Arsip Tag: Binandar Dwi Setiawan

Gerbang Surga

Tidak tahu, saya hanya tertarik saja untuk menulis kembali kisah ini. Sejak pertama kali membacanya, kisah ini melekat dalam benak saya, dalam ingatan saya. Tak pernah menjadi terlupa.

Begini:

kebersamaan-itu-menyenangkan
gambar dari devianart.net

“Terkisahkan di sebuah desa yang tentram sejahtera hidup satu keluarga yang hanya terdiri dari Bapak dan Putranya yang sudah dewasa. Bapak dan Putra ini hidup sangat sederhana dan hanya mempunyai hewan ternak berupa sebuah kuda. Kuda ini yang jadi tulang punggung penghasilan mereka, mereka gunakan sebagai kendaraan jasa angkut hasil hasil panen penduduk desa. Pada sebuah pagi, tanpa diketahui sebabnya kuda ini hilang dari kandang, sudah dicari ke mana mana oleh mereka berdua, tetap saja tidak ketemu. Akhirnya mereka menyerah mencari kudanya dan beralih mata pencaharian menjadi buruh tani .

Para penduduk desa tahu kalau kuda mereka hilang. Satu per satu para penduduk desa mendatangi rumah keluarga kecil ini. Para penduduk desa datang sambil membawakan bahan makanan yang banyak untuk diberikan ke keluarga ini. Mereka datang bermaksud menghibur sambil mengatakan, “Kami turut berduka cita atas hilangnya kuda kalian…”.

Oleh si Bapak dijawab,” Terimakasih atas wujud simpati kalian, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, tapi saya masih tidak tahu apakah peristiwa hilangnya kuda kami ini merupakan kabar duka atau kabar suka…”. Para penduduk desa pun pergi dari rumah mereka dalam keadaan bingung tidak mengerti apa maksud ucapan si Bapak.

Hari demi hari, selang satu minggu ternyata kuda kesayangan keluarga kecil ini kembali. Dan bahkan kembalinya bukan hanya sendiri, entah bagaimana kuda ini bisa kembali dan malah membawa sekumpulan kuda liar sebanyak sembilan ekor. Tentu saja ini kabar yang menggembirakan, artinya kekayaan keluarga ini menjadi sepuluh ekor kuda sekarang. Para penduduk desa mengetahui kabar ini kemudian datang berkunjung ke rumah si Bapak. Para penduduk desa mengatakan,“Selamat atas kembalinya kuda kalian dengan membawa kuda-kuda lainnya, kami turut berbahagia mendengar kabar ini…”

Oleh si Bapak dijawab,”Terimakasih atas wujud simpati kalian, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, tapi saya masih tidak tahu apakah peristiwa ini merupakan kabar suka atau kabar duka…”. Untuk kedua kalinya para penduduk desa pun pergi dari rumah mereka dalam keadaan bingung tidak mengerti apa maksud ucapan si Bapak.

Putra si Bapak begitu senang kini memiliki sepuluh ekor kuda. Setiap hari dia mencoba menaiki masing-masing kuda yang dia punya. Sampai pada suatu hari terjadi kecelakaan, dia terjatuh dari kuda, kaki kanannya patah. Kejadian ini terdengar juga oleh penduduk desa. Mereka mendatangi rumah si Bapak, “Kami turut berduka cita atas jatuhnya putra Anda, semoga kakinya segera sembuh kembali.”, begitu ucap para penduduk desa.

Oleh si Bapak dijawab, “Terimakasih atas wujud simpati kalian, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, tapi saya masih tidak tahu apakah peristiwa ini merupakan kabar duka atau kabar suka…”. Lagi-lagi para penduduk desa dibuat bingung oleh ucapan si Bapak.

Selang satu minggu kaki si Putra masih belum sembuh juga. Ada seorang pejabat pemerintahan yang datang mengumumkan bahwa setiap pemuda yang ada di desa akan diikutkan dalam perekrutan militer karena negara membutuhkan tentara tambahan dalam sebuah perang dengan negara lain. Akhirnya semua pemuda ikut, hanya tinggal putra si Bapak yang tidak ikut karena fisiknya yang sakit tak layak ikut perang.

Waktu berlalu, dua bulan semenjak perekrutan, pejabat pemerintahan yang sama datang kembali ke desa. Dia mengumumkan kepada seluruh warga desa bahwa setiap pemuda yang dulu direkrut dari desa ini telah gugur dalam medan perang. Sontak kesedihan menyelimuti seluruh penduduk desa yang putranya gugur di medan perang.

Kini di desa tersebut hanya tinggal seorang pemuda saja, yakni putra si Bapak. Keluarga kecil ini terpanggil untuk menghibur seluruh penduduk desa. Maka mereka datangi setiap rumah yang mempunyai putra yang telah meninggal. Dibawakan oleh mereka makanan, dan dikatakan oleh mereka kepada penduduk desa,“Kami turut berduka cita atas meninggalnya putra Anda…”

Setiap dari penduduk desa yang mereka datangi rumahnya menjawab,“Terimakasih atas wujud simpati kalian, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian, tapi kami masih tidak tahu apakah peristiwa ini kabar duka atau kabar suka bagi kami…” “

Begitulah…

Saya tidak tahu apa yang kini ada dalam benakmu setelah membaca kisah ini. Tapi saya hanya ingin berbagi, kisah ini menginspirasi saya akan begitu banyak hal. Akan keikhlasan, sebuah keadaan di mana sesuatu tampaknya terjadi menimpamu, tapi tak pernah benar-benar menimpa dirimu, kejadian tak pernah benar-benar menjadi terlalu terhormat untuk menyentuh perasaanmu, kamu tahu sesuatu telah terjadi tapi pada saat yang sama kamu juga tahu telah tidak terjadi apa-apa selama ini.

Akan kedamaian sejati, sebuah keadaan di mana ketika kamu tidak tahu apa-apa, dirimu tetap tak tersedihkan oleh buruk sangkamu juga tak terbahagiakan oleh baik sangkamu. Seakan akan tanganmu terbuka menyambut apapun yang terjadi, apapun dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan dalam arti yang terpagari oleh batasan-batasan dalam benakmu.

Akan ketulusan, sebuah keadaan keterserahan yang hebat, pembunuhdirian paling bernilai. Segalanya terjadi tetapi kamu telah tak memiliki diri untuk merasakan, tetapi kamu tak sedang mati, justru kamu sedang hidup dalam kehidupan yang benar-benar hidup.

