Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 11

FDP harus mengontrak rumah sekretariat. Kebetulan di depan rumah DR Pardomuan ada rumah Dr Harahap yang dikontrakan. Betapa gembiranya warga FDP. Terbayang oleh mereka kalau habis kerja di sekretariat bisa bermeditasi atau latihan pernafasan di markas yang lama. Hanya jalan kaki sekitar 50 meter saja sudah sampai. Pesta ucapan syukur kecil-kecilan pun diselenggarakan sekaligus rapat perdana program kerja “Pengorganisasian dan Penyadaran Hukum” di tiga kelompok tani. Desa Kembang Bondar, desa Jaejulu, dan Pohontoru. Ucok, Arman dan Mikail sebagai staf lapangan. Tigor sebagai koordinator ketiga lapangan. Ningsih dokumentasi dan inventaris, Susanti adminitrasi keuangan DR Pardomuan dan Muslimin membantu Tigor bidang penyadaran hukum. Laporan tertulis dari lapangan harus ada dalam setiap minggu termasuk laporan keuangan. Jadi setiap minggu staf lapangan harus tinggal di desa paling sedikit satu malam dalam seminggu, sedangkan kordinator paling sedikit 2 kali kunjungan setiap desa dalam sebulan. Tapi, jauh sebelum program berjalan Tigor sudah bertekad tinggal selamanya secara bergilir di ketiga desa tersebut. DR Pardomuan mencoba melunakkan sikap Tigor, tapi Tigor tetap berkeras. Nasib DR Pardomuan sama saja dengan Mikail. Ditolak mentah-mentah oleh Tigor.
1982 – Setahun kemudian.
Tidak ada masalah serius laporan tahun pertama program kerja FDP. Laporan tepat waktu dikirim bersama laporan keuangan. Otomatis dana untuk program termin kedua juga tepat waktu ditransfer. Muslimin yang paling gembira karena honorarium sebagai staf FDP bisa juga untuk membeli baju baru dan kue-kue menyambut Lebaran di kampung. Walaupun kemampuannya menulis opini di koran tidak juga mengalami kemajuan, tapi, namanya tetap populer oleh karya DR Pardomuan. Ucok ternyata tidak seperti dugaan Arman. Ucok ternyata konsisten ingin meniru kebiasaan DR Pardomuan yang menulis segala hal dalam buku hariannya. Sekarang Ucok juga rutin mengisi tulisan di Mimbar Kampus dan koran lokal. Arman, juga berubah. Walaupun sudah mandiri secara ekonomi yang statusnya di atas rata-rata mahasiswa, tapi Arman tidak digerogoti watak komsumtif. Kebutuhannya menambah ilmu pengetahuan dengan membeli buku-buku adalah sasaran utama penggunaan dana honorarium bulannya. Tapi, niat Arman untuk mulai menulis belum juga terbit karena terlalu asyik membaca. Arman adalah orang yang paling sering kena cerewetnya Ningsih. Karena selalu lupa meminta kwitansi apabila membeli barang-barang. Termasuk kwitansi dari kelompok tani untuk transportasi dan akomodasi pengorganisasian. Ningsih beberapa kali tak masuk kuliah demi untuk melengkapi kwitansi-kwitansi pengeluaran dana program. Ningsih sering jengkel dibuat oleh kawan-kawannya gara-gara persoalan kwitansi. Susanti selalu menggunakan honorariumnya untuk jajanan orang di sekretariat dan melengkapi hiasan-hiasan di ruang tamu sekretariat. Susanti selalu diingatkan oleh ibunya, agar program kerja FDP jangan sampai menggangu kuliahnya. Ketika kawan dekat DR Pardomuan datang dari belanda sempat terdengar komentar tamu tersebut:” Enak juga mengamati dinamika sekelompok mahasiswa yang mulai belajar mengelolah program bersama masyarakat.” DR Pardomuan tersenyum: “Yah,..mereka cocoknya kuliah bukan di negara berkembang seperti Trieste ini. Kampus tak sanggup memfasilitasi kebutuhan mereka yang haus ilmu pengetahuan.”
Di kampusnya masing-masing mereka juga agak bergengsi, karena sangat jarang mahasiwa yang dapat menikmati pekerjaan seperti warga FDP. Dan, pandangan hidupnya maupun wacana ilmu pengetahuannya lebih tinggi dari pada mahasiswa umumnya. Realitas masyarakat lapis bawah secara kongkrit mereka dapat lihat.
Kabar tentang perkembangan Tigor dalam setahun ini dinilai agak misterius. Walaupun segala laporan lapangan dan laporan keuangan tetap diserahkannya sesuai dengan waktu, tapi, Tigor sudah tak ada beda dengan petani pedesaan. “Dulu kau menolak bekerja di ladang pertanian bersama orang tuamu. Sekarang kau yang paling getol pergi ke sawah bersama orang-orang yang baru saja kau kenal.” Mikail kasih komentar mengenai Tigor yang sudah hitam legam berotot keras pertanda Tigor banyak habiskan waktu di ladang.
“Iya… aku juga heran. Seluruh anggota kelompok tani di 3 wilayah ini sudah kuanggap saudara kandungku. Tidak ada jarak sosial antara aku dan mereka semua.”
Waktu bayar uang kuliah semester dan urusan akademis lainnya, Tigor terpaksa harus menginap di Trieste seminggu. Dia sama sekali tak betah di kota dan sangat rindu bertemu dengan petani petani di pedesaan.
Mikail merasa macam tukang ojek saja dibuat Susanti. Ke sekretariat maupun kuliah Mikail harus jemput Susanti, lantas pergi kuliah dan harus menunggu Susanti sampai selesai kerja baru diantar kembali ke rumahnya. Kecuali kalau Mikail ke lapangan, maka Susanti harus naik angkot ke sekretariat dan kuliah. Dan, hubungan berpacaran mereka semakin mesra saja. Kadang mereka jumpai Tigor ke pedesaan demi untuk memelihara semangat kerja Tigor.
bersambung…
Kisah Sebelumnya: Bagian 10
*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’
Satu komentar pada “Torsa Sian Tano Rilmafrid* #11”