Arsip Tag: ragil koentjorodjati

Puisi-puisi Ragil Koentjorodjati #5

1. Ketika Malam
 
Cinta-cinta bersandar,
di gigir bening,

sungai cintamu.

mengalir,
begitu hening.

2. Kita mencinta, seperti tak mencinta

Lama,
seperti selamanya.
-tanpa kata, -tanpa bicara.

Diam ini,
terlalu dalam, -teramat dalam.
hingga batas, -tanpa batas.
-tanpa henti, -tanpa tepi.

Letihmu lelah,
lelahku letih.
Kita mencinta, seperti tak mencinta.

Teronggok bagai batubatu,
yang tenggelam makin dalam.
-dalam diam, -dalam dalam.

Diam ini, seperti selamanya.

gambar diunduh dari http://ismimei.files.wordpress.com
gambar diunduh dari http://ismimei.files.wordpress.com

3. Perahu Kertas

Seharusnya kita tidak terkejut,
bila musim hujan datang sedikit lebih cepat,
atau sedikit lebih lambat.
Perahu kita akan mengapung,
begitu hening, begitu tenang,

Dua atau tiga nelayan cukup membuat bahagia,
seorang memancing nila, yang lain menyiapkan penggorengan,
masa bodoh dengan semua hal yang tidak masuk akal.
Dari balik jendela bambu, kita bahagia bersama mereka.
Biasanya engkau tidak tahan untuk tidak campur tangan,

Sungai menggelora, menerabas akar bunga bakung,
air tumpah ruah,
Nelayanmu menangis, engkau pun menangis,
Perahu kita kandas,
kembali terurai menampilkan harga makanan yang tak mampu kita beli.
Lain waktu, itu mengajarimu melipat daun pisang membuat payung.

: kita buat satu lagi, kataku

Kita tertawa, memayungi perahu dan nelayan kita,
menyusuri sungai entah sejauh apa,
begitu mudahnya lapar terlupa,
begitu sulitnya bertahan pada bahagia.

Hujan yang datang sedikit lebih cepat, atau sedikit lebih lambat,
Tidak pernah mengejutkan hati yang bahagia.

Puisi-puisi Ragil Koentjorodjati #4

Sembilu

berjalan di kegelapan
Ilustrasi dari blogspot.com

1.
Setiap langkahmu adalah jarak,
menjauh dari kenangan yang rapuh,
meninggalkan luka di setiap jejak.

2.
Harapanmu merimbun jadi sepiku,
mekar liar di ufuk fajar,
rubuh luruh di kaki subuh.

3.
Tentang rasa yang tak pernah kautahu,
serupa labirin di ruang kosong,
berkelindan di kekal ketidakpastian.

4.
Tanpamu,
setiap kata adalah perjumpaan kekalahan demi kekalahan,
pelan menuntunku menuju kekalahan selanjutnya,
hingga entah.

Kutiup Malam

Bila namamu tak mampu lagi kusebut,
Kutiup malam,
Biar tenggelam dalam hitam.

Pejalan

Seorang pejalan, bercerita segala sesuatu yang ditemu di jalan. Tentang pohon, tentang kayu, tentang tanah, tentang batu. Tentang yang lekat, tentang yang luruh, tentang igau atau denyut semak perdu. Angin barangkali diam, tetapi sunyi seringkali lebih lolong dari pecahan hati.
Kaki goyah harus tetap kokoh menopang dada -tempat kenangan bersemayam-, juga benak -tempat resah berlabuh dan hiruk pikir berkecamuk-.
Tidak banyak hal dapat dibawa dalam kantung nasib. Lorong panjang kadang bercecabang. Cukupkan bekal untuk esok sehari. Sebab lusa, -mungkin datang, mungkin juga tidak-.
Hari adalah hitungan rasa bosan. Dan waktu telah menjelma pemburu. Mata lintang pukang mencoba untuk tidak tertipu fatamorgana. Telinga sedikit berkarat. Banyak suara tetapi tidak banyak lagi yang didengar selain isak dan tangis. Selebihnya air mata yang berbicara. Mulut sesekali tersenyum pada siapa saja yang kebetulan berpapasan. Sepotong firman terlipat rapi di tepi jalan.
Setiap pejalan akan berpapasan, dan juga kembali sendirian. Setiap kota adalah rumah. Setiap cinta adalah dermaga. Dan kabut adalah pengingat kerinduan tempat doa-doa dikabulkan.
Senja dan kicau burung, liuk padu batang padi adalah penghibur harap yang terbunuh beribu kali. Angan yang terbang ke pelukan entah, tak jarang pecah mengalir bersama getir.
Seseorang mencari seorang yang lain. Mereka yang kalah tertidur dalam lelah. Dan malam menjadi semakin sepi. Pejalan hidup tidak untuk berhenti.

Manusia Baru

Gerundelan Ragil Koentjorodjati

pembebasan
gambar diunduh dari shraddhananda.com

Ada satu cerita tentang seorang bocah yang menginginkan mainan baru. Anggaplah mainan itu sebuah boneka Timmy. Anda tahu, Timmy si anak kambing pada kartun Shaun The Sheep cukup digemari anak-anak. Bukan saja karena bentuknya lucu menggemaskan, tetapi juga karakter yang kuat untuk memenuhi rasa ingin tahu, ciri khas anak-anak. Wajar jika si bocah terpikat dan ingin memiliki boneka Timmy ini. Persoalannya, si bocah telah memiliki banyak boneka di ranjang tidurnya. Beberapa telah bau pesing dan sebagian lainnya kotor berdebu.

