Arsip Tag: pramoedya ananta toer

Pendidikan Karakter Berbasis Sastra

Catatan Pendidikan Anwari WMK

beyond_imagination
gambar dari akamaihd.net

KARYA sastra bermutu tinggi mampu mengungkapkan kerumitan dan kepelikan watak manusia dalam realitas hidup yang kompleks. Novel, roman, cerita pendek, maupun cerita epik kepahlawanan yang ditulis secara prolifik, mampu menampilkan tokoh-tokoh dengan watak mempesona. Karya sastra yang dikonstruksi dengan kepiawaian logika estetik memberikan efek yang menggetarkan dan menggentarkan. Inilah alasannya, mengapa sastra memegang peran penting dalam proses pendidikan karakter. Bahkan, strategi pendidikan karakter dapat dilandaskan pada pencarian hikmah dan makna dari karya-karya sastra.

Tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer merupakan contoh karya sastra yang dapat dijadikan dasar penyelenggaraan pendidikan karakter. Baik plot maupun dialog dalam tetralogi tersebut membeberkan sosok tokoh-tokoh protagonis dan antagonis. Pembeberan tokoh-tokoh itu pun tidak karikatural sifatnya, tetapi justru berada dalam nuansa dialektika penuh warna. Tak mengherankan jika tokoh protagonis maupun antagonis dalam tetralogi tersebut melekat erat dalam benak publik pembaca. Langsung maupun tak langsung, publik pembaca memasuki proses pembelajaran untuk memilih watak protagonis dan melawan watak antagonis.

Sebagaimana diketahui, tujuan pokok pendidikan karakter adalah menumbuhkan nalar distingtif agar peserta didik dapat mencerna bahwa kebajikan berbeda secara diametral dengan kejahatan. Melalui nalar distingtif, pendidikan karakter membentuk kesadaran, bahwa ada serangkaian faktor dan sederet variabel penyebab timbulnya kebajikan maupun kejahatan. Pendidikan karakter membentuk kesadaran di kalangan peserta didik untuk memahami bahwa kebajikan atau kejahatan tidak muncul dari ruang vakum, tetapi merupakan akibat logis dari beragam sebab. Kebaikan atau kejahatan terbentuk melalui proses panjang, rumit dan berliku dalam keseluruhan aksi-reaksi manusia dengan alam semesta dan aksi-reaksi manusia dengan sesamanya. Tampak jelas dalam konteks ini, betapa sesungguhnya tidaklah sederhana pendidikan karakter.

Karya-karya sastra bermutu tinggi digdaya menjelaskan secara mempesona lekak-lekuk karakter manusia yang rumit. Hayat tokoh-tokoh protagonis dan antagonis bahkan dibentangkan segala laku dan sepak terjangnya dengan keindahan narasi. Melalui karya sastra, peserta didik lebih mudah memahami distingsi antara kebajikan dan kejahatan. Dari sini terbentuk kondisi psikologis, memilih dengan tegas kebajikan sebagai karakter. Mengabaikan arti penting pembacaan karya-karya sastra, justru membuat praksis pendidikan karakter kehilangan salah satu basisnya.

Masalahnya di Indonesia, pendidikan sastra diabaikan dan terabaikan. Sejak era Orde Baru, sastra sengaja diperlakukan sebagai subyek pembelajaran yang tidak signifikan, tidak penting, tidak berguna, dan segala macam ‘tidak’ lainnya. Dunia pendidikan di Indonesia terlena untuk hanya memandang bermakna pembelajaran sains dan matematika. Meskipun tak diungkapkan secara verbal, sastra dipandang lebih rendah derajatnya dibandingkan sains dan matematika. Ambisi untuk memajukan pendidikan sains lalu pincang, lantaran sengaja mengabaikan pendidikan sastra.

Sejalan dengan kian besarnya kebutuhan terhadap pendidikan karakter kini, mau tak mau pendidikan dan pembelajaran sastra mutlak direvitalisasi. Fokus pembelajaran mencakup pembacaan cerita rakyat (SD), pembacaan karya sastra nasional (SMP), pembacaan karya sastra dunia (SMA). Sastra dalam konteks ini, diperlakukan sebagai basis pendidikan karakter.

