Arsip Kategori: Resensi

Dunia Kita Bukan Dunia Keinginan

Resensi Riza Fitroh Kurniasih*

Buku ini berisi tujuh belas cerpen dari 17 penulis berbagai negara (tujuh di antaranya adalah peraih nobel) dengan cerita yang sanggup menggugah pembaca. Sang penulis mampu menggiring pembaca pada dunia yang belum pernah dihadiri sekalipun. Pembaca seakan-akan dibawa masuk ke dalam dunia baru yang sama sekali asing untuk diwujudkan dalam dunia nyata, namun dengan gaya penuturannya kita bisa mengikuti alur cerita yang dihadirkan.

Dengan seting tempat yang menarik dan lakon cerita yang dihadirkan penulis dalam buku ini mampu menghadirkan dinamika tersendiri bagi pembaca. Pembaca memiliki kebebasan dalam membayangkan latar tempat berlangsungnya alur cerita. Dengan pembawaan tokoh yang memiliki karakter sendiri-sendiri tidak membuat pembaca terasing dengan alur yang disajikan oleh penulis. Penulis hanya perlu mengikuti pikirannya untuk dapat memahami dan menikmati buku ini.

Bagian awal dari cerpen ini diawali dengan cerpen berjudul “Sang Putri” persembahan terbaik dari Irena Ioannidou Adamidou, pengarang asal Siprus, mewakili kawasan Yunani dan sekitarnya yang di masa silam merupakan cikal bakal peradaban Eropa. Dengan tidak menghilangkan ciri khas bangsa eropa, Irena mampu membawa pembaca untuk menikmati hasil tuangan penanya.

 Irena menceritakan bagaiman pentingnya dunia pendidikan, pun bagi seorang putri yang rupawan dan memiliki materi yang cukup. Namun dengan tetap menyisipkan ciri khas bangsa eropa yang menjunjung tinggi arti pentingnya pendidikan. Dia menggambarkan bagaimana seorang gadis yang semasa mudanya menjadi idaman para pujangga karena kecantikan yang dimilikinya, sehingga kelebihan ini membuat banyak yang terpesona padanya. Namun siapa sangka kelak di masa tuanya ia tak memiliki apapun kecuali seorang nenek tua yang menemaninya dan seorang suami yang selalu dengan mudah menjual barang-barang miliknya.

Perceraian bagi sang putri sangatlah memalukan, setidaknya begitu stigma yang ada pada masyarakat desa tempat ia tinggal. Sang putri yang rupawan dan mampu mengundang setiap laki-laki yang melihatnya semasa muda, kini hanya bisa diam. Dia tak terbekali dengan tangan-tangan pendidik dan bangku-bangku keras pendidikan untuk melawan ketertindasan.

Irene mampu menyadarkan kita akan pentingnya arti pendidikan, pun bagi seorang perempuan yang rupawan, pendidikan menjadi harga mati untuk dimiliki setiap orang yang berkembang. Perkawinan tak menjamin kita pada dunia status quo kenyamanan. Justru perkawinan menjadi bencana ketika kita buta dengan dunia nyata sekitar kita.

Disusul kmudian dengan cerita karangan Heinrich Boll, yang berasal dari Jerman. Jerman merupakan salah satu Negara Eropa dengan ciri khas tradisi sastranya paling kuat. Heinrich berkesempatan memperoleh hadiah nobel sastra. Dengan cerpen berjudul Wajah Sedih mampu mengajak pembaca untuk menguji daya imajinasinya. Dengan satu inti cerita, sang peraih nobel sastra dari Jerman ini memperlihatkan keahliannya dalam menuangkan kata-katanya.

Seorang pemuda yang baru saja dibebaskan dari ruang tahanan karena dia berekspresi dengan dirinya sendiri. Sebuah cerita yang mengesankan. Menggambarkan bagaimana seharusnya kita mampu menghargai sebuah perjuangan, menghargai bagaimana arti pentingnya mengenang pejuang dan mengerti bagaimana pentingnya mengingat sejarah.

Cerita dimulai dengan seorang penjaga keamanan yang memborgol tangannya dengan besi halus. Keasyikannya saat menikmati burung-burung yang melayang, melesat, dan menukik sia-sia mencari makanan rupanya harus terhenti karena borgol jeruji itu. Pelabuhan yang begitu sunyi, airnya kehijau-hijauan, kental karena minyak kotor dan di permukaannya yang berkerak mengapung berbagai macam sampah, harus terganti dengan pemandangan sama ketika ia dimasukkan kedalam sel dikarenakan wajah senangnya. Dan kini sang pemuda ini masuk ke sel kembali karena berwajah sedih.

Perkara ia pernah masuk ke dalam sel tahanan karena wajah bahagianya saat berlangsungnya peringatan kepala negara. Dan karena menurut pihak kepolisisan, menunjukkan wajah bahagia saat ada peringatan kematian dari orang penting di negaranya merupakan sebuah penghinaan. Sang pemuda terkena hukuman penjara lima tahun. Dengan kelakuan ini membuatnya mennyandang penjahat di negaranya.

Di sisi lain, Heinrich menggambarkan bagaimana kerasnya siksa fisik bagi orang yang melanggar aturan. Selain masuk ke dalam tahanan, ia harus merasakan pukulan dari para petugasnya. Melalui cerita ini Heinrich mewakili kejujurannya dengan gambaran bahwa sang pemuda yang menerima hukuman tahanan tersebut harus merasakan bagaimana pukulan dari Petugas Interogator, Interogator Senior, Kepala Interogator, Hakim pendahulu, dan hakim akhir. Kekerasan ini masih ditambah dengan polisi yang melaksanakan tindakan fisik yang diperintahkan hukum.

Mereka menghukum sang pemuda ini selama sepuluh tahun karena wajah sedihnya, sama seperti lima tahun yang lalu ketika mereka menghukumnya selama lima tahun karena wajahnya yang bahagia saat peringatan upacara kematian kepala negara tersebut. Ia harus mencoba tidak punya wajah lagi, jika ia berhasil bertahan selama sepuluh tahun berikutnya dengan kebahagiaan yang ia miliki.

Keliaran dalam bermain dengan kata-kata dalam Antologi Cerpen Eropa ini tidak hanya sampai di sini. Albert Camus sang pengarang modern peraih hadiah nobel sastra dari negara Perancis, yang merupakan sebuah negara dengan tradisi sastra yang mapan. Albert Camus memilih judul cerpennya “Perempuan Tak Setia”, Albert menggambarkan bagaimana perjuangan seorang suami yang selalu setia mendampingi istrinya meski ia tak yakin kalau istrinya benar-benar mencintainya. Yang ada dia yakin akan keputusannya itu.

Janine yang telah dua puluh tahun berada di samping Marcel tak pernah benar-benar bisa mengerti apa yang menjadi kebutuhan dari suaminya tersebut. Marcel dengan pembawaan cuek terus saja berjalan melalui liku-liku hidupnya dengan tetap tenang dan ia yakin suatu saat Janine akan membutuhkan kehangatan darinya. Marcel selalu berhasil membuat Janine sadar bahwa ia ada di dunia ini untuk lelaki yang telah membuatnya ada dalam kenyataan ini, menyadarkan ia bahwa ia tak sendirian.

Janine yang memang berwatak pendiam selalu mengikuti apa yang dikata suaminya, Marcel. Suatu ketika Janine merasakan badai dingin dalam hatinya yang tak pernah ia alami selama ini. Di suatu malam dalam pemukiman Janine terbangun, ia merasakan kesunyiaan yang mengelilinginya begitu merajalela. Namun, di ujung kota, anjing mengaung di malam sunyi dan membuat Janine gemetar. Ia berpaling dan kembali berbalik, dirasanya bahu suaminya yang keras mengenai tubuhnya, dan tiba-tiba setengah tertidur, ia memeluk suaminya. Ia berbicara, tapi ia sendiri sulit mendengar apa yang ia katakana. Yang bisa dirasakannya hanyalah kehangatan Marcel.

Marcel memang selalu berhasil membuat janine selalu merasa dibutuhkan. Mungkin Marcel tak mencintainya. Cinta, bahkan bisa berisi benci. Dia tak pernah tahu. Namun dia tahu bahwa Marcel membutuhkannya dan bahwa ia butuh untuk dibutuhkan, bahwa ia hidup dengan hal itu siang dan malam. Terutama di malam hari, setiap malam, saat ia tak ingin sendirian.

Dalam kegelapan tiba-tiba Janine kembali dihampiri rasa kesedihan dan kesakitan yang begitu mendalam, sebuah kesaksian tentang dirinya bahwa Marcel hanya takut jika ia tak ada. Memunculkan kembali angan-angan yang tak semestinya. Kesaksian bahwa seharusnya mereka sudah berpisah sejak dahulu sampai akhir zaman. Ia menarik dari suaminya, ia pergi keluar menyendiri, duduk menatap langit-langit, mendengarkan gonggongan anjing serta kesakitan tubuhnya yang ditempa angin. Ia tiba-tiba merasakan kesunyian yang begitu dahsyatnya. Ia kembali lagi dan hanya bisa terduduk. Marcel berbicara dan Janine tak mengerti apa yang Marcel katakan. Marcel bangkit dengan pandangan tak mengerti ke arah Janine. Janine menangis tak mampu menenangkan diri.

Pada bagian akhir dari buku ini diwakili cerpen berjudul Perkawinan karangan August Strindberg, seorang pengarang asal Skandinavia, yang merupakan dramawan terkemuka asal Swedia yang banyak melahirkan karya prosa. Dia menggambarkan bagaimana sebuah perkawinan tak mesti harus memendamkan bakat dalam berkarya dan hanya bergantung pada suami.

Seorang perempuan dengan jengkelnya melihat para gadis-gadis yang berubah hanya menjadi pengurus rumah tangga bagi para suaminya setelah perkawinan. Maka ia belajar melakukan sebuah bisnis yang bisa membuatnya tetap merasa hidup jika ia sudah menikah. Ia merintis usaha kembang tiruan.

Seorang lelaki menyesali bahwa para gadis cenderung menunggu datangnya seorang suami yang akan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ia ingin menikahi seorang perempuan yang mandiri dan bisa mencari uang sendiri, semacam perempuan yang sejajar dengannya dan bisa menjadi teman sepanjang hidupnya, bukan sebagai seorang pengurus rumah tangga.

August mampu menghadirkan gaya perkawinan yang berbeda dalam cerpennya. Digambarkan dalam cerpennya bahwa gaya perkawinan yang dilakukan sepasang muda-mudi ini layaknya kakak-adik. Memiliki 3 buah ruang, dengan satu ruang untuk kamar sang suami, satu ruang untuk kamar sang istri dan satu ruang netral untuk mereka gunakan bertemu bersama. Selama hampir dua tahun mereka hidup dengan bahagianya, seakan-akan membuat isi dunia cemburu. Hingga akhirya sang istri harus menekuni pekerjaan rumah tangganya sebagai hadiah dia telah bekerja selama lebih dari dua tahun. Menekuni pekerjaan rumah tangga sebagai buah hasil perkawinan mereka. Sebagai wujud adanya rasa kasih dan sayang di antara keduanya. Mereka dikaruniai seorang buah hati.

