Beberapa kali diusahakaan ada kerja sama yang baik antar FDP dengan LSM yang bekerja diperkotaan. Tapi, sampai sekarang belum ada program kongkrit yang dapat dikerjakan secara bersama-sama. Sedangkan tentara, polisi dan preman mendapat tugas tambahan guna menghadang keberadaan LSM yang dituduh anti pemerintah.

Tanpa disadari, FDP juga harus ikut menyesuaikan diri terhadap realitas Rilmafrid yang berubah ini. Citra diri FDP juga harus bergeser. Sudah jauh dari apa yang ada di kepala Tigor dan Mikail yang terobsesi gerakan radikal revolusioner.

Dalam diskusi perdana FDP Januari 1984 terjadi perdebatan yang keras antar sesama staf dalam rangka merumuskan arah gerakan FDP ke depan. DR Pardomuan yang memulai pembicaran dalam rapat tersebut: “Revolusi Perancis adalah revolusi yang dilakukan oleh kaum proletar. Kaum proletar adalah kelas sosial yang paling rasionil dalam sejarah peradaban manusia. Karena mereka yang secara langsung dapat mengikuti proses produksi di pusat-pusat industri. Misalnya saja seorang buruh rendahan yang bekerja memotong tali listrik dalam pabrik yang memproduksi lampu neon. Kalau kita tanya dia  tentang tahapan produksi di pabrik tersebut, maka dengan lancar dapat diterangkannya dengan lengkap. Termasuk kalau dia diberi tugas untuk mencatat berapa banyak bahan baku yang masuk setiap hari ke pabrik. Dan, berapa banyak hasil produksi yang dikeluarkan oleh pabrik tersebut setiap hari, pasti dia dengan mudah dapat memahaminya. Dan, seandainya buruh pabrik mempelajari manajemen keuangan perusahaan, pasti mereka dapat paham seberapa banyak uang yang harus diterimanya setiap bulan. Pasti jumlahnya jauh di bawah gajinya. Oleh sebab itu untuk membangun tingkat kesadaran buruh dengan menguraikan realitas yang terjadi lebih gampang dari pada kaum tani.

Beda dengan kaum tani. Ada dua orang petani memiliki lahan pertanian yang sama luasnya.  Dan menanam tanaman yang sama dari bibit yang sama pula. Tapi, seorang petani lebih sejahtera dari pada kawannya. Hasil panennya jauh lebih banyak dari pada petani lain. Maka dengan gampang si petani akan menuduh bahwa lahan itu bisa berhasil karena ada arwah nenek moyang mereka yang memberkati lahan pertanian tersebut. Sangat gampang mitos-mitos ditelan begitu saja oleh kaum tani. “Nah, apakah dalam FDP program pembelaan petani kita konsentrasikan untuk penyadaran hukum, atau kita beri dana khusus untuk mengelolah usaha produktif lainya di samping usaha tani yang sudah mereka geluti sejak 2-3  generasi yang terdahulu?”

Inilah pangkal perdebatan yang tajam di FDP.

Susanti bersitegang untuk mengatakan bahwa gerakan seperti yang digariskan pada awal FDP menjalankan program sudah tidak tepat dilaksanakan saat sekarang ini. Karena kesempatan petani untuk banyak berpikir tentang pembelaan secara hukum sudah tidak ada lagi. Mereka sudah sangat letih dan miskin untuk penyadaran hukum. Oleh sebab itu pengembangan ekonomi melalui  bidang usaha pertanian lainnya sebagai konsentrasi program FDP pada tahun ini.

“Kita harus mengubah cita rasa petani terhadap kehidupan ini. Peluang untuk bertani tanaman lainnya yang lebih produktif masih terbuka luas. Sedangkan  usaha menuntut dinas pertanian untuk menyalurkan bibit dan pupuk kepada petani sangatlah memerlukan energi yang besar.”

Ucok keberatan atas sikap Susanti. “Apa kita akan menciptakan kaum kapitalisme kelas rendah di masyarakat petani? Dan, membiarkan korupsi terus merajarela di pemerintahan?”

Pendapat Ucok didukung oleh Dirga Beranta dan Arman. Sedangkan Muslimin walaupun tidak terlalu ekspresif sebenarnya mendukung pikiran Susanti. DR Pardomuan yang bingung untuk memfasilitasi dua arus pemikiran yang bertentangan ini. “Nampaknya kita butuh satu kali pertemuan lagi untuk mentuntaskan masalah ini. Pertemuan kita malam ini hanya sampai di sini.”