Bagaimana murid-murid mampu melakukan pembacaan terhadap karya-karya sastra sudah saatnya diperlakukan sebagai elemen penting pendidikan karakter. Agenda revitalisasi pendidikan sastra pun bermula dari upaya sengaja pemberdayaan guru. Bukan saja kalangan guru dituntut mampu mengapresiasi karya-karya sastra, hingga kemudian saksama membedakan mana karya sastra bermutu, dan mana yang tidak. Di atas segalanya, guru-guru juga dituntut mampu membimbing murid-murid berani melakukan uji coba melahirkan karya-karya sastra.[]

Torsa Sian Tano Rilmafrid* #13

Cerita Bersambung Martin Siregar
Bagian 13

parade orang
Ilustrasi dari febhkfileswordpressdotcom

“Gila!! Sudah gila si Tigor itu. Masya …bicara soal estetika film dituduh cita rasa kelas borjuis. Gila!! Sudah gila si Tigor itu.” Susanti kesal karena segala jenis nasihatnya bersama Mikail sama sekali tidak dipedulikan Tigor.

“Sudahlah, aku sudah capek menghadapi Tigor. Marilah kita nikmati malam asmara ini hanya untuk kita berdua. Ini malam untuk kita sayang…,” kata Mikail sembari membelai rambut Susanti dengan penuh kasih. Kemudian Susanti peluk pinggang sambil menyandarkan kepalanya di dada penuh kelembutan. Mereka duduk di teras depan rumah Susanti, menikmati malam minggu. Lampu malam rumah sudah dipadamkan, jarum jam sudah menunjukan jam 11.20 malam. Pertanda seisi rumah Susanti sudah tidur semuanya.

“Jangan kau pergi ya…Mikail. Jangan kau rusak suasana kita ini karena mendadak bilang ada janji sama Tigor,” Susanti takut kehilangan peristiwa mesra yang indah.

“Hua…ha…ha,” Mikail tetawa deras. Lantas sadar sudah keterlaluan suara ketawanya. Dicumbunya bibir Susanti. Susanti respon kegairahan ciuman Mikail sampai matanya tertutup rapat, meresapi percintaan dalam batas kewajaran. Mereka juga yakin bahwa Ucok, Ningsih, Arman dan kawan-kawan FDP sedang asyik menikmati malam minggu bersama pasangannya masing-masing. Sementara Tigor dengan muka keriting berpikir keras membaca buku Karl Marx.

Dua minggu setelah nonton film Midnight Express, Tigor datang ke rumah Mikail.

“Wah, kenapa malam begini kau datang Tigor?” kata Ibu Mikail menyambut kedatangan Tigor jam 9 malam. “Iya…Bu,..ada yang mendesak. Mau jumpa Mikail.” Tigor langsung menuju kamar Mikail.

“Mikail, malam ini tokoh gerakan buruh, mahasiswa, tukang becak sudah ngumpul di rumah Pak Regar. Mau rapat tentang aksi besar-besaran dua hari lagi di DPR. Kawani aku, Kita sudah agak terlambat.”

Mikail pun ambil jaketnya, pulpen dan notes kecil, segera keluar rumah bersama Tigor. Motor dikebut Tigor agar sesegera mungkin sampai ke rumah Pak Regar di desa Kembang Bondar. Tempat rapat dilaksanakan.

Sedangkan jam setengah delapan tadi, di sekretariat FDP, DR Pardomuan, Ningsih, Armand dan Muslimin, Ucok sedang menyambut seorang dosen juniornya Pak Pardomuan yang baru pulang dari Jepang.

“Saya bingung sekali. Tak ngerti entah bagaimana saya bersikap,” tampak Pak Sahulaka sangat terbeban. Pedih sekali wajah dan perasaan Pak Sahulaka yang sulit sekali memilih kata-kata untuk bercerita.

Dua bulan yang lalu Pak Syukur, istri serta anak tunggal buah hati mereka yang manis Blusi -masih kelas satu SD- bersantai ke pusat pertokoan Rilmafrid yang baru dibuka. Waktu Blusi membuang bungkus eksrim di depan restoran, tiba tiba dua orang naik motor dengan kecepatan tinggi mengangkat paksa Blusi. Blusi  meronta-ronta dan beberapa motor mencoba mengejar Blusi. Semua orang menyaksikan kejadian itu, segera menunjukan solidaritasnya terhadap kemalangan yang menimpa Pak Syukur. Langsung hubungi polisi untuk membantu menemukan anak mereka Blusi yang manis. Segala usaha untuk menemukan Blusi selama dua bulan tidak membuahkan hasil. Ibu Syukur sekarang sudah diam dengan mata kosong hilang ingatan akibat peristiwa itu. Pak Syukur juga sering sakit-sakitan dan jarang datang ke kampus. Pak Sahulaka sangat kenal wajah Blusi karena saling kunjung antar kedua keluarga ini sudah berlangsung lebih dari lima tahun. Keranci anak mereka yang sebaya Blusi bersahabat sangat akrab. Hampir setiap sore mereka bersama-sama les bahasa inggris maupun secara bergantian saling kunjung. Dua keluarga yang menjalin persahabatan yang erat sejak Pak Syukur dan Pak Sahulaka mahasiswa. Kemudian berada dalam kampus yang sama menjadi dosen, mereka terus menerus menjalin persahabatan semakin erat.