Antologi Cerpen Eropa yang disusun oleh Anton Kurnia ini menjadi salah satu buku pengetahuaan akan kekayaan karya saatra di Indonesia. Menandakan adanya kebebasan untuk mengekspresikan karya sastra dengan gayanya masing-masing dengan tetap mengedepankan kreatifitas sebagai pegangannya. Karya sastra yang mengacu pada referensi kekhasan sastra barat menjadi salah satu karya besar untuk semakin menambah kekayaan hasil karya sastra selanjutnya.

cerpen-cerpen-terbaik-eropa

Judul Buku: ANTOLOGI CERPEN EROPA: Seorang lelaki Dengan Bekas Luka di Wajahnya

Penyusun: Anton Kurnia

Penerbit: Jalasutra

Tahun: 2003

Tebal: 291 halaman

Harga: Rp. 25.000,-

ISBN: 979-96337-32-4

*) peresensi adalah Alumni Mahasiswa Biologi FKIP UMS

Indonesia Harus Menonton Film Ini: The Act Of Killing

Resensi Film – M. Jojo Raharjo

the jagalFilm dibuka dengan pemandangan kota Medan. Nampak suasana sebuah sudut jalan raya. Di beberapa adegan, kamera diam tak bergerak, seperti seseorang yang diam terpaku menatap jalan yang di dalamnya ada kehidupan yang bergerak. Pemandangan berganti dengan sebuah papan reklame besar. Di sini juga diam, kamera  tak menoleh ke mana pun, kecuali ke satu arah. Adegan ini seperti mengajak saya membayangkan, seperti apa tempat ini di masa lalu.

 Flm ini berkisah mengenai pengakuan beberapa orang yang telah menjadi eksekutor untuk menghabisi orang-orang yang disebut PKI di tahun 1965-1966. Para eksekutor itu hingga sekarang masih hidup, sehat dan bugar serta hidup sejahtera.

 Film ini tidak beredar secara bebas, untuk keselamatan para pembuatnya. Pemutarannya diatur oleh para pembuat film ini yang kebanyakan nama mereka ditulis sebagai anonymous dalam credit titlenya, kecuali produser dan sutradaranya yang ditulis sebagaimana adanya, Joshua Oppenheimer. Setelah pemutaran perdananya di Canada pada bulan Oktober tahun 2012, film ini memang menghasilkan kontroversi dan bahkan membuat beberapa orang menjadi terganggu, terutama yang menjadi pelaku dan juga sederetan master mind dari peristiwa pembantaian PKI di masa itu. Film ini hingga kini terus diputar di kalangan terbatas untuk menghasilkan wacana yang semakin luas terutama di Internet dan social media. Para pembuatnya berharap suatu waktu film ini diharapkan menjadi film yang “bebas” diputar di mana saja.

Anwar Congo, sebagaimana pengakuannya sendiri di dalam film ini, dan beberapa kawannya dulu saat muda, mungkin di awal umur 20-an, bekerja sebagai calo karcis bioskop di kota Medan. Anwar sangat menggemari film-film Holywood, seperti jenis cowboy dan mafia. Kegemarannya itu masih tampak di umurnya sekarang yang saya perkirakan di atas 70 tahunan, karena Anwar gemar menggunakan western suit lengkap dan sepatu kulit mengkilap serta topi ala mafia Amerika di tahun 30 hingga 60-an. Anwar bahkan masih lincah menarikan tarian Cha-cha-cha. Saat menjadi calo karcis bioskop itu Anwar muda sangat diuntungkan dengan film Amerika. Namun ketika PKI semakin berkuasa dan semakin menempati berbagai posisi strategis di pemerintahan Sukarno, film Holywood kemudian dilarang diputar. Padahal film itu yang paling laris ditonton dan membuat kantong Anwar dan kawan-kawan menjadi selalu tebal. Itulah yang membuat Anwar dan kawan-kawan termotivasi menerima pekerjaan untuk menghabisi orang-orang PKI dan Cina setelah peristiwa G30S PKI terjadi. Dalam film ini tidak digambarkan dengan tegas siapa yang memberi order atau pekerjaan itu kepada Anwar dan kawan-kawan.

Joshua mungkin harus disebut hebat, karena ia mampu menggiring Anwar dan kawan-kawan untuk berkisah mengenai apa yang dilakukannya pada orang-orang PKI dan Cina di masa lalunya. Kisah mengerikan itu termasuk bagaimana ia menggunakan cara yang menurut Anwar lebih “manusiawi” dalam menghabisi orang-orang yang disebut penghianat oleh Anwar dan kawan-kawan, yaitu dengan kawat sebagaimana ia saksikan di dalam beberapa film Holywood kegemarannya. Joshua bahkan mampu merekam sedikit kisah tentang Pemuda Pancasila di Medan sejak masa PKI itu dan sekarang. Bahkan hubungan Anwar dengan beberapa pejabat pemerintahan di Sumatra Utara, seperti gubernur Syamsul Arifin yang baru-baru ini dijatuhi hukuman penjara 6 tahun karena menyelewengkan dana bantuan sosial.

Joshua dalam pembuatan film ini yang dimulai sejak tahun 2005 lalu itu telah menggiring Anwar dan kawan-kawan untuk mendokumentasikan kisah atau pikiran mereka tentang pembantaian itu dengan sangat polos. Padahal pengakuan itu bisa menjadi bumerang bagi mereka. Joshua di dalam official web-nya (http://theactofkilling.com) menyebut seperti di bawah ini, bahwa mereka digiring pada sebuah harapan untuk membuat sebuah film fiksi berjudul “Arsan dan Aminah” yang ditulis sendiri oleh Anwar dan kawan-kawan dan bahkan mereka membintanginya sendiri film itu yang berkisah tentang kiprah Anwar dan kawan-kawan di seputar pemberantasan PKI di tahun 1965-1966. Namun Joshua ternyata juga mendokumentasikan proses pembuatan film fiksi itu, yang di dalamnya kaya dengan pernyataan dan kisah mengerikan yang tak terbayangkan oleh kebanyakan orang:

In The Act of Killing, Anwar and his friends agree to tell us the story of the killings. But their idea of being in a movie is not to provide testimony for a documentary: they want to star in the kind of films they most love from their days scalping tickets at the cinemas. We seize this opportunity to expose how a regime that was founded on crimes against humanity, yet has never been held accountable, would project itself into history.

And so we challenge Anwar and his friends to develop fiction scenes about their experience of the killings, adapted to their favorite film genres – gangster, western, musical. They write the scripts. They play themselves. And they play their victims.

Anwar kemudian menyebut Joshua menipunya, karena ia tak pernah melihat hasil dari film fiksi yang dibintangi dan ditulisnya sendiri itu. Namun Joshua malah menghasilkan film dokumenter tentang pembuatan film fiksi itu yang diberi judul oleh Joshua: The Act of Killing yang bahkan sudah diputar di festival film internasional, di Toronto Canada pada Oktober 2012 lalu.

Ya, film ini adalah film tentang pengakuan polos beberapa orang yang telah menghabisi nyawa orang-orang PKI dan Cina di Medan di masa 1965-1966. Film yang layak tonton untuk merenungkan mengapa orang biasa begitu mudah untuk direkayasa untuk menjadi eksekutor yang “efisien”. Bagian akhir film ini menjadi menarik untuk direnungkan juga, karena ada drama perubahan watak Anwar, sang eksekutor, yang mulai merasa bersalah.

Apa yang sebenarnya terjadi di masa itu? Pertanyaan seperti ini sebenarnya sudah lama bergaung, namun semakin besar bergaung setelah menonton film ini. Indonesia harus menonton film ini, karena Indonesia harus mengenali sejarah kelamnya sendiri jika ingin melangkah maju ke masa depan yang lebih baik.  Ini mungkin film yang akan memicu film selanjutnya seputar pengungkapan berbagai peristiwa di tahun 1965-1966.

Ini memang film yang mendokumentasikan pengakuan para eksekutor itu. Cara mendokumentasikannya sangat cerdas. Tidak ada adegan yang sadis, tapi membayangkan apa yang terjadi di tahun 1965-1966 itu sangat mengganggu sekali. Saya menjadi mual. Para eksekutor di Medan itu kebetulan adalah satu kelompok preman (seperti yang diakui sendiri oleh Anwar dan kawan-kawan, bahwa mereka memang preman) yang kemudian direkayasa dengan sangat berhasil menjadi eksekutor yang “efisien”. Para eksekutor di Indonesia tahun 1965-1966 memang bukan hanya preman tapi ada beberapa macam kelompok masyarakat yang lain, seperti misalnya di Jawa Timur adalah para santri. Namun film ini hanya mendokumentasikan pengakuan eksekutor di Medan dan yang dilakukan oleh preman.

Film ini ditutup dengan adegan yang absurd.  Anwar bersama dengan beberapa perempuan muda yang mengelilingi Anwar dan juga beberapa lelaki menari dengan tangan ke atas di sebuah tempat yang indah dan damai. Mereka nampak dalam keadaan bahagia. Di belakang mereka nampak sebuah air terjun. Angin meniup rambut dan pakaian mereka. Suasana terlihat begitu religius. Anwar menggunakan pakaian seperti kain yang diselempangkan ke tubuh secara sederhana. Begitu juga dengan pakaian beberapa perempuan muda lainnya di sekeliling Anwar. Mungkin maksud dari adegan ini adalah menggambarkan suasana di surga kelak sebagaimana yang mungkin diidamkan oleh Anwar. Kemudian salah seorang lelaki dari beberapa lelaki yang juga berpakaian sederhana itu mengalungkan sebuah medalion ke leher Anwar sambil berkata (kira-kira begini, karena saya tak ingat persisnya: “Saya berterimakasih karena anda telah membantu saya untuk cepat dan mudah berada di surga ini”. Nampaknya Anwar berimaginasi, kelak ia masuk surga dan bahkan korban-korban yang dihabisinya malah berterimakasih, karena Anwar telah memberi jalan yang mudah dan cepat bagi mereka untuk ke surga. Absurd.

Sumber: FB M. Jojo Raharjo

Opium yang Memerdekakan Kita

Resensi Irfan Ansori

Editor Ragil Koentjorodjati

perdagangan-canduPengetahuan sejarah sangatlah berharga. Itulah sebabnya, mengapa Sukarno melalui “Jas Merah”-nya mengajak kita untuk selalu merenungi sejarah, dengan menjadikannya sebagai cerminan agar kita tidak jatuh ke lubang yang sama. Maka dari itu, diperlukan bagi kita untuk sedikit-banyak membahas bagaimana cara bangsa ini berupaya mendanai perjuangan kemerdekaan. Hal ini mengingat terdapat suatu fakta yang jarang sekali terungkap dalam buku-buku sejarah, yakni perihal perdagangan dan penyelundupan candu atau opium.

Buku yang ditulis oleh Juliatmo Ibrahim berangkat dari laporan penelitian yang lakukannya pada tahun 2007-2009 di Surakarta. Buku ini mengungkap fakta sejarah bentuk-bentuk perdagangan dan penggunaan candu di Surakarta pada masa revolusi. Salah satu temuan menariknya adalah bahwa pemerintah Indonesia saat itu, melalui Kantor Besar Regi Candu, ternyata mengelola dan memperdagangkan candu untuk dana perjuangan. Di sisi lain, perdagangan candu secara ilegal telah pula dilakukan oleh pedagang-pedagang yang kebanyakan orang Cina di Surakarta dan bisnis itu dapat berkembang.

Candu merupakan sejenis bahan minuman yang diperoleh dari tanaman papaver somniferum. Bahan minuman ini mengandung racun yang dapat melemahkan syaraf-syaraf tubuh manusia, dan apabila dipergunakan berlebihan akan menyebabkan efek memabukkan. Candu dalam istilah umum disebut sebagai opium, berasal dari bahasa latin apion. Oleh karena memabukkan, maka otomatis candu menjadi haram dikonsumsi oleh umat Islam yang merupakan agama mayoritas rakyat Indonesia.

Faktor pendorong yang menyebabkan pemerintah memilih candu sebagai dana perjuangan adalah kondisi sosial, ekonomi, dan keuangan yang porak-poranda akibat pendudukan militer Jepang. Pemerintah republik menyadari bahwa sumber-sumber ekonomi dalam sektor pertanian dan perkebunan tidak dapat diandalkan karena sebagian besar pabrik-pabrik pengolah hasil perkebunan hancur akibat pendudukan Jepang.

