Arsip Tag: kekasih

PENJARA KEKASIH

Puisi Ahmad Yulden Erwin

kekasih
Ilustrasi oleh AYE

 / 1 /

Di satu negeri bernama Dusta-Nan-Lazim, tiadalah orang menyangka kebenaran akan semata zahir, laksana bayang di satu dinding penjara; begitulah Tuan al-Hallaj tiada lagi peduli akan hukuman matinya, yang sebentar besok akan tiba. Tuan tampaklah duduk di sebentang sajadah kusamnya, maka tuan pun tafakurlah, maka mata tuan mulai menyala, maka zikir tuan terasalah manis di lidah, maka hilanglah tuan di dalam jaga, maka mimpi segala mimpi tuan pun tiada.
Maka usai tuan bertafakur begitu, tuan usaplah telapak tangan tuan ke wajah; kelana panjang tuan terasa akan sampai semula langkah, mewujud akhir nan baru, yang bahkan tiada seorang di tanah Arab dan Persia akan mengira: isak tuan telah digenapkan dengan sempurna.
Maka sebelum pagi penghakiman kaum pendusta itu tiba, sebelum darah para mujahid-sunyi tertumpah kembali seturut sejarah hina, sebelum oase dan pohon-pohon kurma menyimpan setiap rintik air mata para sahabat, sebelum setangkai mawar merah (yang telah tuan bayangkan) akan disambit dengan tulus ke dada tuan oleh tangan seorang pecinta, adalah sempat tuan terkenang akan istri tuan di rumah.
Maka sekerjap ada tuan berpikir tentang sehelai rambut puan yang terjuntai keluar di sebalik hijab hitamnya. Maka terbayanglah saat puan mencium basah punggung tangan tuan, sebelum lengan kurus tuan diseret oleh pasukan pengawal sultan ke penjara, delapan tahun lalu. Maka masihlah jelas dalam relung ingatan tuan saat penculikan selepas tengah malam itu: bentakan para pengawal, ringkik-ringkik kuda, sekedip bintang utara, lalu satu cambukan menghantam ke belakang telinga; maka hingga saat menjelang hukuman mati tuan ditetapkan harinya, sama sekali tuan tiadalah hendak bertanya mengapa benar tuan bisa diseret ke penjara.
Maka kini duduklah tuan kembali di sudut kanan remang penjara, di atas sejadah tuan yang kusam, dihela napas sedikit berat, sebab tuan hanya sendiri; ada terkenang juntai ujung sehelai rambut di kening istri, bayang-bayang wajah cucu yang tiada pernah tuan azani, juga ingatan kering desir angin pada reranting pohon cedar di halaman rumah selepas musim semi; sebab tuan tiada lagi bisa bermimpi.
Maka itu empat dinding penjara, maka itu atap dan lantai penjara, maka itu tiadalah lain kerut dan kelim di jubah tuan belaka. Tuan bukan lagi penebak cahaya, bukan pula ceruk dan nyala suatu pelita; tuan bukan pula minyak yang berkilau dalam kegelapan, bukan, sebab kini tuan sepenuhnya adalah kegelapan. Maka tuan menatap semula bayang tuan di dinding penjara, maka perlahan tuan mulailah merasai tubuh ringkih tuan akan segera menjemput mati, namun bayang tubuh tuan telah dinasabkan sebagai abadi.
Bangkitlah tuan dari duduk, seolah untuk pertama kali, menatap benang-benang cahaya matahari terbit dari celah jeruji jendela, setengah badan jaraknya dari ubun kepala. Sayup tuan dengarlah gerincing senjata dan derap langkah para pengawal Sultan al-Makmun. ‘Sekarang khatamnya engkau tinggalkan penjara, tubuhmu itu, menghadap Duli Sang Maha Cinta,’ bisik entah semacam ilham, entah desah pikiran belaka; maka dalam sendiri, tersenyumlah tuan, tipis hanya, sekerjap lihat bayang tubuh tuan adalah seberkas