Ningsih dan Dewi Lyana sudah menyediakan dirinya untuk tidak perlu terlalu paham atas perbedaan pendapat yang sedang terjadi di tubuh FDP. Dewi katakan, “Makan merekalah program itu sampai mual. Yang penting soal duit dan kerapian administrasi dapat kita kerjakan dengan baik.” Ningsih hanya senyum simpul mendengar pernyataan Dewi yang sangat mencintai pekerjaan keuangan FDP.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 16

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #16

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 16

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Tanpa diketahui oleh Susanti, Muslimin sengaja diundang orangtuanya datang berdiskusi ke rumah.

“Syukurlah tadi Susanti pergi agak cepat ke rumah kawannya, sehingga kedatanganmu sesuai dengan rencana kita. Supaya jangan diketahui Susanti.”

Ibu persilahkan Muslimin duduk di ruang tamu. Sedangkan ayah masih pakai baju kantor ikut duduk bergabung di ruang tamu. Muslimin tampak bingung seolah dia duduk sebagai terdakwa di hadapan dua hakim yang siap memberi vonis. Ada salah apa aku, kok sengaja diundang mereka, pikir Muslimin. Tapi, sampai lelah Muslimin berpikir, dia tak menemukan jawaban atas pertanyaan besar yang ada di kepalanya. Apa lagi kedua hakim pengadilan itu kelihatan tegang menghadap terdakwa. Muslimin sudah menyediakan jawaban seandainya timbul perkataan menghujat:Jangan lagi dekati anakku!

Ah, bukan aku yang getol menjemput Susanti. Dia sendiri yang minta saya jemput setiap hari. Kalau ayah ibu keberatan saya menjemput anak ibu, mulai besok saya tak akan jemput. Muslimin keringat dingin duduk di hadapan para hakim.

“Begini ya.. Muslimin, kami tahu bahwa Susanti cukup cerdas dalam perkuliahan. Kecerdasannya juga diketahui oleh Om-nya yang ada di Trieste. Minggu lalu Om-nya kirim kabar ke kami. Kalau bisa Susanti pada akhir tahun kuliahnya bisa pindah ke Trieste. Dia bisa kerja di perusahaan Om-nya sambil kuliah. Sebuah jabatan penting akan dilimpahkan kepadanya. Jadi, kami harapkan pada akhir semester ini Susanti sudah berada di Trieste. Lagi pula, kalau Susanti berada di Trieste dengan kesibukannya setiap hari, lama kelamaan trauma ditinggal mati Mikail Pratama berangsur angsur hilang dari ingatannya. Kami sudah menganggap kamu adalah anak sendiri. Bagaimana pendapat kamu?” Ibu mempersilahkan Muslimin bicara.

Betapa bangganya Muslimin dianggap sebagai anak sendiri oleh sebuah keluarga kaya raya.  Tak pernah terbayangkan olehnya status setinggi itu. Dianggap sebagai anak kandung sebuah keluarga kaya raya.

“Ah, bagi saya tentulah pindah ke Trieste lebih menjanjikan masa depan yang cerah.”

Sebenarnya ada juga kesedihan di hati Muslimin seandainya berpisah dengan Susanti. Tidak bisa lagi tertawa-tawa di atas motor, pergi ke Monza dan ngobrol asyik di FDP.

“Berarti kita sependapat. Kami pikir kamu tidak setuju Susanti ke Trieste karena fungsinya di FDP cukup menentukan. FDP itu kan hanya sebuah kegiatan sambilan sebelum menyelesaikan perkuliahan.”

Kali ini Muslimin suntuk. Kurang ajar! Apa program FDP itu tidak bisa menjadi sebuah pekerjaan profesionil yang terus menerus menuntut peningkatan kapasitas individual demi untuk memperjuangkan rakyat, Kurang ajar!! Pikirannya berkata begitu tapi mulut Muslimin mengucapkan,” Memang benar yang ibu bilang.” Lantas ayah bicara memecahkan kesunyian, “Bahkan saya takut gara-gara FDP  kuliahnya jadi terganggu.”

Suasana kembali hening, masing-masing merenung dengan pikirannya masing-masing. “Kami harap kamu bisa bantu kami membujuk Susanti untuk menerima tawaran Om-nya pindah ke Trieste”. Tersentak Muslimin mendengar kalimat itu. “Iyalah..Bu saya usahakan,” jawabnya kemudian, sementara hatinya berontak : Akan kuhasut Susanti untuk tidak pindah ke Trieste. Betapa sunyinya hidup ini tanpa Susanti.