Kesulitan ini diperparah dengan tidak berkembangnya sektor keuangan. Pada masa revolusi, terjadi kekacauan dalam penggunaan mata uang. Pada masa itu, beredar tiga mata uang di masyarakat yaitu mata uang Jepang, mata uang NICA dan mata uang Republik Indonesia (ORI). Pemerintah kesulitan untuk menghentikan laju kedua mata uang asing tersebut karena sudah banyak dimiliki oleh masyarakat. Bahkan nilai mata uang ORI lebih rendah dibandingkan kedua nilai mata uang tersebut.

Kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan tersebut berdampak pada pemberian gaji kepada pegawai pemerintah dan penyediaan dana untuk perjuangan. Pemerintah harus menyediakan uang yang sangat besar untuk membeli perlengkapan perang dan menyediakan logistik atau perbekalan bagi para pejuang. Senjata dan amunisi yang dimiliki oleh para pejuang sebagian besar merupakan hasil rampasan dari para serdadu Jepang. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika masih banyak perjuangan para laskar dengan menggunakan keris, bambu runcing dan alat tradisional lainnya.

Selain itu, diperlukan cadangan devisa yang banyak untuk membiayai perwakilan-perwakilan Indonesia yang berangkat ke luar Negeri, juga duta besar Indonesia di beberapa Negara seperti Bangkok, Rangoon, New Delhi, Kairo, London dan New York.

Untuk mengatasi masalah dana tersebut, pemerintah secara diam-diam menggunakan candu yang dianggap dapat segera menyediakan pendanaan secara cepat untuk kebutuhan perjuangan. Agar pengelolaan candu dapat berjalan lancar maka pemerintah kemudian membentuk beberapa kantor strategis. Kantor pusat pengelolaan candu bertempat di Surakarta dengan nama Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta. Kantor ini berada di bawah Kementerian Pertahanan bagian intendance dan Kantor Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, badan-badan perjuangan yang menginginkan candu harus mendapatkan ijin atau pengesahan dari kedua Kementerian itu atau dari kantor wakil presiden.

Candu kemudian dijual dan diselundupkan ke luar negeri seperti Singapura atau Birma agar pemerintah Indonesia dapat menukarkan atau membeli senjata, mendapatkan devisa (uang asing) untuk membeli keperluan publik, dan juga ditukarkan dengan emas. Penyelundupan ke Singapura dimulai pada bulan Juli 1974 atas perintah perdana Menteri Amir Syarifudin. Penyelundupan candu semakin intesif dilakukan sejak dikeluarkan perintah penjualan candu (candu trade) oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta pada bulan Februari 1948. Berdasarkan perintah tersebut, A.A. Maramis selaku Menteri Keuangan memerintahkan kepada kantor Regi Candu dan Garam di seluruh republik terutama di Surakarta dan badan-badan perjuangan untuk melaksanakan naskah tersebut.

Walaupun pemerintah Indonesia memperbolehkan badan-badan perjuangan memperdagangkan atau menyelundupkan candu untuk dana perjuangan, tetapi pemerintah juga melarang masyarakat memiliki candu tanpa izin dan melebihi besarnya candu yang dimiliki yaitu 1 tube. Namun tetap saja terjadi perdagangan secara illegal, seperti misalnya di beberapa pusat penjualan di Surakarta semacam Nusukan, Pasar Gede, dan Bekonang. Pedagang yang sangat terkenal pada waktu itu adalah Nyah Gudir, yaitu wanita yang tinggal di Nusukan.

Keberhasilan buku ini dalam mengungkap dokumen-dokumen rahasia yang menjadi penguat argumentasi buku ini. Sayangnya, buku ini tidak memberikan gambaran bagaimana respon umat beragama—dalam hal ini Islam—dalam menanggapi ini. Kita tahu, perdagangan candu jelas berbenturan dengan ajaran agama. Namun demikian, kehadiran buku ini setidaknya menunjukkan sisi lain perjuangan bangsa Indonesia. Fakta-fakta sejarah ini diharapkan membuat kita menjadi lebih arif dalam mensikapi masa lalu dan masa sekarang. Mungkin demikian.

perdagangan-canduJudul Buku: Opium dan Revolusi : Perdagangan dan Penggunaan Candu di Surakarta Masa Revolusi (1945-1950)
Penulis: Juliatmono Ibrahim
Tebal Buku: 156 Halaman
Penerbit: Pustaka Pelajar
Tahun Terbit: Cetakan I, Februari 2013

*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Pondok Sobron UMS.

Ketika Penyair Bertapa

Resensi Arif Saifudin Yudistira

kumpulan-puisi-joko-pinurboSepertinya sulit memisahkan Joko Pinurbo dengan puisi. Puisi itu Jokpin, dan Jokpin itu puisi. Jokpin sebagaimana dikatakan oleh Afrizal, ia lebih mendekatkan puisi dengan waktu. Waktu, momen dan peristiwa jadi bahan yang diendapkan untuk menjadi puisi. Bisa jadi ini mudah secara sepintas, tapi lihatlah bagaimana dia menuliskan dalam buku ini. “Segalanya menjadi mudah dengan mudah-mudahan” (2012), kalimat singkat itu seperti sederhana, tapi tak sesederhana untuk bisa kita ciptakan. Kemampuan Joko Pinurbo merawat kata dan mengeluarkan kembali dalam rupa kata yang lain, tampak menjadi kekuatan dalam puisinya.

Meski demikian, puisi Jokpin yang erat dengan humor, sinisme dan satire, bisa jadi menipu pembaca yang kurang jeli. Jokpin sendiri pernah berkisah bagaimana seorang almarhum Linus Suryadi mengira Ayah Jokpin sudah mati. Hal itu dikarenakan Linus mendengarkan Jokpin membaca puisinya yang berjudul Warisan Ayah. Mendengar pertanyaan Linus, Jokpin terkejut, Ayah saya baik-baik saja, katanya.

Puisi memang dekat pada waktu, momen dan peristiwa, tapi tak tentu peristiwa yang dialami oleh penyair. Di sini puisi bergerak dari ruang internal ke eksternal sesuka hati, tergantung pada bagaimana penyair mengolahnya. Mengutip yang dikatakan oleh Goenawan Mohammad, logika puitik tidak merepresentasikan keberadaan dalam kata-kata, melainkan membawa keberadaan kepada kehadiran dalam bentuk kata-kata. Oleh karena itulah Jokpin menuliskan selamat datang kepada pembaca puisi dengan mengucapkan salam sayangnya: “selamat menunaikan ibadah puisi”. Dari sebab itu, sebenarnya logika puitik tidak hanya bermain dalam kata-kata semata, tapi ia menangkap yang sejati dari peristiwa, momentum dan waktu. Maka tak salah filsuf Heidegger pun mengatakan bahwa wacana berfikir yang asli adalah puisi.

Di buku kumpulan puisi terbarunya ini, Jokpin ingin menunjukkan identitas puisinya yang lain dari sebelumnya. Sebagaimana dikatakan Jokpin (Tempo,7-13 januari 2013) “saya tidak ingin puisi saya dicap erat dengan celana terus, saya ingin meninggalkan celana. Ketika penyair tak bisa lepas dari cap yang menempel itu, maka penyair mati kreatifitasnya. Saya tidak ingin mati”. Maka tidak salah bila Jokpin menganggap puisi yang kuat adalah puisi yang mengembangkan visi baru dalam puisi. Puisi yang membuat kita mendefenisikan ulang apa itu puisi.

Buku Puisi Puitwit Haduh Aku di Follow  ini merupakan wujud visi baru dalam puisinya. Ia seperti ingin menampilkan puisi yang keluar jauh dari celananya, tetapi tidak terlalu jauh juga. Lihat misalnya puisi berikut : Waduh, celanamu tertinggal di dalam sajakku/Sajakku terkunci dan aku tak tahu dimana kuncinya. Celana yang biasa dipakai Jokpin menjadi idiom yang penting dalam puisinya di masa lalu seolah tertinggal dan mau dikunci agar pembaca tak lagi mengkaitkan ataupun membawa Jokpin dengan celananya yang dulu. Ia ingin memakai celana baru. Celana baru itulah puisinya yang sekarang. Simaklah cita-cita Jokpin yang mendefinisikan ulang apa itu puisi yang ada dalam bukunya ini. “Semua ingin menjadi penyair, iya kan? Aku sih ingin jadi puisi yang dilipat dan diselipkan di sela-sela rusukmu”(2012).

Ada warna baru yang ingin disuarakan melalui puisi twitter ini. Pada tanggal 22 Agustus 2012 Jokpin menulis: “Apa yang saya tulis mungkin bukan puisi, melainkan kekasih puisi”. Ada semacam kesadaran, barangkali orang boleh mengatakan atau menganggap twitter ini memang bukan puisi, melainkan lebih dalam yakni ruang untuk mengendap, menepi dan menghidupkan imajinasi sebagaimana yang ditulis Jokpin di sampul akhir buku puisinya.

Di usianya yang sudah melebihi setengah abad, Jokpin masih saja memainkan usia ke dalam sajaknya. Kata-kata humoris, menggemaskan dan hadir seperti kejutan, kejutan itulah yang ingin disampaikan dalam puisi twitter ini. Sejak aku dipanggil Om dan kemudian Pak, kepalaku mulai beruban(hal.74). Jokpin memang sudah beruban, tapi ia tak mau kalah dengan ubannya, seolah ia mau melawan uban yang ada di kepalanya dengan humor dan kejutan dalam puisinya. Ada kerja yang tak mau kalah dengan usia, puisi seolah ingin mencegah tua. Simak puisinya berikut ini: Entah kenapa saya selalu gagal menjadi tua. Saya ingin pikun dan pelupa agar lebih merdeka. Tapi puisi mencegah saya (hal.100)

Meski sudah mendapatkan penghargaan bersama Tahi lalat (2012) sebagai Karya Sastra Terbaik 2012 pilihan Tempo, mendapatkan KLA dengan puisi Kekasihku (2004), dan penghargaan sebelumnya Sih Award untuk sajaknya Celana 1, Celana 2, Celana 3, Jokpin tak ingin besar diri tapi tetap rendah hati. Ia ingin terus mencipta dan terus menerus berpuisi, atau bahkan ia ingin menjadi puisi yang tak dikenali siapa penulisnya. Ia menuliskan dengan kalimat sederhana dalam buku ini: “Selamanya saya penyair amatir. Gaji saya bahkan tak cukup untuk membiayai kesibukan melamun saya“(hal.61).

Di puisi-puisi pendek, singkat dan sederhana inilah, Jokpin bertapa brata. Joko pinurbo tak ingin dicap sebagai penyair yang produktif atau penyair yang tiap tahun bisa menerbitkan berbagai kumpulan buku puisi. Joko pinurbo dalam setahun bisa jadi hanya menghasilkan 11 puisi saja. Tapi kesebelas puisi itulah yang hadir bersama tubuh dan dirinya. Di sela-sela kesibukannya, Joko Pinurbo melakukan pertapaannya. Ia menggunakan waktu untuk mengendap, menepi, untuk menghidupkan imajinasi. Imajinasi-imajinasi itulah yang bisa kita nikmati dalam puisi pendeknya dalam buku ini. Kita akan menemukan kejutan, renungan dan hikmah melalui imajinasi dalam puisi ini. Akhirnya saya ucapkan pula “Selamat menunaikan ibadah puisi“ sebelum membaca buku ini.

kumpulan-puisi-joko-pinurboJudul: Haduh, Aku di Follow
Penulis: Joko Pinurbo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta
Cetak: 2013
Tebal: vi +122 halaman
ISBN: 978-979-91-0529-5

*)Penulis adalah pegiat di bilik literasi Solo, Buku puisinya “Hujan di Tepian Tubuh – (2012)”

Menggapai Kebahagiaan Bersama Ki Ageng Suryo Mentaram

Resensi Arif Saifudin Yudistira*)

Spiritualitas jawaKi Ageng Suryo Mentaram adalah sosok pemikir orisinil negeri ini. Sebagaimana dalam kosmologi jawa, Ki Ageng Suryo Mentaram melakoni “laku”. Laku yang dilakukan dengan meninggalkan segala yang duniawi, kekayaan, harta dan kekuasaan. Semua itu ditinggalkan untuk melakukan pencarian hidup yang sejati. Atau dalam istilah orang jawa sering dikatakan “sejatinya hidup itu apa?”