Akan cinta yang tertinggi, yakni seperti halnya dirimu yang mencintai, yang kamu cintai pun juga sebenarnya sesuatu yang tidak ada, tetapi kamu tetap mencintai, tetapi kamu tetap mencintai, tetapi kamu tetap mencintai.

Di sinilah surga, gerbangnya surga.

Penulis: Binandar Dwi Setiawan

Buku, Musik dan Film

Gerundelan Binandar Dwi Setiawan

Ini hanya sekedar catatan. Cara saya untuk menghabiskan waktu, cara yang lumayan menyenangkan. Juga untuk mengingat periode-periode dalam waktu yang telah saya habiskan selama dua puluh tiga tahun ini, mengenai beberapa karya yang sedikit banyak menarik minat saya, menguras perhatian saya, dan atau bahkan menginspirasi saya, mengubah cara berpikir. Setidaknya ini bisa dikatakan sebagai rangkuman tentang tiga hal yang selama ini selalu memiliki peran dalam kehidupan saya, entah sebagai penyakit entah sebagai suplemen, entah sebagai dokter entah sebagai perawat, entah sebagai obat entah sebagai racun, atau apapun lainnya yang lebih luas dari penggambaran penggambaran d iatas itu,  yakni Buku, Musik, dan Film.

Yang pertama adalah tentang buku. Buku, dalam hemat pemikiran saya adalah cara paling brilian sekaligus paling dermawan dalam dunia kita untuk berbagi. Melalui sebuah buku, kita bukan hanya bisa berbagi segala apa yang telah kita tahu atau kita anggap sebagai pengetahuan, tetapi juga bisa berbagi tentang keresahan-keresahan, tentang apapun yang kita ingin bagi. Hal istimewanya, buku acap kali melakukan sesuatu lebih dari yang dia bisa, paham tidak maksud saya, sebagai contoh saja, jadi kadang-kadang ada seorang penulis yang mengandalkan beberapa kalimat sebagai penggambar sesuatu, sebenarnya yang digambarkan oleh penulis adalah rumah tapi bisa terjadi yang tertangkap oleh pemahaman pembaca justru apartemen, hotel, atau bahkan istana. Itulah kenapa kemudian pena menjadi lebih tajam dari pedang.

Saya pertama kali menamatkan sebuah buku, maksud saya menghabiskan dari halaman pertama sampai halaman terakhir, ketika usia kelas tiga atau kelas empat sekolah dasar, barangkali umur delapan atau sembilan tahun, buku itu sekitar tiga ratus sekian halaman. Waktu itu saya merasa biasa saja, baru di kemudian hari setelah agak remaja saya sadari kalau menamatkan buku setebal itu merupakan hal yang agak di luar kebiasaan anak-anak seumuran itu. Buku itu sudah saya lupa judulnya maupun pengarangnya, covernya berwarna hitam dengan gambar Ka’bah yang dikelilingi jutaan manusia, kertasnya sudah buram dengan prosentase gambar yang hanya sekitar lima persen dari keseluruhan halaman. Berkisah tentang perjalanan hidup dua puluh lima rasul yang wajib dipercayai. Saya tidak tahu karena apa, mungkin karena itu buku pertama yang saya selesai baca, jadi buku itu cukup berkesan, seperti peletak dasar pertama mengenai bagaimana baik itu, atau bagaimana buruk itu, bahkan tanpa mengurangi hormat saya sedikitpun, buku itu jauh lebih mengajari saya ketimbang kedua orang tua saya.

Setelah buku itu, saya mengalami rentang waktu yang relative panjang tanpa membaca buku, kecuali buku pelajaran tentunya. Oh ya, tentang buku pelajaran, di usia antara kelas empat sampai lulus sekolah dasar ada dua tema dalam pelajaran yang selalu saya suka, yakni fisika yang waktu itu masih menyatu  dalam bidang pelajaran  ilmu pengetahuan alam dan sejarah yang masuk ke dalam bidang pelajaran ilmu pengetahuan sosial. Untuk fisika, saya menyukai tema bunyi dan gelombang, atau tentang tata surya yang menjelaskan gambaran awal untuk saya mengenai matahari, planet, bulan, dan benda-benda langit  lainnya. Untuk sejarah, saya menyukai tentang tema kerajaan-kerajaan, era di mana Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, Jepang belum masuk ke wilayah bersebut Nusantara. Saya menyukai tentang bagaimana Raden Wijaya membangun Majapahit, bagaimana sebuah keris bisa membunuh tujuh keturunan Ken Arok dan Tunggul Ametung, favorit saya tentunya penggambaran bagaimana sebuah kerajaan telah runtuh tetapi kemudian salah seorang keturunan rajanya berhasil melarikan diri untuk membangun kerajaan yang baru. Waktu itu saya berkeyakinan bahwa sesungguhnya setiap kerajaan yang ada di Nusantara ini pasti sejatinya dipimpin oleh satu keturunan yang sama, keyakinan itu sampai sekarang belum berubah. Kedua hal itu, fisika dan sejarah, buku-bukunya selalu saya baca berulang-ulang, beberapa teman sekolah saya mengira saya seorang penghafal yang kuat , tapi yaa sebenarnya tidak, itu lebih karena saya menyukai dan karena memang saya baca berulang-ulang, jadi yaa mudah saja bagi saya mengingat materi-materinya.

Periode selanjutnya yakni usia sebelas sampai empat belas tahun ,saya juga tak banyak membaca. Beranjak ke usia lima belas saya mulai mengenal novel sebagai bacaan yang asyik. Saya bertemu dengan Sherlock Holmes, seorang tokoh rekaan fiktif Sir Arthur Conan Doyle, saya membaca semua novel Sherlock Holmes, kalau tidak salah hanya empat atau lima buah tapi kini mengembang menjadi begitu banyak dan tak pernah benar-benar Sir Arthur Conan Doyle yang mengarangnya. Ada satu prinsip Sherlock Holmes yang saya kagumi, yakni ketika setiap dugaan tak memiliki bukti kebenarannya, maka dugaan terakhir yang tersisa semustahil apapun itu, itulah kebenarannya. Melalui Sherlock Holmes saya juga belajar bahwa setiap manusia seharusnya berpikiran terbuka terhadap setiap kemungkinan.

