Arsip Kategori: Cerpen

Namrudz

Cerpen Bruno Schulz
Alih Bahasa John Kuan

anjing
Gambar diunduh dari flickrhivemind.net

Agustus tahun itu, aku senantiasa bermain dengan seekor anjing kecil yang amat lucu. Ia suatu hari begitu saja muncul di atas lantai dapur kami, gerakannya kikuk, terus-menerus mendecit halus, tubuhnya membawa aroma bayi dan susu. Kepalanya bulat, agak bergetar, belum sepenuhnya terbentuk; dua kaki depannya terbuka ke samping seperti tikus tanah, dan bulu yang menutupi tubuhnya halus tak terkira, amat lembut.

Sejak pandangan pertama, benda kecil ini langsung menaklukkan hatiku yang belum ranum, membuat aku kelabakan jatuh cinta padanya.

Benda kecil kesayangan para dewa ini, yang melebihi segala macam mainan paling indah dan menyenangkan ini bisa jatuh dari surga mana? Sungguh tak terbayangkan, tukang cuci piring yang tua dan membosankan itu ternyata bisa mencetuskan ide yang begini cemerlang, pada pagi buta, pada saat yang belum disentuh orang sudah membawa seekor anjing kecil dari pinggiran kota ke dalam dapur kami!

Ah! Pada saat ——— sungguh disayangkan ——— kita masih belum berada di tempat kejadian, pada saat kita masih belum terlahir dari rahim kelam dunia mimpi, perihal bahagia ini sudah terjadi, menunggu kita. Dia dengan kikuk berbaring di atas lantai dapur yang dingin, sedikitpun tidak dihargai oleh Adela dan orang-orang rumah. Kenapa mereka tidak lebih awal membangunkan aku! Piring yang penuh berisi susu di lantai dapur menunjukkan naluri keibuan Adela, sungguh tidak beruntung, dan juga membuktikan ini adalah kenyataan ——— sudah ada yang merasakan kegembiraan sebagai ibu angkat, tetapi aku tidak ada kesempatan terlibat di dalamnya. Bagiku, sepenggal sukacita ini telah hilang buat selamanya.

Namun di depanku masih terpampang sepotong  masa depan yang indah. Betapa kaya dan menakjubkan segala pengalaman, eksperimen, penemuan yang terbentang di saat ini! Saripati rahasia hidup, sekarang telah menjelma jadi bentuk yang begini sederhana, praktis, dan menarik, terkuak di depan keingin-tahuanku yang tidak pernah terpuaskan. Ini benar-benar luar biasa menarik ——— dapat memiliki sepotong kehidupan di dalam genggaman tangan, partikel-partikel rahasia kekekalan, eksis di dalam bentuk yang begini baru dan menakjubkan. Sebab ia berbeda dengan kita, maka mengobarkan keingin-tahuan kita yang tak bertepi dan rasa hormat yang misterius. Ini sungguh fantastik ——— di dalam tubuh hewan yang samasekali berbeda dengan kita, ternyata memiliki percikan hidup yang sama.

Binatang! Objek yang selamanya tidak akan memuaskan rasa ingin-tahu kita, sampel dari teka-teki hidup, seolah tujuan mereka diciptakan adalah untuk memperagakan kepada manusia dirinya yang lain, menjabarkan keragaman dan kompleksitas mereka dengan ribuan kemungkinan serupa kaleidoskop, dan setiap jalur akan menembus batas kontradiksi, menembus perkembangan keluar batas yang penuh karakater. Binatang tidak ada beban keegoisan, tidak usah memikul hubungan antar manusia yang kacau dan berat, terhadap kehidupan lain yang asing mereka selalu membuka diri, penuh kebaikan, juga rasa suka yang meluap, kuriositas untuk bekerjasama, tersembunyi di bawah rasa lapar dan haus yang mereka sendiri amat sadar.

Anjing kecil itu memiliki bulu kulit seperti beledu dan tubuh yang hangat. Ketika kau meletakkan tangan di atas tubuhnya, dapat meraba denyut nadinya yang lebih cepat dari manusia biasa. Dia punya dua lembar daun telinga yang lembut, sepasang mata kebiruan keruh, mulut yang berwarna merah jambu (  kau bisa memasukkan jari, sedikitpun tidak berbahaya ), empat tungkai yang halus dan lugu ——— di tumit kaki depan juga ada tonjolan daging berwarna merah jambu yang mempesona. Dia dengan kaki-kaki ini jatuh bangun berlari sampai di depan piring berisi susu, dengan rakus dan tergesa menggunakan lidahnya yang berwarna merah mawar menjilat susu. Setelah kenyang, ia dengan kecewa mendongak wajahnya yang kecil, di dagunya masih melekat setetes susu, lalu tunggang-langgang berlari meninggalkan kolam mandi susu.

Cara jalannya seolah berguling yang canggung, tubuhnya bergerak miring, tidak berarah, sempoyongan seperti orang mabuk. Emosinya yang paling utama adalah semacam rasa pilu yang tak terukur, kesepian terhadap ketidak-berdayaan dan ketelantaran ——— dia masih belum mengerti bagaimana menutup kekosongan hidup di antara  jam makan yang penuh sensasi. Semua emosi itu ditunjukkan dengan gerakannya yang tidak beraturan dan tidak berkelanjutan, tidak logika, melankoli yang tiba-tiba menyerang, diikuti dengan suara-suara ratapan, serta tidak mampu menemukan tempat yang menjadi milik sendiri. Bahkan di dalam alam mimpi sekalipun, ia juga masih perlu menggulung diri jadi segumpal tubuh yang menggigil agar dipeluk, didukung ———  yang menemaninya tetap adalah kesepian yang tiada rumah untuk pulang. Ah, hidup ——— hidup yang muda, rapuh, ditarik keluar dari kegelapan yang ia andalkan, didorong dari rahim hangat yang memeluknya ke sebuah dunia yang besar, asing dan terang, tubuhnya mengerut jadi satu gumpalan, terus mundur, menolak sebuah pesta perayaan yang disiapkan orang-orang buatnya ——— penuh dengan kejijikan dan ketidak-ikhlasan.

Namun perlahan, Namrudz kecil ( ia memperoleh nama membanggakan, khusus buat petarung ini ) telah mulai menikmati citarasa hidup. Dunianya yang pada awal ditentukan oleh tubuh ibu, sekarang telah berubah menjadi dikendalikan oleh daya tarik hidup yang penuh ragam.

Dunia mulai menciptakan berbagai macam jebakan buatnya: makanan berbeda memiliki rasa yang asing namun fantastik, cahaya matahari pagi berbentuk persegi empat yang menempel di atas lantai adalah tempat paling enak untuk berbaring di dalamnya. Gerakan tubuhnya ——— misalnya kaki dan ekor ——— dengan jenaka menggodanya, ingin ia bermain dengan mereka. Ia dapat merasakan tangan manusia yang merabanya, di bawah tangan ada semacam hasrat keusilan yang mulai terbentuk, tubuhnya dengan riang bergerak, mulai menghasilkan semacam keinginan pada gerakan yang sepenuhnya baru, kasar dan berbahaya ——— semua ini telah menaklukkan, menyemangati ia untuk menerima, setuju dengan eksperimen hidup.

Ada satu hal lagi ——— Namrudz mulai mengerti, hal-hal yang mendekati ia sekalipun tampak luar amat baru, namun sesungguhnya sudah pernah terjadi, mereka telah terjadi berpuluh ribu kali, sesungguhnya sudah tak terhitung. Tubuhnya sudah bisa mengenali berbagai situasi, kesan, dan objek begini, pada dasarnya, segala hal sudah tidak akan membuat dia terlalu kaget lagi. Setiap kali berhadapan dengan keadaan baru, dia akan menyelam ke dalam ingatan sendiri, menyelam di kedalaman ingatan tubuhnya, meraba gelap, sangat hafal mencari jawaban di sana ——— kadangkala, di dalam tubuh sendiri menemukan jawaban tepat yang telah disiapkan: ini adalah warisan turun-temurun, bersembunyi di dalam cairan darahnya dan kearifan di sistem sarafnya. Ia menemukan beberapa tindakan dan keputusan  yang telah matang di dalam tubuhnya ( bahkan ia sendiri juga tidak tahu ), hanya menunggu saat yang tepat untuk meloncat keluar.

Lapangan hidupnya yang muda adalah dapur yang memiliki ember yang berbau sedap, di dalamnya juga ada tergantung kain lap yang rumit, aroma yang menarik perhatian, bunyi sandal Andela yang menepuk lantai, dan suara-suaranya yang diperas keluar ketika dia mengerjakan pekerjaan rumah tangga ——— semua ini sudah tidak mengejutkan ia lagi. Ia sudah terbiasa menganggap dapur sebagai teritori dan kampung halamannya, dan bersamanya telah berkembang jadi semacam, yang seolah ada seolah tidak, menyerupai hubungan dengan tanah leluhur.

Mungkin satu-satunya pengecualian adalah  ketika kegiatan mencuci lantai tiba-tiba sudah seolah bencana alam yang menimpanya. Seluruh hukum alam dibuat terbalik, seketika cairan alkali yang hangat sudah disiram di atas lantai dan seluruh perabot rumah, di tengah udara juga penuh dengan suara penyikat di tangan Andela yang sangat mengancam.

Namun bahaya juga ada saatnya berlalu. Penyikat reda kembali, samasekali tidak bergerak, dengan tenang berbaring di satu sudut dapur, lantai mengeluarkan aroma kayu basah yang sedap dicium. Namrudz kembali lagi ke dalam aturan yang biasa dan akrab, kembali pada kebebasan sesuka hati berkegiatan di atas teritori sendiri. Dia merasakan sejurus hasrat yang bergelora, ingin dengan gigi menarik karpet tua yang ditaruh di atas lantai, lalu dengan seluruh tenaga menghempasnya ke kiri ke kanan. Berhasil menekan kekuatan alamiah, membuat dia mempunyai suatu rasa senang yang tak terucapkan.

Tiba-tiba, seluruh tubuhnya terpaku di atas lantai: kurang lebih tiga langkah di depannya (tentu adalah tiga langkah anjing kecil) ada satu monster yang hitam pekat amat buruk, menggunakan kakinya yang kusut seperti kawat besi bergerak dengan cepat. Namrudz yang amat terkejut dengan sorot mata mengikuti serangga mengkilap yang mondar-mandir di atas lantai itu, panik memperhatikan tubuh yang pipih, buta, tak berkepala ditarik oleh satu gerombolan yang berlari amat cepat seperti kaki laba-laba.

Ada sesuatu di dalam tubuhnya yang disebabkan oleh pemandangan di depan mata ini lalu menyatu, matang, berkecambah, sesuatu yang ia sendiri belum mengerti, seolah adalah amarah atau takut, sekalipun itu termasuk menyenangkan, disertai dengan getaran kekuatan, emosi, dan sifat menyerang.

Mendadak kedua kakinya menginjak ke depan, mengeluarkan suara yang ia sendiri juga belum begitu kenal, samasekali berbeda dengan jeritannya yang biasa.

Ia berulang kali menggunakan suaranya yang melengking, beberapa kali terdengar sumbang karena terlalu bersemangat meninggikan suaranya.

Ia ingin dengan bahasa baru yang ditemukan seketika ini buat berkomunikasi dengan serangga, namun ini hanya sia-sia. Di dalam otak kecoa tidak ada tempat buat memuat paparan yang panjang lebar begini, oleh sebab itu makhluk menjijikan ini melewati ruangan, dengan langkah-langkah biasa yang seperti prosesi, terus masuk ke salah satu sudut.

Namun, di dalam jiwa anjing kecil, rasa benci masih belum memiliki daya tahan, dan juga masih belum alot. Sukacita hidup yang baru dibangunkan itu telah membuat seluruh perasaan berubah menjadi keriangan. Namrudz masih terus menyalak, namun tanpa ia sadar makna ketika ia menyalak telah berubah, berubah menjadi parodi ——— sesungguhnya ia ingin mengatakan keberhasilan pesta kehidupan yang tak terucapkan itu, penuh dengan pertemuan tak terduga, getaran dan kesenangan yang memuncak.

Kopi Pagi Sri

Cerpen Imam Solikhi
Editor Ragil Koentjorodjati

Pagi. Kopi. Akhirnya aku bisa ngopi, meski dengan sembunyi-sembunyi. Ini adalah yang pertama kali di tahun ini. Karena sejak enam bulan yang lalu aku tidak bisa, dan tidak boleh meneguk kopi. Bukan hanya untuk dua bulan ke depan saja, tapi mungkin untuk selamanya, tidak ada kopi.

wanita kopi
Foto A cup of coffee by Elicice

Kopi, selalu identik dengan laki-laki. Kopi ditanam tidak untuk seorang perempuan. Khususnya di desa Guwalan. Lebih lagi, tidak untuk perempuan yang sedang mengandung 8 bulan. Dan yang lebih khusus dari semua itu, adalah aku. Sri. Perempuan yang pernah tinggal berbulan-bulan di rahim istri dari Pak Supri. Perempuan pecandu kopi, semenjak empat tahun waktu yang terlewati. Semenjak SMP kelas 3, atau semenjak aku mengenal cinta. Juga semenjak aku mengetahui fungsi kedua dari vagina.

Pagi ini, benar-benar sunyi. Benar-benar sepi. Bahkan kesunyian pun merasakan kesepian, dan kesepian pun merasakan kesunyian. Saat-saat seperti ini, aku sangat merindukan sebuah situasi yang biasa kusebut “sendiri”. Sendiri secara jiwa, maupun raga. Aku memang suka menyendiri. Persis seperti saat aku meringkuk di dalam rahim istri dari Pak Supri. Kini aku duduk di kursi dekat jendela kamar selebar seratus senti, meminum kopi yang sudah enam bulan tak kunikmati, dan yang lebih penting lagi, kini aku sendiri.

Daun-daun sudah nyaris sempurna menghijau kembali. Burung-burung kembali bercericit merayakan lepasnya musim kemarau. Bau tanah yang khas berulang kali merasuk ke dalam rongga hidungku. Langit pagi terkesan sendu, setelah tiga hari lamanya hujan menyapa desaku. Kulihat jarum pendek masih berkutat di angka tujuh. Itu artinya masih ada waktu sekitar empat jam sebelum aku kembali bertemu dengan orang-orang yang tertulis dalam KK sebagai keluargaku. Mereka yang bernama Pak Supri dan istrinya-yang kupanggil ibu-serta Dadang yang ditakdirkan sebagai pamanku. Mereka yang sekitar empat jam lagi akan kembali dari Kutu Wetan, setelah mereka merasa puas menyaksikan saudara mereka-saudaraku juga-melahirkan. Mungkin beberapa hari kemudian, mereka akan kembali menyaksikan. Kelahiran. Mungkin tak lama lagi aku juga akan merasakan sebagai salah satu tokoh utama dalam prosesi kelahiran. Meski masih sekitar satu bulan, tapi bisa kutebak itu akan terasa mendebarkan. Sama mendebarkannya ketika sekitar empat jam lagi mereka akan kembali. Lalu mengganggu waktuku untuk sendiri. Kembali memberikan perhatian dan bantuan yang nihil ekspresi. Kasih sayang yang tak berinduk dari hati.

“Tok.. Tok.. Tok..” suara pintu diketok. Sebisa mungkin aku segera bergegas merapikan gelas yang masih tersisa seperempat kopi hitam. Lalu sambil berusaha segera secepat mungkin menuju sumber suara yang berulang kali mengucapkan salam. Rasanya sangat sulit, berjalan dengan tubuh ringkihku ini yang kini dibalut perut yang kian membuncit.

“Ya, sebentar!” jawabku dengan sedikit berteriak. Jarak antara kamarku dan pintu depan terasa lebih jauh ketimbang saat beberapa bulan yang lalu. Perut dan tulangku terasa ngilu. Ditambah lagi kakiku pincang yang sebelah kiri. Bukan karena cacat, tapi kata orang-orang ini disebut gawan bayi. Punggung kaki kiriku telah lama membengkak. Jika tersentuh sedikit saja aku bisa teriak-teriak.

“Ada apa Bulik?” tanyaku pada orang yang mengetok pintu tadi, yang ternyata adalah Bulik Karmi. Tetanggaku. Tetangga yang kerap membantuku dengan kadar ikhlas yang lebih baik dari keluargaku.

“Bapak ibukmu belum pulang to Nduk?”

“Belum Bulik, nanti siang katanya…”

Oalah… Kamu sudah sarapan Nduk?” tanyanya dengan wajah terlihat khawatir.

“Belum bulik, nanti siang sekalian saja..”

Tanpa menunggu hitungan detik sampai ke delapan, Bulik Karmi langsung meninggalkanku sendirian. Di umurnya yang ke-54, jalannya masih terbilang cepat. Jariknya sudah terlihat lusuh, begitu pula dengan bajunya yang terlihat kumuh. Dari belakang terlihat jariknya yang dipenuhi tanah liat. Sudah pasti dia baru pulang dari sawah yang nyaris setiap hari ia datangi selepas salat. Tubuhnya kini lenyap ditelan rumahnya yang gelap. Aku memutar badan untuk kembali masuk. Tak lama, pintu kembali diketuk. Bulik Karmi datang membawa nasi pecel dan kerupuk. Aku tersenyum. Tapi tetap kalah manis dengan Bulik Karmi yang juga ikut tersenyum. Menyejukkan. Seperti tanah kering yang terkena hujan semalaman.

***

Pagi. Entah tinggal berapa pagi lagi aku masih bisa mengelus-elus perut buncitku ini. Memang semenjak beberapa bulan yang lalu, aku memiliki hobi baru. Mengelus-elus perut buncitku ini. Setiap hari, olehku sendiri. Kalau bukan aku sendiri yang mengelus-elus perutku sendiri, lantas siapa lagi? Tak akan ada yang sudi. Yang ada malah pandangan sinis dari orang-orang saat melihatku mengelus perut buncit ini sambil senyum-senyum sendiri. Keluargaku? Jangankan mengelus-elus, tidak membenci perut buncitku ini saja aku pasti sudah sujud syukur pada Gustiku.

Entah sudah elusan ke berapa. Entah sudah seberapa jauh lamunanku melanglang buana. Aku masih sering melamunkan bagaimana bentuk wujud dari janin yang selama ini hidup dalam perutku. Tapi semuanya terasa semu. Semu karena segala perasaan yang bercampur. Semu karena kebahagiaan dan ketakutan yang kian hari kian membaur. Bukan takut karena aku mungkin saja mati saat melahirkan, tapi ketakutan ini bermuara pada sebuah jawaban yang tak kunjung kutemukan. Kelak, ketika manusia yang saat ini masih dalam kandungan ini keluar dari rahimku. Kelak, ketika dia kerap menangis karena merindukan susu yang terkandung dalam payudaraku. Kelak, ketika dia sudah melepas statusnya sebagai balita. Kelak, ketika dia mulai menyadari bahwa ada yang berbeda dalam hidupnya. Kelak, ketika dia merasa asing melihat teman-teman sebayanya digendong atau dimarahi oleh seorang laki-laki yang ibunya sebut “bapaknya”. Dan kelak, ketika datanglah sebuah pertanyaan, “Ibuk, siapa bapak saya?”.

