Bagian 9

“Aku juga sering berangan-angan belakangan ini. Mengerjakan apa saja pun aku malas,” kata Mikail. “Okelah,.. besok kujemput kau pulang kuliah. Mari kita jalan terus sampai larut malam, mengulang apa yang selama ini kita lakukan.”
Jalan bersama sampai larut malam, nonton bioskop, Tigor nginap di rumah Mikail ngobrol panjang tentang banyak hal, membuat kehangatan persahabatan mereka kembali lagi bersemi. Ibu Mikail senang sekali melihat Tigor kembali lagi sering nginap di rumah mereka. “Kemana selama ini Gor,” Ibu menyapanya. “Ingatkan Mikail supaya tetap serius menyelesaikan kuliahnya. Ibu takut penyakit lama Mikail kambuh lagi dan kuliahnya berantakan.”
“Iya,..Bu.” Tigor sudah merasa ibunya Mikail adalah ibunya juga. Karena perhatian keluarga Mikail kepada Tigor tak ada bedanya dengan ibunya sendiri. Mau mandi, mau makan atau mau tidur di kamar Mikail seenaknya saja Tigor kerjakan. Sudah macam rumah sendiri.
Acara makan pisang goreng di rumah Susanti pun rutin diselenggarakan, serta sikap Mikail menunjukan usaha-usaha mengisi suasana percintaannya bersama Susanti. Persahabatan tiga serangkai bersemi lagi.
Hidup gemerlapan sebagai istri Johan Niskeno yang hidup mewah, sangat berbanding terbalik dengan kehidupan biara — tidaklah membuat Anita Theresia lupa daratan —-. Karakter yang dibangun selama berada dibiara tetap dipeliharanya sampai saat sekarang ini. Hanya Mikail Pratama anaknya yang butuh perhatian khusus . Sedangkan ketiga anaknya Rini Anggelina, Yayuk Astuti dan Jimmi Rocky, sudah dapat berjalan dengan baik tanpa kontrol yang ketat dari beliau. Dan, walaupun sekarang sudah beragama kristen protestan, tapi ibu Mikail masih tetap melakukan meditasi katolik yang diajarkan di biara. Beliau sangat takut kehilangan hati nurani akibat kondisi ekonomi keluarganya yang berkelimpahan. Cinta yang tulus kepada sesama umat manusia juga dirasakan Tigor bekas anak brandalan itu: Tigor, kalau uang kiriman dari kampung belum datang dan kalau perlu uang minta sama ibu ya… Tak usah malu malu. Ibu sudah menganggap dirimu adalah anak sendiri,” Ibu berkata lembut kepada Tigor. “Iya..bu” Tigor juga sangat mengasihi ibu Mikail. Beberapa saat kemudian. “Sebenarnya ibu khawatir kalau saja dana program yang didukung Sabidaor jadi dilaksanakan. Ibu khawatir kuliah kalian jadi teganggu.” Ibu nampak cemas mendengar rencana kerja FDP.
Kalau istri DR Pardomuan dan Arben Rizaldi hanya tahu mengejek kegiatan ayahnya bersama FDP, tapi ibu Mikail memonitor segala jenis kegiatan anaknya dengan baik. Seluruh perkembangan kegiatan anaknya dipahaminya secara mendalam. “Tidak…tidak usah ibu kawatir.” Justru program kerja yang dibangun oleh FDP akan mendukung perkuliahan kami. Bahkan akan memberi kami nilai plus karena di saat kawan-kawan masih belajar teori kemasyarakatan, kami sudah mempraktekannya.” Mikail memberi argumentasi menolak pendapat ibunya. “Yah,…semoga sajalah.” Ibu lebih banyak melihat sejarah orang yang bekerja di masyarakat, sementara kalian masih ingin membuat sejarah. Percayalah terhadap ucapan ibu.” Kemudian ibu pergi kekamar meninggalkan Mikail dan Tigor makan malam. “Selamat malam,” kata ibu yang kelihatan susah.
“Aku pikir ucapan Ibu tadi perlu kita renungkan dengan serius. Nampaknya dia tidak main main.” Kondisi Tigor agak tegang waktu masuk ke kamar Mikail.