Dan, ketika Pak Sahulaka di Jepang dilihatnya Blusi sudah duduk di depan restoran. Duduk macam anak gelandangan. Jorok, bau, baju compang camping dan lidahnya sudah dipotong.Tak bisa lagi bicara dan tubuhnya tak mampu berdiri tegak. Ketika Pak Syukur ingin menggendong Blusi, seorang pemuda berwajah buas melotot sambil mengeluarkan sebilah pisau belati dari pinggangnya. Orang Jepang kawan Pak Sahulaka segera menarik tangan Pak Syukur agar secepatnya meninggalkan tempat itu. Kawan Pak Syukur langsung bercerita panjang. “Di Jepang terkenal sebuah sindikat bawah tanah. Mereka menculik anak-anak dari negara lain. Kemudian organ tubuhnya diambil untuk ditrasplantasikan ke pasien kaya raya yang membutuhkannya. Si pasien sembuh, tapi anak-anak itu menjadi cacat tak terurus. Diberikan kepada sindikasi pengemis. Anak itu diperas habis-habis setiap hari mengemis.”

“Pernah seorang dosen sedang sekolah ambil master di sini. Beliau dari Philipina, melihat langsung anaknya yang diculik beberapa bulan yang lalu. Dia ambil anaknya. Tapi besok paginya bapak dan anak itu sudah ditemukan tewas dekat pinggir sungai arah keluar kota.”

Pak Sahulaka tak mampu berpikir normal gara-gara melihat Blusi. Digagalkannya bea siswa yang sudah diterimanya dengan susah payah. Pak Sahulaka kembali ke Rilmafrid penuh kepanikan. Apakah kasus ini disampaikannya ke Pak Syukur atau tidak? Apakah ada gunanya kalau kita lapor kasus ini ke polisi ? Atas alasan itulah Pak Sahulaka datang berkunjung ke DR Pardomuan. Dan, tak ada jalan keluar yang mereka temukan, walaupun sudah 2 jam membahasnya. Semuanya hanya bisa terharu, membisu dan sedih atas kepedihan nasib Blusi dan Pak Syukur.

Tigor sudah tak sempat lagi hadir pada acara tersebut. Mikail dan Susanti juga tak hadir karena ada keluarga Susanti yang kemalangan. Seluruh warga FDP tak tahu sedang di mana Tigor saat Pak Sahulaka berkunjung ke sekretariat.

Malam itu Susanti sedang mendengar kaset baru Michail Frank di kamarnya sambil baring membaca novel terlarang karya Pramudya Ananta Toer: Arus Balik. Tapi, perasaannya sesak meronta, dibayang-bayangi ketakutan dalam kegelapan. Tak bisa santai menghayati lagu Michail Frank, dan tak bisa konsentrasi membaca karya Pramudya Ananta Toer. Susanti pikir Mikail sang kekasih tercinta juga sedang santai berada di kamarnya.

Ningsih, Armand, Muslimin dan Ucok sudah berada di rumahnya masing-masing melepas lelah setelah sehari penuh sibuk dengan berbagai kegiatan.

Padahal, Mikail dan Tigor dengan kecepatan tinggi menuju ke rumah Pak Regar di desa Kembang Bondar. Mereka sudah terlambat 2 jam hadir dalam pertemuan yang direncanakan Tigor. Sudah tak sadar lagi bahwa maut selalu menanti nyawa korban di jalanan gelap. Dilomba Tigor mobil kijang biru tua yang juga sedang ngebut. Dan, mereka berhadapan langsung dengan mobil truk besar membawa kayu gelondongan hasil pencurian. Mobil truk berat yang besar itu juga sangat kencang jalannya. Supir yang sudah mabok menghantam keras motor Tigor yang menggonceng Mikail. Tigor dan Mikail terpelanting jauh ke pinggir jalan terbentur hutan pohon karet yang berdiri kuat dan keras. Motor mereka hancur lebur di bawah truk besar yang supirnya mabok. Dada Mikail hancur luluh terbentur batang pohon karet yang baru ditebang. Kepala Tigor keras terbentur batang pohon karet yang besar. Hidungnya yang remuk bercucuran darah segar. Keduanya tak sadarkan diri. Dan, beberapa waktu kemudian mati di tempat.