Mungkin aku ingin segera binasa sekarang juga. Detik ini juga. Sebelum ia keluar dari rahimku. Sebelum ia menyusu di payudaraku. Sebelum ia melepas statusnya menjadi balita dan mulai merasakan ada yang berbeda dalam hidupnya. Sebelum semuanya terjadi. Sebelum datangnya pertanyaan yang mengerikan ini. Dan jauh lebih dari itu semua, sebelum aku menjawabnya dengan terpaksa, “Bapakmu adalah pemerkosa…”.

***

Pagi. Jika saja aku bisa mengulang pagi-pagi yang sudah terlewati. Pasti aku akan kembali pada ratusan pagi sebelum ini. Sebelum perutku bisa sebesar ini. Sebelum Mas Karyo pergi ke Jakarta untuk yang pertama kali.

Dulu, atau 541 pagi yang lalu. Aku dan Mas Karyo adalah sebuah sinonim dari kata cinta sejati. Di mana kami adalah dua cucu Adam yang melewati kehidupan hanya berpedoman pada kata hati. Cinta. Terserah apapun namanya. Yang kutahu kami berdua satu hati, satu misi dan satu janji. Cukup sulit memang untuk menjelaskannya. Yang jelas, kami bahagia.

Mas Karyo adalah seorang pemuda yang berselisih umur sekitar 4 tahun denganku. Dia juga salah satu penghuni tanah desaku. Orangnya tidak terlalu tampan. Tapi tubuhnya yang kekar membuatnya terlihat menawan. Jelas dia sangat kuat, makanya orang-orang di desaku selalu mengandalkannya dalam urusan angkat-angkat. Mas Karyo dengan rambut cepaknya adalah sosok sempurna untuk dijadikan kuli bangunan. Sebuah pekerjaan yang ia geluti sejak berpuluh-puluh bulan.

Mas Karyo yang hanya tamatan SD adalah pemuda tersukses di desaku. Dia adalah salah satu dari segelintir pemuda yang mampu membeli sepeda onthel dan kebutuhan cerutunya dengan murni mengandalkan peluh yang keluar dari tubuhnya itu. Dia tidak seperti kebanyakan pemuda di desa Guwalan. Dia tidak suka minum-minuman, tidak suka berjudi sabung ayam, apalagi pergi ke tempat pelacuran. Sebaliknya, dia justru pandai mengaji dan menjadi muadzin tetap di langgar kami. Suaranya merdu, seperti burung Kutilang di pohon Randu. Tapi lupakan itu semua, bukan itu alasanku mencintainya. Sungguh, aku mencintainya tanpa alasan, tanpa tujuan. Hanya murni getaran jiwa yang tak terelakkan. Persis seperti yang sering ia ucapkan.

Dari Mas Karyo-lah aku mengenal cinta. Dan dari mas Karyo pula aku membenci Jakarta. Jakarta adalah tanah terkutuk yang lihai mengubah segalanya. Seperti sebuah mesin pendoktrin yang dapat mengubah siapapun yang berani datang ke sana.

Masih di pagi yang sama, masih di arah lamunan yang sama pula. Sudah sejuta kali lebih aku mencoba bersembunyi dari kenangan. Tapi perut buncit ini selalu hadir untuk kembali mengingatkan. Masa lalu yang belum lama berlalu, kembali hadir diantar lamunanku. Delapan belas bulan yang lalu tepatnya, ketika mas Karyo berpamitan padaku akan pergi ke Jakarta untuk bekerja. Hari itu hari Selasa. Tepat tiga hari setelah keluargaku menolak lamarannya. Bukan, ini bukan tentang masalah derajat ataupun masalah kekayaan. Ini semua hanya karena mitos konyol yang dipercayai orang-orang tolol. Hanya karena letak rumah kami, pernikahan ini selamanya mustahil akan terjadi. Di desa Guwalan, menikah dengan rute ngalor-ngulon (rumah pria berada di utara, sedangkan rumah wanita yang akan dinikahinya berada di barat) adalah sebuah pantangan. Orang-orang di desaku bilang, pernikahan ngalor-ngulon akan membawa musibah, perceraian bahkan kematian. Entah itu aturan macam apa, yang jelas aku sangat tidak mempercayainya. Tapi mau bagaimana lagi, banyak hal yang nyata-nyata menjadi bukti. Nyaris semua orang yang berani menentang adat ini, akhirnya percaya dan menyesali. Musibah, perceraian dan kematian benar terjadi di masing-masing keluarga yang berani menentang. Entah itu merupakan pembuktian, entah itu hanyalah kebetulan. Yang jelas, keluargaku memegang adat itu dengan tegas.

Mendengar alasan penolakan lamaran itu, mas Karyo tidak hanya diam menopang dagu. Dia pergi ke kota untuk belajar dan bekerja, dengan harapan pengalamannnya di sana dapat mengubah paradigma gila di desa Guwalan tempatku menunggu kepulangannya.

“Ya, kita sama-sama tahu, orang tuamu tak kan pernah memberi restu. Tapi kita juga sama-sama tahu mereka bukanlah Tuhan. Bukan sosok yang menentukan segala cerita kehidupan. Jika kau memiliki cinta yang sama, mari kita tiru Adam dan Hawa. Mereka tetap bisa menikah tanpa restu orang tua atau siapapun juga. Hanya lampu hijau dari Tuhan semata.” Katanya panjang mencoba meyakinkanku agar mau mengikutinya pergi ke Jakarta dan menikah di sana. Tapi tak satu pun kata yang terucap dari bibirku. Lidahku terasa kelu. Seperti sehabis mengunyah tujuh buah simalakama hingga tak tersisa.

“Baiklah, yang jelas semoga kita masih memiliki cinta yang sama. Aku akan pergi ke Jakarta. Aku akan merubah segalanya. Sri, tunggu kang mas kembali..” Ucapnya lirih, namun tegas. Sorot matanya tajam, namun di sana tersimpan sejuta harapan. Untukku, untuknya. Untuk kita. Sebuah kecupan manis mendarat di keningku, sebelum beberapa saat kemudian dia berlalu. Tubuhnya semakin menjauh, semakin mengecil. Lalu hilang di tikungan dekat bunga Kantil. Gemuruh di dadaku menggelegar menciptakan air bah yang keluar dari balik kelopak mataku. Ada banyak sekali kata yang tak terucapkan, lalu mereka menjelma menjadi tangisan.

Sembilan bulan kemudian, Mas Karyo kembali tiba di desa Guwalan. Sudah menjadi tebakan basi jika akulah manusia yang paling bahagia atas kedatangan mas Karyo kembali. Aku menantikan oleh-oleh yang dulu ia janjikan. Tentu saja itu adalah pembuktian dari segala harapan yang kutitipkan.

Sore itu, di pematang sawah di desaku. Aku dan Mas Karyo bertemu untuk mengadu rindu. Jarak dan waktu perlahan-lahan menjelma menjadi neraka yang siap menikamku dan mungkin menikam mas Karyo juga. Tatapan kami, genggaman tangan kami, seolah begitu kejam membalas dendam pada jarak dan waktu yang selama ini menjadi jurang-jurang kecil yang setiap saat mampu merobohkan kami. Ada milyaran rindu yang harus dibalaskan atas segala waktu yang terlewatkan.

“Lihat Sri, aku benarkan? Kini aku sudah berubah. Kita tinggal menunggu waktu agar aku dapat merubah pandangan orang-orang tentang mitos setan itu. Terutama orang tuamu. Kita akan menikah. Aku yakin itu!” itulah kalimat yang terucap dari bibir mas Karyo yang hanya berjarak 5 senti dari wajahku.

Jelas aku mempercayainya. Aku pun menyadari ada banyak yang berubah dari dalam dirinya. Mulai dari cara berpakaian, cara berbicara juga cara berpikirnya. Mungkin itulah hasil dari ia berguru pada pengalaman di kota Jakarta. Tapi, ada yang berbeda ketika Mas Karyo mengatakan cinta dengan matanya. Ucapannya yang sangat menyakinkan, entah mengapa justru malah melahirkan keraguan. Dari matanya kurasakan ia sangat berbeda. Benar-benar berbeda dari sebelumnya.

Berawal dari sebuah ciuman, lalu berubah menjadi adu kekuatan, lalu berujung pada penyesalan. Mas Karyo benar, dia memang telah berubah. Aku digagahinya dengan paksa. Katanya, itulah yang disebut ekspresi cinta. Cinta orang kota begitu berbeda dengan cinta orang desa. Perasaan yang ia sebut cinta, kini kebal pada tangisanku, permohonanku dan gigitanku di lengannya. Badan kekarnya menindih tubuhku yang lemah. Ketulusan cintaku ditelan tubuhnya yang sedang bergairah. Aku meringis. Aku menangis. Hari ini untuk pertama kalinya dia nampak begitu bengis. Pikirannya sudah tak lagi mengkultuskan cinta, tapi mendewakan kepuasan hawa nafsunya. Ajaibnya, aku tetap saja mencintainya. Meski Mas Karyo yang dulu, telah lama mati di kota yang terkutuk itu. Yang ada kini Mas Karyo yang mengartikan cinta seperti seekor hewan melata.

Ya, aku tetap mencintainya. Sampai kapan pun juga. Itulah alasanku, mengapa tidak ada satu pun yang tahu bahwa Mas Karyo-lah sang pemerkosa itu. Sampai saat ini, aku tetap yakin untuk menyimpan rahasia itu sendiri. Dan memilih disebut pelacur, jalang, sundal atau hinaan macam apapun saja. Memilih untuk bersedia dibenci keluarga dan orang-orang desa. Dan juga, memilih untuk menjaga janin dalam kandungan ini dari sindirian siapa saja. Itu setara. Demi Mas Karyo agar tetap hidup dan bisa kembali meninggalkanku ke Jakarta. Demi Mas Karyo agar tidak merasakan bagaimana sakitnya ketika parang-parang warga dan celurit bapakku mendarat di sekujur tubuhnya. Agar aku tetap bisa mencintainya. Bagaimana pun juga, meskipun Mas Karyo adalah pemerkosa, adalah pencipta segala penderitaan yang selama ini kurasa, dia tetaplah orang yang selamanya ada dalam dada. Dalam dadaku, di mana kelak anaknya juga akan menyusu.

Aku memang tidak harus melakukan ini semua. Tapi, aku ingin melakukan ini semua. Hanya karena ingin. Aku yakin. Dan biarlah cinta ini seperti secangkir kopi. Meskipun selamanya orang tuaku dan orang-orang di desaku tak kan pernah memberkati, tapi tetap akan kunikmati. Meski hanya sekali-sekali. Meski dengan sembunyi-sembunyi.

Imam Solikhi, mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Beberapa karyanya telah dimuat Majalah Gradasi dan Ponorogo Pos. Aktif menulis di organisasi Himprobsi. Dapat dihubungi melalui surel imamessiah19@gmail.com.

Kupu-kupu Kertas

Cerpen Murni Oktarina
Penyunting Ragil Koentjorodjati

Menikmati kehangatan udara siang musim semi, kuakui Kyoto memang cantik. Dengan pesona kuno Jepang, saat haru[1] begini, Philosopher’s Path menjadi salah satu tempat terindah dan teromantis. Ratusan pohon sakura berbaris di pinggir Kanal, menjadikan kuil-kuil di sekitar jalan terlihat makin indah. Ah, aku jadi ingin berlama-lama di Kyoto. Sayang, aku hanya satu minggu di sini. Tak lama, aku akan kembali ke Indonesia.

Tanpa sengaja mataku menangkap sosok yang membuatku tertarik untuk memperhatikannya. Dia berbeda karena aku yakin dia bukan orang Jepang, tapi Indonesia -sama sepertiku. Namun bukan soal itu yang membuatku tertarik, ia -gadis cantik berambut lurus hitam, sibuk dengan lembaran-lembaran kertas persegi. Duduk di hamparan rumput, di bawah sebuah pohon sakura, bersama beberapa orang yang mungkin keluarga atau temannya, sibuk melipat-lipat kertas di hadapannya tanpa peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Satu per satu kupu-kupu kertas tercipta dan memenuhi tasnya.

Tiba-tiba dia berdiri dan menghampiriku.

Konnichiwa[2]. Apa kita saling kenal ya? Kenapa kamu memperhatikanku dari tadi?” Gadis itu berkata dengan suaranya yang lembut dan ramah. Namun jelas sekali kalau ia sedang bingung.

Konnichiwa. Gomen nasai[3]! Aku tertarik dengan kertas-kertas berbentuk kupu-kupu itu,” jawabku sambil menunjuk ke arah tas si gadis.

“Oh…. Eh, kamu orang Indonesia juga?” tanyanya sembari memandangiku dengan mata indahnya.

Aku mengangguk dan tersenyum. “Namaku Fahri. Kamu?”

“Farah,”

Dan beberapa menit setelah perkenalanku dengan Farah -si gadis kupu-kupu kertas, kami sudah berjalan bersama menyusuri Philosopher’s Path. Entah kenapa kami bisa dengan begitu cepat akrab dan saling berbagi cerita.

“Fahri, setelah aku pulang ke Indonesia, kamu ke rumahku ya!” ujar Farah saat kami berhenti di depan kuil Eikan-do.

“Aku boleh ke rumah kamu?” tanyaku bercanda.

“Iya, bolehlah… dan harus! Hehe….” Farah menjawab riang disertai tawa kecilnya yang manis.

***

Mencintaimu, laksana meminum air dari surga. Sangat istimewa dan kesejukannya tak tertandingi. Meski aku belum tahu bagaimana rasanya air surga itu, tapi aku yakin air itu adalah air terbaik yang dianugerahkan Tuhan untuk hamba yang pantas mencicipinya kelak. Begitulah yang kurasakan saat mencintaimu, rasa teristimewa yang pernah menyentuh hatiku. Dan mengenalmu adalah kesempatan terindah yang pernah menghampiri catatan hidupku di dunia.  “Terima kasih, Farah. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan untuk mengungkapkan rasa bahagiaku! Sekali lagi terima kasih ya,” kataku hampir berteriak karena terlalu bahagia.

“Aku juga berterima kasih sama kamu, karena kamu telah menorehkan warna-warna indah dalam hidupku, Fahri. Sejak pertemuan kita di Kyoto tiga bulan yang lalu, sebenarnya aku sudah tertarik sama kamu. Dan sungguh aku bahagia saat tahu jika kamu berasal dari Palembang juga. Kebetulan yang menurutku suatu keajaiban. Dan akhirnya, saat-saat yang kutunggu telah tiba. Saat kamu menyatakan cinta padaku,” kata demi kata keluar dari mulut Farah, mengalir laksana alunan nada indah yang menyejukkanku.

Sebagai jawaban atas pernyataan Farah, aku memandangi wajahnya lalu menggenggam jemari lembut gadis yang telah memperkenalkanku tentang sebuah perasaan cinta. Farah tersenyum manis dan menunduk malu. Ah, ekspresi malu-malu Farah malah membuatnya makin terlihat menggemaskan.

“Aku mencintaimu, Farah!”

“Aku juga mencintaimu, Fahri!”

Dan semuanya menjadi indah. Hari-hari berikutnya kulalui dengan senyuman. Kini hidupku semakin berwarna, seperti yang selalu dikatakan Farah jika hidupnya pun seindah warna pelangi saat mengenalku. Emm, cinta memang membahagiakan.

Setelah dua minggu aku dan Farah jadian, aku berkunjung ke rumah Farah yang saat itu sedang sepi.

“Papa dan Mama menghadiri pernikahan saudara di Jakarta, Honey. Aku tidak ikut karena tidak mau meninggalkan pekerjaanku dan …,” jelas Farah saat aku bertanya namun ia tak menyelesaikan kalimatnya yang membuatku sedikit penasaran.

“Dan apa, Honey?

‘Dan… aku takut akan merindukanmu jika aku ke Jakarta.”

Aku tertawa dan mengusap gemas kepala kekasihku tercinta. “Hahaha… kamu bisa saja!”

Farah hanya tersenyum. Lalu ia menuju ke arah dapur. Aku baru tersadar, di atas meja dekat koleksi guci-guci antik milik papa Farah ada banyak kupu-kupu kertas di dalam kotak yang cukup besar berwarna biru langit. Aku kembali teringat tentang hasil tangan Farah saat pertama kali aku bertemu dengannya di bawah pohon sakura area Philoshoper’s Path, Kyoto. Ternyata sekarang sudah banyak sekali. Aku berpikir dalam kebingungan, untuk apa kupu-kupu kertas itu dibuat oleh Farah?

Farah sudah kembali dengan membawa dua gelas jus mangga yang menggoda. Dia tersenyum saat melihatku berdiri sambil mengamati sebuah kupu-kupu kertas yang kini ada di tanganku.

“Minum dulu, Honey!” ujar Farah sambil memberikan satu gelas jus mangga padaku.

“Terima kasih, Honey.” Dengan cepat kuteguk habis jus mangga di dalam gelas.

“Jumlahnya sudah genap seratus. Setelah ini bantu aku nulis ya,” kata Farah sembari mengambil kotak berisi kupu-kupu kertas tersebut dan membawanya ke ruang tengah.

Aku mengikuti Farah karena belum mengerti apa yang hendak dilakukannya terhadap seratus kupu-kupu kertas itu. Farah menyalakan DVD dan memutar lagu My Love-nya Westlife. Kemudian dia duduk di lantai dan mengeluarkan seratus kupu-kupu kertas dari dalam kotaknya.

Aku pun ikut duduk menghadapnya dan mulai menghitung satu per satu kupu-kupu kertas yang tergeletak di depanku. Satu, dua, tiga… sebelas, dua belas… empat puluh dua….

“Hihihi… kamu ngapain sih, Sayang? Kok dihitung?” tanya Farah geli karena melihatku yang dengan serius menghitung jumlah kupu-kupu kertas.

“Aku tidak yakin jumlahnya tepat seratus. Kamu kan pikun, haha!” kataku mengejek Farah. Farah memonyongkan bibirnya dan melemparkan gumpalan kertas ke arahku.

“Enak saja bilang aku pikun! Kamu yang pikun, kan kemarin kamu lupa pulang gara-gara kita asyik mengobrol,” ujar Farah sambil menjulurkan lidahnya dengan lucu.

“Eh, itu bukan pikun kali! Itu namanya terpanah oleh kamu. Kamu membuatku lupa waktu, hehe….”

Farah tertawa dan mencubit pinggangku. Aku meringis.

“Ampun, Sayangku. Sakit, aduh!”

Farah menghentikan cubitannya. “Jangan suka menggodaku dengan gombalan kamu! Aku tidak akan terpengaruh, hahaha…. Sekarang bantuin aku nulis sesuatu di sayap kupu-kupunya ya!”

“Nulis apa, Farah sayang?” tanyaku sambil senyum-senyum.

