Arsip Tag: weekly writing challenge

Lomba Menulis Cerpen RetakanKata 2013

Kabar Budaya – RetakanKata

Sebenarnya kami kurang begitu suka menyebut ini sebuah lomba. Kami lebih suka menyebut ini sebagai ajang bersuka ria dengan menulis. Semacam seremoni merayakan kemerdekaan untuk menulis. Tapi, apa boleh buat, istilah lomba ini terlanjur memudahkan komunikasi kita tentang bagaimana sebuah perayaan ini dilakukan sehingga menjadi semacam kegembiraan bagi siapa saja. Yah, itulah tujuan utama kegiatan menulis kita kali ini: merayakan kemerdekaan menulis dengan penuh suka cita. Penggunaan istilah lomba cukup dipandang sebagai pemudahan komunikasi saja.

Seharusnya lomba ini diselenggarakan setiap menyambut ulang tahun berdirinya RetakanKata. Tetapi karena beberapa hal mengganggu agenda, terpaksa tahun ini sedikit mundur ke belakang. Dengan parade lomba yang begitu panjang sepanjang tahun 2012, kami berharap, mundurnya agenda lomba menulis cerpen ini dapat dimaklumi. Tentu kami membutuhkan sedikit jeda untuk bernafas setelah lomba cerpen RetakanKata 2012, menyusul rangkaian lomba-lomba yang lain, sebut saja misalnya lomba menulis opini sebanyak dua kali, lomba menulis resensi, lomba menulis flash fiction, weekly writing challenge dan festival blog sastra indonesia. Meski cukup melelahkan, namun kebahagiaan sahabat RetakanKata menjadi penghibur yang menyemangati kami untuk terus mempertahankan RetakanKata.

Mengawali lomba di tahun 2013 ini, RetakanKata kembali menyelenggarakan lomba menulis cerpen yang tetap GRATIS bagi siapa saja. Dengan menambah kategori lomba, mudah-mudahan perayaan kemerdekaan menulis ini menjadi lebih meriah. Ya, lomba kali ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu: kategori untuk umum dan kategori untuk buruh migran. Kategori umum terbuka bagi siapa saja, baik warga negara indonesia maupun bukan. Sedang kategori buruh migran hanya diperuntukkan bagi warga negara Indonesia yang bekerja sebagai buruh migran di mana pun mereka berada. Ketentuan lebih lengkap mengenai lomba cerpen ini dapat disimak di page Lomba Cerpen RetakanKata. Selain menambah kategori lomba, kali ini juga menambah daftar panjang hadiah untuk para juara. Semoga perayaan kemerdekaan menulis ini benar-benar membawa kegembiraan bagi siapa saja.

Untuk membaca ketentuan lomba dan mengunduh formulir pendaftaran klik: LOMBA CERPEN RETAKANKATA 2013.

Kami tunggu karya-karya Anda dan Selamat Bersukacita!

Artikel-artikel Terpilih dari Weekly Writing Challenge RetakanKata

Kabar Budaya – RetakanKata

prosa liris
gambar diunduh dari bp.blogspot.com

Terima kasih kepada sahabat RetakanKata dan rekan-rekan mahasiswa yang telah berpartisipasi aktif dalam weekly writing challenge. Untuk tema minggu lalu “Selamat Tinggal 2012, Selamat Datang 2013”, banyak naskah yang masuk dan rata-rata mengesankan. Sungguh berat hati kami untuk memilih tulisan-tulisan terbagus yang kami yakin, sangat berkesan bagi para penulisnya. Maka, RetakanKata menampilkan empat tulisan terbagus pada weekly writing challenge kali ini. Ini satu lebih banyak dari tiga tulisan yang direncanakan.

Oh ya, tulisan-tulisan terpilih dapat dibaca pada link-link berikut:

Hello 2013, Goodbye 2012!
Ketika Aku Mencintaimu
Jangan Bersedih
Batu Karang di Bawah Sebuah Payung

Selanjutnya, untuk weekly writing challenge minggu ini, RetakanKata mengangkat tema:

“Tawuran Pelajar/Mahasiswa, Penting?”

Persahabatan kadang melampaui kampus-kampus. Artinya, bisa saja kawan kamu atau saudara kamu atau mungkin bahkan “gebetan” kamu, berbeda kampus dengan tempat kamu belajar. Nah, ketika terjadi tawuran, kadang melebar ke mana-mana, pemicunya tidak jelas, tujuannya juga tidak jelas, bahkan kadang yang terlibat tawuran tidak tahu menahu duduk persoalannya. Pokoknya main hajar. Bayangkan jika tiba-tiba kampus atau sekolahmu tawuran dengan kampus atau sekolah tempat sobat dekatmu atau saudaramu belajar. Main hajar, yang dihajar kawan sendiri, menyedihkan kan?