Ki Ageng tampak juga melakoni hidup ala falsafah budha. Ia meninggalkan hal yang bersifat materi untuk memuaskan hasrat rohaniah. Hasrat rohaniah ini ia jalani bersama kawula alit, di sanalah ia merasakan hidup dan kehidupan yang sebenarnya hingga berkesimpulan “Aku bukan aku” yang artinya bahwa kehidupan kita tak lain adalah bagian dari kehidupan orang lain. Adanya rasa kasih sayang dan tidak mementingkan diri sendiri. Marcel Bonnef menyebut langkah Ki Ageng Suryo Mentaram mirip Siddharta, untuk menyibak penderitaan manusia, kemudian mengawali pencarian yang berakhir pada “pencerahan”

Falsafah hidup

Pelajaran penting dari falsafah hidup Ki Ageng Suryo Mentaram penting untuk menghadapi dunia yang semakin materialistis dan bersifat rasionalitas mekanik. Ia menganggap hidup itu seperti layaknya takdir yang mesti dijalani. Bila seseorang sudah menganggap hidup itu adalah bagian dari takdir, maka seseorang akan menerima dengan iklas bahagia, sengsara, kaya ataupun miskin, atau juga warna-warni kehidupan. Ia mengajarkan “tidak ada sesuatupun di atas bumi dan di kolong langit yang pantas untuk dikehendaki dan dicari, atau sebaliknya ditolak secara berlebihan”. Artinya dalam kehidupan ini sifat “narima ing pandum” menerima bahagian hidup kita dengan iklas (hal. 15).

Di dalam buku ini, kita akan menemukan bagaimana sebenarnya Ki Ageng Suryo Mentaram penting diangkat kembali dalam khasanah pemikiran filsafat kita. Pemikirannya tentang falsafah hidup kebahagiaan perlu kita jadikan pelajaran penting. Ia mengajarkan pada kita tentang makna mawas diri. Hal ini mirip dengan yang dilakukan oleh syair yang diciptakan Paku Buwono IV: “benar atau salah keburukan atau kebenaran, juga kebahagiaan /atau kemalangan penyebabnya ditemukan/ dalam tiap-tiap diri kita/ dan bukan dalam diri orang lain/ maka dari itu kita mesti berhati-hati (pupuh VII,durma 3).

Pelajaran atau ilmu Ki Ageng sering disebut dengan istilah kawruh jiwa. Ki Ageng menjelaskan yang dimaksud kawruh jiwa itu tak lain adalah “pengetahuan tentang rasa”. kawruh jiwa bukan agama, yang mengajarkan baik dan buruk sebagai petunjuk harus berbuat begini dan begitu, bukan pula kewajiban atau larangan. Kawruh jiwa hanyalah pengetahuan, yang mencoba memahami jiwa dan hal-hal yang terkait tentang itu, sebagaimana pengetahuan tentang hewan dan pengetahuan tentang tanaman dan sebagainya (hal.57). Intinya pelajaran tentang kawruh jiwa adalah pengetahuan tentang bagaimana memahami “rasa” atau “jiwa” manusia. Di dalam kawruh jiwa itulah, kita akan menemukan falsafah hidup yang membawa manusia kepada kebahagiaan sejati, atau sejatinya kebahagiaan. Sebab dalam pandangan kawruh jiwa, hidup itu tak lain dari sementara atau kehidupan yang ibarat hanya mampir ngombe.

Ilmu bahagia

Bagaimana ilmu bahagia yang diajarkan Ki Ageng Suryo Mentaram? Hidup itu mesti dijalani dengan enam “sa”.  Sabutuhe (sebutuhnya), saperlune (seperlunya), sacukupe (secukupnya), sabenere (sebenarnya), samesthine (semestinya) dan sakpenak’e (sepantasnya). Dengan menjalani kehidupan yang enam “sa” tadi, diharapkan manusia itu tidak berlebihan, dan senantiasa menyikapi bagian dari hidup ini dengan sewajarnya dan waspada. Ki Ageng juga menggambarkan ini seperti mulur-mungkret, artinya hidup ini kadang harus diterima dengan dada yang lapang, kadang kita cukup, kadang kita mengalami saat kurang.

Dengan seperti itulah maka Ki Ageng tak merasa kekurangan, merasa dicukupkan dalam hidup meski ia bersama rakyat jelata dan meninggalkan istana dan segenap kemewahannya. Penggambaran Ki Ageng Suryo Mentaram ini ada dalam puisi Saini Kosim sebagaimana ditulis ulang oleh Bandung Mawardi. “Kutinggalkan gelar dan istana untuk menjadi penggali sumur. Kulepas dunia bayang-bayang dan kuraih wujud” (hal.135). Karena tindakan ini Ki Ageng mendapatkan cacian dari keraton dan atas kemauan kuatnya itu pula ia menemukan kebahagiaan sejati. Bahwa kebahagiaan menurut Ki Ageng yakni tidak mementingkan diri sendiri, dan selalu memperhatikan “rasa” dan perasaan orang lain.

Dari pengelanaan pemikirannya Ki Ageng menemukan konklusi: bila orang sudah memiliki “rasa” aku mengawasi keinginan, aku senang, aku bahagia. Maka dalam mengawasi keinginannya sendiri dan perjalanan hidupnya sendiri ia merasa itu bukan aku. Begitu juga dengan menanggapi dunia seisinya dan semua kejadian-kejadian orang pun akan merasa “itu bukan-aku”. Demikianlah rasa aku itu bahagia dan abadi. (hal.143).

Esai-esai dalam buku ini tak lain adalah untuk mengangkat kembali khasanah pemikiran Ki Ageng Suryo Mentaram tentang bagaimana menggapai kebahagiaan sejati. Pemikiran Ki Ageng dihadirkan kembali di abad 21 dengan pamrih orang atau manusia modern akan menilik ulang bagaimana kehidupan ini menjadi semakin rusak atau bahagia karena tak memahami “rasa” sebagaimana yang dituturkan oleh Ki Ageng Suryo Mentaram. Dengan membaca buku ini, kita menjadi semakin mengerti bahwa hidup itu mesti tak dijalani dengan puja uang, puja kekuasaan dan puja kemahsyuran. Sebab bila kita menilik pemikiran Ki Ageng, semua itu berarti belum menemukan “aku” yang sejati. Aku yang sejati bahagia dan abadi, tidak lain adalah aku yang menyadari bahwa semua yang ada dalam kehidupan ini tak lain adalah bukan dari “ aku” itu sendiri. Selamat menyelami pemikiran Ki Ageng yang tersaji dalam buku ini.

Spiritualitas jawaJudul Buku: Matahari Dari Mataram
Penulis: Afthonul Aif, dkk
Penerbit: KEPIK
Tahun: Oktober 2012
ISBN: 9 786 029 960 877

*) Penulis adalah Pegiat Bilik Literasi Solo, Pengelola kawah institute Indonesia

Menelanjangi Kata

Resensi Riza Fitroh Kurniasih*)

Seni memungkinkan kita untuk masuk dalam jagat rasa atas keindahan.
(Wiji Thukul)

penerbit jagad abjadBagi seorang pembaca awan, keindahan puisi adalah ketika ia langsung mengerti akan makna yang terkandung di dalamnya. Puisi menjadi sebuah karya yang tidak asing lagi dan mudah untuk kita jumpai. Namun, puisi kadang hanya berhenti sampai di lidah saja, manakala puisi ini menjelma menjadi kejenuhan. Akan tetapi lain bagi mereka yang memiliki jiwa seni, mereka akan memelototi puisi itu hingga menemukan arti dan makna yang sesungguhnya yang terkendung di dalamnya. Baginya satu puisi yang belum ia temukan maknanya sama saja menciptakan misteri dalam diri, yang pada akhirnya nanti hanya menjadi bayang-bayang ketidak pastian.

            Budiawan Dwi Santoso menyapa para penikmat puisinya dengan bait-bait puisi yang pendek dan penuh teka-teki itu. Tidak mengherankan ketika buku ini berjudul “Sekejap buku kumpulan puisi”, di dalamnya kita akan menemukan kumpulan-kumpulan puisi yang hanya dengan beberapa baris saja. Namun, kita akan duduk begitu lama dan terpana untuk menemukan makna yang terkandung dalam sekejap puisi itu. Disinilah letak keunikan dari puisi-puisinya tersebut, potongan-potongan kata yang simpel namun maknanya tak sesimpel potongan-potongan kata itu.

            Pria kelahiran Sukoharjo 04 Jannuari 1986 ini menyajikan puisi layaknya sebuah hidangan istimewa. Hidangan istimewa di sini karna puisi-puisinya disajikan dengan tema-tema yang sebenarnya sudah melekat pada diri kita namun kita tak pernah menyadarinya. Ia (si penulis) mengubahnya penampilan dari tema-tema tersebut sehingga layak untuk dinikmati. Tema-tema rumah, catatan, percakapan, jarum jam, dan jeda adalah sesuatu yang sudah melekat dalam keseharian kita, mereka begitu dekat dengan kita namun kita tak pernah menyadarinya.

            Kehidupan manusia kian modern dan kita kian meninggalkan kata, kita tak pernah membedahnya, kita tak pernah menelanjanginya, kita bahkan acuh tak acuh terhadap kata-kata yang berlalu-lalang di hadapan kita. Teknologi kian canggih, dan kata-kata kian beterbangan di antara tangan dan mata satu orang ke orang yang lain. Namun, kata-kata itu serasa hambar, datang kemudian pergi. Tak ada yang salah dengan teknologi, namun misteri yang ada di dalamnyalah yang kadang tak kita pahami. Pria yang aktif sebagai Santri Pengajian Malam Senin Bilik Literasi ini mencoba mendobrak itu semua, ia menghadirkan kehidupan-kehidupan yang sarat akan nilai-nilai estetis dan etika. Kita akan jumpai realitas ini dalam puisinya yang berjudul Catatan Senja, 5.

Catatan Senja, 5

Di batas memerah,

seorang lelaki tua mendapati dirinya

tergeletak dalam selembar promosi

Masa kecilnya terangkum

Dalam sekaleng minuman

Murah.

Keindahan Memori

          Manusia memiliki kemampuan untuk mengingat setiap peristiwa-peristiwa yang dilaluinya, seperti yang diungkapkan oleh Professor Hobby bahwasannya anugerah terbesar manusia-kemampuan untuk mengejar mimpi-mimpi kita. Pengarang lewat kumpulan puisi ini menyimpan dan mengabadikan setiap kenangannya dengan hari-hari yang ia lalui, tersimpan di dalamnya cita-cita, misteri, kesedihan, kengerian, keindahan, bahkan cinta.