Setelah meneguk kopi yang sudah sedikit lagi, Muslimin berdiri. Ayah ibu juga berdiri. Ditepuk ayah pundak Muslimin sambil berkata, “Kenapa tak pernah lagi menulis di Koran?  Saya senang sekali membaca tulisan kamu di koran.”

Kembali lagi Muslimin kelabakan memberi respon. Inilah dosa DR Pardomuan, saya dituntut pembaca koran untuk terus-menerus menulis. Semua orang tak tahu namanya saja opini Muslimin padahal itu adalah buah tulis DR Pardomuan. Dalam kesesakan jiwa, Muslimin masih sempat bicara, “Sebenarnya banyak buah pikir saya yang ingin dikirim ke koran. Tapi, karena kesibukan kuliah, saya tak sempat menulis.” Mampuslah kedua orang tua kaya raya ini, mereka pasrah kena tipu oleh mulut anak petani miskin. Hua…ha..dalam kemenangan ditinggalkannya rumah Susanti.

Ternyata kewajiban menjadi tukang ojek belum berakhir. Bersama Susanti acara-acara yang menyegarkan tetap saja dapat dilaksanakan dengan baik. Bahkan, beberapa acara yang membutuhkan saling keterbukaan yang semakin mendalam dapat mereka ciptakan. Minum es campur tempat yang tak pernah sepi dari kerumunan mahasiswa  adalah tempat ngobrol panjang Muslimin dan Susanti mempererat perkawanan mereka.

“Mungkin sudah mulai ada getar cinta antar Muslimin dan Susanti, ya…,” kata Dirga Belanta sambil masukan kertas ke mesin tik. Arman, Ucok, Ningsih yang sedang di sekretariat tak ada yang memberi komentar. Dewi Lyana saja yang berani memberi respon, “Yah,..aku setuju saja seandainya mereka pacaran.”

Kemudian DR Pardomuan dating. “Mana Susanti? Kenapa dia belum juga susun jadwal ke lapangan?” DR Pardomuan menuju ruangannya. Baru sebentar berada di ruang kerja, dipanggilnya Dewi Lyana. “Uang akomodasi dan transportasi si Armand dan Ucok sudah diberikan. Apa Dirga Belanta sudah baca semua pedoman kelapangan? Tiap akhir refleksi bulanan saya akan wawancarai kalian berdua.” DR Pardomuan sudah full bekerja di sekretariat. Sedangkan Muslimin baru saja keluar dari sekretariat menyeberangi jalan menuju ruang meditasi  samping rumah DR Pardomuan. Ke tempat monumental sejarah lahirnya FDP. Muslimin mau latihan meditasi karena belakangan ini banyak persoalan keluarga yang menimpa dirinya.

Iklim sekretariat FDP sedang berusaha menyesuaikan diri dalam suasana baru tanpa Tigor dan Mikail Pratama.

Syukurlah yang terjadi di FDP adalah maju dengan langkah harmonis. Walaupun mendapat tantangan yang berat dari keluarga, Susanti dapat mengerjakan tugas koordinator 3 wilayah kerja. Kemajuan interaksi antar FDP melalui Armand, Ucok dan Dirga bersama komunitas masyarakat petani mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. DR Pardomuan cukup berhasil dalam menjalin jaringan kerja dengan sesama LSM Rilmafrid. Sekaligus  konsep dialog dalam menghadapi kemapanan konsep pemerintah yang sangat konvensionil, berhasil diterbitkan DR Pardomuan atas bantuan komunikasi dengan DR Tumpak Parningotan dan Mukurata.

 

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 15

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #15

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 15

“Kira-kira begini surat kita untuk Sabidaor Foundation,” kata DR Pardomuan sambil menyerahkan selembar kertas ke Susanti. Seminggu kemudian beliau tidak dipapah lagi, walaupun wajahnya masih layu kurang bersemangat. “Tolonglah translitkan ke bahasa inggris ya…Susan”.

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

“Baiklah Pak, mungkin 3 hari ini selesai, saya langsung kirim,” kata Susanti. Ningsih tadi sudah datang bersama Lyana Dewi, kawan satu kuliahnya yang akan magang di FDP sebelum diangkat menjadi staf.

Surat itu tak begitu panjang.