Memancing rasa tahu si bocah, sang ibu bertanya,”Mengapa harus beli boneka baru? Bukankah yang lama masih bagus?” Karena si bocah tidak menjawab sesuai dengan keinginan ibunya, ia tidak dibelikan boneka baru. Si ibu lebih senang membeli buku-buku pelajaran untuk si anak yang kadang harus dipanggulnya ketika berangkat sekolah. Ya, saya menyebut dipanggul karena memang buku pelajaran dalam satu hari untuk anak SD mendekati berat beras 10 kg. Begitu berat beban yang dipanggul anak-anak SD jaman sekarang. Dan tentu sebagian besar harus buku baru.

Saya tidak hendak melenceng membahas dunia pendidikan kita yang Anda tahu cukup menyedihkan. Lebih menarik minat saya jika membahas pertanyaan “mengapa harus beli boneka baru?” Pertanyaan ini bisa disubstitusi dengan kata-kata lain seperti: mengapa harus buku baru, mengapa harus rumah baru, mengapa harus mobil baru. Jika lebih abstrak lagi: mengapa harus aturan baru, mengapa harus undang-undang baru, mengapa harus agama baru, mengapa harus baru, termasuk di dalamnya “mengapa harus manusia baru?” Apakah yang baru pasti lebih baik dari yang lama?

Jawaban pertanyaan ini bisa ruwet namun juga bisa sederhana, tergantung dari mindset masing-masing orang. Mindset sebagai seperangkat cara pandang konsep berpikir dan bertindak manusia, memegang peran penting dalam menyikapi fenomena-fenomena di abad ini. Kemudian beberapa ajaran menyodorkan konsep “manusia baru” guna menyikapi jaman yang bagi sebagian orang tampak semakin buruk. Manusia baru yang bagaimana?

Beberapa ajaran dan agama menekankan “manusia baru” sebagai “perpindahan manusia lama yang penuh dosa ke manusia baru yang suci.” Konsep pertobatan, penebusan dosa, berdoa, berpuasa, samadhi, bertapa, pada intinya sebagai usaha “menghapus manusia lama menjadi manusia baru.” Lalu mengapa sekian lama kita tidak melihat perubahan yang berarti dari hadirnya manusia baru hasil proses beribadah, berdoa, berpuasa, mati raga dan lain sebagainya itu? Kita masih cukup kesulitan menemukan sebuah hubungan antar manusia yang saling menghormati dan menghargai. Memang negara ini menganut demokrasi, namun masih jauh dari egaliter. Alih-alih menjadi manusia yang hijrah dari keburukan, konsep manusia baru justru membawa manusia “naik kelas” merasa boleh merendahkan yang lain. Simak kejadian akhir-akhir ini soal film dan kartun Nabi Muhammad. Ada perubahan cara pandang (mindset), tetapi tidak bergeser dari fondasi “ke-aku-an” sehingga yang terjadi adalah cara pandang “surga buatku”, “kabar gembira buatku”, atau “alam semesta buatku.” Salah satu tujuan beribadah, berdoa, berpuasa dan mati raga untuk menjadikan manusia sebagai pembawa kabar gembira, sebagai rahmat bagi alam semesta, tidak tercapai. Berdoa dan beribadah sebagai salah satu cara mengubah mindset -cara pandang lama ke cara pandang baru-, berubah fungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan diri sendiri semata.

Kembali ke soal Timmy. Karena sang ibu tidak mengabulkan permohonannya, si bocah berdoa, memohon kepada Tuhan agar keinginannya memiliki boneka Timmy dikabulkan. Itu dilakukan sebab guru-guru agama mengajarkan demikian: berdoalah agar Tuhan mengabulkan permintaanmu. Di suatu malam yang sepi, si bocah berdoa dengan keras sehingga seisi rumah mendengarnya, termasuk sang ayah. Keesokan paginya, sang Ayah membelikannya boneka Timmy. Tuhan telah mengabulkan doanya.

Pertanyaan selanjutnya: apakah Jokowi dan Ahok sebagai pemimpin baru akan lebih baik dari pemimpin lama?

Salam pembaharuan! 🙂

Semestinya Aku Menciumnya

Flash Fiction Ragil Koentjorodjati

marah romantis
gambar diunduh dari dreemstime.com

Jadi ceritanya begini. Malam itu sudah mendekati larut, kautahu, itu waktunya orang beranjak masuk kamar, tidur! Aku menemaninya, entah kegiatan apa aku harus menyebutnya, yang jelas berdua di lantai balkon, lebih tepatnya tempat jemuran. Lebih dari 3 jam aku menasehatinya dengan berbagai katakata bijak yang kupungut dari mana saja. Ia diam. Aku berpikir, pasti katakataku telah memikat hatinya.
Lalu malam itu, ya, malam itu, rambutnya tertiup angin, tepat menampar mukaku. Wanginya menggoda. “Aroma apa?” tanyanya. “Bunga lili,” jawabku sok tahu. “Ngawur! Cobalah lebih dekat.” “Jangan, itu tidak baik. Nanti jadi gosip gak sehat.”
Entah kenapa dia tiba-tiba marah. Aku ditinggalnya sendiri di atap rumah. Sebulan tanpa kabar hingga aku memberanikan diri bertanya, kenapa?
Lalu jawabannya mengejutkanku. “Aku ingin kaudiam dan segera mencium rambutku. Bukan memberi kotbah sepanjang jam!”