Setelah Sherlock Holmes, saya tertarik dengan bacaan sastra, khususnya cerpen dan novel. Tetapi rupanya saya mengalami apa ya namanya, semacam kesalahan atau mungkin boleh dibilang ketidaktepatan dalam memilih sebuah karya. Saya katakan tidak tepat karena waktu itu saya sering memilih bacaan terbaik dalam jenisnya saat pertama kali, jadi ketika saya ingin membaca lagi yang sejenis, saya tidak menemukan satu pun karya yang lebih baik. Sebagai contoh saya pertama kali membaca novel detektif, yaa Sherlock Holmes-nya Sir Arthur Conan Doyle, mencari lagi yang lain bertemu  dengan Poirot-nya Agatha Christie, yaa kecewa jadinya. Kalau novel-novel pencerahan pertama kali The Alchemist-nya Paulo Coelho, dan sampai sekarang tak ada novel sejenis yang sebaik The Alchemist. Di dunia cerpen ada Godlob-nya Danarto, ini benar-benar kumpulan cerpen mahakarya, yang bahkan cerpen-cerpen Danarto lainnya sekalipun tak ada yang bisa menandinginya.

Bertemu dengan The Alchemist itu seperti bertemu dengan jatidiri. Bertemu dengan kalimat-kalimat yang saya sendiri mencarinya selama ini. Kebanyakan hal dalam The Alchemist adalah hal-hal yang sebenarnya saya sudah memahaminya, hanya saja tak bisa menjelaskannya dalam bentuk kalimat. Jadi membacanya adalah pengalaman yang hebat bagi saya, lembar per lembarnya selalu membuat saya tercengang, kadang-kadang sambil merasa laahhh ini ni. Setelah Coelho, saya bertemu dengan karya-karya Leo Tolstoy, Rabindranath Tagore, Ben Okri, Dostoyevsky, Kafka, Ernest Hemmingway, Stephen King, Kahlil Gibran,… Mereka itu adalah nama-nama terbaik bagi saya di dunia satra, tetapi tetap saja saya memilih Coelho sebagai yang paling hebat. Salah satu hal hebatnya adalah kemampuannya menyajikan  pelajaran-pelajaran terdalam dengan cara seakan akan itu sebagai pelajaran-pelajaran teringan. Membaca Coelho itu seperti mendapatkan emas dengan cara memetik dari pohon, kita tak perlu bersusah susah sesusah menggali tanah ratusan meter ke dalam.

Oh, ya, tentang Kahlil Gibran saya ingin memberi catatan sedikit. Waktu itu nama ini begitu populer di kalangan lingkungan sekolah saya, hampir setiap teman tahu dan pernah membacanya. Tapi tidak tahu kenapa saya tidak begitu tertarik dengan karya-karyanya, mungkin karena di dalam pikiran saya ada semacam persepsi  bahwa menulis seperti Kahlil Gibran itu gampang, saya anggap gampang karena memang yang ditulis hanya inti-intinya, langsung ke pelajaran-pelajarannya. Kahlil Gibran tidak pernah atau jarang sekali menyembunyikan atau menyamarkan pesan-pesannya, bagi saya karya-karya Gibran terlalu tersurat. Sedangkan menurut saya, penulis yang hebat itu yang bisa memberi pesan dengan tanpa menyertakan kalimat pesannya secara langsung. Karya sastra yang hebat itu adalah sebuah rumah sederhana yang di dalamnya tersimpan almari perhiasan yang terkunci rapat yang tidak seorangpun tahu keberadaannya kecuali penulis dan pembaca yang sebijak penulis itu sendiri. Konteksnya, Gibran terlalu mengumbar almari perhiasannya hingga semuanya tahu.

Godlob, lain lagi ceritanya. Saya membaca Godlob hanya karena bertemu secara sepintas saja dengannya di taman bacaan langganan saya. Berapa kali bertemu tak pernah saya ambil untuk saya bawa pulang ke rumah. Hingga ketika akhirnya saya bingung memilih buku apa yang hendak saya baca, si petugas taman bacaan merekomendasikan Godlob. Godlob ini berisi sekitar belasan cerpen, yang menurut saya semuanya bagus. Danarto sangat khas dengan cerpen-cerpen yang ceritanya tak masuk akal, tokoh-tokohnya unik, seringkali tokohnya bukan manusia, temanya tasawuf. Tasawuf yang biasanya berbentuk bukan cerpen, ditangannya bisa menjadi cerpen, bisa menjadi begitu profokatif. Godlob ini semacam asap yang kemudian saya telusuri terus , membuat saya bertemu dengan apinya, yakni  karya-karya Ibnu Arabi, Al Hallaj, Syekh Siti Jenar, Syekh Ahmad Sirhindi, Al Junayd, dan lain lain sejenisnya. Jika soal kualitas cerpen setelah Danarto ada lagi nama besar yang semua karyanya saya suka, AA Navis.

Setelah Godlob dan The Alchemist, filsafat menjadi semacam mainan baru bagi jiwa kanak kanak saya, saya begitu enjoy menikmati berbagai macam bahasan filsafat, awalnya sebuah buku berjudul Socrates Café, kemudian buku-buku yang bersifat kajian yang banyak saya baca,termasuk di dalamnya ada Bhagavad Ghita. Begitu banyak istilah, begitu banyak pemahaman, begitu banyak versi, itulah filsafat menurut saya, filsafat itu hanya makanan pikiran, hanya memancing kita untuk berlatih berpikir, tak pernah benar-benar kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga sekaligus tak pernah benar-benar terlepas dalam kehidupan sehari-hari, perannya seperti kunci yang hanya berguna saat kita hendak masuk dan atau saat kita hendak keluar rumah, selebihnya tidak. Semua jenis filsafat itu kemudian ditendang lenyap oleh nama baru yang kemudian begitu menginspirasi saya. Lao Tze. Ketika Karl Marx mengatakan manusia itu harus super fisik, tak berperasaan, kuat, bisa mengalahkan yang lain. Ketika Sidharta Gautama mengatakan yang suci adalah dia yang pikirannya baik, perkataannya baik, perbuatannya baik. Lao Tze justru mengatakan orang suci adalah dia yang suka tertawa terbahak bahak, bicaranya ngawur, dan lain lain. Lao Tze adalah kejelasan jalan tengah yang hebat antara Marx yang super fisik dan Gautama yang super rohani, antara Musa yang super manusia dan Isa yang super malaikat. Lao Tze menyuruh kita untuk berbuat mengerahkan sekuat-kuatnya apapun daya yang kita punya, tapi setelah itu berlepas diri akan hasilnya. Berbuat tanpa berbuat, mengajar tanpa kata-kata. Menjadi tidak menonjol, wajar, selaras dengan alam. Menjadikan diri kita sekuat alam semesta tapi sekaligus serendah hati makhluk terlemah. Pertemuan dengan Lao Tze memungkasi keinginan saya untuk menjelajah berbagai jenis aliran filsafat.