“Ah! Tak usah terlalu kau pikirkan. Ibu itu kayak post power sindrom, apa yang ingin dilakukannya pada masa muda gagal semua. Mungkin akibat perkawinan dengan ayah. Mana mungkin mimpi calon seorang suster dapat terfasilitasi dalam kehidupan berumah tangga,” Mikail mencoba menganalisa sejarah hidup ibu. “Nah! Justru karena itu aku yakin analisanya tak meleset.”
Mikail pikir, beban Tigor merenungkan kata-kata ibu semakin berkurang setelah Mikail menjelaskan latar belakang ibu. Ternyata Tigor semakin percaya sama ucapan ibu.
“Mikail aku berharap skripsi sarjanaku judulnya ‘Gerakan Petani dalam Konteks Kekuatan Hukum di Trieste’. Walapun kita bikin skripsi 2 tahun lagi, tapi aku punya komitmen untuk tulis skripsi dari program FDP,” kata Tigor sambil berbaring menarik bantal. Rokok dihisapnya kuat-kuat dan, “Kapan lagi perguruan tinggi memaparkan aspirasi masyarakat kelas bawah secara orisinil dan ilmiah”.
Mikail terperanjat, dia tak sangka bahwa renungan Tigor sudah sedalam itu. “Aku dukung pikiranmu, Gor,” Mikail bersemangat. “Iya…bulan Juli mendatang aku tidak tidur di kamar kost lagi. Aku akan tidur di rumah kelompok tani yang menjalankan program kita.” Kembali lagi Mikail terkejut, “Jadi, kau tak kuliah? Nanti tak bisa ujian.” Mikail semakin khawatir membayangkan keberadaan kawannya Tigor. Sudah jenuh sekali rupanya Tigor dengan kondisi kampus. Padahal, status seorang mahasiswa sangat terhormat di tengah-tengah masyarakat Trieste. Sebuah status yang disejajarkan dengan masyarakat lapis atas. Mahasiswa adalah kaum elite di masyarakat.
“Aku hanya titip absen saja sama kawan-kawan. Karena masuk perkuliahan itu tak ada ilmunya. Lebih baik kita baca buku wajibnya di rumah. Kemudian kita singkatkan buku itu, agar intisari bukunya dapat kita pahami. Masukan dari dosen ketika kuliah sama sekali tak ada. Jadi, percuma saja kuliah isi absen.” Tigor tarik lagi rokok kreteknya sekuat tenaga. Mikail terdiam tak bisa bilang apa-apa.
“Gor,.. Melihat kedekatanmu dengan keluarga kami, maka layaklah kami turut bertanggung jawab atas perkuliahanmu di hadapan keluargamu di Pangkoper. Apa yang kami bilang ke keluargamu kalau kuliahmu gagal?”
Mikail kelihatan panik memperhatikan Tigor yang seenaknya baring sambil tetap merokok.”Tak usah khawatir, aku akan langsung sampaikan maksudku ini ke kakak Rosita Dameria. Aku yakin dengan gampang keluargaku bisa mengerti,” kata Tigor dengan tenangnya.
“Justru aku tak tahu bagaimana cara menyampaikan hal ini ke ibumu. Dia bukan basa basi mengasihi aku. Kau dibelikannya kaos t-shirt yang cantik, aku juga dapat. Kita dua sudah tak dibedakannya. Aku takut mengecewakan beliau.” Tigor buka bajunya, diambilnya celana pendek Mikail dan dinyalakannya rokok untuk kesekian kalinya. Lantas keduanya terdiam. Sebuah persoalan besar mendominasi pikiran mereka.
Biasanya mereka menghabiskan malam bersama suara tape yang tiada henti. Tapi malam ini situasi diskusi cukup serius, seolah musik tidak boleh terdengar. “Okelah..Gor, aku tidur duluan.” Mikail peluk bantal guling dan melapis tubuhnya dengan selimut tipis membiarkan Tigor berbaring dengan isapan rokok kretek. Rokok para dukun kata kawan-kawan mereka.
bersambung…
Kisah Sebelumnya: Bagian 8
*) Bahasa batak yang berarti ‘Kisah dari Tanah Rilmafrid’
Satu komentar pada “Torsa Sian Tano Rilmafrid* #9”