Air Mata

Cerpen Ragil Koentjorodjati

mata air mata
Gambar diunduh dari bp.blogspot.com
Aku hampir tidak percaya ketika pagi itu, selepas bangun tidur, aku membuka tudung saji dan mendapati hanya ada dua tetes air dalam gelas bening di meja. Tidak ada nasi. Tidak ada lauk. Tidak juga sayuran. Hanya dua tetes air dalam gelas bening di meja. Tanpa harum wangi rempah-rempah digoreng. Tanpa aroma masakan, bahkan aroma asap pun tak ada. Udara begitu bersih dan segar, tidak seperti biasa. Tanpa bau keringat manusia. Entah ke mana perginya istriku. Biasanya, pagi begitu riuh dengan bebunyi alat dapur dan dendang riang istriku, sebelum aku terbangun karena basah bibir menindih kelopak mataku, aneka hidangan telah tersaji di meja makan. Tapi kali ini tidak. Pagi menjadi sungguh tidak biasa. Hanya ada sunyi. Hampa. Aku sendirian.Aku alihkan pandangan mataku ke dispenser. Kosong. Perihal ini aku sedikit ingat, sudah dua hari pabrik air olahan isi ulang macet produksi. Terakhir kali ada sesuatu, serupa cacing, berenang di air dalam botol isi ulang. Berenang dengan riang. Mungkin sebab itu pabriknya tutup. Kabar yang kudengar terlalu banyak keluhan tentang cacing dalam botol, meski sebenarnya bukan cacing. Hanya serupa cacing. Dan dispenserku menjadi hiasan dapur. Tidak lagi berisi. Seekor kecoa paruh baya asyik bermain sungut di atasnya. Meski cukup haus dan lapar, tetapi aku belum berpikir untuk menjadikan kecoa sebagai lauk hari itu. Kecoa bukanlah hewan yang baik bagi manusia.

Mungkin masih ada sesuatu di kulkas. Aku buka kulkas. Tidak ada yang bisa dimakan. Tidak ada yang bisa diminum. Hanya sedikit aroma debu dan bau sangit menyeruak, semacam aroma kebakaran listrik dalam skala kecil. Aku mencoba mengingat, sejak kapan kulkas itu kosong. Lalu aku menyadari aroma itu. Listrik mati beberapa hari lalu menyisakan kebakaran ringan pada alat elektronik murahan. Tentu saja kebakaran semacam itu tidak boleh diperhitungkan sebagai kerugian yang bisa dimintakan ganti ke perusahaan listrik. Aku tidak terlalu ambil pusing meski seharusnya mengajukan keberatan atas iuran bulanan yang mulus-mulus saja. Pagi itu aku lebih butuh minum daripada ribut soal bayar listrik.

Aku perhatikan gelas bening di meja makan. Masih di sana. Sepertinya tidak lagi dua tetes air di sana. Ada empat atau lima tetes barangkali. Aku tidak habis pikir dari mana tambahan air itu. Mungkin air dari atap rumah yang lalu rembes, menetes melalui retakan genteng atau lubang semut. Entah. Air bisa lewat mana saja, lewat tempat yang tidak pernah kauduga, lalu mungkin menetes masuk ke dalam gelas. Atau barangkali kencing kecoa yang sebelumnya asyik bermain sungut di atas dispenser. Itu pun sebuah kemungkinan lain. Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja air dalam gelas itu lebih banyak dari yang sebelumnya. Mungkin saja aku rabun usai bangun tidur, belum sepenuhnya sadar. Atau lebih tepatnya kesadaranku baru sebatas rasa bahwa aku kehausan. Tapi aku belum sudi minum air kencing kecoa, andai benar tambahan air dalam gelas itu bersumber dari kencing kecoa. Tidak sudi juga aku minum air dari atap bocor. Aku hidup di negeri yang kaya raya, tempat air berlimpah ruah bahkan bila batu dipecah, air akan membuncah. Masak harus minum air kencing kecoa, pikirku.

Sudah jadi kebiasaanku bahwa ketika bangun tidur aku minum dua-tiga gelas air putih sebelum kemudian melanjutkan aktivitas. Tetapi pagi itu memang lain dari biasanya. Tidak ada yang dapat kuminum. Aku berpikir, mungkin lebih baik memasak air dari sumur atau air ledeng daripada minum kencing kecoa atau air dari atap bocor. Segera aku mencari perlengkapan memasak, maklum sejak ada dispenser aku hampir tidak pernah memasak air lagi. Aku cari kompor. Kompor minyak kutemukan di bawah meja dapur, tidak ada minyaknya. Aku lupa kalau sudah tidak jaman lagi masak memakai minyak tanah. Aku coba kompor gas. Masih tersisa nyala api sedikit biru kemerah-merahan. Aku tersenyum sedikit lega. Tinggal mencari panci dan tentu saja air. Aku masih belum ingat, mengapa istriku tidak memasak air jika dispenser kosong.

Panci tidak sulit kutemukan. Teronggok masih kotor di kamar mandi, belum di cuci. Sisa bumbu mie instan menempel di kanan kiri panci. Bergegas aku hendak mencucinya. Tetapi alangkah terkejutnya ketika kudapati tidak ada air dalam bak mandi. Habis tandas. Seingatku, pada malam terakhir aku mandi, air  masih ada, setidaknya setengah bak mandi. Ke mana perginya air itu, tanyaku dalam hati. Memutar kran, tidak ada yang keluar. Hanya desis angin bercampur bau karat.