Jam dua malam di Rumah Sakit Santo Yoseph,  Susanti bersama  ayah dan ibu.  Jimmi Rocky bersama ayah ibu dan DR Pardomuan, ibu, Arben Rizaldi serta Ucok, Armand, Ningsih, Muslimin — sudah berkumpul — bersama Rosita Dameria kakak kandung almarhum Tigor. Baru beberapa menit berada di rumah sakit, Ningsih dan Muslimin repot memangku dan mengipas ngipas tubuh Susanti yang sudah jatuh pingsan. Mayat Mikail dan Tigor sedang dibersihkan di kamar jenazah.

Dalam kepedihan yang sangat mendalam, ada juga rasa kebingungan ayah dan ibu Susanti. Rupanya selama ini anak kesayangan Susanti serius berpacaran dengan Mikail Pratama anak kawan dekat mereka. Pak Kurus segera dijemput dari pelabuhan Pangkoper oleh supir keluarga almarhum Mikail Pratama . Besok pagi DR Tumpak Parningotan akan datang naik pesawat pertama dari Kepriano. Dan, kepada  Mukurata segera dikirim kabar dukacita. Sementara Pak Regar, bersama tokoh gerakan buruh, pimpinan organisasi tukang becak, dan organisasi gerakan mahasiswa diintrograsi dengan ketat sambil dengan sadis tubuhnya disiksa habis habisan oleh prajurit militer. Sebelum dimasukan ke dalam penjara militer tanpa melalui proses hukum.

bersambung…

Kisah Sebelumnya: Bagian 12

*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’

Antara Konsistensi Prinsip dan Goda Politik

Arif Saifudin YudistiraResensi Arif Saifudin Yudistira

Aku mencintai bahasa. Aku mencintainya karena perannya terhadap kehidupan kita, bagaimana bahasa menyediakan kita cara untuk mendedakan luka, keagungan nuansa dan kehalusan eksistensi kita (Maya Angelou)