            Baginya (si penulis), setiap detik adalah kenangan yang begitu sayang untuk dilewatkan dan dilupakan begitu saja. Bahkan kesedihan dan kerinduannya pada kekasihnya menjadikan ia bermain dengan kata-kata ini hingga tercipta sebait puisi. Ia mampu mengabadikan perasaannya dan memepersembahkannya untuk sang kekasih. Pada awalnya kita tidak akan merasakan bahwa itu sebuah puisi biasa, namun setelah kita menghayati kata demi kata, kita akan menemukan makna yang sebenarnya terkandung di dalamnya.

 

Catatan Malam, 2

Aku rindu sajak yang terbit

Menyinari diriku,

menghangatkan tubuhku

aku rindu sajak yang terbit

membangunkan hidupku

menggerakkan jiwaku

aku rindu sajak yang terbit,

mempertemukan kumbang dan kembang

menumbuhkan-kembangkan hutan perlambangan

 

            Puisi ini menggambarkan bagaimana seseorang sangat ingin bertemu dengan orang yang dirindukannya. Merindukan sapa yang mampu membuatnya bangkit dan kembali berjalan menggapai citanya. Menggambarkan keinginan yang mendalam akan sebuah pertemuan dua insan hingga tak kan terpisahkan lagi. Ia (seseorang dalam puisi) ingin menciptakan tanda akan keberadaannya dengan sang kekasih.

            “Penyair haruslah berjiwa ‘bebas dan aktif’. Bebas dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya” (Wiji Thukul). Begitulah gambaran ideal seorang penyair, bagaimana ia seharusnya memiliki pikiran yang bebas dan juga aktif, tanpa adanya keperpihakan terhadap pemegang kepentingan. Begitu juga dengan puisi-puisi yang terdapat di dalam buku ini, puisi-puisi di dalam buku ini patut kita bedah dan kita telanjangi makna yang ada di dalamnya, hingga kita tak akan menemui keperpihakan terhadap pemegang kepentingan.

            Catatan Malam, 7, seakan-akan menyapa kita tentang bagaimana masa kecil kita yang penuh tawa kini hilang tak berjejak, atau bahkan masa kecil mereka yang terenggut, hingga kita tak mampu untuk mengingat kenangan masa kecil kita lewat masa kecil anak-anak zaman kini. Sebuah sajak gelap, menceritakan tentang kita: masa kecil menertawakan lupa-Kita. Puisi ini menggambarkan bagaimana kenangan-kenangan yang sempat terjadi pada masa lalu yang menceritakan tentang ia dan alam serta apa yang ia alami, kini hanya menjadi bahan ejekan diri sendiri. Betapa mirisnya keindahan kenangan tak pernah dikenang, bahkan sesuatu yang indah hanya dianggap sebagai sesuatu yang lalu tanpa arti, kematian, kelahiran, tawa lepas, itu semua bagi mereka di masa sebagai bukti eksistensi. Namun, sekarang orang sudah terlalu percaya diri dan merasa bahwa tak ada yang lebih hebat dari dirinya, fakta inilah yang menjadikan manusia kian terpuruk dengan egoisme diri.

            “Sekejap buku kumpulan puisi” ini menjadi buku yang patut untuk kita dalami akan arti yang terkandung di dalamnya, bagaimana seharusnya kita bermesraan dengan kata-kata dan bagaimana seharusnya kita menyikapi kata-kata yang begitu singkat namun penuh akan makna. Kumpulan puisi ini menjadi kumpulan puisi yang sekejap, namun kita tak akan pernah kehabisan kata dan akal untuk menelanjangi kata-kata yang terdapat dalam puisi tersebut.

Judul buku: Sekejap: Buku Kumpulan Puisi
Penulis: Budiawan Dwi Santoso
Penerbit: Jagat Abjad
Harga: Rp. 15.000
Tahun: 2013
Tebal: 98 halaman
ISBN: 978-979-1032-92-6

*) Peresensi adalah Mahasiswa FKIP Biologi Semester 6 Universitas Muhammadiyah Surakarta, aktif sebagai asisten laboratorium.

Hannah Arendt dan Politik Alternatif

Resensi Arif Saifudin Yudistira

Arendt1

Fenomena politik yang ada di negeri ini dipandang oleh hampir semua orang yang memiliki kegelisahan akan situasi negerinya sebagai politik yang tak sehat, bahkan rizal ramli menyebut “politik kita adalah politik yang banal”. Sebutan ini hampir sama dengan apa yang dikatakan oleh arendt yang menyebut “banalitas kejahatan”. Kejahatan korupsi layak untuk disebut banal, bukan hanya karena efek yang ditimbulkan, melainkan penyakit .mentalitas inilah yang membuat Indonesia hancur lebur dengan sendirinya.

Bagaimana bisa negeri yang dikaruniai kekayaan sumber daya alam, tetapi dirampok oleh politik kartel yang didukung oleh dinasti politik untuk merampok kekayaan alam ini demi kemakmuran golongan, keluarga dan kelompoknya. Kita mengilhami bahwa politik saat ini jauh dari misi suci politik yang sebenarnya. Berbeda dengan para politikus saat ini syahrir menilai politik adalah “jalan sekaligus alat untuk memenangkan perjuangan”. Akan tetapi politik saat ini lebih condong pada sesuatu yang beringas, tak pandang kawan dan lawan alias abu-abu, hingga menjadikan “kuasa” sebagai tujuan. Maka tak heran, di akhir kepemimpinannya di PSI, syahrir lebih memilih partainya sebagai perkaderan terhadap rakyat, sehingga mereka yang dari luar lebih mengejek syahrir partai yang hanya makan “gagasan” tanpa menggrubis kekuasaan. Oleh karena itulah, partai sosialis Indonesia pun mengalami nasib tak mengenakkan dibubarkan soekarno.(Anwar,Rosihan :2012)

Untuk itulah, buku “politik otentik” ini dihadirkan oleh sang penulis. Agus sudibyo yang semula hobi akhirnya mencintai filsafat membedah arendt untuk situasi politik masa kini. Menurutnya, kajian arendt masih relevan untuk membongkar bagaimana situasi politik negeri ini dibaca dan ditafsirkan. Agus membedah arendt dalam konteks bagaimana kebebasan dan pemikiran manusia itu ditempatkan. Dalam buku politik otentik ini, kita bisa menelisik pemikiran arendt tentang mentalitas, manusia tindakan, hingga factor-faktor yang menyebabkan politik itu tak lagi otentik.

Vita activa

            Arendt mendefinisikan bahwa politik itu tak sekadar vita contempativa, sebagaimana yang diuraikan oleh plato dan para filsuf lainnya. Arendt mengartikan politik sebagai suatu tindakan. Tindakan disini diartikan sebagai aktifitas yang melebihi dari kegiatan kontemplatif semata. Ia memiliki konsekuensi selanjutnya yakni berbuat. Arendt mengartikan politik itu vita activa yakni kerja,karya, dan tindakan. Arendt mengartikan politik ini sebagai politik yang strategis, dengan menyuarakan wicara dan dialog. Menurut arendt manusia itu memiliki sifat plural, sehingga dari kepluralan itulah maka akan ditemukan satu alternative gagasan yang bermacam-macam untuk satu tindakan politis.

Dalam human condition arendt memiliki pandangan bahwa distingsi ruang di dunia ini ada ruang privat dan ruang public. Arendt menilai, selama ini manusia lebih cenderung mengejar ruang public sebagai sarana mencapai ruang privat. Sehingga, tujuan dari tindakan politik tak lain adalah mengembalikan fungsi ruang public itu agar kembali sebagaimana seharusnya tetap plural dan mengembalikan naturalisme manusia. Sehingga politik itu bisa dimaknai dengan nilai-nilai kerjasama,saling memahami, dan tanpa dominasi satu dengan yang lain. Akan tetapi agus sudibyo dalam bukunya ini juga menegaskan satu sintesa dari pemikiran arendt, bahwa ide arendt itu dipandang terlalu utopis, karena setiap manusia memiliki hasrat politik yang tinggi dengan meletakkan dominasi sebagai cara untuk memenangkan politik.

Alternative

Tujuan dari buku ini tak lain adalah menguaraikan kembali relevansi pemikiran politik Hannah arendt, bahwa politik itu mesti dikembalikan pada hakikat politik yakni politik otentik. Politik otentik dimaknai sebagai satu tindakan kebebasan manusia, yang mempertimbangkan penilaian dan pemikiran untuk satu tujuan yakni meletakkan kembali manusia sebagai makhluk yang mampu berfikir diluar batas-batas dan berdasarkan kata hati(hal.177). Untuk itulah, arendt menyarankan manusia yang bertindak dengan politik otentik, tak mungkin meninggalkan dua aktifitas yakni berfikir, dan melakukan penilaian sebelum melakukan tindakan politik.

Selain itu, manusia politik yang diuraikan dalam buku “politik otentik” mesti memerhatikan bagaimana kebersamaan dan keragaman itu bisa berjalan beriringan dan demi mencapai satu tujuan bersama. Maka sudah tentu manusia politik menurut Hannah arendt menghilangkan nilai-nilai dominasi, individualism hingga pengejaran akan kekuasaan semata. Buku ini memberikan satu pemahaman jernih tentang bagaimana arendt memandang, sebab dari timbulnya kejahatan atau korupsi selama ini tak lain dari hilangnya (absennya) pikiran dari manusia itu sendiri.

Maka kita pun melihat, bagaimana para politisi sering tebar pesona dan tersenyum riang ketika mereka tertangkap oleh kamera televise, diwawancarai, dan dipenjara. Tak ada penyesalan, raut muka sedih pun tak muncul, itu semua disebabkan dari absennya pikiran tadi. Bukan karena mereka bodoh dan mereka tak mengerti, melainkan hilangnya pikiran kemanusiaannya. Begitu juga ketika kita melihat kasus yang baru-baru terjadi, seorang siswa yang telah menewaskan saudaranya dalam tragedy tawuran beberapa waktu lalu dijakarta pun tak jauh beda. Ia pun mengatakan dengan leganya “saya puas”. Pernyataan itu adalah wujud bagaimana politik berubah menjadi “ekspansi ruang privat”. Ruang public jadi hilang, tapi dominasi ruang-ruang privat itulah yang lebih muncul melalui media dan alat-kuasa politik.

Agus sudibyo menyajikan bagaimana arendt menyajikan “politik alternative” yang memungkinkan manusia itu menyusun kembali hakikatnya. Yakni sebagai makhluk yang plural, penuh keberagaman, dan menyatu dalam satu tujuan bersama tanpa menonjolkan kepentingan privat. Barangkali buku ini lebih terdengar sebagai seruan fantastis sebagaimana ungkapan Dr. B.Herry-Priyono. Akan tetapi usaha agus setidaknya adalah satu alternative di tengah kebuntuan politik yang selama ini kaku, penuh abu-abu, dan banal. Buku ini setidaknya adalah jawaban bahwa masih ada alternative, untuk mewujudkan politik yang otentik yang penuh kelenturan, yang penuh kebersamaan, tapi juga menyatukan tujuan dan hakikat politik itu sendiri yakni mengembalikan manusia sebagai manusia sebagaimana yang tertulis dalam max havelar. Begitu.

Politik OtentikJudul: Poletik Otentik,Manusia dan Kebebasan Dalam pemikiran Hannah Arendt
Penulis: Agus Sudibyo
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun: 2012
Tebal: 240  halaman
ISBN: 978  979 1260 145
Harga: Rp.50.000,00

Arif Saifudin Yudistira adalah Presidium kawah institute Indonesia, santri di bilik literasi solo

Metamorfosis Gadis Desa: dari Pembantu Rumah Tangga ke Penari Telanjang

Resensi Thomas Utomo

novel nh diniNamaku Hiroko selesai ditulis Nh. Dini tahun 1974. Tiga tahun kemudian atau tepatnya tahun 1977, PT Dunia Pustaka Jaya yang kala itu digawangi sastrawan Ajip Rosidi menerbitkannya dalam bentuk novel. Sempat cetak ulang sebanyak dua kali, sebelum akhirnya hak penerbitan Namaku Hiroko berpindah ke Gramedia Pustaka Utama (GPU) pada 1986. Di tangan GPU, Namaku Hiroko—sampai saat ini baru mengalami cetak ulang sebanyak sembilan kali. Untuk sementara, cetakan terakhir keluar pada Mei 2009. Apa sesungguhnya keunggulan dari novel bertokoh utama Hiroko ini, sampai-sampai mengalami cetak ulang berkali-kali, bahkan menjadi banyak kajian skripsi, tesis, dan disertasi, baik mahasiswa lokal maupun manca?