“Emm… kita tulis harapan-harapan yang ingin kita gapai. Kupu-kupunya ‘kan ada seratus, jadi lima puluh untuk aku dan lima puluhnya lagi untuk kamu. Aku ingin kupu-kupu ini jadi pengingat tentang sebuah harapan aku dan kamu, juga harapan kita. Dan jika sebuah harapan yang tertulis di salah satu sayap kupu-kupu kita telah berhasil digapai, kupu-kupu kertas itu harus kita terbangkan. Bagaimana?” Farah berusaha menjelaskan padaku dengan panjang lebar.

“Eh, memangnya kupu-kupu kertas ini bisa terbang?” tanyaku bercanda sambil menahan tawa.

“Iih… Sayang, itu ‘kan perumpamaannya saja. Bukan terbang dalam arti sebenarnya, tapi kita lempar kupu-kupunya ke udara. Terserah nanti kupu-kupu kertas itu dibawa oleh angin ke mana.” Farah menjawab dengan mata melotot.

“Hahaha, kasihan sama kamu. Dilempar pasti sakit ya, kupu-kupu. Hiks!” ujarku dengan ekspresi sedih seolah mengajak bicara si kupu-kupu kertas yang kini ada di telapak tanganku.

“Fahri…!” teriak Farah kesal karena aku masih saja tidak serius.

“Bercanda, Sayang. Oh iya, ayo kita tulis harapannya!” ajakku sambil tersenyum lalu mencium kening Farah agar kekasihku itu tidak cemberut lagi.

Farah ikut tersenyum lalu menyerahkan sebuah pena dan kami mulai asyik menulis harapan-harapan untuk hidup ini. Harapan yang akan memberikan motivasi agar bisa lebih baik. Dan tentu saja harapan terbesarku adalah menikah dengan Farah.

***

Setengah tahun kemudian.

Palembang masih tetap sama, macet di mana-mana. Ditambah lagi jalanan tergenang air karena sudah hampir seminggu hujan terus-terusan mengguyur Kota Pempek tercinta. Aku masih tetap bekerja di salah satu perusahaan swasta yang cukup terkenal. Namun bedanya, sekarang aku sudah mendapatkan jabatan yang lumayan dan tentu saja gajiku pun ikut naik. Ini salah satu harapanku yang tertulis di sayap kupu-kupu kertas.

“Selamat ya, Honey! Aku bahagia mendengarnya,” ucap Farah dengan mata berbinar saat kuceritakan tentang kenaikan posisiku di perusahaan.

Aku tersenyum dan membelai rambut kekasihku. “Honey, sekarang kita terbangkan kupu-kupunya ya!”

Lalu kami pun berdiri di pinggiran Sungai Musi dan aku mengambil kupu-kupu kertas yang sayapnya bertuliskan ‘Aku ingin kenaikan posisi di perusahaan’. Kuulurkan kupu-kupu itu tinggi-tinggi. Sejenak kutatap Farah yang tersenyum manis dan ia mulai mengangguk. Kemudian kulepaskan dan kupu-kupu kertas itu pun tertiup angin yang membawanya pergi entah ke mana.

“Semoga setelah ini satu per satu harapan kita akan kembali terwujud. Aamiin!” doaku dengan mata terpejam seraya tetap tak melepaskan jemari Farah dari genggaman tanganku.

Dan benar. Harapan-harapan berikutnya berhasil aku dapatkan. Begitu pun dengan Farah, dia sudah dipercaya menjadi pemimpin di sebuah bank swasta tempatnya bekerja. Hubungan kami pun masih tetap manis seperti sedia kala. Hingga kami mulai merencanakan pernikahan. Tapi….

“Sayangku… percaya tentang jodoh dari Tuhan?” tanya Farah padaku. Wajahnya terlihat muram dan menampakkan raut wajah sedih.

“Percaya, Sayang. Aku yakin kamu adalah jodohku. Kita akan menikah di bulan ini ya. Aku ingin memilikimu dengan sah, sesuai syariat agama.” Aku menjawab tegas demi meyakinkan Farah dan menghibur kesedihannya yang aku tak tahu disebabkan oleh apa.

“Jika nanti kita tak berjodoh, bagaimana menurutmu?”

Aku terdiam. Kutatap mata Farah dalam-dalam. Mata itu tiba-tiba berair dan seketika pecah menjadi sebuah tangisan. Kupeluk tubuh Farah untuk menenangkannya. Farah tidak biasanya seperti ini. Tentu ada hal yang teramat berat dan menyedihkan sehingga membuat airmatanya tumpah.

Di kamar Farah, rasanya aku ingin berteriak marah. Kenapa harus di saat ini aku baru mengetahui sebuah kenyataan. Aku membencinya, aku membenci kenyataan ini. Ah, rasanya aku ingin mati. Kutinggalkan Farah yang menangis dan aku pulang karena tak ingin membuat suasana semakin panas.

***

kupu-kertas
gambar diunduh dari 2bp.blogspot

“Pa, air panasnya sudah mama siapkan.” Sebuah suara dari dalam rumah mengejutkanku, yang tengah terpaku di dekat pagar. Tanganku masih gemetar membaca setiap huruf yang tertulis di sampul surat yang baru saja diantarkan Pak Pos. Farah.

“Iya, Ma!” kataku pada seorang wanita yang sudah tiga tahun menjadi istriku. Lalu cepat-cepat kusimpan surat itu di saku dan segera masuk ke rumah.

Wanita itu istriku. Namanya Alikha. Bukan Farah? Iya, Farah hanyalah masa lalu. Setelah penjelasannya tiga tahun yang lalu di dalam kamarnya, aku dan Farah sudah tak pernah berhubungan lagi, dengan kata lain kami putus. Meski kata putus itu sendiri tak pernah terucap di antara kami. Dan sekarang, aku dan Alikha telah memiliki seorang malaikat kecil berusia dua tahun, yang cantik dan menggemaskan.

Bukan hal yang mudah untuk melupakan Farah, tapi aku bersyukur bisa hidup dengan Alikha, yang dengan kesabarannya mau menerimaku. Aku dan Alikha menikah karena perjodohan orangtua yang khawatir dengan keadaanku. Karena aku tak tahu harus berbuat apalagi, maka aku iyakan saja keinginan kedua orangtuaku. Untuk saat ini, tampaknya aku bahagia bersama Alikha, entah dengan Farah. Usai mandi, tak sabar aku ingin membaca surat dari Farah.

***

Kyoto, 10 Agustus 2012

 

Fahri, Philosopher’s Path sekarang tetap seindah saat kita bertemu beberapa tahun yang lalu. Meski sekarang sedang natsu[4], sakura-sakuranya masih saja bermekaran dengan indahnya. Kamu masih ingat bukan saat memperhatikanku yang sedang membuat kupu-kupu kertas di bawah pohon sakura bersama keluarga teman orangtuaku?

Oh, ya, sekarang mereka telah benar-benar menjadi keluarga karena pernikahan kami. Aku masih tak percaya, kukira mereka hanya sahabat dekat Papa. Tapi janji mereka untuk menikahkan putra-putrinya malah membawaku dalam keterpurukan. Aku menyesali kenyataan itu namun aku telah menerimanya, yang penting Papa dan Mama berbahagia.

Oh ya Fahri, kupu-kupu kertas milikmu yang sayapnya bertuliskan ‘Farah menjadi istriku’, diterbangkan saja ya. Meski itu tak akan pernah terwujud namun anggap saja sudah terwujud. Karena aku pun begitu, telah menerbangkan kupu-kupu kertas bertuliskan ‘Fahri menjadi suamiku’. Aku di Kyoto baik-baik saja. Dan aku mulai belajar mencintai suamiku. Mungkin ini sedikit sulit, tapi, jika kamu tahu, ia sangat sabar menghadapi sikap dinginku selama tiga tahun ini. Doakan aku ya, agar aku bisa berbahagia seperti kamu.

 

Masa lalumu,

 

        (Farah)


[1] Musim semi

[2] Selamat siang

[3] Maafkan aku

[4] Musim panas

Wanita Jawa Tulen

Cerpen Annisa Zahra Maharani
Editor Ragil Koentjorodjati

Parasnya ayu. Perawakan jawa tulen. Kulitnya kuning langsat, bersinar – sinar bagai ratusan lampu kelip di bawah gunung. Jika dia tersenyum, ada satu sihir yang memabukkan, bahkan mungkin membuat pria tua bangka sekalipun jatuh hati pada kepolosan dan keserasian senyum pada mukanya yang lonjong kecil. Di sudut ujung  bibirnya, lekukan kecil semacam cekungan ceruk. menakjubkan sekali, seakan – akan, serupa mata air kecil di mana air dan penghidupan memancar dari sela – selanya.

wanita-jawaLama aku jatuh hati padanya, berandai – andai bahwa dia bisa kuperistri dan bakalnya jadi kantung rahim untuk keturunan – keturunanku. Sikapnya yang lugu, sopan tak berlagak-lah yang justru memikatku kuat. Wanita jawa beradab. Wanita gunung yang santun dan begitu ayu. Pendiam, pemalu namun anggun berpendar di antara pohon – pohon pinus di pinggir hutan.

Sudah 3 bulan aku di desa. Memaksa diri untuk ngabekti pada tanah leluhur. Meninggalkan sengkarut perkotaan dan kebangsatan tender – tender kantor. Kupaksa penuh, kuhajar telak nafsu kedonyan-ku meraup harta di Jakarta. Sebagaimana Jakarta memukul telak kewarasanku sebagai pria bujang mapan, membuatku hampir gila dengan kesendirian dan neraka jahanam duniawi pekerjaan. Jadi manajer tim pemenangan tender proyek konstruksi, benar – benar menguras sisi manusiawiku. Menggodokku jadi manusia materialis sejati. Diperhamba uang. Diperkekang duit dan hidup tersistem atas nama cari duit. Aku ingin cari ketenangan. Lepas dari segala perputaran yang seringkali dilabeli materialisme, hedonisme, -atau apalah itu, yang penting aku merasa tidak nyaman untuk sekarang ini. Kurasa cukuplah, apa yang aku kejar selama ini. Finansial yang berlebih, pangkat, teman – teman hedon, rumah, mobil, semua hampir kupunyai. Tapi tidak untuk satu ini: istri.

Udara dingin dini hari di Pananjakan sungguh menyiksaku. Tak kuasa menangkis serangannya, seringkali tiap malam aku hanya bisa berdiam diri di villa kecil ini – setelah menjual rumahku di Jakarta dan Bandung. Villa yang kubeli dan ambil alih pengelolaannya dari Pak Rekso, seorang milliarder kaya dari kepanjen, Malang. Villa gaya art deco kecil. Masih cukup bagus dan nyaman untuk kutinggali sendiri. Letaknya agak terpencil, di samping perkebunan teh dengan letak di atas sebuah gundukan kecil. Atau entahlah apapun itu bukit atau gunung kecil sekalipun.

Gigi – gigi rasanya sudah berkeletuk saling bersitegang. Tak ayal, arabika panas, rokok kretek dan jagung bakar yang kubeli di depan villa cukup jadi teman-angan-seksualku. Tak ada lagi yang lebih seksual selain gabungan arabika panas-rokok kretek-dan jagung bakar di tempat sedingin ini. Duduk sendiri –ya memang siapa lagi, teman wanita? Cih! Aku tak mau terseret dalam angan seksual – di depan perapian di tengah ruang utama, cukuplah menyamankan gigil badan yang gemetarnya serupa gempa.

Seminggu yang lalu, aku bertemu dia, si wanita jawa tulen. Berdiri di belokan 100 meter dari villa. Sedang berdoa di sebuah altar sambil menyajikan sesaji di atas meja batu kecil. Rambutnya dikuncir, kebaya putihnya padu sekali dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Kuning bersih.

Sekilas dia melihatku, sehabis doanya selesai. Jarak lima meter kami serasa sungguh dekat. Seperti adegan di Mohabbattein, serasa ada angin magis bertiup membelaiku. Leherku, mukaku, rambutku, tepat seperti scene di film itu. Tapi bedanya, mohabbattein di India, dan adeganku ini di Pananjakan. Di Mohabbattein scene itu diiringi orcestral backsound, sedang scene-ku dibacksound  lenguh kerbau dan suara bedhes gunung. Ah, tak apalah.

Perjumpaan awal yang menakjubkan. Baru ditatap dan disenyuminya saja, kurasa ada satu ruang di hati terisi penuh, tergegap – gegap oleh bayangnya. Seminggu lebih, kuikuti dia. Di pasar, di kali, di altar seberang belokan, di Telogo Pasir saat dia turun  berdoa di Pura, di manapun. Tapi satu kejanggalan, dari pagi sampai malam kukuntit dia, sekalipun, tak kutemukan di mana rumahnya. Pun jika arah pulangnya sama, dia selalu tiba – tiba saja hilang dari pengawasan. Hilang di balik pinus besar samping hutan, hilang di antara kerumunan petani karet, hilang di pekat kabut gunung. Hilang begitu saja. Aneh. Seakan kena sirep, aku tetap berusaha mati – matian mencari rumahnya.

***

Sudah 2 minggu lebih sehabis pertemuan kami terakhir. Aku terpaku di villa, hanya berkutat dengan perapian, laptop, arabika, dan rokok kretek. Merasa kehilangan setelah dia samasekali tak kelihatan di peredaran pasar dan orang orang yang berdoa di Pura, pun di altar seberang belokan. Ada satu kerinduan yang begitu mendidih. Bergejolak berimbang antara penyesalan dan rindu picisan. Penyesalan ketika rumahnya tak ketemu, dan kerinduan hebat ketika senyum dan ceruk di ujung bibirnya tersesat dalam mimpi – mimpiku saban hari. Blah, bahkan namanya saja aku tak tahu. Payah.

Habis tungku perapian, mataku lebam menghitam dihajar kelelahan dan dingin gunung. Dingin tetap menusuk meski 3 jaket tebal Rei dan Camp menutupi tubuh. Arabika pahit tak cukup kuat menyangga kantuk. Tubuhku lemas tergeletak di karpet depan perapian. Jam masih pukul 2 dini hari. Lamat – lamat kudengar suara banyak orang di samping villa. Ada yang bersitegang, ada yang bercakap hebat berdesas desus. Kulihat dari balik jendela, mataku silau tergegap. Silau puluhan obor dari kerumunan orang. Mencoba menelisik, kuberanikan keluar.

Ono opo cak? Cek ramene koyo mari onok kobongan.[1]

Hus! Ojok dagelan sira Dik, iki lho Dik, onok bayi![2]” Seorang dari kerumunan menyahut. Dari nyala obor berkilau kilau, kukenali dia adalah Cak Pri. Penjual jagung bakar langgananku.

Bayi opo seh cak. Sopo sing mari babaran?[3]

“Ora dik, ora. . Bayi mati. Bayi gari sirah-e thok. Awak’e mbuh nangndi.[4]

Terkesiap darahku, kucoba tak percaya. Tapi kulihat dari balik kerumunan, memang sebentuk bulatan remuk tak sempurna tergeletak di tanah. Tak ada torso, hanya segenggam bulatan bermata berkuping. Tanpa badan. Darah bercucur dari pangkal leher.Bergenang – genang di bawah kaki kerumunan. Seorang wanita muda pingsan dibopong warga keluar kerumunan. Barangkali ibu dari bayi nahas itu.

Dari desas-desus orang, spekulasi meruncing ke arah hutan. Dari warga, kudengar informasi bahwa seringkali anjing hutan memangsa ternak. Bahkan gawatnya, bayi banyak dimangsa olehnya. Jajaran pamong, warga, bahkan Perhutani sekalipun saling membantu memusnahkan populasi anjing hutan di gunung – gunung sekitar Pananjakan. Tapi masih saja  terjadi kejadian begini. Nyaris habis kambing ternak warga. Pun juga bayi dan balita – balita tak berdosa. Warga hanya bisa gedhek – gedhek mengatasi masalah ini.

Jam 3 pagi, warga menyisir gunung. Sebagian memutari lereng, sebagian mencari di hutan pinus dan kebun teh, sebagian lagi sibuk mengaduk – aduk semak mencari potongan tubuh si bayi. Aku turut membantu, masuk pada massa yang menuju ke atas gunung. Sambil memegang obor dan belati, takut kalau – kalau mendapat serangan mendadak dari target. Ya, target utama, jelas si anjing hutan yang jadi tersangka kasus pemangsaan tak bertanggung jawab ini.

Dari kerumunan di bawah, terdengar teriakan bahwa dua ekor bersembunyi di balik rimbun semak. Tanpa pikir panjang, warga mengamuk, membunuh keduanya. Tapi meleset, satu lagi lari masuk ke hutan. Tak ketemu. Yang satunya, mati dengan kepala menganga disabet golok warga. Mati mengenaskan dihajar massa.

Jam 4 subuh, aku tersesat, hilang dari kerumunan. Masuk justru ke arah melenceng. Cih, gara – gara sok tahu. Malah jauh meninggalkan warga. Bakal rumit cerita kalau satu lagi korban ditemukan: “Korban hilang tersesat”. Kukubur pikiran itu jauh-jauh. Rasanya jam nyaris pukul lima. Tak ada tanda – tanda apapun. Kini misi berubah. Tak lagi masalah anjing bedebah itu. Tapi bagaimana cara aku sampai ke villa secepatnya. Dingin sudah diambang puncak. Kukira di bawah sepuluh derajat pun ada.

Menggigil menahan dingin. Dengan minyak di obor tinggal sedikit. Tak cukup barang satu jam. Aku coba bergegas mempercepat langkah. Dari arah lain, masih terdengar suara warga bersahut – sahutan. Sepertinya ada yang kena sabet golok lagi. Batinku.

Tiba – tiba saja ada satu gerakan dari arah samping. Curiga, kucoba mendekat masuk ke semak tebal di bawah rimbun pinus gunung. Terlalu gelap. Tak cukup ruang dan cahaya menembus tebal semak. Dari sekitar lima meter kuintip tanpa banyak gerak. Takut, kalau kalau si anjing target ternyata di sini dan bakal lari kepalang kalau dia menyadari kedatanganku.

Lampu obor bekilap – kilap. Dari balik kegelapan dan kilap obor minyak tanah. Tubuhku menggigil, gigi berkeletukan saling bersitegang. Angin gunung berembus aneh, naik. Bukan turun dari gunung. Ada satu ketakutan sekaligus ketakjuban. Wanita yang tempo minggu lalu mengisi hatiku, kugilai, kukuntit terus menerus seminggu penuh, wanita jawa tulenku, wanita kebaya putih dengan senyum dan ceruk bibir melengkung padu, wanita agung anggunku: kini ketemu. Mataku nyalang menyuruki kilauan obor dan kabut pagi. Si wanita jawa tulen berkebaya putih, rambutnya dikuncir, duduk di sebuah batu. Tapi tak nampak ceruk bibirnya. Justru bibirnya tertutup gincu merah pekat. Gincu cair mengalir dari mulut dan gigi – gigi padunya. Matanya berkilau-kilau, tapi menghitam menyalang. Kebaya putih kini bertumpukan dengan merah gincu yang terus mengucur. Sebagian ada yang mengering. Sekepal kaki dan gundukan organ habis di makan. Sadar setengah tidak, kulihat dia menyalang gila melahap onggokan potongan tubuh bayi. Dia kelaparan. Lehernya meregang dan urat – uratnya mencuat. Kulitnya kusam kekuningan. Rambutnya dikuncir berantakan. Dia gila, tubuhnya mandi gincu yang ternyata darah, di sampingnya bergeletakan onggokan tulang belulang kambing dan mungkin manusia. Matanya benar – benar seperti setan. Dibalik keayu-annya, kusadari dia adalah manusia jadi – jadian. Mungkin dukun teluh, mungkin titisan Durmagati.