Aku tidak habis mengerti mengapa air bisa lenyap dari rumah ini hanya dalam waktu semalam. Jam dinding masih berdetak seperti biasa. Jarum panjang berputar sangat perlahan menunjuk angka 7. Jarum pendek malas beringsut dari angka 6. Masih pagi. Masih tidak salah untuk bangun tidur. Penanggalan tergantung setengah miring pada tembok yang lancang menonjolkan bata merahnya.

“Wahai, siapa yang mengubah angka tahun itu?” bisikku terperangah.

Angka 2078 bertengger di atas gambar gadis sampul tanpa celana. Selembar daun seolah menutup sesuatu yang gagal untuk tidak diperlihatkan. Wajahnya bukan wajah istriku. Wajah gadis itu sedikit keriput. Hanya buah dadanya tetap penuh. Silikon tidak mengenal usia rupanya. Dan istriku tidak menggunakan silikon hanya untuk mempermontok payudara. Tahun 2078. Aku bingung. Aku mencoba mengingat. Tapi aku lupa ingatan. Tidak ada yang kuingat.  Air dalam gelas bening setengah penuh. Apa yang sebenarnya terjadi, bingungku menjadi-jadi.

Perlahan kulangkahkan kakiku keluar rumah. Tidak peduli andai wajahku tampak kusut dan rambut awut-awutan. Sepintas aku dapat mencium bau busuk tubuhku sendiri. Biarlah, pikirku. Tidak ada air untuk mandi atau hanya untuk cuci muka. Mungkin di tempat tetangga ada sedikit air tersisa. Aku tertawa. Hanya sedikit tertawa, sebab hatiku sesungguhnya tidak tertawa. Waktu satu malam sepertinya mengubah segalanya.

Matahari mulai meninggi. Udara terasa begitu panas. Rumah-rumah berderet rapi. Tanpa pepohon di sepanjang jalan. Tempat yang tidak kukenali. Entah ke mana perginya para tetangga. Entah di mana pohon berpindah tempat untuk tumbuh. Rumah-rumah megah di depanku sunyi sepi. Di ujung jalan kulihat dua bocah kecil menari. Aku datangi mereka sambil tersenyum mesra. Begitu mesra.

“Orang gila! Orang gila!”

Mereka berteriak sejadi-jadinya. Tarian buyar berganti gerakan liar memungut apa saja yang ada di dekatnya yang lalu dilemparkan ke arahku. Tanah, batu, pasir, kayu dan ranting kering, terbang ke arahku. Tepat ke arahku.

“Hei!” teriakanku putus di ujung bibir. Segumpal tanah menutup mulutku. Mereka lari lintang pukang.

Aku cengengesan sebelum kemudian tidak lagi mempedulikan mereka. Kulangkahkan kakiku menuju rumah-rumah megah. Masih sunyi dan sepi. Tetap sunyi dan sepi. Tanpa penghuni. Kota apakah ini, tanyaku dalam hati. Sunyi dan sepi seperti kota mati. Kering dan gersang seperti kota usang. Tidak ada manusia. Tidak lagi kutemui para tetangga. Mungkinkah mereka mengungsi mencari air dan aku tertinggal di belakang? Aku memilih pulang sembari berharap keajaiban terjadi. Aku berharap istriku sudah kembali dari mana saja ia telah pergi.

Di meja, air dalam gelas bening terisi penuh. Aku berkaca padanya. Tak kukenali wajahku. Wajah siapa, entah, plethat plethot tanpa bentuk. Begitu abstrak. Perlahan, aku reguk sedikit air dalam gelas bening. Alangkah terkutuknya hari ini, gumamku, sekedar untuk minum saja tidak ada air kudapati. Air dalam gelas bening terasa asin. Seperti rasa air mata. Aku tidak peduli meski ada semacam rasa nelangsa menusuk dada. Mungkin tanpa kusadari air mataku menetes di sana.

Dengan gelas masih di tangan aku menuju ke kamar mandi sekedar ingin membasahi muka dengan sedikit air tersisa di gelas bening. Cermin retak berlumut memantulkan wajah kusut awut-awutan. Semakin abstrak. Wajah dalam cermin berurai air mata. Aku ingin meminum air yang berlimpah di sana. Air dari air mata. Air mata dari wajah yang pernah kukenal. Lalu gelas bening di tanganku tiba-tiba terisi  penuh air. Aku tuang sedikit ke mukaku. Basah. Wajah dalam cermin basah. Cermin basah. Tanganku basah.

Air dalam gelas bening tidak berkurang. Mataku basah. Bak mandi basah. Kran air, basah. Semua menjadi basah. Aku menangis bahagia sejadi-jadinya. Rumahku berlimpah ruah dan membasah. Air rembes dari mana saja. Dari mataku mengalir air tak berkesudahan. Membanjiri rumah. Membanjiri segala. Sejak itu aku terbiasa minum air mata dan memasak dengan air mata.