Setelah periode itu, saya menjadi lebih tertarik untuk menulis daripada membaca. Dan seringkali yang membuat saya membaca karena saya mengalami kemacetan ide ketika menulis. Puthut EA, iya, nama inilah yang kemudian mengajari saya banyak hal tentang bagaimana menulis itu. Sebenarnya saya tidak begitu menyukai tentang materi-materi tulisannya, tetapi karena gaya bahasanya terlampau enak untuk dinikmati makanya saya jadi membaca hampir semua karyanya. Satu yang tampaknya enak untuk dibagi adalah novel Cinta Tak Pernah Tepat Waktu. Novel ini memang bukan sebuah novel berkualitas wah, tapi lagi-lagi gaya bertuturnya yang membuat saya jatuh cinta dengan novel ini, berkisah tentang perjalanan seorang penulis yang mencari pasangan hidup. Di samping novel ini, ada lagi karya Puthut EA yang sangat brilian bagi saya, yakni Makelar Politik, hanya kumpulan esai esainya tentang hal-hal menarik baginya, tapi Makelar Politik mempunyai kebisaan yang luar biasa untuk dibaca saat luang ataupun saat sibuk, saat sedih ataupun saat senang, saat kopi ataupun saat dehidrasi.

Di tengah-tengah semua yang telah saya ceritakan tadi, saya juga bertemu dengan buku-buku populer seperti Chicken Soup, Harry Potter, Ippho Santosa, Laskar Pelangi, Supernova, dan banyak lagi lainnya, tapi tampaknya tidak menarik untuk saya turut sertakan dalam tulisan ini.

Yaa sekedar begitulah sharing tentang buku dalam kehidupan saya, kalau saya punya waktu luang berbarengan dengan mood iseng menulis lagi, pasti akan saya lanjutkan share tentang musik, terus juga tentang film. Semoga bisa memberi sedikit manfaat bagi anda yang punya waktu luang berbarengan dengan mood iseng membaca note ini.

Salam berbagi…!!! Jreeng Jreeeeenkkk…!!!

(Red=Nah, sekarang bagaimana pengalamanmu dengan buku? Buku apa saja yang paling memberi inspirasi pada hidupmu)

Sahaja Embun

Puisi Binandar Dwi Setiawan

sebening-embun
gambar diunduh dari photoppi.com

Aku masih tidak mengerti mengapa harus merasa senang untuk semua hal yang tak kutahu apakah itu memang baik. Aku, sekaligus juga masih tidak mengerti mengapa harus berduka untuk semua hal yang tak kutahu apakah itu memang buruk. Aku masih tak sempat untuk memberi pakaian kepada sebuah kejadian, nilai. Aku tak ingin dan tak hendak berurusan dengan batas batas. Aku hanya ingin menari dengan pepohonan, tak lagi penting apakah cemara apakah sakura. Aku hanya ingin melihat sebagaimana adanya, dalam realitas yang tak butuh dinamai. Aku ingin setiap mata berkata jujur tentang apa yang dilihatnya, aku ingin aku percaya kepada mata mata itu. Aku telah terlampau lelah ditipu seumur hidup, aku ingin mengakhiri memaksakan kesaksian berkepanjangan ini, aku ingin aku sendiri yang melihatnya. Semua berita, apakah benar apakah salah. Masih perlukah sebagai benar, masih perlukah sebagai salah. Bukankah telah jelas bahwa terlalu banyak ragam, dan tak berguna apa apa untuk kita menariknya sebagai yang berdua kutub.

Tidak menjadi musuh seseorang, kecuali dirinya sendiri. Tidak menjadi kekasih seseorang, kecuali dirinya sendiri. Sepanjang hidup aku hanya berurusan dengan diriku sendiri, menyelesaikan setiap hal yang masih menjadi kebutuhan baginya, aku menghabisinya perlahan tetapi meyakinkan, terus kuburu setiap jatah waktu. Dan tak akan berhenti sampai dia menyadari ketidakbutuhannya untuk ada. Aku hanya ingin menjadi lebih dekat kepada apa yang seharusnya memang aku lebih dekat. Agar aku tidak bertanya lagi tentang maksud segala maksud. Tetapi kudapati marathon ini tak diawali oleh garis starts dan tak diakhiri oleh garis finish. Aku sendiri masih tidak mengerti apakah ujung memang ada. Apakah aku sedang pergi atau aku sedang pulang. Seluruh keutuhan diriku dipaksa menyadari kesendirian yang luar biasa hebatnya. Dan lantas bagaimana bisa kutemukan jawabnya jika aku hanya berbincang dengan diriku. Maka menguaplah air, dan ia benar benar uap, bukan lagi air.

Semua keindahan itu berasal dari akar yang sama. Mengembang dengan kembangan yang diluar benak setiap kehidupan. Maka tidak didapati keadaan kecuali kebingungan. Dan jalan mencari jawaban adalah jalan menuju sesuatu yang tiada habis, sebab tidak disertakan oleh sebuah jawaban kecuali seribu pertanyaan. Yang selamanya sedang menghadap kepada kita ini adalah wujud dari dia yang selamanya sedang berada dalam diri kita. Maka pada jalan yang sama sebagian menganggap pulang, sebagian yang lain menganggap pergi. Pada pembagian yang sama sebagian menganggap pemberian, sebagian yang lain menganggap penolakan. Nama adalah sesuatu yang terlahir dari keangkuhan dan kebodohan. Temaramnya gelisah meracik rasa takut dalam sebuah sudut ketika aku ditodong oleh sejuta ketergesaan, aku tiba tiba saja memanggilmu, itu dosa pertama yang seluruh waktuku kuhabiskan untuk merajukmu melupakan itu. Jika saja aku bercinta dengan dirimu yang sesungguhnya, sebelum akhirnya aku memanggilmu.