/ 2 /

Maka beginilah kemudian sahaya baca hikayat akhir hidup tuan:
‘Maka pada tanggal 25 Dzul Qa’dah tahun 309 Hijriah, jatuhlah hukuman bagi Tuan al-Hallaj, mursyid dan sahabat kami tercinta, oleh pengadilan para ulama yang alangkah rakus dan penuh tipu daya. Maka setahu kami tiadalah bersalah Tuan al-Hallaj itu, maka tiadalah layak pula tuan mendapat siksa keji begitu. Maka setelah tuan dipenjara selama lebih dari delapan tahun, maka tubuh tuan dicambuklah 300 kali, maka disayatlah, maka ditetak pula kaki dan tangan tuan, maka disalibkan pula tubuh tuan yang tiada utuh lagi itu.
‘Maka di kayu salib itu, berserulah tuan: Duhai, betapa hamba-hambaMu yang kini berkumpul inginkan betul kematian sahaya, sebab sangka mereka beginilah benar jalan berhampir menujuMu. Ampuni mereka, Ya Rahman….. Tersebab apabila Engkau bukakan pula Kebenaran kepada mereka seperti yang Engkau telah singkapkan kepada sahaya, niscaya mereka akan tersenyum, lalu segeralah lari mereka dari penjara prasangka.
‘Maka tersebab malaikat maut tiada hendak pula ambil nyawa tuan, maka dengan bengis itu para algojo penggal leher tuan. Maka tubuh tanpa kepala itu disiramlah dengan satu tong minyak lemak domba, maka dibakarlah, maka abu jenazah tuan lekas dibawa ke menara pengintai di barat gerbang kota, maka ditaburlah, maka berhanyutlah abu jenazah tuan di arus sungai Tigris, maka…’
Maka tiadalah sanggup sahaya teruskan lagi membaca itu catatan sahabat tuan, tersebab telah basah mata sahaya. Maka setelah reda badai di kembar pelupuk sahaya, terbacalah kembali catatan yang tuan letakkan di sebalik selimut wol tenunan tuan, seuntai puisi, begini indahnya:

ألا يا ليل محبوبى تجلى ألا يا ليل للغفران هلا
الا يا ليل ما ابهى واحلى ألا يا ليل اكرمنى وجلى
ألا يا ليل فى الحضرة سقانى ألا يا ليل من خمر الدنان

O, malam, Kekasih telah datang
O, malam, ampunan itu telah datang
O, malam, duhai Keindahan, duhai Kekasih tersayang
O, malam, Kekasih telah muliakan daku, Dia datang
O, malam, Kekasih tuangkan minuman
Ke dalam cawan, duhai anggur alangkah

/ 3 /

Duhai, Tuan al-Hallaj, suami dan kekasih tercinta, ijinkan sahaya kenangkan Tuan kembali. Ijinkan sejenak, dalam taman kenangan yang Tuan bangun di sebalik hati ini, ijinkan sahaya ciumkan punggung tangan Tuan kembali, di sini, di depan pintu rumah Tuan yang telah sunyi, kian dan kian sunyi.

Sahaja Embun

Puisi Binandar Dwi Setiawan

sebening-embun
gambar diunduh dari photoppi.com

Aku masih tidak mengerti mengapa harus merasa senang untuk semua hal yang tak kutahu apakah itu memang baik. Aku, sekaligus juga masih tidak mengerti mengapa harus berduka untuk semua hal yang tak kutahu apakah itu memang buruk. Aku masih tak sempat untuk memberi pakaian kepada sebuah kejadian, nilai. Aku tak ingin dan tak hendak berurusan dengan batas batas. Aku hanya ingin menari dengan pepohonan, tak lagi penting apakah cemara apakah sakura. Aku hanya ingin melihat sebagaimana adanya, dalam realitas yang tak butuh dinamai. Aku ingin setiap mata berkata jujur tentang apa yang dilihatnya, aku ingin aku percaya kepada mata mata itu. Aku telah terlampau lelah ditipu seumur hidup, aku ingin mengakhiri memaksakan kesaksian berkepanjangan ini, aku ingin aku sendiri yang melihatnya. Semua berita, apakah benar apakah salah. Masih perlukah sebagai benar, masih perlukah sebagai salah. Bukankah telah jelas bahwa terlalu banyak ragam, dan tak berguna apa apa untuk kita menariknya sebagai yang berdua kutub.