 

Rilmafrid, 9 April 1984

 

Kepada Yth

Sabidaor Foundation

di.

t e m p a t

 

Salam sejahtra,

 

Setelah berpulangnya Mikail dan Tigor, staf andalan FDP, saat sekarang ini FDP sedang merekrut 2 orang staf baru. Lyana Dewi akan menggantikan posisi Susanti di keuangan. Susanti akan menggantikan posisi Tigor sebagai koordinator lapangan. Dan, Dirga Belanta menggantikan Mikail sebagai tenaga lapangan.

 

Kedua rekan ini adalah kawan dekat warga FDP yang sudah lama mengenal program kita melalui  perkawanan. Bahkan beberapa kali sudah ikut gabung bersama FDP di sekretariat. Jadi mereka bukan orang asing lagi di tengah-tengah FDP.

Kiranya mereka dapat ikut bergabung melanjutkan program FDP.

 

Atas perhatian kami haturkan terima kasih banyak,

hormat kami

DR Pardomuan

sekretaris pelaksana

 

Muslimin semakin acap menggantikan posisi almarhum Mikail sebagai tukang ojek Susanti. Dengan gaya kampungan, Muslimin, warga FDP yang paling sengsara, juga mulai dikenal di keluarga Susanti. Mungkin karena  penampilan dan tingkah laku lugu kaku tapi penuh  hormat Muslimin dapat diterima dengan baik oleh keluarga Susanti.

Setelah dari kantor pos “Mus…kalau tak ada kerja bisa kawani aku ke Monza? Sejak Monza mulai bermunculan 6 bulan yang lalu, Aku kepingin ke sana. Tapi, aku malu dilihat kawan-kawan dan keluarga.” Susanti menyampaikan lagu permintaannya sebelum sampai ke sekretariat.

“Aku juga nggak ada kerja. Lantas kenapa malu? Aku sering ke Monza, pakaian dan kaos-kaosnya cantik-cantik semua, walaupun bekas orang Eropa.” Muslimin tak memahami bahwa orang kelas atas akan merasa dirinya rendah kalau membeli baju bekas. Dia pikir semua kelas sosial di dunia ini wataknya sama dengan kelas sosialnya.

“Kios ini langgananku. Dia sudah kenal aku, kau bisa bongkar habis seluruh pakaian yang bertumpuk itu. Dan, harganya pasti lebih murah.” Muslimin ikut mempromosikan  Monza, ketika Susanti turun dari motor. Dengan gaya malu-malu sedikit menyembunyikan wajahnya Susanti menuju kios.

“Namboru…Ini ito kandungku,” kata Muslimin.

“Ah! Banyak kali cerita kau!! Mana ada itomu secantik ini, Hua..ha..ha..,” Namboru  pemilik kios tertawa. Susanti sambil tersenyum malu mencubit perut Muslimin. Semaksimal mungkin Muslimin melayani Susanti agar puas membongkar tumpukan kaos dan jaket. “Ini jaket cocok untuk kau kalau bermalam di lapangan.” Muslimin memamerkan jaket yang didapatnya.

 

Dalam perjalanan ke sekretariat Susanti tak henti hentinya ketawa. “Lucu kali belanja di Monza ya? Hii…hi…hii.” Susanti cekikikan  diboncengan Muslimin. “Pacarilah anak namboru itu biar kau dikasih kaos gratis Hua..ha..ha..” Susanti gembira sekali.

Di sekretariat Ningsih dan Dewi Lyana juga sangat terpengaruh oleh promosi Muslimin. Mereka juga berhasrat belanja ke Monza di kawani Muslimin. Dirga Belanta tak menaruh perhatian, karena dia sudah lama termasuk langganan tetap Monza. Buku-buku almarhum kekasih yang sudah terkumpul rapi di sekretariat FDP sangatlah memikat hati Susanti. Semula maksudnya dengan Ningsih hanya sebatas merapikan perpustakaan FDP, tapi di tengah kerepotan menyusun perpustakaan, otaknya bicara: “Untuk apa kususun semua buku ini tanpa membaca buku-buku ini. Aku kan bukan mesin yang tak punya otak. Lagi pula, dengan membaca buku-buku ini aku semakin mengenal mendiang suamiku Mikail Pratama lelaki idaman hatiku sepanjang hidup.” Dewi Lyana sebenarnya kasihan melihat kawan kerjanya yang dirundung malang di saat dirinya bersemangat menghabiskan tenaga di sekretariat FDP merapikan perpustakaan. Di sekretariat ini Dewi akan mulai meniti karir profesinya yang tidak konvensionil.