 

Ujung Mendung, Desember 2011

Sekali Lagi Mempertanyakan Sikap Pemerintah Terkait Kekerasan Atas Nama Agama

Gerundelan Ragil Koentjorodjati
merpati lambang perdamaian
Gambar diunduh dari bp.blogspot.com
Jauh hari sebelum tahun 2012, sudah banyak pihak mempertanyakan sikap pemerintah terkait dengan kekerasan atas nama agama. Anda bisa mengunakan alat pencari google untuk menemukan berbagai pendapat dan pandangan para tokoh, mulai dari akademisi seperti Anies Baswedan, Benny Susetyo, Magniz Suseno, tokoh-tokoh mahasiswa, dan berbagai organisasi LSM. Intinya sama, mempertanyakan sikap pemerintah terkait kekerasan atas nama agama. Puncaknya –jika boleh disebut demikian- pada bulan Mei 2011 Komisioner PBB untuk Hak-hak Asasi Manusia, Navanethem Pillay, menyurati pemerintah Indonesia, menyatakan keprihatinan mereka terhadap peningkatan jumlah laporan mengenai kekerasan terhadap kelompok keagamaan minoritas di Indonesia. Surat keprihatinan terhadap kekerasan atas nama agama dan sekaligus keprihatinan terhadap respons pemerintah yang dinilai kurang memadai. Dan kita tahu, sampai hari ini, tidak ada perkembangan signifikan menuju ke arah yang lebih punya harapan. Kekerasan masih terus berlanjut bahkan cenderung meningkat. Dari laporan media massa, sudah lebih dari 65 kasus kekerasan dalam waktu setahun terakhir, belum ditambah dengan kekerasan yang tidak terpublikasi media.

Tirani Minoritas.

Ada satu pemikiran yang berkembang bahwa kekerasan terjadi karena provokasi dari minoritas. Dalam konteks negara demokrasi, tirani minoritas tidak diijinkan terjadi. Demokrasi ala ‘suara rakyat suara Tuhan’ merujuk pada suara terbanyak untuk mengambil sebuah tindakan pada level pragmatis kemasyarakatan. Dengan menggunakan label agama mayoritas, maka pemahaman makna ‘minoritas’ terbatasi pada terminologi ‘bukan islam’. Pada titik ini, ada banyak pertanyaan yang timbul karena pemikiran tersebut menuntun pada arah yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris.
Berdasarkan data BPS tahun 2010, dari jumlah penduduk sebanyak 237, 6 juta jiwa, sebanyak 207,2 juta jiwa (87,18 persen) mengaku beragama Islam, 16,5 juta jiwa (6,96 persen) beragama Kristen, 6,9 juta jiwa menganut agama Katolik (2,91 persen), 4 juta penganut agama Hindu (1,69 persen), 1,7 juta penganut Buddha (0,72 persen), 0,11 juta penganut Konghucu (0,05 persen), dan agama lainnya 0,13 persen.
Sumber data lain menunjukkan bahwa sebagian besar Muslim adalah Suni. Dua organisasi massa Islam terbesar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, diperkirakan mempunyai lebih dari 40 juta dan 30 juta pengikut Suni. Sekitar satu juta hingga tiga juta adalah Muslim Syiah. Dalam jumlah yang lebih kecil lagi mencakupi al-Qiyadah al-Islamiya, Darul Arqam, Jamaah Salamullah, dan pengikut Lembaga Dakwah Islamiyah Indonesia (LDII). Dalam skala yang lebih kecil, Ahmadiyah –yang mana status keislamannya masih dipersoalkan beberapa pihak- memiliki anggota sekitar 400.000. Ahmadiyah ini terdiri dari dua kelompok yaitu Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore.
Agama lain, agama yang belum diakui pemerintah sebagai agama resmi, mencakupi berbagai agama asli suku-suku di Indonesia dan lebih dari 200 aliran kepercayaan di seluruh penjuru nusantara, diperkirakan memiliki lebih dari 300.000 pengikut.
Jika mengacu pada model demokrasi ‘suara rakyat suara Tuhan’ dengan jumlah suara mayoritas sebagai acuan kebijakan, maka jumlah suara yang menginginkan kebebasan beragama tanpa kekerasan, secara statistik jauh lebih banyak dari aliran minoritas yang memaksakan kehendaknya. Sebab sikap aliran minoritas yang melakukan penyegelan gereja, menurunkan patung Budha dan melakukan tindakan anarkis berlabel agama di berbagai tempat, bukan representasi valid sikap mayoritas Islam secara keseluruhan. Logika tirani minoritas yang selama ini diarahkan pada penganut agama selain Islam, pada kenyataannya berbanding terbalik dengan kondisi yang ada di lapangan.

Pemerintah, Negara dan Agama.

Secara singkat, hubungan negara dan agama dipedomani sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Jangan mengatakan bahwa cantuman ini klise dan sudah kuno, sebab pada kenyataannya sila itulah yang ada di Pembukaan UUD’45. Sila itulah yang memberi pedoman bahwa Indonesia bukan negara agama. Sila itulah yang memberi pedoman pada pemegang kekuasaan bahwa semua agama dan aliran kepercayaan berhak menjadi anak kandung bangsa Indonesia. Secara sederhana, Ketuhanan Yang Maha Esa bermakna spiritualitas –kualitas hidup batin yang merujuk pada keyakinan akan Tuhan dan kemanusian- adalah nomor satu bagi seluruh penghuni rumah bernama Republik Indonesia, apapun jalan yang ditempuh menuju spiritualitas itu.
Merujuk pada pemahaman di atas, fungsi pemerintah adalah mengeksekusi tataran ide tersebut sehingga menjadi sesuatu yang konkrit di masyarakat dengan melibatkan seluruh komponen bangsa. Akuan pemerintah atas keenam agama resmi, absennya pemerintah dalam berbagai tindak kekerasan atas nama agama dan penguasaan atas akses-akses beragama atau akses menuju manusia Indonesia berspiritual, adalah bukti-bukti nyata kegagalan memahami makna sila pertama Pancasila oleh seluruh komponen pemerintah, terutama aparat penegak hukum dan aparat Kementerian Agama. Mengapa dua entitas ini? Sebab dua entitas inilah yang berinteraksi langsung dengan segala persoalan keagamaan di tataran masyarakat. Mereka gagal memisahkan antara kepentingan pribadi, agama dan negara. Gagal memedomani Pancasila sebagai cara pandang bangsa Indonesia. Gagal memahami agama yang dianutnya dalam konteks keberagaman kehidupan berspiritual di Indonsia.
Dampak dari berbagai kegagalan tersebut, tidak saja mewujud pada ketidakpedulian atas konflik yang terjadi di masyarakat, tetapi juga malah mengekploitasi konflik demi konflik untuk kepentingan pribadinya. Agama dijadikan kendaraan untuk memenuhi berbagai ambisi pribadinya.