Nah, weekly writing challenge minggu ini menantang para sahabat RetakanKata untuk menjawab pertanyaan:

Apa sih sebab terjadinya tawuran?

Mengapa harus tawuran?

Cari aktivitas yang positif yuk!

Tentu saja jawabannya dalam bentuk esai, dengan ketentuan penulisan esai sebagaimana tercantum pada artikel kirim naskah. Seperti biasa, kirim lewat surel retakankata@gmail.com dengan subyek WWC_JudulEsaiKamu. Batas akhir kirim naskah 19 Januari 2013. Ebook keren hanya untuk yang artikelnya dimuat.

Kami tunggu jawaban tantangan menulis ini.

Batu Karang di Bawah Sebuah Payung

Oleh Retna Agustina

Tanggal 30 Mei 2012, aku mengalami pertengkaran yang hebat dengan salah seorang teman. Aku melakukan sebuah kesalahan padanya. Bisa dibilang aku tidak menepati janji untuk suatu proyek perkuliahan yang kami rencanakan beberapa minggu lalu. Tentu saja aku sudah minta maaf dan jawabannya klasik”oke nggak apa-apa”. Tapi ternyata “apa-apa”. Dia sakit hati dan meluncurkan beberapa pembalasan dendam untuk menyerangku. Dia mulai menyebarkan berita yang tidak benar tentang diriku kepada teman-teman di kampus. Dia meniru gaya hidupku habis-habisan, entah apa maksudnya. Dia berusaha menggagalkan usaha yang aku bangun dengan cara-cara licik. Aku tetap bertahan hingga suatu ketika dia berhasil membuatku bertengkar dengan sahabatku. Saat itulah pertahananku runtuh.

Aku serasa mengalami kematian ketika harus ditolak, dihindari dan dimaki oleh sahabatku. Aku membangun persahabatan kami dengan cara membunuh karakterku yang sombong dan pemarah, bukan dengan hadiah atau uang. Kami melewatkan banyak waktu bersama untuk tertawa dan menangis. Kami memanjatkan banyak doa satu sama lain di setiap malam. Kami juga mengalami banyak pertengkaran, tapi selalu ada kebesaran hati untuk mengakui kesalahan masing-masing. Kami benar-benar belajar arti mengasihi, mengampuni, dan bagaimana memaknai kebersamaan. Selalu ada dukungan dan tangan yang kuat untuk mengangkat salah satu dari kami ketika terjatuh, berduka atau mengalami kegagalan. Sekarang aku harus melakukan segalanya tanpa sahabat. Itu sungguh sangat sulit.

Tiga bulan berlalu dan aku masih berjuang untuk menjalani keseharianku tanpa sahabat. Aku mengumpulkan sisa-sisa kekuatanku untuk tetap berkuliah. Hari itu hujan turun sangat deras dan aku ragu untuk keluar dari lobi kampus, sampai akhirnya seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun menghampiriku. Dia menawarkan sebuah payung padaku seharga dua ribu untuk sekali menyeberang jalan. Ya, ojek payung. Aku setuju dengan tawarannya. Anak itu berjalan satu meter di sampingku sambil bernyanyi nyaris berteriak seolah lagu yang dia lantunkan dapat membuat hujan ini berhenti. Aku menatap matanya yang begitu ceria. Dari mata itu aku tahu menjadi ojek payung bukanlah keinginannya. Aku melihat ada banyak cita-cita yang mulia di sana. Sungguh, dia membuatku merasakan satu ketegaran yang luar biasa.

Belum selesai aku terkagum, dia menunjukkan kekuatan kepribadiannya yang lain. Dia berlari ke sebuah warung dan kembali padaku dengan sebungkus teh hangat. Dia mengatakan bahwa tanganku bergetar di sepanjang perjalanan dan menurutnya aku bisa sakit karena terlalu lama kedinginan.

Aku menawar, “kalau begitu apa rahasiamu agar tidak sakit, sementara hujan terus membasahi tubuhmu dan itu pasti sangat dingin bukan? Beri aku satu jawaban dan aku akan menerima teh hangat ini!”

“Hmm…kau tahu batu karang? Dia dibentuk dari ombak yang besar, jadi tetesan air hujan tidak akan membuatnya hancur. Aku adalah batu karang yang tidak akan pernah sakit hanya karena kehujanan.”