 

Tidak betul rakyat Trieste adalah masyarakat primitif . Memang kekerasaan komunal serta rumitnya kasus-kasus kekerasan dan kebrutalan tak pernah absen di republik Trieste. Inilah argumentasi yang kuat untuk mengatakan rakyat Trieste adalah primitif. Oleh sebab itu, (sebenarnya) Trieste belum siap menjalankan demokrasi moderan.

“Justru saya menuduh bahwa tuduhan itu diterbitkan oleh kaum terpelajar yang masih primitive.” Dalam makan malam bersama keluarga Susanti katakan sikapnya. Sang ayah sangat terkejut, Seolah kalimat Susanti ditujukan untuk memojokan dirinya sebagai pengusaha yang selalu menjalin kolaborasi dengan calon besannya ayah almarhum Mikail Pratama. Agar suasana tidak menjadi keruh,” Sudahlah Susanti tekun saja kau membaca buku buku pedoman perkuliahanmu. Ayah dengar sekarang ini banyak buku terbitan baru yang menyesatkan pikiran kaum muda.” Ternyata dugaan sang ayah keliru. Dipikirnya temperamen Susanti akan reda setelah mendengar ucapannya.

“Apa ayah bilang? Apa aku harus pasrah dijadikan bidak catur sistem kapitalisme yang biadab ini?” Mata Susanti terbelalak nada suaranya meninggi membuat kondisi meja makan semakin tegang.

 

Diceritakan Susanti kisah di meja makan tersebut di atas goncengan motor Muslimin. Susanti sebenarnya akan diantar ke sekretariat FDP untuk lanjutkan tugas sampai jam 2 siang. Lantas dijemput Muslimin lagi dari sekretariat antarkan kuliah dan akan diantar pulang ke rumah oleh tukang ojek paling setia jam 5 sore.  Tapi,  rencana itu  sedikit berubah. Jalan Sisingamangaraja arah menuju sekretariat FDP ditutup. Ada unjuk rasa besar-besaran oleh tukang becak yang digusur kotapraja selama seminggu ini. Tukang becak marah besar karena cara kotapraja yang seenaknya mencabut pentil becaknya membiarkan tukang becak harus mendorong becak ke tukang tempel ban. Kemarahan tukang becak sudah sangat memuncak. Mereka didukung oleh KNPT (Komite Nasional Pemuda Trieste) beserta seluruh underbownya. Para pengurus organisasi pemuda sudah ada di lapangan di tengah-tengah massa tukang becak yang merah padam menahan kemarahan atas sikap aparat negara yang tidak menghargai mereka.

 

Minggu lalu sudah ada pertemuan sangat tertutup di hotel Mincister, hotel mewah bintang lima yang baru diresmikan. Assisten I Gubernur Rilmafrid, Komandan Militer Rilmafrid, Panglima Tentara Trieste beserta beberapa pimpinan organisasi pemuda  hadir dalam pertemuan itu. Pada intinya pembicaraan membahas rencana pengembangan ekonomi Rilmafrid. Banyak tawaran dari modal asing untuk mendirikan cabang pemasaran produk-produk asing di Rilmafrid.

Booming pusat penjualan mulai dari mobil mewah sampai ke sepeda trendy akan  dibuka di Rilmafrid. Salah satu syarat yang diajukan pemodal adalah penataan sarana transportasi. Diharuskan seluruh jalan-jalan utama di kota bersih dari kepadatan becak dan pasar trasdisionil. Organisasi pemuda diharapkan dapat menginvestigasi kekuatan organisasi tukang becak. Mereka diharapkan dapat menyusup dalam unjuk rasa itu. Merancang chaos memancing pengunjuk rasa bertindak keras menciptakan unjuk rasa menjadi kerusuhan sosial. Agar ada alasan militer dan polisi bertindak brutal membantai para demonstran. Sehingga pada akhirnya kekuatan tukang becak semakin lemah. Tukang becak tidak bisa solid lagi dalam memperjuangkan tuntutan mereka kepada pemerintah. Dan, terpaksa dengan berat hati meninggalkan tempatnya selama ini beroperasi.

Begitulah kebusukan pemerintahan Trieste akibat kekuatan modal asing. Negara menjadi budak dari modal asing yang tanpa rasa kemanusian menindas rakyatnya sendiri.