Lantas Bagaimana?

Sudah jamak dipahami bahwa beragama adalah salah satu jalan menjadi manusia spiritual. Mayoritas warga bangsa menginginkan semangat hidup bersama dalam damai dan tolong menolong. Standar minimal yang harus diterapkan pada aparat pemerintah adalah tidak membiarkan berbagai kekerasan dan konflik bernuansa agama terus terjadi. Aparat pemerintah minimal memahami tugas pokok dan fungsinya menyelenggarakan kepemerintahan yang sehat dan transparan. Transparan dalam arti keterbukaan terhadap segala akses bagi warga bangsa untuk memperoleh hak-haknya. Sehat dalam arti tahu diri sebagai orang yang digaji oleh para pembayar pajak yang mana kontribusi nominalnya didominasi orang tidak beragama Islam. Sehat berarti juga mampu menempatkan diri sebagai anggota masyarakat majemuk dengan atribut keagamaannya dalam wadah warga bangsa sebagaimana kutipan ‘Islam 100% dan Indonesia 100%’. Tentu saja tidak hanya Islam, tetapi juga aparat-aparat yang beragama lain.
Pada tataran ideal, tentu kita harus bersepakat kekerasan -atas nama apapun- tidak pernah menyelesaikan persoalan. Untuk itu, mengembalikan Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara adalah mutlak. Dengan memedomani Pancasila, negara mengakui semua agama memiliki hak hidup yang sama sekaligus memberikan kebebasan bagi pemeluknya untuk mencapai kehidupan spiritualitasnya masing-masing. Oleh sebab itu, pemerintah tidak bisa membuat aturan main sendiri yang bertentangan dengan Pancasila. Apapun agama atau kepercayaannya, hak-hak sipil harus dipenuhi, tanpa meninggalkan koridor apa yang kita sebut sebagai tindak pidana.

Data dihimpun dari berbagai sumber.

Di Siang yang Serba Panas

Puisi Ragil Koentjorodjati


Larik puisi macam apa yang pantas untuk siang yang serba panas,
Keringat kita menetes,
Tak lagi deras. Tapi kerontang memerah hingga perih.
Ya, aku takut. Bukan tak mungkin selanjutnya kulit meneteskan darah.
Apakah hidup ini terlalu keras?
Selebihnya aku tersenyum,
di siang yang serba panas.

Aku ingat lakon sebuah komedi,
nyaris tanpa tamat,
seorang lelaki tertawa –terus tertawa,
lalu terbakar,
meleleh tinggal murung dalam seragam baju serba lucu,
aku yakin, kau tidak pernah tahu berapa musim ia lalui penuh rindu,
rindu yang dingin dan beku pada hari yang serba panas.
Entah untuk apa. Mungkin untuk sesuatu.
Atau untuk seseorang berhati kering dan gersang.

mata pedih
gambar diunduh dari fc07.deviantart.net
Sungguh,
di siang yang serba panas,
kita butuh sebidang dada lapang,
dan hati yang cukup teduh untuk melepas keluh.

Lalu tiba-tiba aku ingat kau,
yang setia menyenyumi bara di dadamu. Tulus.
Selebihnya aku tersenyum,
di siang yang serba panas.

Awal Mei 2012

Ulang Tahun

Flash Fiction Ragil Koentjorodjati

ulang tahun jaman dulu
Ilustrasi dari 2.bp.blogspot.com
Aku punya seorang teman. Lebih kaya dariku kukira. Ia tidak kekurangan makan, tempat tidur cukup hangat saat udara malam begitu dingin. Dan keluarga yang dekat, dalam arti ia bisa memanggil saudaranya kapan pun ia membutuhkan. Dalam beberapa hal, nasibnya lebih baik dari nasibku. Hanya satu hal yang aku tidak mengerti, setiap tahun ia meminta ulang tahunnya dirayakan.
…Hari ini aku mendapat undangan untuk merayakan ulang tahunnya yang ke 42. Nasi tumpeng dengan warna kuning jeruk, beberapa potongan telor dan daging ayam, sedikit lalapan sudah tersedia di meja makan. Oh ya, ikan asin kecil-kecil cukup banyak bertebaran di sekitar tumpeng.
“Maaf Mbak, perayaannya sangat sederhana,” katanya dengan muka kemerah-merahan menahan malu. Yang aku tidak paham, ia memiliki rasa rendah diri yang luar biasa.
“Ini bancakan ya Mas,” tanyaku sedikit ragu.
“Iya Mbak.” Kembali wajahnya memerah. Lalu dengan nada yang terdengar membela diri, ia bercerita mengapa ia harus merayakan ulang tahun setiap tahunnya. Ia bercerita tentang orang tuanya yang mendidiknya begitu keras, tanpa pujian, tanpa penghargaan. Dan kegagalan berarti hukuman. Di mata keluarganya ia terlihat sukses. Tapi ia sendiri merasa tidak berharga.
Aku diam menyimak dan tanpa kusadari, hatiku trenyuh. “Ini boleh dimakan kan Mas?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Oh, ya! Silahkan..,” katanya agak gugup.
Aku membuat pincuk dari daun pisang yang menjadi alas tumpeng. Lalu beberapa potong makanan kutaruh di dalamnya. Terasa begitu nikmat sepertinya. Mulutku terbuka dan segenggam makanan siap kukunyah ketika tiba-tiba aku mendengar suara bocah dari belakangku,”Pak…kapan ulang tahunku dirayain?”