Aku sebenarnya bukan masih mengingatmu, tetapi masih mengalamimu. Aku dengan kamu, tak bisa dijarak oleh lupa. Tetapi engkau masih saja bersikeras untuk berusaha menipuku, sedangkan kau tahu aku tak lagi peduli kepada diri yang engkau kirimkan sebagai engkau. Adalah tentang kamu, ketika aku berjuang untuk membunuh seluruh sifat sifatmu, aku hanya tak mau jatuh cinta pada mereka. Aku terlalu murni, tak butuh untuk menunggu engkau suap dengan sifat sifatmu agar aku membersamaimu. Akulah singgasana terluas yang bisa kau tempati. Maka bersenang senanglah sekehendakmu. Dan singgasanamu akan tetap saja sesurga yang kau bisa kerjakan. Tak perlu beresah tentang akan menjadi seperti apa aku nanti, sebab aku ada hanya untukmu. Kau tahu seberapa rindunya aku terhadap pulang, juga seberapa bersikerasnya aku melalui jalan ini, bahkan seberapa hebatnya aku menafikan setiap kepahitan, tetapi tidak tahukah kamu bahwa aku bahkan tidak tahu sama sekali tentang bagaimana ini akan berakhir atau diakhiri.

Tetap saja semua terlihat begitu seimbang dimataku. Karya maha sempurna yang mewah yang tak memberiku setitik ruangpun untuk berkeluh.

Udara, Air, Tanah, Api

Puisi Binandar Dwi Setiawan
 

five element
gambar diunduh dari http://www.ariellucky.files.wordpress.com

Udara

 
kekasih, mata belumlah terhalangi dari melihat
terlunta aku dibelantara, kehilangan makna ku mencakupnya
percakapanmu itu terlalu berwibawa bagiku
secuilpun tak engkau rasa ketakterbenakkan yang merajam setiap titik bagian tubuhku
aku mampu saja membagi kepadamu, aku tidak mampu saja membagi kepadamu
jatah, curahan, mengapa menyanggahnya terus menerus
pintu yang mana yang terbuka jika seluruhnya adalah kungkungan dinding tek tertembuskan
cobalah rasakan kesakitan yang mendalam ini
cobailah hembusan dinginnya saja, niscaya eranganlah nafasmu yang engkau anggap gagah itu
aku tak sedang meragukanmu, tapi kebodohan merangkumku, menodong syairku maju
dan tangan diatas tangan diatas nada diatas tangisan diatas keperihan
diatas apa yang engkau tak bakal sanggup menanggungnya
ketika hari itu tiba, niscaya menyapaku pun engkau segan sepenuhnya jiwa
sebenarnya engkau tak pernah mengenalku
menangislah, menangislah saat ini juga, aku menuntutmu, aku memaksamu!
kawan yang terdekat, aku melihat samuderamu sebagai hitam tanpa arah, gelisah, memekak
dan enak saja engkau mengklaimnya sebagai yang membeningkan..!
bukan tentang konsep, bukan tentang prosedur, bukan tentang bagaimana yang seharusnya
wahai yang seluruh perhatianku tertuju kepadamu, aku tak memintamu menuruti
aku tak memintamu jadi ini itu, dan teruslah berusaha membunuhku
berjanjilah untuk terus berdiri… engkau dengar itu..!!!
erangilah keperihan yang membusuk di pucuk pucuk daun tua ini
sudah kusampaikan kepadamu, dan sudinya kekosongan membakar
dan ketidakmungkinan padamu melekat selekat diri
kekasih, aku ulangi lagi, mata belumlah terhalangi dari melihat…
 

Air

 
habis sudah cerita tertulis
tinta mengental atau kering, aku tak peduli lagi
akulah yang menghabisinya, mengembalikannya kepada asalnya
identitas yang paling menyala yang tak terhentikan yang marah
 
maukah engkau disampingku untuk menelisik lebih dalam lagi
sebab tak kutemukan lagi apa yang dulu sering terbuka bagiku
di kerincian gelas gelas itu tak kutahu apakah udara atau tanah
apakah air atau api, yang mana yang memfrustasikan kelahiran gelas
ketika tidak ada yang terputus, ketika itulah pencarian terhentikan, dan mawar menyemburkan darah
 
pastilah ini bukan perasaan
sebab tidak kulakukan kecuali menghindar
kehendakmu menantangku, bukan hanya untuk siapa yang akan pergi
setiap molekulku adalah kesalahan yang takkan pernah memungkinkan perbaikan
maka jangan heran dengan semua keherananku, biarkanlah aku maju
sebab akulah pemilik seribu jurus dari seribu jurus yang ada
definisi pun tak mendeklarasikan akanku
ketika penalaan selalu saja terjadi pada setitik saja bentukan benakku
maka lebih agung aku mati, agar aku tak terkait dengan apa yang memang sesungguhnya
tak pernah terkait padaku, sekali saja jangan menoleh kearahku
bukan aku pelakunya, bukan aku tersangkanya, bukan yang berbuat aku
ketika ini hanyalah sebuah koma, bukan kata atau kalimat
hatimupun terpaksa mengernyit dan bertapa dalam semedi yang harusnya milikku
percayakah engkau sedangkan aku percaya
seluruh tentangmu pun akan terbenarkan
bukan dimulai dari saat ini atau telah ada sejak dulu
tapi karena memang seperti itulah yang kejadian inginkan….
 

Tanah

 
Aku ingin lebih tidur dari ini
Berkipasnya udara memanjakan daya
Dan terus bertambah kekuatan tanpa pusat tanpa batas
Aku ingin lebih tidur dari ini, saja
 
Aku ingin engkau lebih menginjakku, lebih melukaiku, lebih menyakitiku. dan sah bagimu bila hendak menguliti luka per luka disekujur rasaku. atau cahaya yang mencegahmu, atau kegelapan yang memberhentikanmu. bolehlah aku terjatuh dari atap langit mengabadikan kealpaanku akan kejatian dirimu yang keseluruhannya cakrawala tergetar betapa setianya aku kepadamu. termabuk aku mengungkap sari, dan ini benar bahasaku. yang tak menuntutmu untuk tahu, hanya aku yang menyertaimu dalam segala jenis predikat. merebut sepenuhnya dirimu dalam pola yang mustahil untuk engkau pahami. merasuki, menjadikan aku sebagai engkau. hingga terasakan olehku segala yang menimpamu. pergi menghilanglah semiliar citra pagar dan batas. berada diantara kepenjaraan dan kebebasan, aku syahdu menari pada kesemuanya gerakan, tertabuhkan oleh tangisan dan tawamu. oleh segala rupa ambiguitas. makna makna pun akhirnya berseliweran, menyalami satu per satu keanggunan tegak berlakunya kejadian. siapa yang membingkis ini menjadi sedemikian indahnya.
 