Aku? Duduk saja terpaku berjam –jam. Membatin kosong sampai obor habis gosong. Aku rasa aku juga jadi gila. Dunia serasa bertumpuk – tumpukan. Tak ada lagi obor, tak ada lagi ketenangan. Belati tersungkur seakan dipaksa diayun oleh entah sugesti apa. Aku roboh sekarat. Mungkin diteluh, atau mungkin pula bunuh diri sendiri. Satu kepastian akhir, kulihat dia si jawa tulen masih ada, meringis tertawa, ceruk bibirnya berubah fungsi jadi semacam gertakan visual. Seringai mengerikan yang justru tetap membuatku terkesima –meski sekarat – takjub. Sungguh demi dewa yang dia sembah tiap pagi, dia cantik sekali. Dia cantik sekali.

Matahari muncul berganti rupa. Merahnya melunasi hutang – hutang embun pinus yang menguap lepas. Pananjakan, kurasa istriku telah ketemu. Aku jatuh cinta kembali. Tidak dengan duit dan Jakarta. Tapi pada dia si Wanita agung, si Jawa Tulen.


[1] Ada apa Pak? Kok ramai seperti ada kebakaran.

[2] Hus! Jangan bercanda Dik, ini lho Dik, ada bayi!

[3] Bayi apa sih Pak? Siapa yang baru melahirkan?

[4] Bukan Dik, bukan. Bayi mati. Bayi yang hanya tinggal kepalanya saja. Badannya, entah di mana.

Annisa Zahra Maharani, lahir di Karanganyar tahun 1993. Saat ini masih kuliah di sebuah perguruan tinggi di Surakarta.

Monte Cristo di Karawang

Cerpen M Taufan Musonip

Orang Aceh Misterius yang Menembak Jend. Kohler pada Zaman Penjajahan
Ilustrasi diunduh dari http://thebookofyhan.blogspot.com

Di Karawang aku menemukan The Caunt of Monte Cristo dari seorang tauke, kupikir yang menerjemahkannya adalah Robert Mallema seorang kolektor novel yang pernah sesumbar akan menerjemaahkan semua roman Eropa kepunyaannya ke dalam Bahasa Melayu. Mallema adalah pelatihku dan pernah memberikanku Hikayat Robinson Crusoe sebagai kenang-kenangan. Dia adalah orang yang ditunjuk oleh Gubernemen melatih para bromocorah untuk disiapkan menjadi weri. Minat bacaku terhadap novel tumbuh di sana. Dan aku adalah satu dari sedikit anggota Macan Item yang tahu membaca. Tiga tahun aku pernah bersekolah karena jatah bapakku yang seorang ambtenaar rendahan. Bapakku tewas karena ambil bagian dalam pergerakan kaum tani. Aku kehilangan arah, mengekor ke dalam kelompok Jawara yang berguru pada seorang kanuragan dari Banten.

Ternyata novel itu diterjemaahkan dan disadur oleh seorang J. Kuo, mirip nama Cina. Tauke menawarkanku membeli buku itu, harganya sepadan dengan sepotong kaki sapi, aku menyetujuinya dan berarti dia memotong pembayaran untuk sepuluh ekor sapi. Sapi-sapi itu adalah hasil rampokan dari Rawa Binong, keuntungannya akan dibagi buat kepala desa yang penduduknya telah menjadi korban, dan sebagian kecil untuk Bupati, daftar baru yang kubuka jalannya sebagai pemenuhan kehendak penjajah, melepasku sebagai weri, penyusup yang ditugaskan untuk mengawasi dan memecah-belah kelompok-kelompok jawara. Samaji, pemimpin kelompok Macan Item, menurut saja ketika kusarankan padanya agar memberi sebagian kecil saja jatah kepada Bupati, sebagai jaminan bahwa kelompok saingan terbesarnya Naga Hitam tak akan memakan wilayahnya.

Naga Hitam adalah kelompok jawara yang dibesarkan dengan pesat oleh Bupati Bagurdi. Pembagian kepada Bagurdi tentu akan sampai kepada Pemerintah. Sementara ini Samaji hanya memberikan dua potong kaki setiap sepuluh ekor sapi hasil rampokan. Bagurdi menguasai dua belas kelompok jawara, sebagian dipimpin oleh para weri bawahannya yang berhasil menduduki kekuasaan di tiap kelompoknya, sebagian lagi meski bukan dipimpin seorang weri, kelompok mereka diarahkan untuk bersekutu pada Bagurdi, berkat kepiawaian para weri juga. Masing-masing weri memberikan satu ekor sapi dari tiap sepuluh ekor hasil rampokannya. Dua belas kelompok itu disatukan menjadi Naga Hitam. Hanya kelompok Macan Item sajalah yang belum sepenuhnya tunduk, Samaji terlalu kuat untuk dikalahkan, pengikutnya terlalu rapat, dan sangat setia. Sebagai seorang weri akulah yang bertugas mematahkannya dari dalam, sehingga seperti para weri di Naga Hitam, setidaknya aku dapat duduk dalam posisi penting di Macan Item, semuanya butuh proses, tetapi Samaji memang sulit dijatuhkan.

***

Setelah pengiriman sapi-sapi itu aku dan anak buahku kembali ke tempat masing-masing dengan cara berpencar. Aku yang mengatur hal itu agar tak terendus pihak kepolisian.

Ketika yang lain sudah kembali, aku memilih pulang paling akhir sambil menikmati Roman baruku, di sebuah penginapan. Tapi sebelum ke sana, seorang indo yang sejak dari tempat penadah mengawasiku, mendekat, mengatakan bahwa dirinya punya lebih banyak koleksi novel, dan ia menawarkan agar aku singgah di rumahnya. Namanya, Kaspari, nama yang tak sesuai dengan warna kulitnya. Dan aku menyebut diri Komar, nama samaran.

“Kau tahu, aku bahkan memiliki novel Matahariah, ditulis di Belanda oleh orang kita.” Katanya, kita -maksudnya orang pribumi. Aku bertanya dalam hati, apakah dia telah merendahkan dirinya sendiri setelah menyebut namanya itu, mengaku bahwa dirinya bagian dari kaum pribumi yang masih dianggap monyet oleh orang kulit putih.

Dia tampak terengah-engah mengikuti langkahku yang lebih cepat darinya. Orang berkulit putih bernama Kaspari ini terus menggodaku agar bersedia beristirah di rumahnya dengan menyebutkan beberapa roman lainnya lagi, di antaranya aku mendengar Serlock Holmes dari mulutnya.

“O, ya? Maaf kenapa tuan nampak bernafsu agar aku ikut bersamamu?” Jalanku semakin cepat. Dia tertinggal. Lalu kudengar teriakannya dari belakang. “Aku hanya mau kau singgah! Ayolah!”

Sebagai seorang weri aku diajarkan agar tidak cepat mempercayai siapapun di jalanan, dilatih agar peka bahwa setiap kebaikan orang selalu punya maksud tertentu. Kaspari, kupikir adalah orang yang perlu dicurigai, tapi tawarannya menarik. Aku juga diajarkan bagaimana mendapatkan keuntungan lebih cepat, dan mampu mengantisipasi gerak lawan. Tapi kupikir orang Indo ini perlu diselidiki juga, apa maunya, dan yang paling penting dia punya banyak buku bacaan.

Aku berbalik. Dia memekik, “Ayolah, rumahku tak jauh dari sini!”

***

Aku masih mencari cara bagaimana bisa menjatuhkan Samaji, dan merapatkan Macan Item pada Bagurdi. Samaji semakin gencar menyulut emosi anak buahnya untuk segera masuk wilayah lain. Dan itu sudah didengar pihak penjajah, tentunya termasuk Bagurdi. Itu orang cuma punya omong gede saja, tapi Bagurdi tak pernah tahu, dia pikir Samaji memang benar-benar jawara sejati.

Bagiku tak peduli perseteruan dingin yang terjadi antara Bagurdi dan Samaji. Aku hanya ingin menuntaskan dendamku bertahun-tahun lalu ketika lelaki dengan sorot mata sembilu itu merebut kekasih hati yang baru kunikahi setahun lamanya, kemudian mati karena kolera atau karena kecewa harus menjalani hidupnya bersama lelaki yang tak dicintai dalam penantian terhadap kekasih sejatinya yang tertangkap saat melakukan ekspedisi ternak-ternak hasil rampokan ke Karawang beberapa tahun yang lalu. Samaji menjebakku dengan informasi yang salah dari para mata-mata yang disiapkan di setiap jalur-jalur ekspedisi, sebelum  kami berangkat, untuk memastikan jalanan aman dari operasi kepolisian. Samaji tak pernah membuka rahasia bagaimana ia mengatur dan menghidupi para mata-mata, hanya saja aku tahu beberapa di antaranya adalah orang pribumi yang bekerja di pemerintahan.

Aku juga tak pernah tahu, dari beberapa orang jawara yang tergabung dalam kelompok ekspedisi itu hanya aku terpilih sebagai seorang weri, atau jangan-jangan, di antara kami saat itu semua telah menjadi weri, bodohnya hingga sekarang Samaji tak pernah mengendus gerakan weri yang sudah semakin kuat.

Pada masa penahanan itulah aku dididik menjadi seorang weri dan kembali ke Macan Item setelah resmi dilepas pemerintah. Samaji menerimaku kembali tanpa curiga ada perubahan yang terjadi padaku.

Dua persoalan dan kenangan itu berputar-putar dalam pikiran, meski terkadang terlupakan karena petualangan Caunt, dan suara mesin tik di luar kamar, mereka adalah para pemuda yang ikut merintis koran pergerakan milik Kaspari, seorang anak haram, dari ayah Belanda tak bertanggung jawab. Nasibnya sama kurang baik seperti si Amat dalam Monte Cristo anak indo yang menuntut dendam pada bapaknya sendiri karena telah ditelantarkan. Aku tak tahu, kenapa bisa kebetulan seperti itu, tapi kupikir anak indo yang terlantar memang bukan mereka saja di negeri ini.

Kaspari mengajakku berbicara di teras depan sore tadi, mendengarnya bicara tentang pemikiran yang terkandung dalam setiap novel. Menurutnya novel-novel yang diterjemaahkan dalam bahasa melayu pasar kurang disukai penjajah, karena banyak mengandung pesan perlawanan, dan dikhawatirkan akan memintarkan penduduk pribumi. Aku bilang padanya, bahwa aku hanya senang membaca.

“Penjajah telah membentuk dua kelas bahasa.”

“Benarkah?”

“Itu semua buat mengatakan bahwa novel-novel bahasa melayu pasar adalah bahan bacaan rendahan.”

“Untuk apa?”

“Buat menekan suara pergerakan, buat mencekal perjuangan kemerdekaan.”

“Maaf, aku hanya suka membacanya saja.”

“Oh, itu sangat disayangkan, sebab kita manusia punya hak untuk merdeka.”

Pembicaraan kami dimurami awan hitam yang menggelayut di langit Karawang. Kaspari mangajakku ke ruang bacanya, dan meminjamkan beberapa buku. Kuambil Matahariah, yang ditulis oleh Mas Marco Kartodikromo, sebagaimana sering ia sarankan.

Aku masuk ke dalam kamar yang disediakannya. Dia seorang Indo yang sangat menghargai tamunya. Katanya aku orang aneh, seorang petani yang suka membaca. Aku tak pernah mau mengatakan padanya bahwa aku seorang weri. Dan adalah melawan aturan jika harus jujur padanya.

***

Aku bersiap pulang, ketika Kaspari masih sibuk dengan tulisannya. Saat seperti itu anak Indo ini tak pernah lepas dari rokok kretek dan kacamatanya. Gederap kereta api melewati keberadaan kami, rumah itu memang di dekat perlintasan kereta api.

Dia memberiku beberapa edisi koran terbitannya, Soeara Baroe, begitu judul yang tertulis di dalamnya. Seorang gadis disuruhnya untuk menyiapkan secangkir kopi, ketela rebus buat sarapan dan perbekalan buat perjalananku. Wajah gadis itu tampak sangat bercahaya, meski tidak cantik.

“Naik kereta api saja, Komar.” Kaspari menyebut namaku cukup hangat, meski aku kurang suka dia memanggilku dengan cara itu, umurku lebih tua darinya, aku tahu dari sudut matanya. Dari gelora semangatnya.

“Aku suka berjalan kaki,” kataku.

“Sudahlah, ayo kuantarkan kau ke statsiun.”

Mungkin stasiun maksudnya. Si gadis tersenyum padaku saat Kaspari menghentikan tulisannya untuk bersiap mengantarkanku. Kami menaiki dokar ke stasiun, Kaspari tak pernah berhenti berbicara soal pembebasan, soal kemerdekaan dan hak sejati seorang manusia. Dia baik, tetapi aku masih berpikir bahwa tak ada kebaikan tanpa maksud tertentu.

Kaspari menungguku sampai aku benar-benar menumpang kereta ke Bekasi. Di kereta aku membayangkan bagaimana soal prinsip pembebasan itu dapat memerdekakanku dari keinginan menjatuhkan Samaji, dan terus berkutat pada tugas rahasia yang dibebankan pemerintah kepadaku. Tapi aku lebih senang mengingat perempuan di rumah Kaspari tadi, aku lupa menanyakan padanya siapakah perempuan itu, dan tiba-tiba dadaku terasa berdebar ketika di benakku terngiang suara lelaki indo itu berkata saat perpisahan tadi: datanglah balik, bawa bukuku kembali untuk digantikan yang baru.

“Ya, aku akan kembali… aku akan kembali, Kaspari” Gumamku.(*)

Cikarang-Bandung, 15 Maret 2013

CATATAN:

Weri: diambil dari tulisan Schulte Nordholt dan Margrett van Till dalam esai Jago dan Kriminalitas pedesaan, seperti diceritakan di atas, dia merupakan agen atau intel yang diambil dari para jago yang sering beraksi melakukan pencurian/perampokan ternak penduduk desa, meskipun setting sejarah Nordholt dan Margrett diambil di daerah Kediri pada tahun 1872. (etnohistory.org: Kumpulan Esai, Jago, Preman dan Negara).

Ambtenaar: Sebutan untuk pegawai negeri pada masa kolonial Belanda.

Tauke: profesi pedagang bagi orang Tionghwa, dalam cerita ini dia berperan sebagai penadah hewan hasil curian/rampok.

count-of-monte-cristoNovel The Caunt of Monte Cristo adalah novel populer pada abad ke 19, dikarang oleh Dumas, banyak diterjemaahkan dan disadur oleh orang tionghwa, tapi dalam cerpen ini, Monte Cristo merujuk pada novel yang disadur oleh Kuo (terbit tahun 1928).

Ujung Lorong

Cerpen Agus Sulistyo
Editor Ragil Koentjorodjati

Diam, adalah selalu tujuan pelarianku. Dalam dekapannya, aku merasakan kehangatan pelan menjalari tubuh ini. Hingga aku selalu berharap, siapa saja yang ada di dekatku tidak akan terlalu banyak berbicara. Karena jika itu dilakukan, berarti ribuan jarum seolah berebut masuk ke telingaku. Satu suara mengiris kulitku. Suara-suara berikutnya merajam setiap jengkal jarak di tubuhku. Sementara orang lain tertawa di riuhnya kata, aku lebih menikmati kesendirianku. Bersembunyi di sudut hati. Hingga pada saat-saat tertentu, aku ada pada titik paling sunyi. Menggigil dalam sepi. Lautan sedang marah di depanku, dan aku masih saja terdiam. Orang-orang tertawa ke arahku dan aku tak yakin lagi bahwa itu adalah aku.

“Nama bapakmu siapa?” tanya Pak Mursidi, guru SD-ku. Aku terdiam. Selalu begitu.

“Bapaknya PKI Pak,” sahut salah seorang temanku. “Hahaha …” Disusul suara tawa teman-teman sekelasku yang lain. Semakin membuat aku terdiam. Aku tertunduk. Kusembunyikan wajahku di atas meja. Berbantal kedua tanganku yang terlipat di atas meja tempat dudukku. Air mata meleleh di kedua pipiku membasahi tangan. Tubuhku bergetar, tersia-siakan. Seolah tanpa penghuni di dalamnya.

Pak Mursidi memegang kepalaku sebentar. Mengusapnya, lalu berlalu kembali ke depan kelas. Pak Mursidi, yang sangat aku harapkan mau sekedar menabahkanku, tidak berkata apa-apa. Hingga yang kurasakan adalah, seolah Pak Mursidi ikut membenarkan perlakuan teman-temanku terhadapku. Aku benar-benar tidak mengerti apa itu PKI. Aku hanya merasakan bahwa PKI itu adalah sebuah aib yang luar biasa memalukan. Lebih menjijikkan daripada kelakuan buruk apapun di atas jagad ini.

“Benteng …,” aku tergagap. Kuangkat kepalaku. Mata nanarku terbentur pada satu wajah. Teman sekelasku juga. Perempuan. Maryam namanya. “Ketiduran ya?” sapanya lagi. Aku mencoba tersenyum kepadanya. Memang begitu. Seringkali aku ketiduran ketika menangis di kelas. Teman-temanku tak mengusikku lagi. Mungkin menjadi lebih baik bagi mereka untuk tidak melihat wajahku lagi. Daripada harus menahan kebencian mereka menyaksikan keturunan PKI.

Derit engsel jendela terdengar. Jendela-jendela ruang kelasku yang mulai ditutup Pak Ranto, penjaga sekolahku.

Hampir tidak ada patahan kata yang saling kami ujarkan, ketika akhirnya kami berdua pulang bersama. Baru saja kaki melangkah dari pintu kelas, tiba-tiba serombongan teman sekelasku muncul dari samping pintu.

“Dua orang aneh lewat … ha ha ha …,” tawa mereka pun mengiringi kepulangan kami berdua. Aku dan Maryam terus berjalan. Dengan kepala tertunduk.
Satu-satunya orang yang mau berteman denganku memang hanya Maryam. Nasib dia tidak lebih baik daripada aku. Keluarganya dikucilkan orang sekampung. Pernah suatu saat rumah Maryam hendak dibakar. Kata orang-orang kampung itu, orangtua Maryam memelihara pesugihan. Waktu ada anak kecil di dekat rumah Maryam meninggal, orang-orang kampung menuduh orangtua Maryam-lah penyebabnya. Kata mereka, anak kecil itu mati dijadikan tumbal pesugihan orangtua Maryam.
Bakar rumahnya!” teriak mereka.
“Tangkap buto ijonya!
“Bakar … bakar!”

Semakin liar dan tak terkendali suara-suara orang kampung itu. Maryam hanya terdiam di sudut halaman rumahnya, sepertiku. Mungkin air matanya juga sudah bosan mengalir di kedua pipinya yang tembem. Aku berdiri di sampingnya. Tidak ada kata-kata. Namun bahasa tubuh kami sudah saling memahami. Sorot mata kami sudah saling menguatkan.