Secara sinoptik, novel ber-setting Jepang—dan sebagian kecil Indonesia—usai Perang Dunia II ini, memaparkan alur kehidupan Hiroko Ueno, seorang gadis udik yang merantau bekerja ke kota sebagai pembantu rumah tangga; guna memutus rantai kemiskinan yang membelit dia dan keluarganya sekian generasi. Mula-mula, Hiroko bekerja pada sepasang suami-istri berusia lanjut. Pertengkaran majikan suami-istri yang terus-menerus terjadi, nyaris setiap hari dan kematian neneknya, membuat Hiroko pindah bekerja pada sepasang suami-istri muda yang baru dikaruniai bayi merah.

Di rumah majikan yang baru, Hiroko mengenal Sanao, adik lelaki nyonya rumah yang menurut Hiroko, memiliki daya tarik demikian kuat, sehingga dia tidak berdaya mengabaikannya. Sanao adalah golongan pemuda cendekia yang datang menginap di rumah kakaknya guna mengikuti ujian yang diadakan oleh salah satu pabrik terbesar di daerah Kansai. Pemuda inilah yang kemudian mengenalkan Hiroko pada dunia dewasa: pergaulan intim antara lelaki-perempuan. Hal ini terjadi saat majikan Hiroko pergi pesta di pinggir kota.

“…… betapa hati perawanku melonjak kegirangan ketika tangannya (Sanao—pen) meraba leher dan tengkukku, kemudian turun membelai dadaku. Tangan dengan pergelangan pipih, dengan jemari kuat namun halus, bergerak dengan kemauan pasti serta keahlian tersendiri. Aku diam tak bergerak. Terayun antara mimpi dan kesadaran. Kenikmatan baru mulai kukecap, perlahan, seperti menghemat sesuatu yang lezat. Akhirnya aku terbaring setengah memejamkan mata. Napasnya dekat menghangati mukaku. Dengan pasrah, kubiarkan ketegapan laki-laki membuka jalan ke dunia dewasa yang berisi teka-teki, tetapi sekaligus penuh janji gairah bagiku…(hal. 48)”.

Sejak pengalaman bersama Sanao, yang kemudian berulang, pikiran Hiroko jadi lebih terbuka dalam memandang sekeliling. Selain wawasan yang lebih terasah berkat buku-buku yang dipinjamkan Sanao, Hiroko juga jadi percaya diri dalam menanggapi bentuk mukanya yang bulat gemuk, dengan rambut yang tegang kaku, kusut, kurang terurus, juga pergelangan tangannya yang menggembung dan betis yang membengkok. Menurut Hiroko, bentuk tubuhnya tersebut tidaklah menarik dan karenanya dia dijangkiti rasa rendah diri. Namun Sanao yang beraut muka tampan dan berperawakan gagah penuh kejantanan, berkenan menggaulinya secara intim. Hal ini membuat Hiroko penasaran dan bertanya-tanya: gerangan apa yang menyebabkan Sanao tertarik pada dirinya? Jawaban atas pertanyaan itu baru terkuak pada malam terakhir Sanao menginap di rumah kakaknya. Rupanya, Sanao terpikat pada sepasang dada Hiroko yang ranum menggiurkan, juga karena pinggul Hiroko yang berisi, amat menggairahkan.

Pengakuan Sanao tersebut, membuat Hiroko berpikir, “Dua kekayaan yang sewaktu masa sekolah kuanggap sebagai beban, karena membedakan diriku dari kawan-kawanku, kini malah kupandang sebagai kebanggaan. Benarlah seperti yang pernah kubaca dari salah satu majalah, bahwa datangnya seorang lelaki dapat merubah anggapan seorang perempuan terhadap dirinya sendiri,” (hal. 53).

Kepergian Sanao ditambah kerewelan tuan rumah yang memaksa Hiroko melayani kebutuhan seksualnya selama delapan hari berturut-turut tanpa tambahan uang saku atau gaji ekstra, membuat Hiroko tidak kerasan bekerja di rumah pasangan muda tersebut. Setelah mencari dan bertanya ke sana-kemari, akhirnya Hiroko mendapat pekerjaan yang cukup sesuai dengan keinginannya, yakni menjadi pelayan toko. Rupa-rupanya, selain dipasrahi tugas menjadi penolong sekaligus penunjuk jalan bagi pembeli yang membutuhkan, Hiroko juga diberi tanggung jawab untuk menjadi peragawati toko guna memamerkan gaun, pakaian, atau baju yang sedang dipasarkan sesuai musim.

Bersamaan dengan itu, Hiroko berkenalan dengan Yukio Kishihara, lelaki setengah tua berpunggung miring dengan deretan gigi cokelat oleh rokok. Meskipun penampilan Yukio secara jasmaniah jauh dari kata menarik, Hiroko tetap mau berhubungan bahkan pergi keluar bersama lelaki itu. Alasannya satu: lelaki setengah tua yang mengepalai pabrik besar itu, memiliki dompet yang tebal. Sampai suatu malam, Hiroko sukarela menyerahkan tubuhnya ke pelukan Yukio, usai keduanya menonton pertunjukkan striptease. Sejak malam itu, Hiroko menjadi perempuan simpanan Yukio, dengan bayaran uang saku yang menggiurkan.

Sambil menjalin hubungan dengan Yukio, Hiroko terus memutar otak, mencari pekerjaan tambahan yang mampu memberinya gaji lumayan yang bisa mempertebal tabungannya, sehingga dia bisa memutuskan hubungan dengan Yukio. Karena semakin lama, Hiroko semakin muak dengan kelakuan dan penampilan Yukio, kecuali isi dompetnya, tentu saja.

Tanpa repot mencari, suatu malam, Hiroko mendapat pekerjaan bergaji lumayan, yaitu menjadi penari telanjang di sebuah bar. Pada saat yang sama, Hiroko berkenalan dengan Suprapto, mahasiswa asal Indonesia beraut muka tampan berkantong lumayan. Kesempatan itu dimanfaatkan Hiroko guna mencampakkan Yukio dan beralih ke Suprapto.

Baik Hiroko maupun Suprapto merumuskan bahwa, “Seorang penari telanjang seperti penari-penari lain. Pikiran penonton—itulah yang baik atau buruk” (hal. 164).

Hiroko akhirnya memutuskan hubungan dengan Suprapto, setelah tubuh pemuda itu menggendut dan gerakannya berubah lamban. Hiroko beralih ke pelukan Yoshida, suami sahabat karibnya; Natsuko. Meski sempat berselingkuh dengan Sanao; adik mantan majikannya yang dulu, hubungan Hiroko dengan Yoshida dapat berlangsung langgeng sampai memiliki dua anak. Yoshida bahkan membelikan Hiroko rumah, bar, dan toko.

“Ya. Aku puas dengan kehidupanku. Hidup di tengah kota yang beragam. Dan aku tidak menyesali pengalaman-pengalamanku,” papar Hiroko mengakhiri novel ini (hal. 242).

Secara substansial, tokoh Hiroko merupakan gambaran metamorfosis seorang gadis desa yang udik lagi naif menjadi perempuan hedonis yang bergerak maju mengejar hawa nafsunya akan uang dengan memasabodohkan segala pertimbangan moral atau kesopanan, seperti percakapan antara Hiroko dengan Yoshida,

“Apa yang paling Anda sukai di dunia ini?”

“Apa yang paling saya sukai?” Kami tetap berpandangan. “Uang!” (hal. 208).

Atau tercermin dalam pernyataannya berikut: “Masa bodoh semua hukum, baik teman, sahabat ataupun moral yang dibenarkan kebanyakan orang.” (hal. 214).

Hiroko yang semula pemalu dan lugu berubah menjadi perempuan yang penuh percaya diri, bebas, ambisius, pragmatis, materialistis, dan pemuja kenikmatan hidup (hedonis). Dia bahkan tidak ragu-ragu bergaul intim secara bebas dengan bermacam lelaki: menyerahkan keperawanannya kepada Sanao, adik lelaki majikannya, menjadi eksperimen seksual majikannya, menjadi perempuan simpanan Yukio Kishihara, kumpul kebo dengan Suprapto, menjadi perempuan idaman lain atau PIL Yoshida, suami sahabatnya, “berselingkuh” dengan Sanao, dan juga bercintaan dengan lebih banyak lelaki saat bekerja sebagai penari telanjang. Kecuali dengan Sanao, semua pergaulan intim Hiroko terjadi disebabkan karena faktor kebendaan (uang) semata. Dan ketika pergaulan intimnya dengan Suprapto mengakibatkan kehamilan, dengan enteng Hiroko menggugurkannya (hal. 71-72).

Selain bebas bergaul intim dengan beragam lelaki, Hiroko juga memiliki keleluasaan penuh dalam memilih pekerjaan. Hal ini dapat ditelusuri dari perantauannya ke kota yang mula-mula bekerja sebagai pembantu rumah tangga sebanyak dua kali, kemudian menjadi pelayan toko yang disambung menjadi peragawati, disusul menjadi penari telanjang sekaligus hostes, dan selanjutnya menjadi pemilik toko dan bar setelah menjadi PIL Yoshida. Semua pekerjaan itu dilakoni Hiroko dengan sepenuh kesungguhan dan totalitas, karena seperti pengakuannya sendiri bahwa dia adalah jenis orang yang menghirup kehidupan tanpa setengah-setengah (hal. 240).

Sesungguhnya, apabila mau, Hiroko akan mampu hidup “normal” seperti kebanyakan perempuan beradat Timur, ialah bekerja dan berumah tangga secara “wajar” tanpa menonjolkan daya pikat tubuh. Namun, Hiroko justru memilih keluar atau menyimpang dari ragam jenis kehidupan dan pekerjaan yang dikatakan “lazim di masyarakat” semata karena uang. Selain mementingkan uang, Hiroko juga amat mementingkan penampilan jasmaniah, baik diri sendiri maupun orang lain—termasuk lelaki yang hendak mengajaknya bercintaan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan sifat dan sikap Hiroko terjadi setelah dia bermukim di kota. Nilai-nilai pedesaan yang lebih mementingkan kebersamaan, sopan santun, dan toleransi perlahan-lahan Hiroko tanggalkan dan diganti dengan nilai-nilai kehidupan kota yang kerap dikatakan “modern” namun sesungguhnya produk kapitalis. Dan pada akhirnya, Hiroko berubah menjadi perempuan yang egois.

Seperti umumnya karya-karya Nh. Dini, novel ini pun sesungguhnya bermuatan gugatan terhadap dominasi kaum lelaki. Melalui tokoh Hiroko, Nh. Dini hendak menunjukkan bahwa perempuan pun mampu ber-ulah krida layaknya lelaki yang tidak mengindahkan pertimbangan moral atau hukum sopan santun masyarakat. Meskipun kelakuan Hiroko cukup membuat “ngilu” pembaca, namun barangkali hal itulah yang menyebabkan novel ini laris di pasaran dan lebih dari layak baca semata demi meluaskan wawasan. Tentu saja, daya kritis dan filter yang kuat tetap harus menjadi pegangan yang utama saat melalap novel berilustrasi sampul gadis bertelanjang dada ini.