Janji

Puisi Ragil Koentjorodjati

bergandengan dalam hujan
Ketika engkau menyatakan kesanggupanmu untuk berani miskin bersamaku,
Aku bertekad memperkayamu.
Ketika engkau menyatakan kesanggupanmu untuk berani terkucil di dunia kecilku,
Aku bertekad membangun gubug mungil yang layak menjadi rumahmu.
Ketika engkau menyatakan kesanggupanmu untuk tinggal di gubug mungilmu,
Aku bertekad mendirikan istana termegah bagimu.
Ketika engkau merasa istana akan menjauhkanku darimu,
Aku bertekad tinggal di gubug kecil, terkucil bersamamu.

Ketika engkau menyatakan kesanggupanmu untuk bertarung melawan kerasnya hidup,
Aku bertekad menaklukkan hidup agar cukup lunak untukmu.
Ketika engkau menyatakan lunaknya hidup akan membuatmu terluka,
Aku bertekad menjauhkanmu dari perihnya luka.
Ketika engkau menyatakan kesanggupanmu untuk berani terhina dan papa,
Aku bertekad meletakkan puncak-puncak keagungan di setiap ruang dada.
Ketika engkau merasa kesejahteraan dan kemuliaan menjauhkanku darimu,
Aku bertekad menjalani hari hina dan papa bersamamu.

Ketika engkau menyatakan kesanggupanmu untuk berani berjalan sendirian,
Aku bertekad senantiasa di sampingmu sebagai kawan.
Ketika engkau menyatakan kesanggupanmu untuk melawan arus,
Aku bertekad mengajarimu berenang dan mengapung tanpa harus tergerus.
Ketika engkau menyatakan kesanggupanmu untuk menolak segala bentuk ketidakadilan,
Aku bertekad memberimu keadilan yang patut kaukenakan.
Ketika engkau merasa kemapanan membuatku lupa ingatan,
Aku bertekad bergulat dalam kesulitan agar tetap bersamamu dalam kesadaran.

Ketika engkau menyatakan kesanggupanmu untuk menolak segala sesuatu yang merendahkanmu sebagai manusia,
Aku bertekad meninggikanmu melebihi tingginya bukit dan mega-mega.
Ketika engkau menyatakan kesanggupanmu untuk menjadi yang terkecil,
Aku bertekad membesarkanmu melebihi besarnya purnama di bulan April.
Ketika engkau menyatakan kesanggupanmu untuk berani sakit dan lemah,
Aku bertekad mengupayakan segala agar engkau senantiasa penuh daya.
Ketika engkau merasa kesentausaan menjadikanku serupa Rahwana,
Aku bertekad bersamamu menjadi manusia biasa.

Ketika engkau menyatakan kesanggupanmu untuk menjaga air mata,
Aku bertekad menunjukkan padamu bening mata air dari setiap tetes air mata.
Ketika engkau menyatakan kesanggupanmu untuk melukis senyum pada kabar duka cita,
Aku bertekad menyampaikan kepadamu hanya kabar suka cita.
Ketika engkau menyatakan kesanggupanmu untuk berani hidup tanpa bahagia,
Aku bertekad membawamu kepada bahagia.
Ketika engkau merasa kebahagiaan menjauhkanku dari tuhan,
Aku bertekad mendiamkan egoku untuk tetap bersamamu dalam tuhan.

Burung-burung Kertas

Puisi Ragil Koentjorodjati

burung kertas
Ilustrasi dari 2.bp.blogspot.com
(1)
Di tanganmu, satu demi satu kaucipta,
Burung-burung kertas yang kemudian kauterbangkan kian ke mari,
Melayang, menarikan mega-mega biru,
Meliukkan nafas cinta yang kausemayamkan pada sayapnya,
dan harapan tertakik pada kerinduan.

Wahai, udara ini serasa tak pernah hampa.

Ah, aku telah jatuh cinta,
Pada burung kertas yang hancur luruh di kali kecilku.

(2)
Aku ingin terbang bersamamu,
Melangit tinggi di awan maya -imaji bocah-bocah terbahagia-
Dengan tenang kita akan mengawang,
menantang tinggi nyiur yang tak terukur,
melintas semak perdu penuh biru,
Sembari aku akan berkisah tentang kampung halaman,
Tempat semua kerinduan berpulang,
Di sana, kita dapat leluasa terbang.
Lalu seperti biasa,
Ketika senja tiba, Ayah atau Ibu akan memanggil bocah-bocah itu,
Beruntun mereka berebut memeluk Bunda,
ditingkah selaksa cinta -tawa yang berderai-derai
Dan kita akan mendarat di tempat sampah atau nyala api,
Dengan sedikit rasa yang kupunya, akan kubisikkan kepadamu,
:jangan menangis, besok kita akan kembali terbang.