 

bersambung…

Kisah Sebelumnya:Bagian 14

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #14

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 14

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

Pukulan berat yang menimpa Susanti tidak boleh berlama-lama hinggap di hati sanubarinya. Semua pihak pasti merasakan pukulan hidup yang dirasakan Susanti atas kematian kawan dekat dan kekasih tercinta.  Tapi, adalah sebuah kedunguan seorang manusia apabila tak segera bangkit dan kembali bergerak maju menantang kehidupan ini. Susanti sudah bangkit melalui sikap semakin menyerahkan kehidupan ini dan lebih banyak main ke sekretariat FDP. Untuk tekun bekerja memahami sekaligus melaksanakan program FDP. Bersama Ningsih mereka mulai asyik dengan penyempurnaan inventaris dan dokumentasi kesekretariatan FDP. Beberapa catatan-catatan kecil yang akan diolah almarhum Tigor, sebenarnya belum layak didokumentasi. Sengaja dibawa Susanti ke rumahnya untuk dipelajari dan dilengkapi dengan seksama. Susanti berkeras hati akan melanjutkan karya Tigor bersama kelompok tani yang sudah terbentuk.

Dan, hampir seluruh buku koleksi almarhun Mikail Pratama diserahkan ibu ke secretariat.

“Lebih baik seluruh peninggalan Mikail digotong ke sekretariat Lebih baik ibu tak melihat segala peninggalan Mikail. Nanti, kalau lihat harta benda Mikail, saya bisa nangis sendiri.” Begitulah ucap ibu di hadapan Susanti dan Ningsih. Susanti tunduk menangis mendengar ibu berkata begitu. Hanya tinggal tunggu waktu saja, ibu yang di hadapannya akan menjadi ibu mertua.  Semua rencana  bersama Mikail sudah tak mungkin diwujudnyatakan.

 

DR Pardomuan hampir stroke akibat kematian orang yang dikasihinya: Tigor dan Mikail. Beliau baru 3 hari yang lalu keluar dari rumah sakit. Dan, belum diperkenankan melakukan kegiatan di sekretariat. Sepanjang hari berada di kamar dan hanya untuk makan siang dan malam, dengan agak dipapah Arben Rizaldi, DR Pardomuan berjalan  ke meja makan keluarga. Sangat terpukul DR Pardomuan. Sedangkan Mukurata kembali pulang ke negaranya setelah mengantarkan DR Pardomuan kembali dari rumah sakit.

Arman dan Ucok belum juga berhasrat ke lapangan. Mereka habiskan waktu bermalam di sekretariat mengenang perjalanan program yang baru berjalan 1 tahun. Sesekali Muslimin datang ke sekretariat meramaikan suasana pembicaraan. Jiwa sekretariat FDP terasa sangat lesu. Tak nampak kegiatan yang progresif dalam seminggu kematian Tigor dan Mikail. Niat DR Tumpak Parningotan untuk pindah memboyong seluruh anggota keluarganya dari Kepriano gagal terlaksana. Istrinya sangat keberatan DR Parningotan terlibat sepenuh hati dalam program FDP.

Dua minggu lagi motor yang dibawa oleh Tigor dan Mikail akan keluar dari bengkel. Walaupun dengan biaya tinggi, motor sudah dapat dipergunakan seperti sedia kala. Muslimin diserahi tugas untuk mengurus motor itu.

bersambung…

Kisah Sebelumnya:Bagian 13

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #13

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 13

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

“Gila!! Sudah gila si Tigor itu. Masya …bicara soal estetika film dituduh cita rasa kelas borjuis. Gila!! Sudah gila si Tigor itu.” Susanti kesal karena segala jenis nasihatnya bersama Mikail sama sekali tidak dipedulikan Tigor.

“Sudahlah, aku sudah capek menghadapi Tigor. Marilah kita nikmati malam asmara ini hanya untuk kita berdua. Ini malam untuk kita sayang…,” kata Mikail sembari membelai rambut Susanti dengan penuh kasih. Kemudian Susanti peluk pinggang sambil menyandarkan kepalanya di dada penuh kelembutan. Mereka duduk di teras depan rumah Susanti, menikmati malam minggu. Lampu malam rumah sudah dipadamkan, jarum jam sudah menunjukan jam 11.20 malam. Pertanda seisi rumah Susanti sudah tidur semuanya.

“Jangan kau pergi ya…Mikail. Jangan kau rusak suasana kita ini karena mendadak bilang ada janji sama Tigor,” Susanti takut kehilangan peristiwa mesra yang indah.