Ledug, 1 Januari 2013

Ilustrasi Sampul Namaku HirokoJudul            :     Namaku Hiroko
Pengarang    :     Nh. Dini
Penerbit       :     Gramedia Pustaka Utama
Cetakan        :     Kesembilan, Mei 2009
Tebal            :     248 halaman
ISBN            :     978-979-655-587-1
Harga           :     Rp 45.000,00
 
 
Thomas Utomo bekerja di SD Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Telepon/SMS 02815730489. E-mail totokutomo@ymail.com

Hujan

Resensi Riza Fitroh Kurniasih*)

 

“Kalau pun saya masih menulis puisi, karena puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan orang kecil (Wiji Thukul)”

Tinta
 
Kisah yang tak pernah mati
Dalam beribu kertas bertuliskan kisahnya
Sepatu pun tak ubahnya jadi dinding-dinding yang bersuarakan keras
Batu-batu hinggap di petilasan para kaum hartawan
Angin pun menempel dalam berbagai kisah yang tak diinginkan
Kini, ia merubah semua jadi nyata
Bahkan nanti, ia merubahnya jadi tiada –

 
kumpulan puisi arif syaifudinSebait puisi sebagai awalan untuk kita mengenali pengarangnya. Arif Saifudin Yudistira dalam bait puisinya ini menyapa para pembaca dengan satu baris dari bait puisinya, yaitu Kisah yang tak pernah mati. Memperkenalkan diri sebagai seorang individu yang tak mengenal kematian. Menjadikan dirinya sebagai seorang yang memiliki paham eksistensialisme. Menjadikan dirinya sebagai seorang penyair yang mampu merekam setiap peristiwa yang dilihat, hingga kematian bosan menjemput kisahnya. Hingga sampai pada saatnya, kematian menjemput kisah itu, membuatnya tiada secara ragawi, namun aromanya masih tertinggal. Arif Saifudin Yudistira sebagai penulis buku ini juga tercatat sebagai seoarang aktivis yang juga aktif menulis di berbagai media. Membuat jiwa sosialnya benar-benar diasah dan diuji keloyalitasannya.
Hujan di Tepian Tubuh layaknya deras air yang selalu membasahi tubuh. Air yang selalu memberikan kesejukan, meskipun kadang air itu menimbulkan keresahan karena derasnya air itu. Air bisa menjelma menjadi banjir yang memporak-porandakan, atau justru memberikan kehidupan di kolam-kolam yang kekeringan. Bagi AS. Yudistira bait puisinya layaknya hujan-hujan yang selalu memberikan kesegaran bagi para pembacanya, meskipun kata-katanya tajam dan menusuk. Namun, rupanya puisi-puisinyalah yang mampu membangkitkan kesadaran atas status quo yang telah lama dinikmati sebagian dari kita. Tak jarang puisi-puisi inilah yang ditakutkan akan menciptakan banjir kegelisahan bagi mereka yang telah lama beromantisme dengan kenyaman.
Kumpulan puisi Hujan di Tepian Tubuh ini menjadi kumpulan puisi yang tidak saja berkutat pada romantisme remaja, kita akan temukan di dalamnya kisah dengan Tuhan-Nya, bahkan buku ini memuat tentang dunia perpolitikan. Sebagaimana yang diungkapkan Han Gagas, penulis buku Sang Penjelajah Dunia dan Tembang Tolak Bala, ia mengungkapkan; “AS. Yudistira, besar dari jaman yang benderang namun puisinya juga menyembulkan kegelapan. Semburan orasi aroma politik, kegelisahan, sosok ibu, pertemuan, cinta, dan keperihan hidup mewarnai puisi-puisinya……
Sebuah kata “perlawanan” bagi penulis yang pernah menjabat sebagai Ketua DPM UMS ini bukanlah sesuatu yang menakutkan. Perlawanan baginya adalah sesuatu yang harus disuarakan. Aroma perlawanan ini akan kita temukan pada puisinya berjudul Titik (8) ……Aku ingin menciptakan titik, tapi bukan akhir, hanya tanda untuk mengakhiri setiap pertikaian, Untuk menutup segala kenangan kelam, dan untuk memulai zaman terang. Ia seolah ingin menegaskan bahwa titik bukanlah pertanda berakhirnya sebuah perlawanan. Titik yang pada umumnya sebagai sebuah pemberhentian, dijadikan oleh dirinya sebagai sebuah tanda jeda untuk berfikir.
Menggunakan jeda sebaik mungkin untuk berfikir membuatnya selalu menemukan hal baru. Hal baru inilah yang selalu tersimpan sebagai sebuah misteri. Seperti yang dituliskan oleh pria kelahiran 30 Juni 1988 ini dalam puisinya Dilema (5) Aku memburu misteri, misteri yang tak kunjung usai hingga hari ini, Aku mengaji, setiap detik yang kita alami, aku hilang…/Ketika mata mulai terbuka,/Kutemukan tubuhku telah bersamanya, Meski tubuhku yang lain meronta. Secara halus ia ingin mengatakan pada para pembaca bahwa misteri baginya bukanlah sesuatu yang menakutkan. Melainkan sesuatu yang penuh tantangan ketika ditelusuri, hingga tanpa sadar misteri itu terpecahkan. Walaupun fakta yang ada di dalamnya selalu menyakitkan beberapa pihak. Namun itulah cerminan titik-tik air yang selalu deras ketika hujan turun di atas payung, dingin menusuk namun menyejukkan untuk dinikmati.
Realita dan kekejian di tengah masyarakat menuntut sang penyair untuk bergerak dengan kepekaan sosialnya. Begitu juga dengan kemampuan penulis dalam merekam setiap peristiwa yang dijumpainya. Permainan kata-katanya membuat orang tergelitik untuk menguak makna di dalam puisinya. Dengan kumpulan 70 Puisi AS. Yudistira, penulis mampu mewakili dirinya sebagai seorang seniman yang peka akan kondisi di sekitarnya. Realita buruk kondisi sosial-politik di tengah masyarakat yang kemudian kita kultuskan menjadi sebuah kekejian, tak akan berarti apa-apa tanpa adanya keberanian menyuarakannya kembali di tengah masyarakat.
Dari buku ini kita bisa mengenal bagaimana sesungguhnya kita sebagai manusia, mengenal diri kita, juga mengenal lingkungan kita. Bahkan mengenal Tuhan kita tanpa harus mengesampingkan ego kita dalam mengenal Tuhan kita. Menafsirkan tiap sajian puisi yang tertuliskan dalam buku ini, hingga sampai taraf kita mengerti akan arti yang sesungguhnya. Hal ini tidak bertanda bahwa pengetahuan akan pemaknaan buah pikir yang tertuang dalam bentuk puisi harus paripurna. Namun kita bisa jadikan buku ini sebagai pemantik awal menuju pengetahuan yang lebih luas.
Hujan di Tepian Tubuh bukanlah hujan yang selalu membuat tubuh menggigil kedinginan. Namun, hujan di sini adalah kumpulan keindahan beningnya butiran-butiran air yang memberikan kesejukan bagi tubuh yang merasa. Kumpulan puisi dalam buku ini menjelma menjadi hujan dengan keindahan butir-butir sajian kata dalam bait puisi. Hujan ini menjadi fatamorgana keindahan Hujan yang sesungguhnya dalam kumpulan buku puisi ini.
 
kumpulan puisi arif syaifudinJudul buku: HUJAN DI TEPIAN TUBUH
Penulis: Arif Saifudin Yudistira
Penerbit: Greentea
Harga: Rp. 30.000
Tahun: September 2012
Tebal: xxii + 70 halaman
ISBN: 978-602-98704-0-2

 

*) Peresensi adalah Mahasiswa FKIP Biologi Semester 5 Universitas Muhammadiyah Surakarta, aktif sebagai asisten laboratorium.

Berger dan Dialektika Sosiologis

Resensi Arif Saifudin Yudistira*)

dialektika sosiologisDunia filsafat memang lebih dikenal sebagai dunia yang indah, penuh dengan kebijaksanaan dan utopis. Kata terakhir ini yang menjadikan dunia filsafat lebih cenderung dipandang sebagai dunia yang hanya bermain-main dengan pemikiran. Bagaimana dengan Berger? Peter L Berger adalah sosiolog yang setidaknya mencoba menjawab tantangan itu. Menurutnya dunia yang ada sekarang ini adalah dunia yang perlu kita curigai. Sebab realitas dalam kajian Berger tak datang dengan sendirinya. Ia mengindikasikan realitas subjektif. Untuk itu, ia perlu menjadi realitas yang bernilai ilmiah. Berger memandang ilmiah itu objektivitas, empiris, sistematis dan teoritis (hal. 4).
Buku Peter L. Berger: Sebuah Pengantar Ringkas yang ditulis Hanneman Samuel seorang pengajar mumpuni yang senantiasa bergelut di dunia sosiologi di dalam kajian kesehariannya. Ia adalah pengajar di universitas, meski demikian, ia tak mau memandang sosiologi sebagai ilmu yang selalu dan senantias terhormat. Sebab itulah buku ini ditulis. Hanneman Samuel tak hanya ingin menunjukkan bahwa Berger perlu dikabarkan, Berger perlu diceritakan pada kita semua. Ini bukan hanya karena pemikiran Peter L. Berger begitu penting dalam kajian sosiologi, tapi pemikiran Berger memberikan satu pemahaman penting bagi kita, bahwa kajiannya tentang sosiologi dan ilmu pengetahuan sangat penting.
Berger memberikan satu kata kunci penting untuk memahami dunia kita, yakni “realitas”. Berger mendedah “realitas” perlu mengalami beberapa proses yakni eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Ketiga proses inilah yang membentuk pengetahuan kita. Melalui tiga proses itulah, kita memandang “sesuatu” dari pengetahuan akan “sesuatu” tersebut sebelumnya.
Nilai Penting Berger
Hanneman Samuel menghadirkan kembali pemikiran Berger dengan motif bahwa “kajian pemikiran Berger dinilai penting karena ia mengingatkan kembali akan kesejarahan dari sebuah “realitas sosial”. Dengan melihat kesejarahan realitas sosial itulah kita bisa membaca berbagai kepentingan atau realitas yang semu yang dibentuk dan dimanipulasi. Selain itu, Berger menekankan bahwa proses internalisasi itulah yang cenderung lebih dominan dalam diri kita. Sehingga kita tidak objektif memandang sesuatu.
Pemikiran Berger bisa kita praktikkan dengan realitas sosiologis negeri kita. Misalkan ketika muncul berita terorisme di suatu daerah, media menggunakan proses internalisasi yang terus menerus dan tak berhenti. Sehingga kita selaku warga yang berada di lingkungan penangkapan terorisme biarpun mengetahui bahwa sebenarnya lingkungan kita tidak ada masalah, kita akan ikut terpengaruh dan memiliki sugesti bahwa “ada teroris di sekitar kita”. Dengan pemikiran Berger, kita mampu membedakan apa yang sebenarnya terjadi dalam realitas sosiologis masyarakat kita. Meskipun media, berita, dan juga opini publik berkembang, kita bisa menganalisa “apa yang sebenarnya” terjadi. Di sinilah letak dialektika pemikiran Berger.
Dekonstruksi
Pemikiran Berger setidaknya mendekonstruksi atau menggugat pemikiran sosiolog sebelumnya yang memandang bahwa realitas itu dibentuk dari sesuatu yang general dan tampak di permukaan. Sehingga berbagai kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah seringkali berasal dari sesuatu yang dinilai umum dan general. Oleh karena itu, kebijakan yang demikian seringkali tak cocok di kalangan bawah. Akan tetapi Berger membalik itu semua, bahwa setiap individu mesti memiliki analisa dan kaca mata untuk menganalisa realitas kesehariannya, realitas keseharian itulah yang membentuk objektifikasi di masyarakat sehingga membentuk realitas sosial. Berger sebagaimana diungkap oleh Geger Riyanto sosiolog yang meneliti Berger bahwa “sumbangsih pemikiran Berger adalah memberikan satu penutup dan simpulan besar para sosiolog sebelumnya yakni kita hidup dalam realitas yang dibuat”.
Buku Peter Berger Sebuah Pengantar Ringkas ini menarik untuk dijadikan kajian awal bagi kita untuk mengenali Berger dan mempraktekkan metodologinya. Berger mengajak kita untuk curiga, waspada, tapi juga senantiasa berpikir ilmiah dan resah akan kondisi masyarakat kita. Ia menyarankan adanya dialektika di dalam realitas sosial. Sehingga kita memiliki objektifikasi terhadap realitas sosial yang benar. Tak berhenti sampai di sana, kita memiliki kewajiban dengan pengetahuan akan realitas sosial itulah, kita menyadarkan dan menyerukan masyarakat, bahwa realitas sosial yang dibuat ini perlu kita sadari dan mengerti bagaimana menyikapi realitas tersebut. Sehingga ia mengatakan dengan kesimpulan sederhana : “….fenomena manusia tidak berbicara dengan sendirinya : ia harus ditafsirkan” (Berger and Kellner,1981:10; hal.42).
Kajian Berger bisa kita gunakan untuk menelaah bagaimana “realitas politik”, “pencitraan penguasa” hingga berbagai pembohongan publik yang disiarkan melalui media bisa kita analisa. Dengan begitu, kita sebagai manusia yang memiliki modal “pengetahuan” bisa menggunakan sosiologi pengetahuan yang kita punya untuk lebih memahami dunia (realitas kita yang sesungguhnya). Karena itulah, buku ini dihadirkan, bahwa Hanneman Samuel tak mau terkungkung dalam satu realitas sosiologis di dunia perkuliahan yang cenderung terkungkung dengan realitas yang lebih cenderung kepada realitas keseharian. Dengan menghadirkan buku ini, Hanneman Samuel juga mengungkapkan pentingnya kesadaran sosiologis. “Kesadaran sosiologis perlu untuk seseorang yang menyebut dirinya “intelektual”. Kesadaran ini akan memberi insane yang hidup di jalan pemikiran kapasitas yang tajam untuk berefleksi, melihat segala sesuatu dalam bingkai yang utuh, bahkan daya ironi dan kemampuan menjaga jarak dengan dirinya sendiri. Meminjam istilah Elias (1987) penarikan diri (detachment) selayaknya berjalan beriringan dengan “keterlibatan” (involvement) (hal. 108).dialektika sosiologisJudul: Peter Berger Sebuah Pengantar RingkasPenulis: Hanneman Samuel
Penerbit: Kepik
Tahun: 2012
Tebal: 120 halaman
ISBN: 978  602 99608 6 0