Untunglah Pak Lurah saat itu berhasil meredakan amarah warga. Kedua orangtua Maryam disumpah pocong di mesjid kampung kami.

***

Lorong di depan kami begitu panjang. Hitam. Hingga ketika ada secercah cahaya, kami enggan menghampiri. Takut cahaya itu tak mampu terangi jalan kami sampai ke ujung. Dan kami harus susah payah menyesuaikan diri kami lagi. Menyesuaikan diri terhadap gelap yang telah terbiasa menyertai. Meski ketika aku menatapnya dan Maryam balik menatapku, bumi seolah berjalan sebagaimana mestinya.

Akan aku coba memperbaiki ketidakseimbangan ini,” kataku. “Dan aku akan bertahan untuk menjadi seorang teman di antara kita. Teman yang akan selalu mengisi hidupmu,” lanjutku.

Hanya seorang teman? Bapakku tidak tahu apa itu PKI. Dia hanya ikut-ikutan orang,” kata Maryam mencoba menengok asa.

“Hei…, bapakmu tahu, orang-orang itu tahu. Dan mereka benar. Aku telah menempatkan diriku pada keadaan yang mempersempit kesempatanku, meski aku tak pernah diberi pilihan untuk itu ,” kataku pasrah.

Dan seperti biasanya, angin pun sepertinya juga tak pernah merasa lelah untuk selalu menguapkan air mataku. Air mata Maryam juga. Angin sore yang ramah, yang menemaniku melepas Maryam mencari jalannya. Meski pilihan juga tak pernah ada bersamanya. Kehendak bapaknya.

Keluarga Maryam memutuskan untuk pindah ke Lampung. Alasannya, di tanah kelahirannya sendiri semakin banyak orang yang memusuhi. Dalam hati kecilku, aku lebih yakin keputusan itu dibebabkan oleh kedekatanku dengan Maryam.

“Kita harus menjaga yang kita miliki Maryam, sedikit dari milik kita.”
“Benteng.”
“Maryam.”

Aku tersenyum ke arahnya. Maryam melambaikan tangannya. Semakin menjauh.

***

“Le..,” suara ibuku membuyarkan lamunanku. Pandangan kami beradu. Di mataku berdiri sosok perempuan yang sangat aku cintai. Di matanya, ada gambaran rasa iba terhadap darah dagingnya. Yang pasti, dari mata kami terpancar rasa saling memiliki. Satu-satunya yang kami miliki. Dulu masih ada Maryam di antara kami. Aku sama sekali tidak menyangka kalau bapaknya Maryam tega merenggut satu-satunya hati yang kumiliki itu. Satu-satunya yang dimiliki oleh Maryam juga. Aku sangat tidak menyangka, kebersamaan nasib sedikit pun tidak mampu menggeser jalan hidupku.

“Maafkan Ibu ya Le…” Aku tersenyum ke arahnya. “Jaman sudah berubah, mungkin saatnya kamu tahu siapa bapakmu…, setelah sekian lama,” kata Ibu.

“Sudahlah Bu, apalah gunanya, toh semua tak dapat berubah. Andai  berubah pun, tak semudah perubahan jaman ini,” kataku pasrah.

“Tiga puluh lima tahun yang lalu, ibu dan bapakmu diterima bekerja di Pos telegraf dan telepon di sebuah kota kecamatan di Surabaya,” kata ibu tanpa menghiraukan keberatanku. “Tahun enam puluh, ketika diterima di jawatan itu, ibu dan bapakmu disodori formulir keanggotaan serikat buruh oleh kepala jawatan kami. Hampir seluruh pegawai menjadi anggota serikat itu.”

Aku diam, mataku setengah terpejam.

“Saat itu, ibu dan bapakmu setuju saja. Pikir Ibu, serikat buruh itu semacam kerukunan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai. Membantu menangani masalah yang dihadapi pegawai. Ada juga iuran anggota. Waktu itu besarnya seringgit, atau dua setengah rupiah tiap bulan. Dipotong dari gaji Ibu,” lanjut ibuku mengenang.

Kulihat tipis airmata ibu mulai menutupi selaput matanya.

“Serikat buruh itu memang berafiliasi ke Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia. Meski tak ada hubungan langsung secara struktural organisasi. Pada saat itu, SOBSI dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia.

Aku peluk Ibu erat ketika kristal-kristal di matanya mulai jatuh membentur lantai rumah.

“Sudahlah Ibu…”
“Ketika usiamu setahun. Setelah peristiwa enam puluh lima, semua pegawai di-screening”. Waktu itu, Ibu dan Pak Marsam bapakmu, berterus terang apa yang sebenarnya kami alami. Waktu mereka tanya ‘Saudara anggota SB?’ ibu jawab ‘iya’. ‘Saudara pernah ikut rapat SB? ibu pun menjawab ‘tidak pernah.’ Ibu tidak tahu apa yang dikatakan bapakmu Le. Setelah itu mereka membawa bapakmu. Sampai sekarang…,” memelas sekali suara ibu.

Beberapa saat hening. Ibu melepaskan pelukanku. Di saat itu juga tiba-tiba kedua mata ibuku memancarkan sebuah keteguhan. Sebuah kewibawaan yang mengiringi kata-kata yang keluar dari mulutnya kemudian.

“Jaman sudah berubah Le. Ada lorong hidup yang bisa kaulalui. Jalanmu masih panjang. Pergilah, cari Maryam. Biar Ibu hadapi bapaknya,” dalam sekali suara ibuku saat itu. Tanpa senyum. Tanpa ada pancaran kesedihan!

Dan saat itu tiba-tiba aku temukan apa yang selama ini aku cari! Apa yang selama ini sangat aku rindukan. Sebuah sikap. Aku merasakan apa yang hilang dari diriku, memancar keluar dari sorot mata ibuku. Meski aku tak tak yakin itu bisa mengisi jiwaku yang terlanjur kosong. Mengembalikan milikku yang telah terenggut. Setidaknya saat itu ada sebuah penutan untuk bisa bersikap sebagai lelaki, yang selama ini, selama hampir empat puluh tahun perjalanan hidupku, tidak pernah bisa kutemukan.

Hiruk pikuk di luar, yang meneriakkan kata-kata reformasi itu sama sekali tidak aku hiraukan. Pandanganku lurus ke depan. Menatap lorong yang akan aku lalui. Berharap bayangan Maryam kutemui di sana.

***

Lama tidak ada yang berbicara di antara kami berdua. Semilir angin sore membiarkan alunan hati kami masing-masing. Angin sore desaku yang tidak mampu lagi menghapus gerah yang menjalari seluruh tubuhku. Entah dengan Maryam.

“Kalau kedatanganku membuatmu tidak nyaman, aku pamit saja ya,” pelan suara perempuan yang sangat aku rindukan itu. Sepelan kekuatan hatiku yang sedang berusaha menerima kenyataan di hadapanku.
“Berapa bulan kandunganmu itu?” tanyaku dengan sedikit memaksa memberinya sebuah senyuman.
“Tujuh bulan …”
“Maryam …,” kataku. Setengah mati aku menahan air mata, hingga akhirnya tidak kuasa lagi. Dengan air mata bertetesan, aku tatap Maryam.
“Kenapa harus orang lain Maryam? Kenapa?!”
“Benteng, dulu dirimu sudah janji untuk selalu menjaga satu-satunya yang kita miliki. Persahabatan kita. Dulu, aku pun sudah mencoba menawarkan sebuah peluang untuk kita melangkah lebih jauh. Kini …”
“Sudahlah Maryam, aku tahu memang bukan salahmu,” potongku cepat.
Beberapa saat, kembali tidak ada suara di antara kami.
“Dia sudah tua Benteng. Tapi entahlah, dia begitu mengingatkanku kepada dirimu. Tatapan matanya, cara berbicaranya, bahkan … ah Benteng, maafkan aku.”

Pipi tembem itu mulai basah juga oleh air mata. Aku keluarkan sapu tangan dari celanaku. Aku usap pelan. Maryam memegang erat tanganku.

“Benteng, aku akan selalu menjaga yang kita miliki, sedikit dari milik kita,” kata Maryam. Aku ingat persis. Itu adalah kata-kataku kala aku melepas kepergiannya dulu. Tanpa sadar tanganku mengelus perut Maryam.

“Semoga menjadi anak baik, seperti ibunya,” bisikku sambil tersenyum. Maryam pun membalas senyumanku.

Di depan rumah terdengar suara mobil berhenti.

“Itu suamiku,” kata Maryam memberitahuku siapa yang datang. “Benteng, aku pamit dulu. Besok langsung pulang ke Lampung. Semua sudah berubah Benteng, kamu tak perlu takut lagi mencari penggantiku. Keburu tua nanti, hehehe. Jaga dirimu ya …”

Aku tersenyum mengangguk. Bergegas kami menuju ke depan. Baru saja kaki ini menjejak tanah halaman depan rumahku, aku melihat ibuku menjerit tertahan.

“Mas Marsam?!”
Orang yang baru keluar dari mobil itu pun kaget setengah mati. Pandangannya lurus tajam menatap ibuku.
“D a r r r t i i i i … ?!” kata orang itu tergagap.

Solo, Jan ‘12

Sindhen

Contoh Cerkak karya Andjar Any

panjebar-semangatMangkeling mangkel, ora kaya wong lagi pegel. Gelaning gela, ora kaya diblenjani tresna. Ora perduli bagus apa elek, ora perduli pinter apa bodho, Kabeh sami mawon. Jas bukak iket blangkon, sama jugak sami mawon. Mengkono uga Anjasmara. Mripate kelop-kelop, nyawang eternit sing ana ndhuwure peturone. Jane arep nyawang usuk, ning kaling-kalingan eternit. Dadi sing disawang mung eternit. Kang gambarane endah edi, kaya ukir-ukiran. Dhek wingi yen disawang katon edi peni, ning saiki kok ora. Dhek emben sawangane nggemesake ati, ning saiki kok mboseni. Anjasmara melek ora turu nanging atine bingung uleng-ulengan. Kepiye anggone ora, nduwe pacar siji wae nglungani ati.

“Njas Anjas, aja ndongang-ndongong kaya sapi ompong. Kae kanca-kanca wis padha nglumpuk. Tangiya, aja ngglethak ana dhipan wae,” swarane Sumani keprungu saka walike lawang kamar.

“Sapa….?” pitakone Anjas sakena-ne.
“Kae pacarmu barang wis dha ngenteni ana ndhapa,” Sumani nerangake.

Krungu wangsulane Sumani ngono mau, Anjasmara gregah tangi. Pacare teka, edan ane. Perlu diaturake ing kene sing jenenge Anjasmara kuwi dudu Anjasmara ari mami jaman Menakjingga lan Damarwulan. Yen jaman Menakjingga, Anjasmara kuwi ayu kinyis-kinyis, eseme pait madu. Ning yen Anjasmara jaman komputer iki eseme ya nggregetake, ning yen sing nyawang kuwi wanita. Mula ora maido sakploke dheweke nggabung Orkes Campursari “Nyidham Sari” akeh wanita sing kapiluyu nyawang tukang ngendhang siji iki. Tujune dheweke wis dikondhangake pacaran karo penyanyine, sing jenenge Wulandari. Mula akeh wanita penontone campursari sing padha ngeses. Bejamu Lan, Wulan. Duwe pacar wae kok dhe-gus, gedhe tur bagus. Ya wis begjane Wulandari, nduwe hyang wae baguse setengah mati tur dhasare tunggal sak kuliahan, ing Sekolah Tinggi Seni Indonesia ing kutha Sala. Ya ora maido, sing jenenge Wulandari kuwi ayune tumpuk undhung. Baut njoged, pinter nyanyi campursari. Ya ora maido yen Anjasmara gandrung lan gandheng karo Wulandari. Tumbu entuk tutup. Sing lanang bagus, sing putri ayu. Sing lanang tukang ngendhang sing putri baut nembang.

Mula bareng Sumani mbengoki, Anjasmara tangi gregah, nguceg-uceg mripate, banjur mudhun saka peturon. Nyedhaki Sumani karo takon bisik-bisik, “Wulandari melu mapag mrene?”

Sumani mangsuli alon: “Mrene congormu kuwi. Wulandari ya neng desa Purwantara kana, karo bojone. Apa gunane ngenteni kowe, jaka tukang ngendhang, entuke job mung kala-kala. Luwih becik karo bojone sing anggota DPR. Blanjane tetep. Ora kaya kowe Njas, panji klathung, blanjane wae durung, yen turu njingkrung.”

“Lha kok kowe kandha pacarku mrene?” celathune Anjasmoro karo mrengut.

“Lha pacarmu kuwi pira?” Sumani njegeges. “Kae….Nanik ya teka. Jare pacarmu serep?”

“Edan kowe,” tembunge Anjasmara karo njotos lengene Sumani.

“Nik….Nanik, iki lho Anjas lagi tangi. Gereten metu.” Sumani mbengok

“Mas piye, kendharaane wis siap?” pitakone Nanik karo marani kamare Anjasmara.

“Wis beres,” wansulane Anjasmara alon.

“Beres beres, paling sing golek kendharaan ya aku,” Sumani melu nyaut senajan ora ditakoni.

“Ngono-ngono rak uga kanggo kepentingan kanca dhewe ta mas?” celathune Nanik karo tumuju kamare Anjas.
“He, aja mlebu kamar dhisik, bocahe isih arep kathokan,” pembengoke Sumani.
“Diangkrik, kana padha metuwa nyang kendaraan wae, tak dandan dhisik,” celathune Anjasmara karo mlebu kamar maneh. Kanca-kancane padha munggah kendharaan. Tujuwane arep tanggapan menyang Purwantara, dhaerah kang mapan ana sawetane Wonogiri.

“Bangku sandhinge Nanik aja dienggoni lo, sudah dipesan. Mau dipakai Anjas,” Sumani mbengok karo ngguyu. Liyanene melu ngguyu. Nanik mung mesem manis. Anjasmara ora isan-isin trus lungguh sandhinge Nanik.

“Kanca-kanca, minangka kancane Nanik aku matur nuwun dene dhek wingi wis padha rawuh ngestreni slametan neng Nanik,” swarane Sumani ing sela-selane swara mesin kendharaan.

Nanik mencep, liyane ngguyu nyekakak, merga ngerti yen Sumani tukang gojeg. Anjas nyikut Nanik karo celathu,

“Ora sah digagas, ben muni sak unine cangkeme.”
“Lha dhek emben kuwi Nanik rak syukuran, merga Anjas karo Wulan wis putus. Lha calone Anjas rak kembali ke Nanik,” Sumani isih nrocos karo ngguyu.

Liyane padha ngguyu ger-geran. Jan jane Nanik kuwi ora nganakake syukuran. Kuwi mung guyone Sumani wae.

Sakdalan-dalan kanca-kanca Campursari padha cekakakan. Mung Anjas sing kelangan guyu. Dheweke mung mesam-mesem cilik nadyan semu kepeksa.

“Nik…mengko aja nyanyi “Wuyung” Utawa “Weke Sapa”, ndhak Anjas ora bisa ngendhang,” tembunge Sumani karo isih mbebeda.

Anjas nyikut bangkekane Nanik karo kandha lirih, “Ora sah kok tanggapi. Mengko yen kesel rak meneng dhewe cangkeme kuwi.”
Lagi mingkem lambene Anjas, hand phone sing ana kanthongane muni. Nanik sing ngandhani. “Tilpun mas.”

Anjasmara meneng wae terus ngrogoh sak-e, HP ditempelake kupinge. Nanik meneng tanggap sasmita.

“Halo, okey boss, bener aku tiga-tiga,” Anjas mangsuli liwat HP ne.

“Anu….piye boss? Iki aku ana perjalanan. Nyang Purwantara dhaerah Wonogiri. Bener, aku bareng-bareng njagong nyang omahe Wulandari.” Meneng sedhela sajaKe ngrungokake sing nilpun. Let sedhela wis sumaur: “Iki aku jejer dhik Nanik. Iya…tidak ada rahasia. Lha terus leh nangkep kapan? Yen cathetanku wis komplit boss, taksimpen ana disket, taktengeri RHS. Iya, isih ana kantor. Wis ya bengi iki mengko bubar main Campursari aku bali, tak njujug omahmu boss.” HP dipateni terus dikanthongi.

Sumani sing lungguhe ora adoh mbengok, “Edan Njas, lunga nyang Purwantara, sambene ndhempel pacare, isih ketambahan ditilpun boss-e. Mesthi entuk job sing penting”.
Anjas meneng wae karo mesem. Nanik sing nrenjel takon: “Ana apata mas, boss-e?”
“Biasa, kabar gaweyan. Aku dikon bali, penting,” jawabe Anjasmara.
“Lha kok isih semaya?” pitakone Nanik.
“Wis kadhung jejer cah ayu kok dipisahke. Ya emoh ta?” wangsulane Anjas
nggodha. Sing digodha njiwit lengene Anjas. Jane ya lara, ning wong sing njiwit bocah ayu ya nggleges wae.

“Tutugna leh jiwit-jiwitan,” pambengoke Sumani. “Kancane uyel-uyelan kaya ngene, kono mat-matan sakepenake dhewe,” Krungu celathune Sumani mau kabeh dha ngguyu mak gerr, nanging Anjas karo Nanik meneng wae. Nanik nutupi pipine sing abang merga isin, Anjas isih gawang-gawang swarane boss-e mau. Kabar seneng nanging uga gela. Seneng merga boss-e ngabari, yen Rudy Pancadnyana, anggota DPR calone Wulandari, saiki wis ditangkep polisi, jalaran nylewengake dhuwit APBN. Sing mbongkar pokale Rudy kuwi klebu Anjasmara sing uga wartawan ing kutha Sala. Malah laporan penting ana disket-e Anjas ing kantor. Mula yen dina iki mengko boss-e nemokake diskete, ora wurunga Rudy ora bisa endha maneh. Durung yen ketambahan interogasine polisi.

Sing dibingungake Anjasmara, nasibe sing repot. Yen Rudy ditangkep polisi, mangka bengi iki uga dheweke kudu menyang Purwantara nglamar Wulandari, wis mesthi gagal, ora sida. Sing untung Anjas. Nanging kabeh wong padha mangerti menawa ditangkepe Rudy, merga laporan ing korane Anjas. Pikire wong-wong mesthi iki trekahe Anjas anggone berjuang ngrebut Wulandari. Paling ora, wong sak Orkes “Nyidham Sari” padha mangerti persaingan Anjas karo Rudy rebutan sindhen Campursari. Durung pikiran liya. Yen dheweke balen karo Wulandari, lha njur Nanik piye? Loro-lorone sindhen Campursari. Ayune padha, padha dene leh uleng-ulengan. Anjas ngeses-ngeses karo gedrug-gedrug.

“Ana apa ta mas?” pitakone Nanik alon, karo mesem.

Anjas mung mengo karo nggleges, “Pipimu kuwi lho, yen mesem dhekik nggregetne,” celathune sakecekele wae timbang ora mangsuli.