Aku ingin menceritakan kepadamu, betapa keadaan ini tak pernah bertopeng
Bahwa aku bersedih seketika kebahagiaan tiba, bahwa aku bahagia seketika kesedihan tiba
Maafkan aku jika memilih membahagiakanmu esok hari, daripada melukaimu saat ini
Sempurna
 

Api

 
jangan lukiskan aku dengan kemarahan dan nada yang tak berimbang
telah kucuri dari kalian semua, sesuatu yang tak kalian tahu dalam keberhargaannya
dengan itulah kehidupanku, dengan itulah sempurnaku, dengan itulah aku sang aku
dan memang akan selalu beginilah samaranku melengkapkan yang tak lengkap
aku berani menyandang sifat ini, meski itu menutup kesempatan akan sebuah percakapan
sampaikan salamku pada segala kedambaan yang kurelakan
kepada kesucian cahaya ketika putih adalah terang, pada agungnya pertumbuhan yang tak tertetesi keangkuhan
menjadi keberhakan atasnya menyentuhku, dia yang kekejamannya tak pernah terpahami
wajarlah aku bertanya bilamanakah dua cawan satu permadani teradakan kembali
untukku bersyahdu dengan diriku sendiri
mengenalkannya pada identitasnya yang sebenarnya
bahwa tak apalah buah berbeda bentuk dengan akarnya, tak apalah tak semuanya terjawab
maka dengankulah keberputaran berlangsung, keseimbangan tersakralkan
syarat menjadi kenyataan yang samar, membiarkan bersebaran pandang demi apa yang dipesanggrahan mata
bukan hendak mempersulit segalanya, aku hanya ingin meletakkan segala sesuatu pas sesuai pada tempatnya
maka beginilah adanya dalam keseharusannya…

Perempuan Bernama Nira

Oleh Binandar Dwi Setiawan

 

siapa dirimu
gambar diunduh dari bp.blogspot.com
Bintang malam ini belum cukup cemerlang untuk menerangkan kepadaku akan siapa dirimu. Kisah belum lagi berubah ketika pada titik ini aku tersentak, bahwa yang selama ini kau lakukan bukan hanya mengenalkan dirimu kepadaku, tetapi juga memaksaku untuk yakin bahwa setiap kepingan penyusun diriku tak lain dan tak bukan hanyalah kelemahan semata. Yang mendudukkan dengan jelas siapa yang dirimu, siapa yang diriku. Mungkin kau dapati aku kebingungan, saat kau tegaskan bahwa ke arah manapun aku melangkah hanyalah sekedar mendekatkan diri kepadamu, tetapi tidak. Sejatinya aku tak sedang kebingungan. Kau membuat dirimu tak bisa habis untuk kunikmati. Setiap aroma barumu mengalahkan ketakutan ketakutanku untuk maju. Sedangkan kudapati kau tak pernah lama, senantiasa baru, hanya kau yang benar benar selalu baru. Tidak ada yang lain. Memang tidak ada yang lain.
Perempuan bernama Nira. Aku tak sedang menggugat setiap keputusan yang kau ambil, adalah boleh bagimu untuk berbuat sekehendakmu, tetapi oleh hal itu adalah mungkin juga bagiku untuk tak setiap waktu bisa mengimbangi nada nadamu. Dan kau tahu sedang seperti apa aku sekarang ini. Tertunduk, tak ingin bersikap, apapun, kepadamu. Jarak yang kau ambil sekaligus yang kubiarkan terjadilah yang akhirnya membuatku memakai keberanianku, memasuki belantara ini. Keterlanjuran yang hebat. Kini tinggal aku dan diriku, sementara tak kutahu seberapa luas belantara ini, juga seberapa pantas kesiapanku menemukan ujung jalan keluarnya. Aku, hanya bagai maju menghadapi seribu musuh tanpa satu pun senjata yang kugenggam bahkan tak juga tahu apakah memang tersediakan untukku senjata. Kau andalkan keyakinanmu untuk menumbuhkan keyakinanku, bahwa aku tak bisa mati diakhiri oleh semua ini.
Nira, kapan aku sampai kepadamu. Aku juga menanyakan, apakah aku telah bergeser dari tempatku semula, lebih dekat kepadamu?. Atau hanya senantiasa membenarkan arah pandangku, agar tepat lurus langsung kepadamu. Iya, aku memang lebih dekat kepadamu, tetapi juga sekaligus kau lebih jauh kepadaku. Kau selalu mengejutkanku dengan kebiasaanmu memasuki ruangan yang kusangka tak pernah ada. Kita bergerak dengan kecepatan yang sama, setiap yang kumasuki adalah bekas keberadaanmu, dan kau pasti tahu benar sakitnya mencumbu itu semua. Kita dikenai oleh aturan hebat yang bahkan kau pun tak sanggup menghindar darinya, bahwa setiap cintaku kepadamu menguat, maka pada saat yang sama cintamu kepadaku jauh lebih kuat. Itulah yang menciptakan semuanya. Mereka, kejadian kejadian itu adalah anak anak kita, yang lahir oleh kita. Maka kita setiap saatnya selalu tertuntut untuk membahagiakan anak anak kita, meletakkan segalanya pada tempatnya masing masing. Keterlaluan, kita dikebiri oleh kebahagiaan yang memabukkan.
Nira, kapan kau ijinkan aku pulang. Untuk bermakan malam denganmu. Saja. Untuk mengetahui apa yang kau ketahui, untuk melihat apa yang kau lihat, untuk merasakan apa yang kau rasakan. Nira, aku tahu benar bahwa rindu ini sejatinya adalah kendaraku, tetapi kengerian yang ditimbulkan olehnya membuatku seakan akan merasakan rindu ini adalah kerandaku, dan aku bagai jasad yang diusungnya saja, yang tak berhak memilih akan dimana tempat pemberhentian, yang telah mati, kehilangan kemampuan untuk merasakan. Nira, jika sedetik saja kau takut suatu saat aku akan takut, maka perjalananku menujumu tak lagi hendak memberi bunga, tetapi menghunus pedang. Nira, aku menantangmu untuk melawan setiap ketakutanmu kehilangan diriku!