(3)
Adalah salahku mencintaimu,
mencintai hal-hal palsu,
hanya agar nafas tetap bertahan di badan.
Dan aku mohon,
jangan kaucaci aku tentang murninya hati,
ketika -dengan sedih- harus kucuri sesuatu dari kematianmu,
kunikmati di sela-sela ranggas kemarau istirahku,
deretan aksara yang tak lagi bermakna,
tertekuk, terlipat, tak lagi terbaca.
Engkau tahu, aku tidak mampu berterima kasih kepadamu,
aku tidak mampu berterima kasih pada hal-hal palsu,
seperti mereka yang mencuri dari nama-nama kosong,
yang mencuri dari yang ditinggalkan orang mati.
Dan ketika alam hidup mengajarkan kekejaman,
ijinkan aku tetap mencintaimu,
tanpa hati, tanpa jantung
tanpa darah, tanpa nadi.
Agar aku dapat tetap terbang bersamamu,
Meski aku menjelma burung kertas yang terlalu ungu.

Tetangga

Flash Fiction Ragil Koentjorodjati

tangan tuhan
Ilustrasi dari wordpress
Ceritanya begini. Mungkin ini kesalahan saya ketika saya nekad mendirikan rumah bersebelahan dengan mereka. Kautahu, tanah dan rumah sekarang amat mahal. Lalu saya mendapat tanah kosong yang dijual begitu murah, tanah sebelah tetangga itu. Tentu saja langsung saya beli. Adakah pilihan yang lebih baik bagi orang miskin selain sesuatu berharga murah?
Usut punya usut, tanah tersebut dijual murah sebab tetangga itu begitu sangar dan mengerikan, satu keluarga dengan pola pikir picik, egois, fanatik dan nyaris tidak manusiawi. Tidak ada seorang pun yang betah tinggal dekat mereka. Anak-anak mereka begitu banyak dan nyaris tiap hari bertengkar meributkan sesuatu yang sepele seperti misalnya siapa yang mendapat giliran buang sampah hari ini. Hal sepele bisa berujung pada perkelahian sengit sampai ke pelataran tetangga.
Awalnya aku tidak terlalu peduli. Aku berpikir, tanah sudah kubayar lunas, rumahku sudah layak huni dan aku ingin tidur pulas waktu malam hingga cerita-cerita yang pernah kudengar tentang apa yang membuat tanah ini murah mulai mengusikku. Anak-anak mereka tumbuh besar dan memperanakkan lagi. Suasana gaduh semakin riuh. Rumah mereka disekat-sekat hingga nyaris sulit untuk dapat disebut rumah. Mungkin lebih tepatnya, kandang ternak manusia. Dalam satu rumah terdengar bunyi saut-sautan, entah dari televisi, tape recorder ataupun suara perdebatan sesama mereka. Bising. Dan pembunuhan sesama mereka tersembunyi di balik kebisingan yang semakin memekakkan telinga. Tidak ada tetangga lain yang peduli. Berurusan dengan tetangga satu ini, sama saja dengan berurusan dengan neraka.
Memprihatinkan. Sebagai sesama manusia, tentu saja aku ingin mereka hidup damai, sebab dengan begitu rumahku pun menjadi lebih damai. Dan yang lebih penting, aku tidak mau rugi. Aku tidak ingin harga tanah dan rumahku hancur hanya karena dekat neraka. Maka hari itu aku datangi mereka yang sedang bertikai dalam rumah sendiri dengan toa. Lalu kukatakan pada mereka,”sejujurnya saya tidak peduli kalian mau saling bunuh sekalipun. Tapi tolong usahakan pembunuhan itu terjadi dalam diam, sebab saya ingin tidur.”
Lalu keesokan paginya saya melihat rumah saya dibakar habis. Itulah upah yang harus diterima orang yang suka mengganggu rumah tangga orang lain, kata mereka.

Cuma Nyaris Mati

Puisi Ragil Koentjorodjati
pelepasan roh
Ini adalah puisi kesekian kali yang rencananya kutulis berkali-kali,
tentang kecewa,
tentang pedih,
dan sedikit tentang luka.

untuk binarbinar mata yang menggelepar,
untuk getir hatihati yang menggetar,
untuk tubuhtubuh luruh dalam rapuh,
untuk jiwajiwa ranggas usai getas.

Ini adalah puisi kesekian kali yang rencananya kutulis berkali-kali,
tentang amarah,
tentang benci,
dan sedikit tentang cinta.

mungkin juga pernah kaurasa,
hati tercabik -terbengkalai- putus asa,
ditinggalkan dan meninggalkan,
harga diri terbelenggu di lacilaci.
lalu perlahan dan mengular tumbuh keinginanmu untuk mati,
segera mati; mati segera,
hingga pasrah; hingga sumarah,
hingga tanpa kausadari nyawamu terbelahbelah,
tujuh belah.

satu nyawa mati untuk kekasih hati,
satu nyawa mati untuk ditinggalkan,
satu nyawa mati untuk meninggalkan,
satu nyawa mati untuk harga diri,
satu nyawa mati untuk pasrah,
satu nyawa mati untuk sumarah,
satu nyawa mati untuk tujuh nyawa hidup kembali.

lalu engkau akan mati berkalikali,
berkali dan berkali,
tidak ada lagi rasa takut mati,
engkau menunggunya dan terus menunggunya,
hingga bosan,
hingga engkau sanggup berkata,
:semua luka membuatku cuma nyaris mati.

Sungguh, ini adalah puisi kesekian kali yang rencananya kutulis berkalikali.