“Ah…. mas Anjas,” Nanik mbales karo njiwit lengen. Sing dijiwit isih bingung.*

CUNTHEL

Dening: Andjar Any/ Panjebar Semangat – 12/2006

Cerita Seonggok Abu

Cerpen Octaviana Dina

gambar disediakan penulis
gambar disediakan penulis

“Begitulah awalnya, saya mencuri sandal. Sepasang sandal pria yang bagus dan kokoh bentuknya. Saya tak tahu nomor berapa ukurannya. Barangkali empat puluh dua. Saya tak sempat mengeceknya karena terburu-buru. Dan karena terburu-buru, saya jatuh tersandung,” ujarnya mengawali kisah di tengah dingin udara malam. Malam yang tak seperti biasanya.

“Sandal itu terlalu besar untuk kaki saya. Tapi saya tak punya pilihan lain kecuali memakainya. Saya tak membawa kantong, apalagi tas untuk menyimpan sandal itu. Saat itu saya hanya bertindak cepat menuruti kata hati saya. ‘Tanggalkan sandal bututmu, dan pakai sandal kulit itu’, begitu perintahnya. Lantas saya pun berbuat demikian.”

“Lalu apa yang terjadi selanjutnya?” tanya sosok lain yang berdiri bersandar pada sebuah tiang beton. Seorang lelaki muda berumur sekitar  tujuh belas tahun. Berkulit terang dengan wajah bagai pahatan tangan seniman jenius. Sempurna dan menyenangkan mata.

Sosok yang ditanya, seorang pria paruh baya bertubuh pendek dan kurus, kembali bersuara. “Setelah memakai sandal itu saya segera pergi, terburu-buru karena takut dipergoki orang. Saya mencuri. Saya tahu itu perbuatan tak terpuji, tapi saya tak sempat lagi berpikir panjang. Kata hati saya tegas-tegas menyuruh saya mengambil sandal itu. Saya berjalan secepat mungkin, lalu entah bagaimana sandal itu lepas dari pijakan dan membuat saya tersandung. Sandal itu memang kelewat besar buat kaki saya. Saya terjatuh. Seseorang datang membantu saya berdiri. Kelihatannya ia warga setempat. Saya buru-buru mengucapkan terima kasih dan berniat segera berlalu dari situ, namun orang itu mendadak menahan tangan saya. Ia mengamati saya dengan pandangan tajam. Sepertinya ia mulai curiga. Saya jadi gugup, apalagi saat matanya menghunjam ke kaki saya. Saya makin gugup dan berusaha melepaskan diri, tetapi ia mencengkeram saya dan bertanya tentang sandal itu. Saya katakan sandal itu milik saya. Tapi orang itu tampak tak percaya. Ia terus mencecar dengan serentetan pertanyaan seputar sandal itu: ukuran, merek, harga, di mana membelinya.

“Aduh, saya sungguh panik. Saya jawab sekenanya. Saya tak ingat lagi apa yang saya katakan, namun pastilah jawaban saya amburadul. Orang itu menghardik saya dengan keras, menuduh saya telah mencuri sandal. Katanya, saya pasti mencurinya karena sandal itu terlalu bagus untuk orang sekumuh saya. Saya ketakutan. Orang itu tinggi besar. Saya pasti mati jika dipukulinya. Sebisanya saya berusaha berkelit. Saya katakan, apa orang sekumuh saya tak boleh pakai sandal bagus? Memangnya orang yang berkulit dekil seperti saya sudah pasti miskin dan tak mampu membeli sandal bagus? Tapi…yah, usaha saya itu sia-sia. Saya tak bisa meyakinkannya. Saya memang tak pandai berbohong,” tuturnya getir. Kemudian ia terdiam. Lama.

Lelaki muda yang mendengarkan ceritanya dengan seksama juga tak berkata sepatah pun. Udara dingin. Bulan sabit menyeruak redup dari balik awan gelap. Tengah malam masih jauh, namun entah kenapa suasana telah teramat lengang. Tak terlihat satu pun orang lalu-lalang di situ. Malam yang tak biasa.

Laki-laki paruh baya itu menghela nafas panjang. Berat dan sarat kepedihan. Sesaat, suaranya terdengar kembali. “Begitulah. Kejadian itu cepat sekali. Tiba-tiba saja orang banyak telah mengerumuni saya. Orang bertubuh tinggi besar itu terus berteriak-teriak menuduh saya mencuri. Saya sangat ketakutan. Saya takut mati dikeroyok.”

“Akhirnya saya mengaku. Percuma saja berkelit, toh saya memang mencuri. Saya katakan bahwa saya terpaksa mencuri karena lapar. Sudah dua hari nyaris tak makan apa-apa. Saya baru tiga hari datang dari daerah. Saya ke sini untuk mencari kerja, tapi sial, saya dirampok orang. Ludes semua. Tak tersisa seperak pun. Saya sebatang kara, tak kenal siapa-siapa di sini. Saya berjalan ke mana saja kaki melangkah demi mencari kerja. Saya bahkan mencoba mengemis di jalanan, tapi malah diusir pengemis yang biasa mengemis di situ.  Saya bingung harus bagaimana. Saya lapar, jadi saya terpaksa mencuri. Sumpah mati, baru kali ini saya mencuri. Habis bagaimana lagi, tak ada yang mau menolong saya. Mungkin karena saya kumuh begini…,” ujarnya dengan suara memelas.

“Saya pasrah kalau saya dibawa ke kantor polisi dan dipenjara, saya memang bersalah. Tapi yah…dasar nasib, orang-orang itu lebih suka mengeroyok saya. Saya menjerit minta ampun, tapi mereka makin gencar memukul, menonjok, dan menendang hingga saya terkapar. Lalu ada yang menyiram saya. Baunya menyengat. Saya tak bisa bangun, badan saya seperti remuk. Lantas… Lantas orang itu menyulut api dan melemparkannya ke badan saya. Saya…saya terbakar. Saya berusaha bangun untuk memadamkan api, tapi aduh, badan saya sakit sekali. Panas, pedih luar biasa. Saya menjerit-jerit minta ampun, tapi tak ada yang mau menolong saya. Lihat, badan saya sampai rusak begini. Apa kesalahan saya sedemikan besar sehingga saya harus dihukum seperti itu…,” ungkapnya diakhiri tangis tersedu yang menyayat.

Pemuda itu trenyuh. Sebetulnya ia ingin sekali menepuk-nepuk pundak lelaki paruh baya itu, sekedar untuk menenangkannya. Namun rasanya hal itu mustahil dilakukan. Hatinya amat terharu hingga tak sanggup berkata sepatah pun. Ia memutuskan untuk diam, menunggu isak yang mengibakan tersebut reda.

 Tak berapa lama kemudian sosok itu kembali meneruskan ceritanya. “Memang malang nasib saya. Yah…apa mau dikata. Tapi saya tak dendam pada orang-orang itu. Saya justru kasihan, mereka jadi berdosa karena saya. Mereka sudah membuat dan membiarkan saya begini, bukankah itu dosa?  Sudahlah, tak ada gunanya menyesali. Sudah terjadi…,” katanya dengan nada pasrah. Tak ada sedikit pun kemarahan tersembunyi dalam suaranya. Ia menghela nafas, “Hanya saja, saya kesepian di sini. Tak bisa ke mana-mana. Tak ada yang bisa saya ajak bicara. Tapi syukurlah, malam ini saya beruntung berjumpa orang sepertimu sehingga saya bisa bercerita. Setidaknya, masih ada yang mau menemani saya di sini. Meski cuma sebentar saja, saya sudah beruntung. Saya berterimakasih padamu, Nak,” ujarnya seraya tersenyum. Diamatinya anak muda itu. Anak ini pastilah bukan dari kalangan sembarangan, pikirnya.

“Ehm, tampaknya Ananda sudah biasa ya mengalami hal-hal begini? Kau sama sekali tidak ketakutan,” lanjutnya lagi.

Pemuda itu tersenyum. “Dulu saya memang sering terkejut, juga takut-takut. Namun kini sudah biasa. Saya sudah terlahir begini. Orang-orang bilang ini adalah karunia. Anugerah dari Sang Pencipta, “ katanya sambil menatap lawan bicaranya. Lelaki paruh baya itu mengangguk-angguk. Anak ini memang istimewa, batinnya. Sinar kebijaksanaan dan welas asih terpancar kuat dari dirinya.

“Baiklah, apakah masih ada lagi yang ingin Bapak ceritakan?”  Lelaki paruh baya itu menggeleng.

“Kalau begitu saya permisi. Sudah hampir tengah malam, saya  harus segera pulang,” kata lelaki muda itu santun.

“Terima kasih banyak, Nak. Saya senang malam ini bisa bercerita padamu,” sahut sang lelaki paruh baya. Pemuda itu berpamitan dengan sikap sopan yang menyenangkan hati dan berlalu menuju mobilnya. Lelaki tua itu melambaikan tangan.

***

 Pemuda itu menghela nafas. Walau terkadang terasa berat,  ia berlapang dada menghadapi hal-hal demikian. Takdir telah memberinya kemampuan itu. Melihat yang tak terlihat, berbicara pada yang tak terlihat. Itu sebabnya tadi ia merelakan diri tatkala lelaki paruh baya tersebut menyapa dan memintanya untuk berhenti sejenak.

Lewat kaca spion pemuda itu menatap sosok yang kian jauh di belakang. Benar-benar mengibakan hati: melepuh, terkelupas dan sebagian lagi gosong. Sosok itu kemudian menyala sesaat, berselubung api, lalu padam berselimut asap. Lenyap dalam telikungan gelap. Kembali pada abu yang semula. Seonggok abu.

Octaviana Dina, alumni Fakultas Sastra (kini FIB) jurusan Sastra Perancis UI. Selain menjadi penulis dan penerjemah, ia menjadi peneliti untuk Yap Thiam Hien Award (2009-2012) dan menulis beberapa artikel dalam buku 20 Tahun Wajah HAM Indonesia 1992-2011 terbitan Yayasan Yap Thiam Hien. Sebagian tulisannya dapat dibaca di Blog Octavianadina

Kematian Trisa

Cerpen Willy Wonga
Editor Ragil Koentjorodjati

mawar_02_
mawar_02_ (Photo credit: maskoen)

Aku ingat sekarang. Sebelum hari kematiannya, malam sebelum itu aku bermimpi. Mimpi Trisa sedang berenang. Separuh tubuh belangnya meliuk-liuk mirip ular di dalam air. Hidung merah mudanya mengapung di depan wajah lucunya. Mata hitam bulatnya menatapku dengan lugu. Aneh. Biasanya dia takut air. Selain aneh karena tiba-tiba dia berenang ke sana-kemari dengan kebahagiaannya, Trisy tidak nampak dalam mimpi tersebut. Sepanjang hidup Trisa, dia selalu bersama saudari kembarnya Trisy. Tidak terpisahkan. Mereka berbagi piring makanan. Tidur saling berpelukan. Setelah mandi biasanya keduanya saling bergantian mengeringkan tubuh mereka dengan lidah masing-masing. Yang kutahu, mereka adalah dua kembar yang sangat bahagia selama ini.

Beberapa waktu kemudian, setelah kesedihanku mereda, aku memikirkan kembali mimpi itu. Mata hitam Trisa itu sangat menggangguku, belum lagi tatapannya yang lugu. Sampai-sampai sepanjang hari pikiran tentang mimpi tersebut menggangguku. Kalau saja setelah mimpi Trisa tidak mati, aku akan baik-baik saja. Tetapi dia mati. Itu bisa jadi pertanda buruk. Jadi Aku giat membaca buku-buku tentang ilusi, penglihatan, mimpi-mimpi aneh, yang menurutku bisa sedikit menerangiku.

Sebulan berlalu, tidak ada hasil. Mimpi itu membuatku takut tidur malam.

Aku tahu itu hanyalah mimpi, tetapi sebuah suara dari dalam diriku mengatakan tidak. Bila aku bermimpi tentang Trisa sebelum kematiannya, itu berarti ada sesuatu yang hendak disampaikan. Entah berupa pesan atau sesuatu yang lain.

Tiga bulan setelah itu, pernikahanku yang baru dua tahun terancam rubuh. Istriku memutuskan mengikuti rombongan yang berwisata di pulau Flores selama sebulan. Dengan sengaja dia memberiku waktu untuk memikirkan semuanya, sekaligus mengambil keputusan bila mungkin. Keputusan istriku sudah seratus persen; kalau menurutnya aku tidak pernah berubah selama setidaknya dua bulan ke depan, maka pernikahan kami hanya akan menjadi kenang-kenangan di hari tua.

Suara orang asing dalam diriku bilang; pertanda buruk.

Sejak saat itulah aku mulai memikirkan berbagai kemungkinan yang membuat hubungan kami tersendat-sendat. Semula aku mengambil sudut pandang perselingkuhanku sebagai akar masalahnya. Perselingkuhan itu sendiri baru sekitar sebulan sebelumnya, kemungkinan istriku mengetahuinya adalah kemungkinan kecil. Kalau dipikir-pikir seharusnya aku mengambil sudut pandang lain. Mungkinkah ketidakcocokan itu sendiri yang membuat kami tidak akur lagi? Apakah sebenarnya kami tidak cocok dan pernikahan ini tidak perlu dilakukan dari dulu? Oh, tidak. Orang bisa menjadi tidak cocok kapan saja dan sering tanpa perlu alasan. Aku pun menoleh ke belakang. Melihat bulan-bulan terakhir kami, percintaan kami yang tidak semenggelora sebelum-sebelumnya.

Apakah itu pertandanya?

Aku terus memikirkannya sepanjang tiga hari pertama. Tetapi pemikiranku hanya seputar ketidakcocokan dan perselingkuhanku. Tidak pernah aku menaruh prasangka buruk terhadap istriku, Mawar. Dia tidak mungkin bermain dengan pria lain. Aku tahu saja mengenai itu, dan orang asing menyetujui pendapatku tentang istriku. Dari hari ke hari aku memilah-milah, mereka dan menebak. Lantas membuat serangkaian keputusan yang tentunya mempertahankan pernikahan kami. Mawarku tidak boleh meninggalkanku. Seharusnya aku tidak selingkuh, aku menyalahi diri sendiri. Bisa jadi perselingkuhan itu, sekalipun tidak diketahui Mawar, tetap saja mempengaruhi sikapku.

Hari berikutnya, aku membuat keputusan dengan berat hati. Sebelum Mawar pulang, perselingkuhanku harus sudah berakhir.

Hari berikutnya lagi, si orang asing menggangguku. Keputusanku goyah. Menurutnya, aku akan sia-sia sebab masalahnya bukan itu. Aku tidak masuk kantor hari itu hanya untuk bergumul dengannya. Aku membuat opini-opiniku sendiri, tetapi dia selalu berhasil membuka mataku untuk melihat kebenaran kata-katanya. Aku memohon padanya. Aku berdoa kepada Tuhan agar, siapapun yang sedang berbicara kepadaku saat ini memperjelas maksudnya. Doaku baru terkabul dua hari berikutnya lagi. Tuhan kadang bermain dengan perasaan mahkluk ciptaanNya, pikirku.

Orang asing dalam diriku menyebutnya suatu pagi. Chemistry, katanya. Sesuatu yang lebih dari sekedar kecocokan, bahkan lebih dari cinta itu sendiri. Aku kelabakan. Chemistry merupakan sebuah kata yang tidak asing dalam duniaku, bersama mitraku, selingkuhanku bahkan dengan Mawar pernah kami membahasnya.

“Apa kau pernah merasakannya?” tanya suara asing.

“Ya,” jawabku.

“Apa kau pernah berusaha menciptakannya?”

“Maksudmu?” aku tidak tahu kalau chemistry bisa diciptakan.

“Seperti energi, begitulah chemistry. Ketika dia habis, orang harus menciptakannya lagi.”

Kata si orang asing selanjutnya; seharusnya aku melihat kucing hitam itu sebagai sudut pandang. Hah? Aku sampai berpikir mungkin aku semakin gila sekarang. Namun, suara asing itu bersikeras. Di sanalah kau akan menemukan apa yang kauperlu, katanya. Aku merenung. Ah, yang benar saja. Kupandang Trisy dari seberang meja. Mencari-cari petunjuk. Biasanya ilham dapat diperoleh dari apa saja. Trisy merasakan pandanganku, dia mendongak. Dan..astaga, di matanya, warna matanya maksudku, membuatku tertegun. Lantas orang asing dalam diriku menghargai keterkejutanku. Dia membimbingku menyelami kedalamam mata Trisy. Dia berbisik, di sana aku akan menemukan masalahku.

Dua tahun lalu kami menikah. Kebetulan kami berdua dilahirkan katolik jadi secara katolik pula kami mengikat janji. Dalam suka maupun duka….

Kami menikah dalam suasana serba tidak berlebihan. Demi menghindari campur tangan adat istiadat di negeri asal kami masing-masing, pernikahan itu terjadi di kota ini. Bahkan tidak pernah ada acara lamaran dan pertunangan sebelumnya. Kami berpacaran tiga tahun di bangku kuliah, lalu setelah kami lulus pada tahun yang sama dan bekerja pada dua kantor yang berbeda kami akhirnya memutuskan untuk menikah. Perwakilan dari keluargaku hanya mengirimkan empat orang dalam pernikahan itu yakni ayah dan ibu serta kedua saudara. Dari pihak Mawar cuma bapak dan ibunya. Satu-satunya biaya yang kupikirkan adalah resepsi buat teman-teman kuliah serta teman-teman kantor. Itu saja.

Aku dan Mawar berdebar-debar sejak malam pertama kami. Lalu pada bulan madu kami di Pulau Komodo. Bahkan sepanjang setahun kemudian kami masih selalu berdebar-debar dan was-was kalau duduk berdua untuk membicarakannya. Kami sangat mengharapkan kehadiran anak-anak. Pada suatu malam, kami duduk berpelukan dekat jendela. Memandang lampu jalan yang menggantikan sebentuk bulan di langit dari balik kaca.

“Aku menginginkan anak laki-laki sebagai anak sulung, saying,” kataku bermaksud bercanda sebab Tuhan yang menentukan jenis kelamin bayi-bayi yang lahir ke dunia.

“Kalau itu baik bagimu, ya aku manut.” Mawar menyahutku. Dia meletakan kepalanya di pangkuanku agar aku membelai rambutnya.

“Anak laki-laki lebih kuat sebagai pembuka jalan. Dia akan menjadi pelindung buat adik-adiknya.” Aku bertaruh kalau teoriku itu benar. Dan Mawar menertawaiku. Kami saling bertatapan lama sekali. Aku menangkap pijar-pijar yang bergeletaran di selaput hitam bola matanya. Aku ingin mencium istriku namun dia cepat-cepat mengalihkan pandangan kembali kepada lampu jalan. Tentu Mawar tak ingin mendesakku, apalagi menuduhku. Kami selalu yakin kalau anak itu anugerah Yang Di Atas.

“Aku pengen miliki dua bayi kembar, deh.” Giliran Mawar mengeluarkan candanya. Aku menggodanya dengan mengatakan bisa-bisa rahimnya tidak sanggup menampung dua janin sekaligus. Kalau jebol gimana?