Jawaban itu mengantarkan teh hangat pemberiannya ke dalam tanganku. Baiklah, dia sekarang membuatku sangat iri dengan kepintarannya dan malu karena dia benar-benar sangat kuat. Aku rasa payung yang dia sewakan padaku layak untuk dibayar mahal. Aku melanjutkan pembicaraan, ”apa aku juga bisa jadi batu karang sepertimu?”

”Ya, jika kau mau menghadapi ombak yang menyerangmu! Bisakah kau mengembalikan payungku sekarang? Aku ingin melihatmu menghadapi ombak pertamamu.”

Aku memicingkan mata menunjukkan kebingungan. Apa maksudnya dengan ombak pertamaku. Dia menunjuk semua kendaraan yang melaju dan memintaku menyeberang sendirian. Aku tertawa melihat tingkahnya tetapi aku menurut juga. Setibanya di seberang jalan, aku baru ingat bahwa aku belum membayarnya. Beruntung dia masih di sana. Aku berteriak, ”hey batu karang! Aku belum membayar sewa payungmu!”

Dia menggeleng kuat dan balas berteriak,” tetaplah tersenyum saat ombak menyerangmu dan aku akan menganggap semua ini sudah lunas!” Dia melambaikan tangannya lalu kembali menawarkan jasa sewa payung pada pejalan kaki yang lain.

Aku berjanji akan tetap tersenyum dalam keadaan apapun. Aku akan menjalani setiap hari dengan mandiri. Aku akan melewati tahun demi tahun dengan sangat kuat. Aku akan mengikuti perkuliahan dan diwisuda dengan atau tanpa sahabat. Aku tidak akan marah pada Tuhan untuk semua musibah yang menimpaku, karena aku tahu Dia ingin aku menjadi batu karang.

Tanggal 1 Januari 2013, aku move on. Aku menemukan teman-teman yang baru dan membangun hubungan yang lebih sehat dengan orang-orang di sekitarku. Aku adalah batu karang kedua setelah anak kecil yang menawarkan jasa ojek payung itu dan aku siap mengerjakan skripsiku. Selamat datang ombak keduaku!

 

*) Artikel terpilih dari weekly writing challenge (WWC) RetakanKata karya Retna Agustina.

Jangan Bersedih

Oleh Mira Seba

Aku masih tercenung di depan mama yang sedang terlelap tidur ketika tulisan ini aku buat. Perasaanku selalu terguncang setiap menjenguk mama di rumah sakit umum bagian kejiwaan. Sejak awal tahun ini mama sudah 3 kali menjalani rawat inap di bagian kejiwaan ini.

Mama adalah ibu yang relatif ‘rapuh’, mudah panik, mudah merasa khawatir terhadap apa yang belum terjadi. Perasaannya sangat peka. Keinginan yang kuat untuk melindungi orang-orang yang ia cintai – tentu saja dalam hal ini kami anak-anaknya membuat dirinya cenderung khawatir secara berlebihan bila dirinya merasa memiliki ‘kekurangan’ untuk dapat membahagiakan anak-anaknya. Hal ini terjadi ketika papa meninggalkan kami untuk selamanya setahun yang lalu. Macam-macam yang dipikirkan oleh mama. Dia khawatir tidak bisa membiayai sekolah kami, khawatir tidak bisa memberikan materi untuk kami, khawatir tidak bisa membantu menyelesaikan masalah, hingga khawatir tidak bisa membantu mengerjakan pekerjaan rumah Deri, adikku yang masih sekolah dasar.

Mama pun cenderung tidak bercerita kepada siapa pun kesulitan yang sedang ia hadapi meski hanya untuk menceritakan masalah yang ia miliki. Tidak juga kepadaku, anak sulungnya karena mama takut aku menjadi ‘susah’ dengan masalah yang mama miliki.

Namun aku tahu, mama sering menangis di kamar dan melamun sendirian. Mata mama sering ‘kosong’ meski sedang berada di antara kami. Aku, Risti dan Deri mengira mama terus menerus bersedih karena ditinggal papa. Keluarga kami tergolong biasa saja. Papa seorang guru SMA dan mama hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak pernah dipusingkan oleh urusan mencari uang. Papa berusaha memenuhi semua kebutuhan keuangan bagi keluarga.

Mama mengalami gangguan ‘kesedihan yang mendalam’. Selalu murung dan ia merasa lemas. Kehilangan nafsu makan. Ketika aku menerima permintaan para tetangga untuk memberikan les kepada anak-anak sekolah dasar di sekitar rumah, kesedihan mama malah semakin menjadi. Itulah awal mama dirawat di rumah sakit bagian kejiawaan. Mama mulai meracau, menyalahkan diri sendiri hingga ingin bunuh diri.