Kini

Puisi Binandar Dwi Setiawan

renungan
Gambar diunduh dari kompas.com
Tetapi setiap mata memang berada pada urusannya masing masing. Bahwa tak ada satu pun pembicaraan yang benar benar membicarakan hal yang sama, bilangan perbedaan terlalu mustahil untuk dilenyapkan. Ada yang menyembunyikan mengapa semuanya menjadi sebegini tak tersatukan. Rentang perjalanan telah menemukan terlalu banyak hal yang seharusnya tak penting untuk ditemukan. Pakaian kita berlimpah, senjata kita terlalu beragam, pemandangan kita terlampau luas, bukan hendak aku mengatakan bahwa kita belum siap akan apa yang secara angkuh kita terjang bersama, tetapi memang kita tak pernah memandang diri kita setajam yang seharusnya, dan itu pula yang menutupi kita dari memandang apa yang seharusnya terpandangkan bagi kita. Menyedihkan sekali bahwa telah tercipta terlalu banyak dahaga yang tak memungkinkan terpuaskan. Apakah kita harus mencari sesuatu yang lain, yang sangat kita tahu, pasti mencurigakan. Seakan setiap dari kita berada dalam kebingungan yang hebat, sebuah ruangan luas dengan seribu pintu keluar, yang hanya satu pintu saja yang benar benar mengeluarkan, maka apakah yang bisa kamu dan aku lakukan untuk kerumitan berlipat tak terbatas ini.

Ah, bukan. Aku masih mengetahui apa yang hendak engkau tuju dari sejuta cabang yang maya. Untuk mengakhiri ini. Menuju sebuah tempat yang bisa dikatakan akhir, jika toh memang yang seperti itu ada. Masih ada yang bisa kupantaskan sebagai yang mengemudi kendara yang tak berkesudahan, bukan berarti aku tak mengambil peranku. Hanya saja aku mengakui akan siapa mata yang menembus pandang dalam haq yang sepenuhnya benar. Dan aku sebagai ksatria, sangat mempunyai keberanian untuk bertindak sendiri maupun bertindak tak melibatkan diri. Keindahan hanya bisa dimenangkan melalui apa yang tak berada dalam kendalimu. Pintu yang itu memang nyata adanya, dan kamu tahu, dia terbentuk dari sejuta bekasan kegetiran yang setiapnya bagaikan sakaratul anak anak perasaanmu. Aku tak sedang menakut nakutimu, tetapi memang kamu sangatlah bodoh jika tak sanggup menatap nyala ketakutan yang tak bisa diriasi dengan apapun ini. Kutelanjangkan kepadamu akan siapa aku, hanya kamulah wadahku, yang tak sedikitpun bergeser dari tempatmu berada saat ini.

Bukan berarti, ketika seperti ini aku tak menghargaimu, sebab hanya telingamulah yang bersetuju kepada suaraku, akan seperti apa merdu itu. Carilah tempat di sana seperti ketika aku mencari tempat di sini, kamu yang menuntunku dan aku yang menuntunmu, dan kita lihat betapa kebingungan tak akan pernah bertempat. Tak usah mencari tahu dengan apa kita tersambungkan, kekasih, aku mendengar suaramu bagai kamu di sini. Maka, setujuilah segala hal yang dinuranikan oleh hatimu, sebab di situ tak ada yang kamu dengar kecuali suaraku. Ketika pertemuan terjadi, ketika nanti, kamu sudah mengenal siapa aku, dan aku sudah mengenal siapa kamu. Ketika itu cinta telah sangat sangat bertanggungjawab. Dan, pasti, kita bisa membicarakan hal yang sama, benar benar sama. Kini.

Tebaran Debu

Puisi Binandar Dwi Setiawan
dari debu menjadi debu
Ilustrasi dari stat_ks_kidsklik_com
Apa yang masih aku tidak ketahui harus hadir lagi menjelma kejadian memprakarsai kedatangan dirimu. Rupanya kedatanganmu menuntut begitu banyak syarat yang aku tak kesemuanya tahu. Sementara rinduku tak tertahan lagi disini, aku tak lagi memiliki sesuatu pun untuk menampungnya. Apakah kau hanya mau sampai kepadaku, ketika telah habis rinduku yang untukmu.

Musuh. Aku membutuhkanmu sebagai wadah untuk menumpahkan seluruhnya marahku.Kenalilah segala hal yang kubenci dan segala hal yang secara tradisional mampu menyulut amarahku, rangkumlah menjadi satu, satukanlah menjadi dirimu. Agar tidak ada satupun yang aku benci selain dirimu. Agar para senjata memahami harus kearah mana mereka menghadap.

Disini, didalam diri, kobarnya api terlalu besar. Merusak irama yang harusnya indah berharmoni. Membakar hal hal yang harusnya tersaji sempurna. Kejadian kejadian tertentu yang harusnya terjadi menjadi tidak terjadi. Ruang dan waktu bagai jahat kepadaku. Kau sebarkan aromamu sebelum kedatanganmu, tetapi aku masih tahu siapa kau, dan siapa yang hanya sedang terliputi oleh aromamu. Segala sesuatu itu, meskipun memakai pakaianmu, tetaplah bukan kau.

Mereka tetaplah mereka, dan kau tetaplah kau. Apapun yang terjadi aku tak akan pernah membunuh mereka, seperti aku tak akan pernah segan membunuhmu. Semakin lama kau tak datang, semakin banyak leher kau kirim yang harus ku tebas untuk sampai kepadamu, semakin pandai ku mengambil kendali atas keliaranku, maka akan semakin tajam pedang yang akan kugunakan untukmu. Kau sendiri yang mengasah pedangku.

Hanya kau yang selama ini benar benar ku tunggu, untuk mengetahui siapakah aku yang sebenarnya. Untuk ku merasakan betapa sakitnya apa yang telah lama menjadi bagian dalam diri bisa terlepas keluar. Untuk merasakan aku di dalam dirimu. Musuh, datanglah tanpa ragu, beradalah, dalam pandangku. Apalagikah yang kau takutkan ketika tak sedikitpun aku takut kepadamu. Bukankah keberanianku memuncakkan keberanianmu, bukankah gelisah kita sama. Bukankah kau membutuhkanku sebagaimana aku membutuhkanmu.

