ilustrasi-perkosaan

Bunga: Bukan Nama Sebenarnya

Fiksi Kilat Susan Gui

Pria berseragam cokelat meminta Bunga bercerita, kemudian menyebutkan ciri-ciri orang. Bunga tidak bisa melakukan dua hal yang diminta oleh pria berseragam itu, kemudian mereka meyakinkan Bunga kalau hal itu penting untuk menentukan siapa pelakunya.

ilustrasi-perkosaan
ilustrasi diunduh dari genuardis.net

Pria berseragam itu memohon agar Bunga membuka mulutnya, dan mulai bercerita. Bunga tetap bungkam. Untuk mencairkan ketegangan di wajah Bunga, pria-pria ini membuat lelucon. Bunga menatap mereka satu persatu. Putih kulit Bunga terlihat memucat, rambutnya berantakan, dan matanya membelalak; mengisyaratkan kemarahan yang tidak lagi bisa terdamaikan.

Kejadian itu tidak lama. Pria berseragam meminta Bunga dan ibunya pulang ke rumah.

“Bunga butuh istirahat, kita akan lakukan interogasi besok malam,” ujar salah satu pria berseragam. Hanya begitu.

Bunga dan ibunya pun pulang ke rumah. Rumah yang masih dilingkari oleh garis polisi berwarna kuning. Bunga langsung masuk ke kamarnya, sedangkan ibunya hanya menatap sedih.

***

Angin seperti memburu. Derunya begitu riuh, dan manusia dibiarkan gigil, memeluk diri masing-masing. Dalam kesunyian malam, angin bertiup seperti siulan alam. Binatang malam pun seperti tidak berani mengeluarkan suara; lindap dan senyap. Ada purnama, di balik rerimbun bambu, tampak bias cahaya lebih kemilau dari kemarin.

Di dalam rumah, sedari tadi tidak ada suara apapun. Kamar ini senyap, rumah ini sunyi. Tidak ada bunyi gelas, bunyi panci, apalagi suara manusia berbicara satu sama lain. Semua seakan tandas bersama dinginnya malam.

Air matanya belum kering betul ketika ia menaruh bedak pupur putih. Begitu pelan. Begitu letih. Asanya telah luruh, tinggal pudar serupa kusam warna celak yang menghias matanya. Hari-harinya menghitam sehitam kelopak matanya, memancarkan kepedihan dari luka yang paling dalam. Kaca yang sedari tadi ditatapnya, seakan tidak bergeming. Siapakah yang mampu mengerti derita ini, pikir Bunga.

Bunga berdiri, mendekat pada jendela segi empat yang sedari tadi dibiarkan terbuka. Angin tidak berhenti memburu masuk, Bunga memeluk tubuhnya sendiri. Lalu perlahan dia seperti melihat bayang-bayang seorang lelaki yang berdiri, badannya gigil.

Brakkk, sekuat tenaga Bunga menutup jendela, menguncinya, lalu menangis terisak. Bunga mendorong meja riasnya, menutupi jendela yang baru saja dikuncinya. Gegas dan gugup, Bunga mengambil selimut, menutupi tubuhnya, membebat dada sekencang-kencangnya dan sedikit juntai selimut jatuh ke lantai.

Wajahnya yang tertutup pupur menjadi lebih putih dari sebelumnya. Pucat dan pasi. Bunga seperti kebingungan, televisi yang sedari tadi tidak diacuhkan tiba-tiba menarik perhatiannya.

Terkesiap Bunga pada sebuah berita, tubuhnya kaku. Si pembawa berita mengatakan kalau seorang calon hakim agung baru mengeluarkan sebuah pernyataan kontroversial tentang pemerkosaan. Lelucon di tengah malam buta, ketika angin lebih dingin dan gemirisik daun lebih menyeramkan dari ribuan petir yang menghantam bumi.

“Yang diperkosa dengan yang memerkosa ini sama-sama menikmati. Jadi, harus pikir-pikir terhadap hukuman mati.”

Bunga melolong sejadi-jadinya. Lelucon di tengah dunia yang tidak lebih waras dari pada kegilaan dunia.

Prangg..Bunga melempar vas bunga ke televisi yang masih riang memberitakan pernyataan sang hakim agung. Air mata terus mengalir, Bunga berbisik pelan.

“Katakan bagaimana saya melindungi diri sendiri. Ketika binatang dari segala binatang mengendap dan masuk tengah malam dan diam-diam. Tidak ada yang lebih binatang dari manusia yang berperilaku binatang, bukan manusia namanya jika dia berani melukai perempuan.”

Televisi masih terus menyala, kacanya belum remuk benar. Gambarnya menjadi siluet dengan kemiringan 180 derajat, dan suaranya menjadi seperti gemerisik sesarang semut. Bunga terus meneteskan air mata.

Bunga menatap jendela, pelan berbisik “Orang itu binatang, sekali pun melihat aku memohon tapi tetap dia lesakkan kelaminnya hingga menembus jantung hati.”

Keras Bunga memukul dadanya. Ada suara orang mengetuk pintu kamar Bunga, memanggil-panggil nama Bunga untuk keluar dari kamarnya.  Bunga harus segera ke kantor polisi untuk divisum. Suara ibunya terdengar terisak dari balik pintu. Ada sekerat luka dalam dada yang tidak bisa dijawab dengan kalimat mana pun. Bunga mengambil gelas kaca dan melempar ke pintu.

“Bunga Bu.., dikoyak paksa dan si hakim agung membuat lelucon pemerkosaan. Tidak pernah ada lelucon selucu ini, dan tidak pernah ada kenyataan sepahit ini. Kita hidup di antara, kita tidak berada di mana-mana. Kehilangan hanya tentang apa yang biasa di tempatnya tapi tidak lagi bisa kita temukan.” Jerit Bunga dari dalam kamar.

Ibunya semakin terisak dan mengetuk pintu kamarnya dengan lembut, “Keluarlah Nak..”

Bunga mendekat ke pintu, menyentuh gagang pintu, lalu merambat pelan pada kayu-kayu pintu kamar. Tangannya mengambil pecahan gelas.

“Ibu, tidak pernah ada orang yang menginginkan terluka. Jika kita bisa hidup lebih benderang dari cahaya tanpa harus menjadi lilin, kenapa kita memilih untuk membakar diri kita seperti lilin. Ibu, aku ingin main komidi putar, makan gulali, ke taman yang membuat aku kembali hidup,” isak Bunga, tangannya memegang serpihan kaca dari telivisi.

Ibu Bunga terisak kembali. Darah mengucur dari tangan kecil Bunga. Sepintas, Bunga seperti mendengar lelucon pria berseragam itu, lelucon yang sama dengan apa yang dibilang oleh sang hakim agung. Kuping Bunga mendengung gaduh.

“Ibu, aku diperkosa, dan lelaki itu membuat lelucon tentang pemerkosaan. Siapa yang lebih waras ibu?” Suara Bunga pelan sekali, hingga akhirnya tidak terdengar apa-apa.

Angin menderu kencang, menelan isak tangis ibu Bunga hingga tersisa senyap. Tidak ada lagi bebunyi. Layar seperti tertutup, tidak ada lagi cerita, tidak ada lagi kata, tidak ada lagi kaca jendela, tidak ada lagi Bunga, dan cerita hakim agung yang melucu kembali menyala di televisi rusak. Suaranya sedikit serak.

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s