“Hua…ha…ha,” Mikail tetawa deras. Lantas sadar sudah keterlaluan suara ketawanya. Dicumbunya bibir Susanti. Susanti respon kegairahan ciuman Mikail sampai matanya tertutup rapat, meresapi percintaan dalam batas kewajaran. Mereka juga yakin bahwa Ucok, Ningsih, Arman dan kawan-kawan FDP sedang asyik menikmati malam minggu bersama pasangannya masing-masing. Sementara Tigor dengan muka keriting berpikir keras membaca buku Karl Marx.

Dua minggu setelah nonton film Midnight Express, Tigor datang ke rumah Mikail.

“Wah, kenapa malam begini kau datang Tigor?” kata Ibu Mikail menyambut kedatangan Tigor jam 9 malam. “Iya…Bu,..ada yang mendesak. Mau jumpa Mikail.” Tigor langsung menuju kamar Mikail.

“Mikail, malam ini tokoh gerakan buruh, mahasiswa, tukang becak sudah ngumpul di rumah Pak Regar. Mau rapat tentang aksi besar-besaran dua hari lagi di DPR. Kawani aku, Kita sudah agak terlambat.”

Mikail pun ambil jaketnya, pulpen dan notes kecil, segera keluar rumah bersama Tigor. Motor dikebut Tigor agar sesegera mungkin sampai ke rumah Pak Regar di desa Kembang Bondar. Tempat rapat dilaksanakan.

Sedangkan jam setengah delapan tadi, di sekretariat FDP, DR Pardomuan, Ningsih, Armand dan Muslimin, Ucok sedang menyambut seorang dosen juniornya Pak Pardomuan yang baru pulang dari Jepang.

“Saya bingung sekali. Tak ngerti entah bagaimana saya bersikap,” tampak Pak Sahulaka sangat terbeban. Pedih sekali wajah dan perasaan Pak Sahulaka yang sulit sekali memilih kata-kata untuk bercerita.

Dua bulan yang lalu Pak Syukur, istri serta anak tunggal buah hati mereka yang manis Blusi -masih kelas satu SD- bersantai ke pusat pertokoan Rilmafrid yang baru dibuka. Waktu Blusi membuang bungkus eksrim di depan restoran, tiba tiba dua orang naik motor dengan kecepatan tinggi mengangkat paksa Blusi. Blusi  meronta-ronta dan beberapa motor mencoba mengejar Blusi. Semua orang menyaksikan kejadian itu, segera menunjukan solidaritasnya terhadap kemalangan yang menimpa Pak Syukur. Langsung hubungi polisi untuk membantu menemukan anak mereka Blusi yang manis. Segala usaha untuk menemukan Blusi selama dua bulan tidak membuahkan hasil. Ibu Syukur sekarang sudah diam dengan mata kosong hilang ingatan akibat peristiwa itu. Pak Syukur juga sering sakit-sakitan dan jarang datang ke kampus. Pak Sahulaka sangat kenal wajah Blusi karena saling kunjung antar kedua keluarga ini sudah berlangsung lebih dari lima tahun. Keranci anak mereka yang sebaya Blusi bersahabat sangat akrab. Hampir setiap sore mereka bersama-sama les bahasa inggris maupun secara bergantian saling kunjung. Dua keluarga yang menjalin persahabatan yang erat sejak Pak Syukur dan Pak Sahulaka mahasiswa. Kemudian berada dalam kampus yang sama menjadi dosen, mereka terus menerus menjalin persahabatan semakin erat.

Dan, ketika Pak Sahulaka di Jepang dilihatnya Blusi sudah duduk di depan restoran. Duduk macam anak gelandangan. Jorok, bau, baju compang camping dan lidahnya sudah dipotong.Tak bisa lagi bicara dan tubuhnya tak mampu berdiri tegak. Ketika Pak Syukur ingin menggendong Blusi, seorang pemuda berwajah buas melotot sambil mengeluarkan sebilah pisau belati dari pinggangnya. Orang Jepang kawan Pak Sahulaka segera menarik tangan Pak Syukur agar secepatnya meninggalkan tempat itu. Kawan Pak Syukur langsung bercerita panjang. “Di Jepang terkenal sebuah sindikat bawah tanah. Mereka menculik anak-anak dari negara lain. Kemudian organ tubuhnya diambil untuk ditrasplantasikan ke pasien kaya raya yang membutuhkannya. Si pasien sembuh, tapi anak-anak itu menjadi cacat tak terurus. Diberikan kepada sindikasi pengemis. Anak itu diperas habis-habis setiap hari mengemis.”