Aku tak kalah terpukul dan juga mengalami kesedihan yang mendalam. Para tetangga, keluarga, guru-guru hingga psikolog yang menangani mama justru memberikan perhatian dan dukungan yang besar kepadaku. Sekarang akulah orang yang paling ‘dewasa’ untuk mengendalikan situasi keluarga. Mereka ‘mengandalkan’ aku meski aku baru berusia 18 tahun, baru kelas 3 SMA dan mengalami kebingungan yang amat sangat dengan kondisi orang tuaku bahkan masa depanku beserta adik-adikku.

Depresi, itulah yang dialami mama. Dokter Amir dan Ibu Sofi sebagai psikiater dan psikolog yang menangani mama banyak menjelaskan gangguan depresi. Kata mereka, mama harus terus terusan diberi perhatian, dikuatkan melalui kasih sayang dan cinta yang tulus dari kami anak-anaknya karena kamilah sumber dari kegelisahan, ketakutan dan kesedihan yang mendalam pada diri mama. Lebih dari itu, aku juga ‘dikuatkan’ untuk selalu optimis, untuk ikhlas menerima apa yang terjadi dan berusaha mencari jalan keluar bila mempunyai suatu masalah.

Sama sekali tidak mudah ‘menenangkan’ hati mama, membuatnya gembira apalagi menjadi optimis. Kami berusaha untuk tidak memperlihatkan perasaan sedih dan khawatir di hadapan mama. Padahal, aku sendiri begitu banyak pikiran dan mengalami kesedihan juga apalagi sehari setelah mama dirawat untuk ke-3 kalinya di rumah sakit bagian kejiwaan ini, Dani kekasihku memutuskan hubungan denganku.

Hari ini, hari ke-4 mama dirawat di rumah sakit, juga hari terakhir di penghujung tahun 2012. Hatiku sendu, menghabiskan malam tahun baru di rumah sakit dalam keadaan patah hati pula. Luar biasa, bathinku berkata tahun ini tahun yang penuh dengan pengalaman baru, tak terkatakan. Di sana ada perasaan sedih yang luar biasa namun tak akan aku ucapkan selamat tinggal padanya karena di tahun 2012 ini pula banyak pengalaman baru yang bisa memperkaya bathinku, membantu mendewasakan dan mematangkan pribadiku.

Besok adalah hari pertama di tahun yang baru. Aku masih berlinang air mata ketika bathinku bertekad, hidup harus dijalani. Aku tidak takut untuk menangis. Kata Ibu Sofi, semua orang boleh bersedih tetapi jangan terlalu sedih. Artinya kita harus berusaha untuk mengendalikannya, carilah jalan keluar dari masalah yang dihadapi agar tidak bersedih berkepanjangan. Aku akan mencari teman atau siapa saja yang dapat dijadikan teman bicara untuk ‘meringankan’ beban hati dan pikiran. Dan aku bertekad akan membantu mama mengatasi gangguan depresinya, membantu dia mendapatkan kebahagiaan dan kegembiraan seperti ketika masih ada alm. Papa. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Jadi tetaplah optimis.

*) Artikel terpilih dari weekly writing challenge (WWC) RetakanKata karya Mira Seba.

Ketika Aku Mencintaimu

Oleh Rizki Mulya Pratiwi

Salah satu kata pepatah yang kini berperan penting dalam perjalanan hidupku adalah “benci dan cinta memiliki perbedaan yang sangat tipis. Kalau kau terlalu mencintai seseorang, kelak kau akan sangat membencinya. Dan bila kau sangat membenci seseorang, maka kelak kau akan sangat mencintainya.”

Dulu aku sama sekali tak pernah membayangkan dapat hidup bersama Ahmad Muamar, seorang pemuda yang awalnya sangat kubenci. Beberapa tahun silam, ketika kami masih sama-sama bekerja di sebuah restoran, ia jatuh cinta padaku karena aku membuatkannya segelas teh manis. Pada waktu itu aku sama sekali tidak membayangkan bahwa ia akan jatuh cinta padaku, karena aku membuatkan minuman itu bukan untuk menarik perhatiannya, tapi karena ia temanku.

Ia mulai meneleponku tiap malam, membuatkanku minuman di pagi hari, sampai akhirnya ia menyatakan perasaan cintanya padaku. Aku tak pernah menyalahkan rasa cintanya, karena mencintai adalah hak semua orang. Tapi ia mulai menuntut alasanku ketika aku katakan bahwa aku tak mencintainya. Aku hanya menyukainya sebagai teman baik.

