Flash Fiction Vivi Fajar A.

Ia belajar memoles wajahnya yang sederhana agar selalu tampak indah di mata suaminya. Ia menyemprotkan wewangian agar lelaki itu nyaman saat didekatnya, sekalipun sejujurnya ia tak terlalu suka mencium aroma parfume manapun. Ia mulai membaca tabloid otomotif, ikut mendengarkan musik jazz, bahkan rela bangun dini hari untuk menonton kompetisi piala champion di televisi, sekalipun matanya selalu setengah tertutup dan tak pernah bisa membedakan siapa tim yang sedang turun berlaga, semua itu dilakukannya semata agar dapat menjadi teman bicara yang menyenangkan. Ia tertawa untuk lelucon sang suami yang kadang ia tak mengerti, ia ingin jadi yang pertama memberi penghiburan saat suaminya tiba di rumah dengan wajah muram tanpa bertanya apa alasannya tampak berduka. Bagi Luna, menjadi perempuan sempurna adalah harga mati demi menjaga cintanya.
Seperti saat ia berusaha menghidangkan sup terlezat yang pernah dimasaknya. Ia telah memilih resepnya dengan sangat teliti, meracik bumbu rempah selengkap yang ia punya, membuat kaldu ayam asli dengan suwiran daging ayam nan lembut, memasukkan potongan wortel organik segar, kentang dan daun bawang, menambahnya dengan butiran kacang polong serta beberapa kuntum daun seledri pelengkap aroma.
Saat makan malam berdua, dari seberang meja Luna memperhatikan sang suami menikmati sup hangat yang terhidang di hadapannya. Ia mengunyahnya perlahan-lahan, menambah sedikit lada halus, sedikit saus tomat dan sesendok teh sambal kecap ke dalam mangkuk sopnya dan memakannya hingga tak bersisa. Puas rasanya melihat masakannya dinikmati begitu rupa.
Sesaat seusai ia membereskan meja, Luna mendapat hadiah kecupan ringan di keningnya. Sesaat hadir desiran lembut di dada, terlebih saat suaminya berbisik lembut ditelinga, “sayangku, terima kasih untuk supnya, lain kali jangan lupa tambahkan garam secukupnya saat kau memasak”.
Ah, pipi Luna memerah menahan malu. Seketika itu ia menyadari, ketulusan lelaki ini saat menerima kekhilafan dan kekurangannyalah yang telah membuatnya sempurna.
Adelaide, 24 May 2012
The end of the fall
Sebuah karya yg bagus, dgn bahasa yg sederhana tapi menyentuh jiwa pembaca. Terus berkarya Vivi.
SukaSuka
terima kasih mbak Salwa..:)
SukaSuka
Sungguh indah…. ketidaksempurnaan lah yang membuat seorang wanita sempurna. dan kesempurnaan itu menjadi bermakna kala sang pasangan menerima ketidaksempurnaan sang wanita.
SukaSuka
begitulah..;)..dan terkadang perlu waktu bagi kita menyadari bahwa sempurna ada karena wujudnya ketidaksempurnaan..:)
SukaSuka
the joy is in the pursuit not in the capture… berusaha menjadi istri sempurna adalah kebahagiaan setiap hari .. sempurna bukan milik manusia.. jadi tulisan diatas terasa membahagiakan.. ditunggu tulisan selanjutnya mba Vivi
SukaSuka
indeed mbak Asti..:)…trima kasih apresiasinya..
SukaSuka