“Pernah seorang dosen sedang sekolah ambil master di sini. Beliau dari Philipina, melihat langsung anaknya yang diculik beberapa bulan yang lalu. Dia ambil anaknya. Tapi besok paginya bapak dan anak itu sudah ditemukan tewas dekat pinggir sungai arah keluar kota.”

Pak Sahulaka tak mampu berpikir normal gara-gara melihat Blusi. Digagalkannya bea siswa yang sudah diterimanya dengan susah payah. Pak Sahulaka kembali ke Rilmafrid penuh kepanikan. Apakah kasus ini disampaikannya ke Pak Syukur atau tidak? Apakah ada gunanya kalau kita lapor kasus ini ke polisi ? Atas alasan itulah Pak Sahulaka datang berkunjung ke DR Pardomuan. Dan, tak ada jalan keluar yang mereka temukan, walaupun sudah 2 jam membahasnya. Semuanya hanya bisa terharu, membisu dan sedih atas kepedihan nasib Blusi dan Pak Syukur.

Tigor sudah tak sempat lagi hadir pada acara tersebut. Mikail dan Susanti juga tak hadir karena ada keluarga Susanti yang kemalangan. Seluruh warga FDP tak tahu sedang di mana Tigor saat Pak Sahulaka berkunjung ke sekretariat.

Malam itu Susanti sedang mendengar kaset baru Michail Frank di kamarnya sambil baring membaca novel terlarang karya Pramudya Ananta Toer: Arus Balik. Tapi, perasaannya sesak meronta, dibayang-bayangi ketakutan dalam kegelapan. Tak bisa santai menghayati lagu Michail Frank, dan tak bisa konsentrasi membaca karya Pramudya Ananta Toer. Susanti pikir Mikail sang kekasih tercinta juga sedang santai berada di kamarnya.

Ningsih, Armand, Muslimin dan Ucok sudah berada di rumahnya masing-masing melepas lelah setelah sehari penuh sibuk dengan berbagai kegiatan.

Padahal, Mikail dan Tigor dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah Pak Regar di desa Kembang Bondar. Mereka sudah terlambat 2 jam hadir dalam pertemuan yang direncanakan Tigor. Sudah tak sadar lagi bahwa maut selalu menanti nyawa korban di jalanan gelap. Dilomba Tigor mobil kijang biru tua yang juga sedang ngebut. Dan, mereka berhadapan langsung dengan mobil truk besar membawa kayu gelondongan hasil pencurian. Mobil truk berat yang besar itu juga sangat kencang jalannya. Supir yang sudah mabok menghantam keras motor Tigor yang menggonceng Mikail. Tigor dan Mikail terpelanting jauh ke pinggir jalan terbentur hutan pohon karet yang berdiri kuat dan keras. Motor mereka hancur lebur di bawah truk besar yang supirnya mabok. Dada Mikail hancur luluh terbentur batang pohon karet yang baru ditebang. Kepala Tigor keras terbentur batang pohon karet yang besar. Hidungnya yang remuk bercucuran darah segar. Keduanya tak sadarkan diri. Dan, beberapa waktu kemudian mati di tempat.

Jam dua malam di Rumah Sakit Santo Yoseph,  Susanti bersama  ayah dan ibu.  Jimmi Rocky bersama ayah ibu dan DR Pardomuan, ibu, Arben Rizaldi serta Ucok, Armand, Ningsih, Muslimin — sudah berkumpul — bersama Rosita Dameria kakak kandung almarhum Tigor. Baru beberapa menit berada di rumah sakit, Ningsih dan Muslimin repot memangku dan mengipas ngipas tubuh Susanti yang sudah jatuh pingsan. Mayat Mikail dan Tigor sedang dibersihkan di kamar jenazah.

Dalam kepedihan yang sangat mendalam, ada juga rasa kebingungan ayah dan ibu Susanti. Rupanya selama ini anak kesayangan Susanti serius berpacaran dengan Mikail Pratama anak kawan dekat mereka. Pak Kurus segera dijemput dari pelabuhan Pangkoper oleh supir keluarga almarhum Mikail Pratama . Besok pagi DR Tumpak Parningotan akan datang naik pesawat pertama dari Kepriano. Dan, kepada  Mukurata segera dikirim kabar dukacita. Sementara Pak Regar, bersama tokoh gerakan buruh, pimpinan organisasi tukang becak, dan organisasi gerakan mahasiswa diintrograsi dengan ketat sambil dengan sadis tubuhnya disiksa habis habisan oleh prajurit militer. Sebelum dimasukan ke dalam penjara militer tanpa melalui proses hukum.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 12

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’