Telah ku ubah semua ruang menjadi medan laga bagi kita berdua, maka untuk apa kau bersembunyi jika toh aku di dekatmu juga. Maka untuk apa kau menangkis jika toh aku menyerangmu juga. Sempurnalah. Sebab yang jahat tidak akan betah berada di kebaikan, sebab yang baik tidak akan betah berada di kejahatan. Sebab yang jahat tidak akan betah mendiamkan yang baik, sebab yang baik tidak akan betah mendiamkan yang jahat. Yang jahat harus bertarung dengan yang baik, yang baik harus bertarung dengan yang jahat. Begitulah kekasihku, begitulah musuhku.

Ode untuk Jazz

Puisi Binandar Dwi Setiawan

mawar merah
Ilustrasi dari shutterstock
Di dalammu aku melihat air belum tentu mengalir
Ada kemungkinan air menyala
Kau mencipta aturanmu sendiri
Memaksa libatnya seluruh unsur keadaan mengatur wujud sebersama mungkin
Yang spesial darimu adalah kemampuanmu mempertunjukkan keluarbiasaan dirimu tanpa butuh mengagetkan penginderaan
Kau selalu menarikku ke dalammu
Untuk mensinyalkan bahwa aku pun adalah bagianmu
Kau merendah dan meninggi pada saat bersamaan
Kau menyentak para kejadian ketika caramu bersikap tak sepercik pun terbenak oleh mereka
Kau adalah pengharga terhebat ketika tak menganggap kecil sebagai kecil dan besar sebagai besar
Itu mengajariku untuk menggantungkan kebenaran kepada apa
Kau terlibat sekaligus tak terlibat, kau berbuat sekaligus tak berbuat
Wajahmu yang rumit tak sedikitpun menghalangiku melihat kesederhanaanmu
Sekaligus kealamianmu tak sedikitpun menghalangimu menjadi tak alami
Kau letakkan segalanya pada tempatnya
Menampilkan semuanya tanpa terjebak untuk memewahkan yang satu di antara yang lain
Aku tak punya kalimat untuk memprotesmu
Hanya bertekuk lutut menatapmu bagai aku
Terlalu banyak yang kau suguhkan
Kau puaskan dahagaku dengan melahirkan dahaga yang baru
Jazz, ketika apapun berkemungkinan menjadi dirimu
Aku jadi curiga, darimanakah aku berasal
Jazz, ketika terlalu banyak batas yang kau terabas
Aku tahu ada yang sanggup memelukku menenangkan seluruhnya resahku
Jazz, ketika yang duka dan yang suka kau sikapi sama
Aku jadi tahu mengapa kata sempurna pantas disandang oleh siapapun

Kejadian

Puisi Binandar Dwi Setiawan

Ternyata bukan hanya segala yang kau sadari saja yang diperhitungkan oleh aturan aturan kejadian, tetapi juga untuk segala yang tidak kau sadari, untuk segala yang kau anggap tidak ada, untuk segala yang kau pikir tak pantas dijadikan pertimbangan aturan kejadian. Bajingan, semuanya terlalu tidak terjangkau akal untuk terjelaskan. Aku lukis begini saja, mereka – faktor faktor itu, segala yang kau tahu, segala yang tidak kau tahu, segala yang kau kenal, segala yang tidak kau kenal, segala yang kau anggap ada, segala yang kau anggap tidak ada- bagaikan para anggota senat yang hendak merumuskan sebuah keputusan saling berebut mengajukan pendapat dan argumen, sedangkan keputusannya sendiri bagaikan kejadian yang terjadi. Sang kejadian, memutlak sedemikian kuat tak bisa kau sanggah, tak bisa kau interupsi.

Mungkin kau bisa mengatur rencana ini itu, tetapi ketika kejadian telah benar benar terjadi pas sempurna sesuai dengan yang kau rencanakan sesungguhnya itu sama sekali tak berhubungan dengan sang rencana yang kau lahirkan. Aku tak sedang menakut nakutimu, tetapi memang begitulah faktanya. Aku tak sedang mengurangi kebesaranmu, tetapi memang kau adalah sesuatu yang kecil, yang bahkan demi kehalusan bahasa maka kukatakan sebagai sesuatu, sejujurnya kau sama sekali bukan sesuatu. Aku mohon, jangan kemudian lantas bertanya, “Siapa aku…?”, kau tak pantas untuk pertanyaan itu.

Ketika kau berdiri, kepalamu hanya akan dipukul untuk kau menunduk, ketika kau menunduk, punggungmu hanya akan dipatahkan untuk kau membungkuk, ketika kau membungkuk, sendi sendimu hanya akan dilepas dari tempatnya untuk kau menyungkur. Ancuuk, memang begitulah faktanya, semakin banyak kehidupan yang kau keras kepalai untuk kau hidupi, semakin banyak pula pilihan cara untuk membunuh kehidupanmu. Maka putuskan segera, apa yang kau pilih, mati dibunuh atau membunuh pembunuhanmu. Iya, menjadi kekallah, itulah impian para pemberani.

Ini bukan tentang penderitaan atau kebahagiaan, bukan tentang pesimis atau optimis, ini tentang kejadian dan ketidakpantasan yang dijadikan menuntut tentukan apa yang terjadi.

Kau tak berarti apapun. Tak menguasai apapun, tak memiliki apapun, tak memberhaki apapun. Ada yang sudah benar benar ada dan tak bisa mungkin disifati dengan ketiadaan, sedangkan kita tak lain hanyalah keadaan yang diingini semata. Maka kaulah wujud keinginan itu, dan bukankah keinginan dalam geraknya yang bagaimanapun tetaplah merupakan pelayan dari yang memilikinya. Semoga kau kini tahu, dan tak dikalahkan oleh tangismu.

Menjadi bebaslah kekasih, jangan pandang para ironi sebagai rantai yang membelenggumu. Sayang , kau memintaku menjadi diriku sendiri, dan kau tahu, satu satunya cara menjadikan aku sebagai diriku sendiri adalah dengan menjadikanmu sebagai dirimu sendiri. Jika kau tahu betapa rindunya aku terlepas darimu, mungkin kau akan segera pergi. Sayangnya yang kau tahu hanyalah bahwa aku begitu mencintaimu, ketahuilah aku, kenalilah aku sekeras kepala aku berusaha mengenalmu. Bahwa aku sesungguhnya menguasai, bahwa aku sesungguhnya memiliki, bahwa aku sesungguhnya memberhaki. Bahwa kau dan aku tak bisa bersatu dan tak bisa berpisah itu benar adanya, tetapi bukankah kau tahu jika fakta itu tetap saja tak mencegahku menantangmu menjadi pemberani.