Tidak menjadi musuh seseorang, kecuali dirinya sendiri. Tidak menjadi kekasih seseorang, kecuali dirinya sendiri. Sepanjang hidup aku hanya berurusan dengan diriku sendiri, menyelesaikan setiap hal yang masih menjadi kebutuhan baginya, aku menghabisinya perlahan tetapi meyakinkan, terus kuburu setiap jatah waktu. Dan tak akan berhenti sampai dia menyadari ketidakbutuhannya untuk ada. Aku hanya ingin menjadi lebih dekat kepada apa yang seharusnya memang aku lebih dekat. Agar aku tidak bertanya lagi tentang maksud segala maksud. Tetapi kudapati marathon ini tak diawali oleh garis starts dan tak diakhiri oleh garis finish. Aku sendiri masih tidak mengerti apakah ujung memang ada. Apakah aku sedang pergi atau aku sedang pulang. Seluruh keutuhan diriku dipaksa menyadari kesendirian yang luar biasa hebatnya. Dan lantas bagaimana bisa kutemukan jawabnya jika aku hanya berbincang dengan diriku. Maka menguaplah air, dan ia benar benar uap, bukan lagi air.

Semua keindahan itu berasal dari akar yang sama. Mengembang dengan kembangan yang diluar benak setiap kehidupan. Maka tidak didapati keadaan kecuali kebingungan. Dan jalan mencari jawaban adalah jalan menuju sesuatu yang tiada habis, sebab tidak disertakan oleh sebuah jawaban kecuali seribu pertanyaan. Yang selamanya sedang menghadap kepada kita ini adalah wujud dari dia yang selamanya sedang berada dalam diri kita. Maka pada jalan yang sama sebagian menganggap pulang, sebagian yang lain menganggap pergi. Pada pembagian yang sama sebagian menganggap pemberian, sebagian yang lain menganggap penolakan. Nama adalah sesuatu yang terlahir dari keangkuhan dan kebodohan. Temaramnya gelisah meracik rasa takut dalam sebuah sudut ketika aku ditodong oleh sejuta ketergesaan, aku tiba tiba saja memanggilmu, itu dosa pertama yang seluruh waktuku kuhabiskan untuk merajukmu melupakan itu. Jika saja aku bercinta dengan dirimu yang sesungguhnya, sebelum akhirnya aku memanggilmu.

Aku sebenarnya bukan masih mengingatmu, tetapi masih mengalamimu. Aku dengan kamu, tak bisa dijarak oleh lupa. Tetapi engkau masih saja bersikeras untuk berusaha menipuku, sedangkan kau tahu aku tak lagi peduli kepada diri yang engkau kirimkan sebagai engkau. Adalah tentang kamu, ketika aku berjuang untuk membunuh seluruh sifat sifatmu, aku hanya tak mau jatuh cinta pada mereka. Aku terlalu murni, tak butuh untuk menunggu engkau suap dengan sifat sifatmu agar aku membersamaimu. Akulah singgasana terluas yang bisa kau tempati. Maka bersenang senanglah sekehendakmu. Dan singgasanamu akan tetap saja sesurga yang kau bisa kerjakan. Tak perlu beresah tentang akan menjadi seperti apa aku nanti, sebab aku ada hanya untukmu. Kau tahu seberapa rindunya aku terhadap pulang, juga seberapa bersikerasnya aku melalui jalan ini, bahkan seberapa hebatnya aku menafikan setiap kepahitan, tetapi tidak tahukah kamu bahwa aku bahkan tidak tahu sama sekali tentang bagaimana ini akan berakhir atau diakhiri.

Tetap saja semua terlihat begitu seimbang dimataku. Karya maha sempurna yang mewah yang tak memberiku setitik ruangpun untuk berkeluh.