Pram, begitulah kita mengenal sastrawan yang mencintai bahasa dan menggunakan bahasanya untuk berbuat. Pram barangkali adalah sastrawan yang tak hanya kritis tapi juga konsisten dengan apa yang disuarakan. Perjalanan karir dan hidupnya seperti lika-liku yang tak habis untuk dibaca. Di balik kebesaran dan nama Pram, kita mengenal sosok Pram yang lain, Pram dikenal sebagai sosok yang keras, tegas dan juga sangat kritis terhadap para pengkritiknya. Dunia sastra Indonesia seperti tak seimbang menempatkan posisi Pram di samping para sastrawan yang lain. Pram adalah luka, karena keberpihakannya pada PKI yang dinilai Pram sebagai partai paling konsisten terhadap revolusi. Pram pun mengalami nasib naasnya setelah peristiwa 65 dengan menanggung resiko karyanya dihanguskan dan dibuang di pulau buru. Tapi di sanalah Pram justru menciptakan kuartet pulau buru di tahun 1975 meski sudah dilisankan di tahun 1972.
pramoedya ananta toerKarya-karyanya erat dengan kehidupannya, ia seperti meniupkan nyawa dalam karyanya, hingga karya itu secara tak sadar adalah suara jiwanya. Meski demikian, ia menganggap karya sastra tetap tidak bisa dikontrol oleh sang pencipta itu sendiri. Ia adalah anak dan buah pikiran dari penulis yang terbuka terhadap kritik dan interpretasi pembaca. Di awal kepengarangannya, ia kerap diserang oleh para kritikusnya yakni balfas desember 1956 novel perburuan dinilai tidak terstruktur, akhir kisahnya dibuat-buat dan tokoh-tokohnya tidak meyakinkan. Pram pun akhirnya naik pitam dan menanggapi dengan cara yang emosional. Kritik ini dilancarkan setelah Pram dan teman-temannya mempelopori gelanggang seniman merdeka tahun 1947. Tahun 1950 ia ikut menandatangani “surat kepertjayaan gelanggang” 18 Februari 1950. Pramudya ikut menyepakati konsepsi “humanisme universal” yakni istilah yang dipopulerkan oleh HB.Jassin yang menandai angkatan 45. Buku karya Savitri Scherer ini membantu kita memahami mengapa dan bagaimana Pramudya bisa ikut luruh dalam peristiwa perdebatan dan polemik sastra yang semula ia ikut dalam “gelanggang seniman merdeka” hingga akhirnya ia pun tidak sepakat dan melepaskan diri dari kelompok gelanggang, ketika ia bergabung dengan lekra, ia pun mulai simpatik terhadap PKI dan juga terlibat dalam polemik sastra yang menyerang para generasi baru gelanggang dalam manifes kebudayaan 1963.
Goda Politik
Faktor-faktor yang menyebabkan Pram meninggalkan gelanggang dan akhirnya memutuskan hubungan dengan HB Jassin tidak semata persoalan politik semata, tapi juga karena Pramudya merasa dikhianati oleh prinsip-prinsip yang dinilainya tak sesuai dengan yang diajarkan Jassin kala ia mencetuskan “humanisme universal”. Pram menilai, Jassin dan para pengikutnya tak konsisten dan hanya “klenengan” dan tak mempedulikan rakyat sebagai aspek yang penting dalam karya sastra. Pram pun kecewa dengan sikap gurunya yang kemudian tak peduli ketika ia dipenjara karena menulis Hoa kiau di Indonesia (1960).
Buku ini mengurai dengan jelas mengapa Pramudya bergeser pada ideologi kiri dan memihak PKI. Meski ini berakibat dengan tuduhan ia adalah anggota PKI. Melalui lekra itulah ia bersuara dan menyuarakan prinsip-prinsipnya. Ia sadar betul, ide-ide awalnya bermula dari kritik para seniman dan kritikus lekra termasuk A.S Dharta yang membukakan matanya terhadap kenyataan-kenyataan sosial dan akan pentingnya arti rakyat dalam kesenian dan kesusasteraan. Ia pun tak mampu menahan goda politik yang waktu itu menjadi prinsip PKI bahwa politik adalah panglima, yang sebelumnya menggunakan demokrasi rakyat.
Melalui 10 bab dalam buku ini kita diajak tak hanya menelusuri karya Pramudya, riwayat kepenulisannya, tapi juga lika-liku politik dan kehidupan yang dijalani Pramudya sebagai penulis. Buku ini diawali dengan pendekatan kritis yang menganalisis terhadap perkembangan sastra Indonesia, kemudian menjelaskan kehidupan singkat Pramudya, bab berikutnya membahas tentang polemik sastra dan diikuti dengan pembahasan karya-karya Pramudya dan kontroversi karir Pram antara tahun 63-65. Menurut Savitri, Pramudya adalah penulis yang berdiri di tengah masyarakatnya dan bagian hakiki darinya, meminjam Teuw, Pram adalah “novelis yang tidak hanya mewakili Indonesia, melainkan juga seorang sastrawan yang mewakili kawasan Asia”.
Buku ini juga mendudukkan posisi Pram yang larut dalam posisi yang dilema antara berpihak pada corong partai atau tetap konsisten dengan karyanya yang dicipta. Ia menulis novel “Sekali Peristiwa di Banten” yang mencerminkan sikap Pramudya yang harmonis terhadap borjuasi nasional dan kekuatan angkatan bersenjata. Secara teoritis ini tidak sesuai dengan program pembentukan negara sipil sosialis. Di tahun 60, karya Pramudya yang membela minoritas tionghoa menyatakan siapa musuh Indonesia yang sebenarnya dan borjuasi nasional adalah bagian dari musuh tersebut. Savitri menyebut sikap ambivalen Ppramudya dapat dilihat cerminan akurat sikap ambivalen PKI terhadap “borjuasi nasional”.
Di akhir buku ini, Savitri menjelaskan bagaimana Pramudya menciptakan karyanya yang berbeda dari periode sebelum ia di pulau buru. Ia menciptakan “Bumi Manusia” dengan idealisme konservatif yang berbeda dengan “Gadis Pantai” dengan idealisme revolusioner. Bagaimanapun juga Pram adalah penulis yang tak pernah lepas dari prinsip-prinsip dan tujuan awal dia menulis yakni mendekapkan dirinya di tengah-tengah masyarakat dan tidak terlepas dari masyarakat. Pram adalah representasi dari sosok penulis yang konsisten dengan prinsip meski dengan sikapnya itu pula ia harus melibatkan diri dengan goda politik dan sikap politik partainya.

pramoedya ananta toerJudul buku : PRAMOEDYA ANANTA TOER , Luruh Dalam Ideologi
Penulis : Savitri Scherer
Penerbit : Komunitas Bambu
Hal : 190 halaman
ISBN : 978-602-9402-02-5
Harga : Rp.50.000,00

*) Penulis adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta, Aktifis IMM, bergiat di Bilik Literasi Solo.