Ia terus memaksaku agar aku mencintainya dan itu membuat aku sangat membencinya. Aku tak bisa memaksakan hatiku untuk mencintai orang yang tak aku cintai. Aku mencari alasan untuk menolaknya. Seminggu kemudian aku mengatakan padanya bahwa aku sudah bertunangan dengan orang yang dijodohkan ayahku. Aku sampai harus menyewa seorang teman untuk aku kenalkan sebagai tunanganku di depan Amar.

Lambat laun ia tahu kalau aku berbohong. Ia mulai menuntutku lagi untuk menerima cintanya. Aku benar-benar merasa tertekan dibuatnya. Karena tak tahan lagi, aku menjanjikan waktu tiga bulan. Barangkali saja tiga bulan ke depan aku bisa mencintainya. Tapi kenyataan berkata lain. Aku malah jatuh cinta pada pemuda lain bernama Ikhsan.

Janji adalah hutang, dan hutang harus dilunasi. Mau tak mau aku harus menerima cinta Amar. Aku pun mulai mencoba menjalani hubungan dengannya dan mengesampingkan perasaanku pada Ikhsan. Baru seminggu menjadi pacarnya, aku sudah tidak kerasan. Ia terlalu protektif bagiku yang hobi jalan-jalan. Aku mulai membesar-besarkan kesalahan-kesalahan kecilnya. Setelah dua minggu aku bertahan, aku pun memutuskan hubungan kami.

Seminggu setelah aku putus dengan Amar, aku menjalani hubungan dengan Ikhsan yang ternyata juga mencintaiku. Aku tahu, pasti itu sangat menyakiti hati Amar. Bahkan beberapa temanku mencap aku brengsek karena menyakiti hati Amar. Tapi pada waktu itu aku tak pedulikan apa pun, karena aku sedang jatuh cinta dan sedang terbang mengangkasa menuju nirwana cinta. Lima bulan kemudian aku resign dari restoran dan banting stir jadi penjaga toko yang gajinya sangat pas-pasan. Sebagai seorang perantau, dengan gaji setengah dari gaji lama, hidupku jadi serba kekurangan. Di saat aku terpuruk, Ikhsan malah meninggalkanku. Ia lebih memilih jabatannya daripada aku. Aku luntang-lantung, hilang arah, kerjaanku mulai berantakan, juga hidupku mulai tak karuan.

Empat bulan setelah putus dari Ikhsan, aku dapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan dan mulai menata hidupku kembali. Saat itu aku merasa sangat kesepian. Hati kecilku berharap Amar kembali. Aku baru menyadari bahwa hanya dia yang mencintaiku dengan tulus. Sikap protektifnya kepadaku adalah salah satu caranya mencintaiku. Di setiap sholatku aku memohon pada Tuhan agar memberikanku kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku pada Amar. Jika Amar sudah sangat membenciku dan tak tersisa lagi cinta untukku, aku harap ia masih bisa memaafkanku.

Setiap ada telepon atau SMS bernomor asing masuk ke Hp-ku, aku akan berharap itu Amar. Sampai akhirnya ia benar-benar meneleponku seminggu sebelum hari ultahku. Baru kali itu aku merasa sangat bahagia sekaligus lega menerima telepon darinya. Aku segera meminta maaf dan mengatakan padanya bahwa ternyata aku membutuhkannya. Aku sangat beruntung karena Amar masih mencintaiku, katanya meskipun ia mencoba membenciku, ia tak pernah bisa melakukannnya.

Lagi-lagi sikap protektif dan tempramentalnya membuatku jengah. Ia juga sangat egois. Ia mau mengkritik tanpa mau dikritik orang lain. Akhirnya untuk kedua kalinya aku putus dengan Amarku.

Tiga bulan kemudian ia datang lagi dan meminta maaf kepadaku. Aku – yang mungkin telah ditakdirkan Tuhan untuk melabuhkan hatiku padanya – pun memaafkannya. Pada malam itu ia mengatakan bahwa ia tak ingin kehilangan aku lagi dan berniat untuk mempersuntingku. Aku bahagia mendengarnya. Aku tak  pernah memikirkan ini sebelumnya. Selamat tinggal masa lalu, karena awal tahun 2013 ini aku akan menikah dengan Amar dan memulai kehidupan baru bersamanya. Aku bersyukur dulu sangat membencinya hingga sekarang aku sangat mencintainya dan tak ingin kehilangan dia sampai nanti maut yang mengambilnya dariku.

*) Artikel terpilih dari weekly writing challenge (WWC) RetakanKata karya Rizki Mulya Pratiwi.