Ketika Bang Tigor Galau

Flash Fiction Risma Purnama

butet dan tigor
Gambar diunduh dari ivanaldie.files.wordpress.com

Sudah hampir sebulan ini Butet tak bertemu Tigor. Jangankan batang hidungnya, suaranya pun tak terdengar. Seperti hilang diculik alien! Berkali kali Butet memeriksa sms, inbox atau email, tak ada pesan di sana. Hapenya pun tak pernah aktif. YM, Twitter, fesbuk pun tak ada menunjukkan aktivitas terbaru. Ke mana kau bang Tigor? Butet mulai bertanya tanya dalam hati. Resah! Aku harus segera menemuimu! Butetpun mengambil keputusan, bergegas pergi ke rumah kontrakan Tigor, kekasih hatinya selama setahun terakhir ini. Tapi ke mana? Tigor tak pernah memberitahu alamatnya yang jelas. Jangan jangan alamat palsu, nanti aku kesasar pula, batin Butet berbisik.
Malam minggu mendadak menjadi selalu kelabu bagi Butet. Biasanya ada tawa canda Tigor di ujung telepon, atau sms gombal lebay, atau hanya sekedar jalan berdua di sepanjang trotoar kota sambil gandengan tangan…, hm romantisnya. Tukang bakso lewat pun tak lagi dihiraukan! Tapi kini semua itu seakan menjadi kenangan tak terlupakan. Tapi kenapa Tigor menghilang begitu saja? Apa sebabnya? Mungkinkah karena aku pernah menyinggung soal pernikahan? Ah, Tigor juga ga bilang kok kalau dia menolak akan melamarku, bahkan sepertinya Tigor sudah mempersiapkan arah ke sana. Butet mencoba menghibur diri sendiri. Langkah kakinya terus tak henti,sampai terdengar suara nyanyian, suara yang Butet kenal betul. Butet mengarahkan pandangan matanya ke sekitarnya.
Nah, itu dia asalnya suara itu. Di perempatan jalan dari sebuah lapo tuak di bawah rerimbunan pohon yang di depannya ada tambal ban. Butet berjalan mendekat, bibirnya tersenyum lega. Orang yang sedang dicarinya, bang Tigor sedang memainkan gitar sambil bernyanyi. Marmitu sambil marlissoi. Bah,di sini kau rupanya! Tanpa rasa malu Butet masuk ke sana di antara ramainya tetamu lapo yang  sedang  asyik dengan mendengarkan Tigor bernyanyi. Ueeee…Tigor kaget begitu melihat Butet hadir di sana, sontak dia menghentikan gitarnya dan nyanyiannya. Tigor menarik tangan Butet keluar…
“Bah, Tet…kenapa kau cari aku ke sini, apa kau tak malu?” tanya Tigor dengan raut wajah serius dahi berkernyit.” Kok dia tahu aku di sini ya,” hati  Tigor bertanya.
“ Tak sengaja bang, tadi aku lewat sini, kudengar seperti suaramu…” jawab Butet sambil tertunduk, takut kalau kalau Tigor marah karena dikira telah mengintainya. Berdua mereka duduk di kursi panjang di samping lapo itu di bawah rimbunnya daun pohon ceremai.” Kau tak ada kabar sebulan ini bang…”lanjut Butet lagi. Tigor menghela nafas mencoba menenangkan diri membersihkan pikirannya yang lagi galau.
“Begini ya Tet, aku bukannya menghilang apalagi diculik alien! Aku lagi ada masalah besar ini, sebulan lalu aku menabrak motor dan aku terpaksa ganti rugi, mana pula SIM aku sudah mati. Angkotku disita sama juraganku Tet! Angkot itu akan dijual karena rusak bekas tabrakan, mana pula BBM akan naik nanti. Juraganku  babeh Tohir terpaksa mau menjual saja angkot itu karena tak mau menanggung  kerugian yang lebih besar kalau ga dapat setoran. Sudah sebulan aku tak bayar kontrakan Tet, makanya aku hidup hanya menumpang di rumah teman. Aku memutuskan akan pulang kampung saja ke Laguboti, aku akan bertani saja! Soal hubungan kita, aku minta maaflah kalau aku tak kasih kabar berita, aku takut menyakiti hatimu dan menganggu pikiranmu.”
Butet hanya terdiam sambil menelan ludah di kerongkongannya yang kering. Hatinya tercekat. Pikirannya pun ikut menjadi galau. Tigor akan memutuskan hubungan mereka?”Oh…aku belum siap, “ teriak bathin Butet.
“Tapi begini Tet, kalau kau memang cinta sama aku, ikutlah aku pulang ke kampung, kita menikah di sana, hidup bertani, orangtuaku masih punya sawah yang bisa kita olah, bagaimana Tet?” tanya Tigor mendesak.
“Pulang kembali ke kampung?Oh…tidak! aku sudah meninggalkan kampungku Samosir karena sulitnya hidup bertani di sana, sekarang aku sudah ada pekerjaan meskipun hanya kerja kantoran staff rendahan. Sekarang aku harus kembali lagi demi mengejar cinta Bang Tigor?” bathin Butet berkecamuk. Dia harus memilih.
Sekarang tak lagi hanya Tigor yang galau, Butet pun tertular menjadi galau! Berdua mereka menghabiskan waktu hingga larut malam, membicarakan akan nasib masa depan mereka. Semoga kau tak sedang mabuk Tigor, bisik hati Butet, karena tercium bau aroma tuak dari mulut Tigor, kekasihnya yang sekarang jadi pengangguran.