 

*) Penulis adalah Mahasiswa UMS, pegiat di bilik Literasi Solo

Kegilaan Indonesia di Mata Jurnalis Bule

Catatan Hendi Jo

richard lloyd perryMinggu,21 Maret 1999. Senja baru saja mengunjungi pinggiran kota Sambas saat seorang bule jangkung tergagap-saat ditawari sepotong daging setengah matang oleh seorang prajurit Melayu. Daging berwarna kelabu itu berasal dari tubuh seorang Madura yang baru beberapa jam lalu berhasil mereka tembak dengan sebilah senapan buru. “Katakan kepadanya tidak, saya tidak mau itu,”katanya kepada Budi, sopir sekaligus penerjemahnya.
Budi lantas berbicara kepada lelaki Melayu itu. Demi mendengar penjelasan tersebut, alih-alih menghentikan aksinya, sang prajurit itu malah tergelak sembari secara demonstratif menjejalkan potongan daging manusia itu ke mulutnya. “Enak.Serasa daging ayam,”serunya. Inilah salah satu penggalan kisah yang menurut saya paling edan dari In The Time of Madness,sebuah buku yang berisi kumpulan catatan reportase konflik yang terjadi di Jakarta,Sambas, Singkawang dan Timor Timur selama rentang 1997-1999.
Jujur saja, saya terhenyak dan sedih membaca buku ini. Seperti Richard Lloyd Parry, (Bule yang menulis buku tersebut), kembali saya jadi tak habis pikir bagaimana kegilaan itu bisa dilakukan oleh seorang manusia kepada manusia yang lainnya? Ketika kebencian sudah mencapai ubun-ubun, kemanusian seseorang mencapai limitasinya dan seolah hilang dimakan rasa marah . Ironisnya, justru sebuah harapan tentang Indonesia yang lebih baik dan demokratis justru harus didahului oleh situasi horror gaya kanibalis, sebuah kondisi yang juga sempat saya saksikan di Jakarta, Tobelo, Ambon, Sampit dan Poso.
Disamping rasa sedih dan ngeri yang tak terkatakan, diam-diam saya juga kagum terhadap karya Parry ini. Ia nyaris sempurna merekam semua kegilaan tersebut. Bukan saja lewat sebuah tulisan reportase yang detail tapi juga tutur kata bagai perpaduan antara novel-novel Hemingway dan film-film Hithcock. Wajar jika kemudian, wartawan senior, Farid Gaban menjuluki karya Parry ini sebagai “jurnalisme sastrawi dalam praktik dan contoh nyata”.
Selama ini, untuk mendapatkan “data panas” mengenai sebuah berita, jurnalis perang yang berkiprah di The Times (Inggris) itu saya dengar tak segan-segan memburunya dengan berbagai cara. Termasuk dengan mendatangi nara sumber sampai ke berbagai kawasan medan perang di Afghanistan, Kosovo dan Irak. Di Indonesia, hal sama ia lakukan dengan “menjemput” berita langsung ke pelosok hutan dan kampung yang tersebar di Kalimantan dan Timor Timur.
“Parry adalah wartawan tak kenal lelah yang berani masuk ke relung kejahatan manusia paling dalam,”tulis sebuah ulasan dalam Literary Review.
Buku yang berisi liputan Parry tentang konflik etnis di Kalimantan,kerusuhan Mei 1998 dan Huru-hara Referendum di Timor Timur pada 1999 itu, menurut saya memang sangat laik untuk dibaca. Bukan saja oleh para jurnalis dan peneliti, tapi juga oleh semua orang Indonesia.Setidaknya untuk memberitahu,Indonesia yang kita kenal bukan sekadar sorga indah yang selalu kita saksikan di sinetron-sinetron tapi juga sebuah tanah yang kusam dan kaya dengan berbagai kegilaan berdarah di luar nalar manusia normal. Buktinya adalah kisah prajurit Melayu yang memakan daging seorang lelaki Madura, seperti dituturkan Parry di atas.


Judul: In The Time of Madness: Indonesia on the Edge of Chaos
Penulis: Richard Llyod Parry
Penerbit: Grove Press, New York, 2005
Harga: $7.66

Agama dan Kekuatan Sosial

Resensi Budi Hastono

manifesto kaum berimanAgama adalah candu, kata Karl Marx. Pentolan penulis dan filsuf marxis ini memang menyulut berbagai macam perdebatan apalagi jika dibenturkan dengan kaum agamawan yang ortodoks atau kolot. Pada kenyataannya, jika kita lihat dari esensi keagamaan, kalimat itu memang patut sebagai kritikan tajam. Realita akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan agama dijadikan sebagai candu. Alasan seorang marx menyampaikan hal demikian adalah karena agama yang ketika itu dikonstruksikan oleh rezim kekuasaan dan elite agama, ketika diperhadapkan dengan masalah sosial yang ada, agama tidak membela masyarakat yang sedang susah. Elite agama menjadi pendukung setia otoriterianisme dan borjuisi kaum kapitalis. Hal ini diperparah elite agama yang gemar hidup glamour misalnya naik haji berkali-kali. Permenungan di atas yang menjadikan penulis terbuka matanya untuk melahap halaman demi halaman buku bertajuk “Gerakan Sosial Islam: Manifesto Kaum Beriman”, yang dituliskan Doktor Zuly Qodir.
Zuly Qodir yang merupakan putra kota dawet ayu, banjarnegara, menulis dalam bukunya ini gambaran betapa pelik keadaan keberagamaan di negeri ini. Bagaimana tidak, agama di negeri ini telah dijadikan sebagai sebuah alat politik yang manis untuk menggandeng kekuasaan. Fenomena munculnya partai islam di negeri ini menjadi perbincangan menarik dalam buku ini. Buku yang merupakan kumpulan tulisan beliau terkait permasalahan agama dan sosial, agama dan politik, peran ormas keagaamaan yang mendominasi sampai kepada kritik gerakan keagamaan partai yang berbahaya.
Apa yang menarik? Mungkin pertanyaan ini akan muncul ketika kita akan membaca sebuah karya. Kemenarikan buku ini terdapat pada analisis yang matang sehingga setiap jengkal pernyataan berdasarkan data yang jelas, sehingga kita mampu menjamin kebenaran yang ada di dalamnya. Sebuah bab yang membahas mengenai gerakan agama yang berafiliasi dengan politik dengan berkedok dakwah namun sebenarnya hanya menginginkan kekuasaan, di mana digambarkan bagaimana posisi kelatahan masyarakat Indonesia dalam menerima setiap ideologi yang bahkan di negara asalnya dilarang. Sebagaimana dalam salah satu kalimat dalam buku ini, “ hal itu patut kita cermati dan waspadai sebab sebagai gerakan politik, retorika biasanya adalah omong kosong yang penting dapat mengelabui masyarakat yang sedang diarahkan (digiring) mengikuti ideologinya (Qodir : 102). Petikan itu tidak hanya pedas namun juga dihadirkan dengan fakta yang nyata mengenai gerakan politik yang mengatasnamakan agama melakukan tindakan membabi buta.
Bagian terpenting dari buku ini adalah bagaimana pembaca nantinya mampu menempatkan posisinya sebagai seorang yang beragama untuk menghadirkan agama dalam realitas yang tengah kita rasakan ini. Inilah tema penting yang harus ditemukan jawabannya sehingga orang beragama tidak sekedar bermimpi dan berangan-angan masa depan, tetapi penuh kepengapan karena agama bukan lagi hadir sebagai pembawa pencerahan, tetapi malah membiarkan kemungkaran sosial terus bergerilya secara bergiliran menggilas nilai-nilai universal kemanusiaan.
Agama harus ditempatkan sebagai pembela manusia bukan pembela tuhan, karena tuhan sudah tidak perlu dibela. Yang perlu dilakukan oleh agama adalah menjawab tantangan zaman mengenai kemiskinan, bobroknya pemerintahan dan ahlak utamanya. Buku ini juga akan memberikan penyadaran kepada kita untuk menjadi orang beragama yang sejatinya menjawab apa yang ada di sekitar kita, bukan menjadi agamawan yang hanya mementingkan artificial diri dalam beragama.
Penulis menghimbau untuk membaca buku ini kepada para mahasiswa atau aktivis dakwah agar mampu mengartikan agama sebagai penjawab tantangan zaman, bukan agama yang mati karena tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat.
 
manifesto kaum berimanJudul Buku: Gerakan Sosial Islam “ Manifesto Kaum Beriman”
Penulis: Dr Zuly Qadir
Harga: Rp. 45.000,-
Tahun: 2009
Tebal: 366 Halaman
ISBN: 978-602-8479-75-2

 

*)Peresensi merupakan mahasiswa UMS PBSID 2010. Aktif di PK IMM FKIP UMS Surakarta.