“Hus,” Mawar memasang tampang serius.”Jangan bicara begitu tentang rahim deh. Ibuku selalu bilang bagi seorang wanita rahim adalah sesuatu yang sangat sakral. Bahkan ketika hatinya sendiri sangat kotor oleh dosa, rahimnya masih tetap suci. Itulah mengapa Tuhan masih menitipkan bayi-bayi lewat wanita-wanita tuna susila.”

“Ibumu pasti menjadi Imam kalau dilahirkan laki-laki, ya.” Lagi-lagi aku menggodanya. Mawar memberengut pura-pura. Menggemaskan melihat istriku menjadi manja begitu.

“Jadi bagaimana dengan wanita-wanita yang tidak pernah melahirkan dan yang mandul?” aku bertanya dan membuat Mawar salah tingkah. Melihat wanita itu menjadi rapuh, aku merasa remuk. Aku mendekapnya sampai Mawar benar-benar menangis.

Dua tahun berlalu. Debaran jantung kami yang menunggu kelahiran bayi lesap oleh hitungan hari. Kami berhenti berharap pada Tuhan. Lalu pada suatu malam, aku membawa pulang dua ekor kucing kembar ke rumah. Mawar melihatnya namun diam saja. Padahal tadi aku berharap ini kejutan menyenangkan untuk Mawar. Dia malah menyuruhku cepat-cepat makan dan segera tidur karena sudah sangat larut sekarang. Hatiku mencelos.

Pada hari setelah kematian Trisa, Aku bertanya apakah dia sesedih diriku? Mawar bilang tidak sesedih itu. Dia mengatakan dia sangat marah pada Tuhan.

“Aku tidak tahu mengapa Tuhan mengirim kucing ketika aku senantiasa berdoa mohon dua bayi kembar darinya?” kata Mawar dingin.

Sajak Renta Murniatun

Cerpen Ewin Suherman

gambar diunduh dari http://onlyblog.blog.tiscali.it
gambar diunduh dari http://onlyblog.blog.tiscali.it

Sajak-sajak itu berceceran di atas meja lusuh. Meja lembab karena tersiram tumpahan kuah sayur bening yang meluber dari piring saat aku mengambilnya dari panci peot, untuk teman makan nasi pera. Nasi yang dimasak dari beras dolog. Beras raskin yang dihargai lima ribu rupiah per dua kilo.

Sajak-sajak itu tidak hanya berceceran. Namun juga lapuk digelayuti debu. Kusut disesapi udara sembab dengan aroma asin pengab menusuk penciuman. Sajak yang telah sama renta dengan ragaku. Ragaku yang lelah seperti hari yang menyerah kepada senja. Lalu pasrah ditindih malam, dilekatkan kepada gelap.

Dia, sajak-sajak itu, sebelum terbengkalai seperti mati, aku telah melupakannya terlebih dahulu. Aku melupakannya tiap kata. Per kalimat. Lalu paragraf. Aku telah melupakannya, kadang karena tidak disengaja. Namun lebih sering karena aku yang menyengaja.

“Kenapa?” tanya Sumitro, kakak laki-lakiku, yang semenjak kecil telah mengajarkanku bersajak. Menggantikan Abah selepas beliau mangkat, tepat satu jam beliau pulang dari bersajak karena ditanggap salah seorang kerabat di desa sebelah.

Kenapa? Pertanyaan yang sekalipun tak pernah aku jawab. Pertanyaan yang terus dia ulang, adalah ketika ia mulai mencium gelagat kejauhanku dari sajak dan bersajak. Ketika ia mulai sadar, bahwa aku lebih sering meluangkan waktu untuk bersama dengan teman-teman baruku, yang diberikan oleh Mas Rahmadi dan Yusuf, suami dan anakku, sebagai ganti mereka menemaniku, sebelum mereka pergi jauh dan malah meyakinkan bahwa mereka tak akan pernah kembali. Kecuali aku yang justru akan menemui mereka kelak. Di rumah baru mereka, yang entah di mana, aku tak tahu. Juga sama sekali tak mengerti apa maksud yang mereka katakana sebelum masing-masing pergi meninggalkanku bersama dengan teman yang mereka berikan sebagai ganti.

Terkadang, pada saat-saat tertentu, di dalam kebersamaanku dengan Sumitro, pikiranku akan menemui titik cerna. Melumat perkataan, baik Mas Rahmadi dan Yusuf, adalah menyoal kematian. Hidup setelah mati.

Akan tetapi, aku tak bisa menelannya lebih banyak lagi. Akan ada rasa sakit yang luar biasa. Yang saking sakitnya, malah membuatku tak bisa menahan tawa. Dan dari sana, hanya teman-temanku saja yang ikut menemaniku. Tertawa terpingkal-pingkal tanpa ada rasa takut orang akan menyebut kami gila.

Terus kami tertawa, hingga aku mulai lupa, dan membiarkannya itu terjadi, lupa dengan sajak dan bersajak. Dan lagi dan lagi, Sumitro bertanya, kenapa? Perihal yang terkadang membuatku jengah terhadap sikapnya. Alih-alih menampakkan dirinya yang kembali memegang tanggung jawab penuh atas diriku, karena aku kembali melajang, justru membuatku merasa dipagari. Aku merasa seperti didikte.

Seperti hari ini, beberapa jam yang lalu, sebelum malam dan hening, Sumitro tergopoh-gopoh mendatangiku. Meninggalkan dua orang tamunya di depan, hanya untuk bertanya, kenapa? Lalu, tanpa memperhatikan jawaban dariku, dia memintaku untuk tidak tertawa keras-keras untuk demi menghormati dua orang tamunya.

Oh, tidakkah ia melihat perihal apa yang membuat diriku tak bisa berhenti menahan tawa? Bahwa Nyi Dewi, temanku yang diberikan oleh Yusuf dan Mas Rahmadi, tengah menirukan bagaimana lucu dan konyolnya seorang lurah dari desa sebelah. Lurah itu meminta Nyi Dewi agar tidak pergi meninggalkannya dan berteman denganku. Nyi Dewi menyulap tubuhnya menjadi lebih gempal sekaligus lusuh. Perutnya buncit dan melorot, seakan hendak jatuh ditarik gravitasi. Mulutnya ia monyong-monyongkan, sesekali menyeringai, memperlihatkan gigi-giginya yang kuning beraroma tengik.

Aku tak mengerti dan bertanya, apakah karena Nyi Dewi yang selalu bersamaku, membuatku lupa untuk bersajak, membawa Sumitro begitu membencinya? Sehingga melihatnya pun ia tak sudi. Oh, bukankah dia sendiri yang memintaku untuk tidak larut dalam luka atas kepergian Yusuf dan Mas Rahmadi? Menyuruhku untuk menjemput kebahagiaanku yang lain? Lantas, inilah kebahagiaanku. Bersama dengan Nyi Dewi dan terkadang juga teman-temannya yang lain. Akan tetapi mengapa Sumitro berkeberatan dan tak memperbolehkan diriku untuk tertawa?

 “Karena kalau mereka teman. Mereka tidak akan membiarkanmu lupa dan malah melupakan sajak-sajak yang diajarkan Abah dulu,” kata Sumitro pelan, setelah ia dengan begitu tidak sopan mengusir Nyi Dewi dari beranda rumah kami, beranda tempat biasa kami bersua.

Oh, dua kubu dalam saat yang bersamaan membuatku limbung. Nyi Dewi dengan dunianya mampu menyingkirkan segala lara yang pernah menghujamku beberapa saat. Beberapa saat namun rasanya membuatku jatuh dan mengeluh, kenapa aku dilahirkan untuk menikmati segala lara itu? Menyaksikan semuanya terjadi di depan mataku?

Sementara Sumitro, ia dengan pelukan dalih peran dan tanggung jawabnya lagi terhadap diriku, paling tidak sampai nanti aku kembali menikah. Sumitro dengan segala kebenaran yang dilakukannya. Dan aku yang melihatnya demikian. Tak ada celah di dalam dirinya. Tak ada tempat meski sejengkal untuk satu laku timpang. Ah..

Namun begitu, seperti ujar yang sangat lama dan tua, yang digembar-gemborkan, bahwa hidup adalah sebuah pilihan. Maka rasanya tidak salah, jika jalan yang kupilih untuk kembali tertawa adalah dengan menerima apa yang ditinggalkan oleh suami dan anakku. Nyi Dewi. Tidak selalu dengan Sumitro, meski tak boleh aku menyangkal, atau menolak bahwa ia adalah orang yang paling bertanggung jawab di dalam hidupku kini. Walaupun keberadaannya tidaklah ia bisa mengangkatku dari ingatan terhadap Yusuf dan Mas Rahmadi. Ingatan yang terus melemahkan dan melukaiku.

Pun untuk bersama-sama dengan Nyi Dewi, tetap harus ada yang kutinggalkan. Harus ada yang aku korbankan. Dan itulah sajak-sajak. Yang diajarkan Abah yang kemudian diteruskan Sumitro. Itulah yang kutinggalkan. Sebab seiring dengan ingatanku terhadap anak dan suamiku, sajak-sajak itupun melukai Nyi Dewi. Membuatnya sangat kesakitan bila aku menyenandungkannya. Meski hanya selarik, tetapi itu akan membuat Nyi Dewi sangat merasa kesakitan.

“Itu salah, Murni,” bantah Sumitro dengan suaranya yang selalu halus dan pelan. “Pemikiranmu ,mengenai apa yang harus kau lakukan untuk mengambil keputusan itu keliru. Tidak seperti itu caranya. Melainkan…”

Ah, Sumitro belum juga mengerti. Atau mungkin dia malah menutup mata kepada hidup? Bahwa ia selalu mengenai pilihan. Seperti dirinya menjalani kebaikan apa yang menurutnya benar. Bukankah demikian pula dengan diriku? Kenapa dia harus memaksa? Bahkan untuk diriku bisa legowo atas kepergian anak dan suamiku.

Aku legowo. Hatiku sudah ikhlas. Toh itu semua juga berkat dirinya karena membuatku memutar kembali langkah-langkahku dan memulainya lagi dari awal. Tetapi mengapa dia berbicara -selalu berbicara- yang seolah-olah mengalihkan kalimatnya ke dalam bahasa yang lain menyebutku gila? Tak waras?

Menyindir hanya karena aku tak pernah lagi bersajak dan menemui-Nya. Tidakkah alasanku sangat jelas? Jawabanku begitu lugas ditanya kenapa aku tidak lagi menemuiNya? Itu karena Dia yang meninggalkanku. Dua kali malah Dia meninggalkanku. Pertama adalah ketika Yusuf pergi. Disusul dua tahun berikutnya adalah Mas Rahmadi. Lalu, untuk apakah aku menemui-Nya? Sementara aku sudah mendapatkan penggantinya untuk tersenyum?

Tetapi Sumitro memaksaku mengingat kembali sajak-sajak yang akan membuat kepalaku terasa sangat sakit bukan kepalang. Tak hanya itu, pun dia menghina Nyi Dewi. Baru setelah itu, aneh sekali, Sumitro tertawa terpingkal-pingkal sambil berkacak pinggang. Berbicara sendirian menggunakan bahasa yang sama sekali aku memahaminya, dan membuatku heran bagaimana ia bisa menguasainya sementara Nyi Dewi tidak sembarangan mengajarkannya? Atau dia menguping kami sewaktu-waktu, sehingga ia sangat lugas berintonasi dengan menggunakan bahasa kami?

Pradugaku, mungkin, mungkin sekali ini Sumitro kalah. Tak bisa menahan diri dari melihat kelucuan yang Nyi Dewi tampilkan? Sumitro tertawa terpingkal-pingkal dan berbicara sendirian. Sejenak seakan ia sedikit bertoleransi dan melupakan sajak-sajak. Ia lupa menemui-Nya. Dan, oh, sungguhkah aku diperkenankan untuk menyebutnya gila? Dia, Sumitro tidak waras? Sebab yang terlihat di mataku seperti itu. Atau hanya aku saja yang memang tidak waras? Aku gila. Ah..

Sumitro terus tertawa terpingkal-pingkal. Sampai matanya berair dan ia mengaku perutnya kram. Dia menyutujui tertawa membuat satu kesenangan tiada tara rasanya. Lalu, kulihat Nyi Dewi mulai menjauhiku. Mendekati Sumitro yang kini memandangnya setara dengan ketika ia menyebut sajak.

Kenapa? Pertanyaan itu kini bergilir memenuhi rasa ingin tahuku. Menjadi milikku sendiri. Sebelum semuanya dalam pandangannku menjadi senyap. Kecuali tawa-tawa Sumitro dan Nyi Dewi, yang gaungnya terdengar hingga larut malam.

Ewin Suherman dilahirkan di Tegal, 5 Pebruari 1985. Penulis bisa dihubungi melalui surel ewin.suherman@yahoo.com Atau kontak 0856-4349-2570.

Rambut Merah Maria

Cerpen Octaviana Dina

perempuan-berambut-merah
foto dari shutterstock

Tak sampai satu menit seusai pemaparan mengenai rencananya seputar proyek baru, Winardi segera menyergapnya dengan kontra opini yang tajam. Ia menyuarakan ketidaksetujuannya. Hm, perang dimulai, pikirku. Seperti biasanya, perempuan itu tak berkata sepatahpun dan menyimak dengan seksama  sampai Winardi selesai bicara. Lantas, dia mementahkan opini lelaki itu dengan argumennya yang dinyatakan dalam kalimat-kalimat jelas, lugas dengan dalil-dalil logis yang sulit dibantah. Ia menyampaikan sanggahannya pada Winardi dengan suara mantap dan penuh keyakinan.

Akan tetapi, bukan Winardi namanya jika cepat menyerah. Lelaki itu kembali menyerangnya. Dan perempuan itu dengan percaya diri mematahkan serangan Winardi. Begitulah, kedua orang itu laksana sepasang kutub negatif dan positif. Sama-sama kuat, tapi senantiasa berlawanan. Harus kuakui, aku sangat menikmati pertarungan pendapat di antara keduanya. Pertarungan itu menunjukkan kemampuan dan keahlian yang mereka miliki. Mereka telah membuatku kagum. Terlebih lagi perempuan yang satu itu. Lugas, brilian, berani, dan -tentu saja- keras kepala.

Namanya Maria. Setelah mengenalnya beberapa lama, aku berpendapat nama itu tak cocok untuknya. Aku tak tahu kenapa, namun setiap kali mendengar nama Maria aku selalu membayangkan sosok seseorang yang benar-benar berbeda dengan dirinya. Sosok perempuan yang pendiam dan tenang. Barangkali aku terlalu berlebihan dalam hal ini. Namun itulah yang selalu muncul dalam benakku setiap kali aku mendengar nama Maria.

***

            Aku ingat, pada suatu hari – saat itu aku berusia lima tahun- aku dibawa ibuku pergi. Kami naik becak dan kemudian tiba di depan sebuah rumah mungil bercat putih. “Ayo, sayang, kasih salam sama Tante Maria,” ujar ibuku. Kuulurkan tanganku pada seorang perempuan dengan rambut hitam panjang tergerai tengah tersenyum padaku. Matanya menatapku dengan hangat dan ramah. “Halo, sayang,” katanya. Tangannya mengelus kepalaku. Aku masih ingat caranya bertutur: manis dan lembut. Pada saat itu juga aku merasa nyaman berada di dekatnya. Itu pertama kalinya aku mendengar nama Maria, dan Tante Maria adalah sosok Maria pertama yang kukenal.

Aku bertemu sosok Maria yang kedua beberapa tahun kemudian saat bersekolah di sekolah dasar. Suatu hari, aku mengikuti teman sekelasku  menyelinap masuk ke sebuah sekolah Katolik yang terletak tak jauh dari sekolah kami.  Sekolah itu cukup besar, dengan beberapa gedung untuk TK, SD dan SMP.

Semula aku takut untuk masuk. Aku takut penjaga sekolah itu menangkap basah kami yang tanpa ijin menyelinap ke dalam.

“Ayo, ikuti saja aku. Tidak apa-apa,” kata temanku menenangkanku. “Sekolah ini punya tempat rahasia. Akan kutunjukkan padamu,” lanjutnya lagi ketika kami tiba di sebuah taman sunyi yang terdapat di belakang sekolah. Aku mengikutinya menuju sebuah tempat serupa gua kecil yang tersembunyi di balik pohon besar. Di dalamnya aku mendapati sebuah patung berukuran besar. Patung seorang perempuan berkerudung terbalut gaun panjang berwarna putih berlapis jubah biru.  Kedua tangannya terbuka dan terulur ke depan seolah ia tengah menyambut hangat kedatangan kami. Ketika pandanganku sampai pada matanya, aku merasa ia sedang menatapku dengan sorot mata menyejukkan. Aku merasa ia tesenyum padaku. Meski tempat itu sunyi dan sedikit gelap, namun hatiku dirambati perasaan nyaman.

“Siapa dia ini?” aku bertanya pada temanku.

“Dia Bunda Maria. Kata orang, dia adalah ibunya Yesus Kristus,” jawab temanku. Sambil terus memperhatikan patung itu, aku melihat rambut hitam di bagian atas dahinya  menyembul sedikit dari balik kerudungnya.

Kemudian, ketika duduk di kelas dua SMP aku mempunyai teman sekelas bernama Maria. Mungkin lantaran kami selalu duduk berjauhan, aku jarang sekali bercakap-cakap dengannya. Meski begitu, aku masih bisa mengingatnya sebagai seorang gadis pendiam yang santun dengan rambut hitam panjang. Sangat pintar, tapi juga amat rendah hati.

Lalu, saat aku duduk di kelas tiga SMA, lagi-lagi seorang bernama Maria masuk dalam kehidupanku. Ia adalah guru Bahasa Inggrisku. Ia selalu berpakaian serasi dan rapi, serta senantiasa mengikat rambut hitamnya dan membentuknya  menjadi sanggul kecil. Aku yakin, rambutnya pasti panjang. Klasik, begitu kesanku padanya. Pembawaan Bu Maria selalu tenang, tanpa banyak riak emosi. Aku tak pernah melihatnya tertawa; hanya senyum yang menyejukkan yang kerap terbit di wajahnya. Kudengar usianya sudah mencapai empatpuluhan saat itu, namun ia terlihat jauh lebih muda.

“Ibu Maria itu perawan tua yang cantik,” bisik salah seorang teman sekelasku suatu ketika. Walaupun aku punya reputasi jelek sebagai pembuat onar di sekolah, aku tak pernah berani menjahili Bu Maria seperti  halnya yang sering aku lakukan pada guru-guru lainnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku menaruh hormat. Tak peduli bagaimanapun buruknya tingkah laku murid-muridnya dalam kelas, Bu Maria tak pernah menaikkan nada suaranya. Ia tampak super sabar, hingga aku bertanya-tanya sendiri apakah ia pernah benar-benar marah dalam hidupnya.

“Ia tak punya emosi. Aku berani bertaruh ia tak pernah jatuh cinta. Mungkin itu sebabnya kenapa sampai sekarang ia belum juga menikah. Tahu nggak, umurnya sudah empatpuluh tahun lho,” ujar teman sekelasku. Aku amat bersimpati pada Bu Maria. Bagiku, ia adalah guru yang benar-benar baik dan cakap.