Kekasih Terbodoh

Flash Fiction Ragil Koentjorodjati

Ilustrasi dari iStockdotcom
Engkau mangajarku untuk tidak takut terhadapmu,
ya, aku memang tidak takut akan amarahmu,
tapi aku takut membuatmu kecewa,
setelah kemurahan yang kuterima menjadikanku bukan siapa-siapa.

Engkau tidak seperti mereka yg meminjami dan mengharap bunga kembali,
engkau memberi tanpa syarat,
engkau membebaskan tanpa tuntutan di kemudian hari,
dan semua itu membuatku tidak nyaman di dekatmu.

Ketika iblis menyentuhku di purba malamku,
hatiku berbisik,
: satu hal yang membuatku kadang tidak menyukaimu,
: engkau tidak meminta apapun dariku.
: aku tidak suka sebab engkau terlalu baik.

“Sesungguhnya, kamulah kekasihku yang paling bodoh,” katamu.

Puisi Kekasih Hatiku

Flash Fiction Ragil Koentjorodjati

ilustrasi ilikesunflower.files.wordpress.com
Ini puisi kekasih hatiku. Katanya, ia tidak mampu menuliskan rasa dalam kata. Jadi, ia memintaku memaafkan kenaifannya. Tentu saja, itu sesuatu yang tak perlu diminta.
Awalnya ia bertanya, “Kata apa yg mewakili hati penuh syukur, berpasrah dan meletakkan segala persoalan pada-Nya?”
“Cukup rumit kurasa. Kenapa tidak kaupakai metafor saja?”
Hingga di satu ketika, ia menuliskan dua kata pertama, kerudung jiwa. Lalu serupa mantra, kata-kata menggelora dari hatinya.

Kerudung Jiwa

Inginku hanya sederhana,
menjadi perempuan seutuhnya
menghamba Ia Sang Maha Cinta
dengan segenap pujian dari setiap degup dada

Kututupi jiwaku yang suci sejak di detik pertama kelahirannya
berkerudung doa berenda puja
agar senantiasa perawan hingga ajal menjelang.
Bukankah tidak ada aurat yang lebih berharga selain jiwa suci yang Ia titipkan dalam hati?

Kujaga pandanganku dari buruk prasangka
Kujaga bibirku dari bicara sia-sia
Kujaga tubuhku dari gerak tanpa makna
Kubiarkan mereka yang mengejekku kala tak kukenakan penutup kepala
Kumohonkan maaf bagi mereka yang mengataiku mengumbar nafsu pria
Kulapangkan jalan bagi mereka yang menuduhku berlumur dosa

Sebab Ia tidak memandang apa yang menutup kepala
Sebab Ia menginginkanku mengenakan kerudung jiwa
Agar satu-satunya aurat yang kupunya, layak kupersembahkan pada-Nya.

Itulah puisi kekasih hatiku. Lucu ya? Tapi, ia tidak sempat menuliskannya. Sang Maha Cinta memilih jiwa perawan kekasih hatiku bersemayam di kalbu-Nya. Hanya bisiknya yang kudengar dari surga.

Medio juni 2011