***

“Hei, ada apa dengan rambutmu?” tanyaku pada Maria suatu hari.

“Memangnya ada apa dengan rambutku?” ia balik bertanya.

“Itu lho, banyak sekali uban bermunculan. Kok dibiarkan saja?” ucapku.

So? Lantas kenapa?” lagi-lagi ia balik bertanya.

“Kau kan perempuan, seharusnya kau memperhatikan rambutmu. Kau kan bukan nenek-nenek berumur tujuhpuluh. Rambutmu seharusnya tidak boleh terlihat seperti itu,” ujarku terus terang.

“Kenapa tidak boleh? Kalau aku suka begini, kau mau apa?” balasnya sambil mengangkat dagu dan menaikkan alis matanya. Jelas ia menantangku.

“Kuberitahu ya, ini memang sudah keturunan. Rambut mendiang nenekku mulai beruban saat beliau masih muda. Ibuku juga begitu. Ubannya mulai muncul pada usia tigapuluh,” lanjut Maria.

“Ya, tapi akan lebih baik kalau kau cat saja rambutmu itu,” jawabku.

“Kenapa sih kau jadi rewel soal rambut ubanku? Ini kan kepalaku, bukan kepalamu. Lagipula, ini cuma rambut. Bagiku, yang terpenting adalah apa yang berada di bawah rambut di kepalaku ini. Otak. Otakku,” tukasnya dengan kukuh. Perempuan ini memang benar-benar keras kepala.

“Kamu ini terobsesi dengan rambut perempuan ya? Hmmm, dasar laki-laki. Jangan-jangan, sepanjang hidupmu selama ini kau selalu dikelilingi perempuan-perempuan berambut hitam panjang. Aku rasa, aku tahu seperti apa perempuan idamanmu. Shampoo girl, gadis shampoo! Gadis dengan rambut panjang hitam berkilat-kilat, iya kan?” sambungnya tajam. Sepasang bibirnya lalu mengukir senyum lebar.

“Sudahlah, Maria,” kataku. Kurasakan wajahku memerah.

“Kau pasti cukup sengsara bekerja di tempat ini. Tak ada perempuan berambut hitam nan panjang di sekitar sini,” ledeknya terus menyudutkanku.

“Oke, cukup. Cukup, Maria. Kau menang. Kau memenangkan pertempuran, seperti biasanya,” sahutku. Aku segera bangkit dari kursiku. Lebih baik aku cepat-cepat menyingkir dari hadapannya.

“Katakan, kenapa sih kamu jadi rewel soal rambutku? Kau tidak sedang jatuh cinta padaku kan? Atau, jangan-jangan, memang iya? C’mmon, honey, tell me, are you falling in love with me?” kejar Maria  lagi. Oh, my God, dia ini benar-benar… ah! gumamku dalam hati. Lantas, sebelum aku menjawabnya (aku tak yakin aku mampu menjawabnya), ia tertawa terkikik-kikik. Aku tak kuasa lagi membuka mulutku. Segera kutinggalkan ruangan itu dengan wajah semerah bunga anyelir.

Semenjak hari yang memalukan itu, aku tak pernah lagi menyinggung soal rambut. Lebih dari itu, aku bahkan tak bisa mencegah wajahku memerah tiapkali Maria menatap langsung ke mataku. Sepertinya perempuan itu bisa membaca apa yang kusimpan rapat dalam hatiku. Dan, ia tetap membiarkan uban menyeruak dari sela-sela rambut hitamnya.

Hingga beberapa minggu kemudian. Pada suatu pagi Maria datang ke kantor dengan penampilan yang sangat berbeda.  Rambutnya. Ia mengecat rambutnya dengan warna merah tua kecokelat-cokelatan yang kemilau. Semua orang dibuatnya terpana , termasuk aku.

“Wow, kau tampak cantik dengan rambut seperti itu, Maria. You undeniably look great!” ujar Winardi. Meski Winardi kerap bersikap berseberangan dengannya, namun ia seorang lelaki yang jujur dan fair. Aku percaya kata-kata Winardi itu benar dan jujur karena, sama seperti dirinya, aku pun berpendapat Maria begitu cantik dengan rambut berwarna demikian. Warna merah kecokelatan tersebut amat cocok untuk wajahnya dan juga untuk kepribadiannya yang terbuka dan kuat.

“Terimakasih ya,” jawab Maria seraya tersenyum senang. Aku berpura-pura tak melihatnya dan berusaha menyibukkan diri dengan tumpukan kertas kerja saat ia akan melewati ruanganku.

“Hai!” Tiba-tiba Maria sudah berdiri di depanku. “Sibuk nih?” celetuknya.

“Yah, begitulah seperti yang kau lihat,” jawabku. Kurasakan wajahku kembali memerah ketika ia mendekatiku.

“Nah, bagaimana pendapatmu soal warna rambutku ini? Kau pasti suka, iya kan?” Jantungku berdetak kencang. Memang benar, namun aku tak ingin perempuan itu mengetahui perasaanku yang sebenarnya.

“Sejujurnya, kurasa warnanya tak cocok untukmu,” kataku berbohong.

“Aku tahu, kau lebih suka hitam.”

“Bukan begitu maksudku, Maria…”

“Ssst, dengar, lebih baik kamu berhati-hati…,” tukasnya dengan matanya berbinar.

“Kenapa?”

“Hati-hatilah kau. Kau bisa benar-benar jatuh cinta padaku. You could be, you know, truly..madly..deeply..fall in love with me,” ucapnya dengan suara sedikit berbisik. Ia tersenyum saat mengatakannya. Maria mengedipkan mata kanannya padaku, lantas segera berlalu.

Aku membeku di kursiku. Kurasakan tubuhku gemetar. Mulutku terkunci. Astaga, berani-beraninya dia mengucapkan hal itu! Bagaimana kau bisa berkata seperti itu, Maria? Apa yang kau tahu soal perasaanku padamu? Tapi… tapi… tapi harus kuakui kalau kau memang benar, Maria. Kau benar sekali. Aku sangat mengagumimu. Aku memang telah jatuh cinta padamu! seruku lantang. Hanya dalam hati.

***

Octaviana Dina, adalah penulis sekaligus penerjemah. Sejumlah cerpen dan essainya dimuat di beberapa media cetak dan online. Ia juga menjadi peneliti untuk Yayasan Yap Thiam Hien –lembaga nirlaba yang berfokus pada isu hak asasi manusia.

Menyematkan Rindu Pada Bulir Padi yang Menguning

Cerpen DeAnnita

Panas terik matahari siang ini kembali membakar kulit sawo matangku. Setelah lelah sedari pagi membantu mamak dan bapak memanen padi, aku duduk di sebuah gubuk bambu yang sengaja bapak buat sebagai tempat peristirahatan. Kulihat mamak dan bapak tampak begitu lahap menyantap bekal makan siang yang setiap hari mamak persiapkan sebelum pergi ke sawah. Mamak selalu membawanya dalam rantang abu-abu itu.

Aku tak lapar, sama sekali tidak. Di setiap waktu makan siang seperti ini, rasa laparku selalu terkalahkan oleh satu rasa yang begitu menggebu. Rasa yang mengikat hatiku pada sebuah janji yang kau ucapkan dua tahun yang lalu–di gubuk bambu ini. Rasa itu kuberi nama rindu. Lalu hari-hariku seperti anak-anak sekolah. Aku mempunyai pekerjaan rumah untuk menyematkan rindu pada bulir padi yang menguning.

Dulu, sebelum kau pergi membawa mimpimu ke kota megapolitan itu, kita selalu berbagi makan siang di sini. Kau selalu membawa ubi rebus yang mamak-mu rebus sebelum kau pergi bermain ke tanah hijau ini. Sebagai gantinya, aku membawakanmu pisang bakar yang kubakar sendiri di bawah luweng. Kau mengatakan bahwa pisang bakar buatanku adalah pisang bakar terlezat yang pernah kau makan sepanjang hidupmu.

Beberapa detik kemudian, kurasakan batinku mulai mengharu biru kembali. Sementara itu, mamak dan bapak bersiap untuk kembali memanen padi. Mamak dan bapak memakai caping yang di beberapa sisi anyaman bambunya sudah agak berantakan dan mencuat dari jalurnya. Tak bisa kucegah sekeping memori tentang pertemuan kita dulu. Pertemuan yang membawa kita berjalan menuju sebuah rangkaian yang kebanyakan orang menyebutnya dengan panggilan persahabatan.

Waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga dan kau kelas empat. Siang itu aku duduk di kelas sendiri dan menundukkan kepala dalam-dalam. Ruang kelas kita bersebelahan. Kau berhenti tepat di depan kelasku dan menatapku dengan penuh tanda tanya. Terang saja, di saat anak-anak lain sudah pulang, aku masih duduk di kelas dengan sikap yang aneh.

Kau berjalan mendekatiku, duduk di sampingku, lalu berkata, “Kamu ndak pulang?”

Perlahan kutengadahkan kepala untuk melihat wajahmu sambil menghapus sisa air mata yang membasahi pipiku. Aku diam tak menjawab pertanyaanmu. Lalu aku kembali menundukkan kepala dan memilin-milinkan ujung dasiku.

“Aku ndak akan jahatin kamu kok. Kamu ngopo nangis?” rupanya kau seperti bisa membaca pikiranku saat itu. Kau malah semakin ingin tahu mengapa aku menangis sendirian di kelas saat itu.

Sekuat tenaga kutahan tangisku untuk menjawab pertanyaanmu. Kau sedikit memiringkan kepala untuk melihat wajahku yang masih tertunduk.

“Aku mau pulang,” aku masih mengingat dengan jelas bagaimana nada bicaraku saat itu. Sungguh, aku begitu terdengar menderita dan memelas.

Kau tertawa begitu puas setelah mendengar jawabanku. Seketika saja, kau berdiri dan memegang tangaku untuk berdiri. Aku masih menatapmu tanpa kata-kata.

“Pulang tinggal pulang, to? Kalau di sini terus kapan sampai rumah?”

Dengan malu-malu kujawab pertanyaanmu, “Aku ndak punya uang. Uangku diambil sama Si Lemu.” Setelah itu tangisku kembali pecah.

Kau melepaskan genggaman tanganmu dan menghapus air mataku. Aku tersentak kaget dengan perlakuanmu saat itu. Tawamu yang tadi mengejekku berubah menjadi sifat seorang kakak yang mengayomi adiknya.

“Ya, sudah, ayo tak antar pulang,” ucapmu sambil menuntunku keluar kelas.

Siang itu kau mengantarku sampai rumah. Aku tersenyum begitu bahagia saat itu.

Kau mengulurkan tanganmu seraya berkata, “Panji.”

Secepat kilat aku membalas uluran tanganmu, “Ayu.”

Siang itu adalah awal persahabatan kita. Kau dan aku mulai bermain bersama di sekolah ketika istirahat tiba. Tak jarang, kau berkunjung ke rumahku. Kau mengajariku menerbangkan layang-layang. Aku ingat layang-layang pertama yang bisa kuterbangkan berkat ajaranmu. Warnanya putih dengan garis hitam di sisi kirinya. Lalu di tengahnya tertulis nama kau dan aku.

Aku berteriak kegirangan, “Panjiii, layang-layangku bisa terbang!”

Kau berdiri di sampingku sambil melihat ke layang-layang yang berhasil kuterbangkan dengan indah. “Siapa dulu yang mengajari? Panji!” jawabmu bangga sambil membusungkan dada.

Sebagai gantinya, aku mengajakmu bermain di sawah bapakku. Kau begitu sumringah ketika kuajak melihat padi-padi yang menguning dan siap dipanen. Kau juga mengatakan bahwa suara burung pipit di sawahku membuat hatimu ceria.

Aku tersadar dari lamunanku ketika bapak menggerakkan boneka sawah yang sengaja dibuat untuk mengusir burung-burung pipit yang datang mematuki padi-padi kami. Tanpa kusadari ada setetes bulir hangat yang jatuh membasahi pipiku. Ah, jangan menyebutku sebagai gadis desa yang cengeng! Aku memang selalu seperti ini. Rinduku padamu seperti cambuk yang siap mengeksekusi teroris di tiang cambukkan. Tidak, rinduku padamu serupa bulir padi yang menguning begitu indah dan dinantikan berjuta umat manusia.

Seandainya saja aku bisa mencegah kepergianmu untuk tidak menuntut ilmu di kota besar yang kini membuatmu lupa akan ubi rebus, pisang bakar buatanku, bermain layang-layang, dan kicau burung pipit yang membuat hatimu ceria. Seandainya saja aku bisa sedikit berargumen, mungkin kau akan mempertimbangkan kembali kepergianmu. Ah, sudahlah. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu kedatanganmu setiap tahun dan terus fokus pada pendidikanku yang sudah separuh jalan ini.

Aku memang selalu menasihati diri agar bersabar menunggumu, namun batinku meronta karena setiap keping kenangan kita berbunyi seperti logam yang jatuh di atas keramik. Dan memori kepergianmu terputar lagi di benakku.

Senja menguning dengan sempurna sore itu. Padi-padi yang siap dipanen merunduk dan menari setelah angin sore mengecupnya dengan lembut. Suara jangkrik dan katak sawah mulai terdengar melantunkan nyanyian malam dengan penuh semangat. Kau menjemputku di rumah dengan sepeda ontelmu dan membawaku ke gubuk bambu yang bapak buat. Kau bilang ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Lagi-lagi kau bilang hal yang akan kau sampaikan menyangkut masa depan kita.

“Bagaimana perasaanmu menunggu hasil ujian nasional?” ucapku saat itu dengan hati yang berdebar. Ujian Nasional yang baru saja kau lewati menciptakan lega sekaligus ketegangan baru untukku.

Sepertinya kau tak mendengar ucapanku. Kau terlihat begitu gelisah. Kakimu kau ayunkan ke depan dan ke belakang yang semakin mempertegas kegelisahanmu.

“Aku harus pergi, Yu,” ucapmu sambil menatap mataku lekat-lekat.

Aku terkaget mendengar ucapanmu. Seketika saja, kurasakan detak jantungku seperti berhenti setelah beberapa detik. Aku tersadar dan dengan cepat menyuruh jantungku untuk berdetak kembali. Namun, hanya diam yang kuberikan sebagai jawaban atas ucapanmu.

“Aku akan melanjutkan kuliah di ibu kota. Aku sudah diterima di salah satu universitas di sana,” ucapmu lanjut. Dari air wajahmu aku tahu ada rasa yang memberatkanmu saat menyampaikannya padaku.

pemandangan_sawah
foto milik Teresia Prahesti

Seketika saja aku terhenyak dan menyandarkan diri pada bambu penyangga gubuk. Aku merasa seperti ada yang menghujam tepat di jantungku. Kau yang menyadari perubahan ekspresiku langsung berkata, “Tenanglah, Yu. Aku ndak akan melupakanmu. Aku akan pulang kampung setiap tahun.”

Kau diam sejenak sebelum akhirnya menggenggam tanganku erat dan berjanji, “Aku berjanji tak akan melupakanmu. Percayalah padaku. Aku akan setia pada janji kita. Kau dan aku di usia 25 tahun nanti.”

Lalu padi yang menguning semakin merunduk saat itu. Senja yang berubah menjadi jingga rasanya begitu kelabu. Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya diam dan memegangi pinggangmu dengan erat. Kau mengayuh sepeda ontelmu dengan pelan, layaknya petani yang kelelahan setelah seharian mengurus sawahnya.

Suara mamak memanggilku dengan lantang, membuyarkanku dari lamunan tentangmu.

“Ayo pulang, wis sore mengko ndak kewengen,” mamak berteriak sekali lagi.

Inggih, Mak,” jawabku singkat.

Aku beranjak dari gubuk bambu yang penuh dengan kepingan kenangan kita dengan malas. Sebelum benar-benar melangkahkan kaki, kupandangi gubuk bambu itu dengan rasa yang mengharu biru. Aku melihat tawa, kata, cerita, dan tangis kita menguap di udara menuju peristirahatan hari. Lalu kepingan-kepingan itu berserakan, usang karena lama tak kau sentuh.

Sejenak aku berdiri memandangi padi-padi yang menguning dengan rasa haru yang luar biasa. Isakanku kujelmakan pada lukisan langit jingga yang sempurna. Ah, aku tak akan berharap terlalu banyak. Sebab kedatanganmu selalu membuatku  kecewa bahwa kau melupakan setiap hal yang pernah kita lalui dengan alasan setumpuk tugas dan hal baru di ibu kota yang kau anggap sebagai modernisasi.

Kau mengernyitkan dahi melihat pisang bakar yang kusodorkan. Dengan penuh semangat dan sukacita aku membakarnya untukmu, namun kau membalas kegembiraanku dengan tanda tanya.

“Aku tak lagi memakan pisang bakar seperti ini, Yu. Jorok dan tidak menarik. Di kampus aku diajari kebersihan yang begitu ketat. Aku baru menyadari bahwa pola hidupku selama ini sungguh jorok,” ucapmu ringan sambil memainkan handphone layar sentuh yang kau bilang sedang trend.

Aku hanya diam, mengangguk, dan berkata “oh” atau “iya” atas segala ceritamu tentang isi ibu kota. Lalu kau membuat hatiku hancur berkeping-keping. Rasanya seperti banjir yang membuat semua isi kolam ikan mbah kakung meluap, berserakan ke jalanan dan ikan-ikan di dalamnya tak bisa bernafas. Akulah ikan itu.

“Setelah selesai S1, aku ditawarkan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri oleh salah satu kawanku. Bagaimana menurutmu, Yu?” kali ini kau bertanya sambil menatapku.

Aku diam sejenak, kebingungan dengan jawaban yang harus kupersembahkan untukmu. “Ya, itu bagus. Lalu bagaimana dengan janji kita di usia 25 tahun?” kuberanikan diri untuk melontarkan pertanyaan itu.

“Yang terpenting saat ini adalah pendidikan. Kau tak perlu memikirkan hal yang belum tentu terjadi,” lalu kau mengeluarkan sebuah gantungan kunci dengan boneka beruang biru yang menggantung pada lingkaran pengaitnya.

Kau memberikannya untukku. Aku memandangi gantungan kunci itu dengan hampa. Tak tahu lagi harus berkata apa. Lalu kuseka air mata yang hampir saja memberontak ingin menampar kata-katamu.

Sekuat tenaga kukatakan padamu, “Aku menunggumu di usia 25 tahun itu, Panji. Aku menunggu janjimu, janji kita.” Kau tersenyum mendengar ucapanku. Lalu tanganmu menggenggam erat tanganku. Kurasakan ada kehangatan yang mendarat di keningku. Ah rasanya begitu manis.

Aku berdebar mengingatnya, selalu berdebar. Aku melangkah perlahan menyusuri pematang sawah. Dan biarlah, tetap dan terus kusematkan rindu pada bulir padi yang menguning.

Kampus GG IPB

10:42

DeAnnita, kelahiran kota hujan. Mencintai hujan, rindu, senja, dan pantai.