lukisan kanvas

Mata Kelinci Bertelaga Teduh

Cerpen Aksan Taqwin

/1/

Telaga teduh. Pohon jambu. Rumput mengering. Ayam bertamu. Ikan kecil serupa kecebong secara cekat kabur ketika Kasrun hendak menangkap. Ibunya telah meracik berbagai bumbu-bumbu yang akan segara ditumpahkan di sekujur tubuh indah sang ikan. Masih belum juga reda hujan sedari pagi. Kasrun pun belum juga kembali. Ikan belum sempat ia kemasi dari peraduan yang hening. Hanya tiga ekor ikan yang masuk di sebuah timba kecil warna hijau. Sehijau rumput depan rumahnya. Lalu mengalirlah senyum Ibunya ketika mata Kasrun menyapa sambil menenteng timba.

lukisan kanvas
Absurditas (aquarelle on paper, 37cm x 32cm, 2005), karya Antonsammut.
website http://www.antonsammut.com

Mata kelinci. Serupa syarif. Kadang mata serupa kembang kamboja yang menggerimisi tanah. Telah menjadi segumpal kedamaian sejenak, bertaburan sepi serupa kuburan. Namun tampak damai dan bahagia. Mengais hidup yang buaya. Kasrun masih diam. Menggenang di atas tepian air. Telaga teduh bermata merah jambu. Dikelilingi gunung bonsai berdiam pohon kelapa yang miring. Tiada wajah yang menguning kepada keluarga yang hening. Berkecukupan adalah sebatas syukur yang tiada keluh kesah bagi mereka. Berdiam hati, meski cemooh mengalirkan ludah hingga ke tanah menusuk telinga, hati merunduk masihlah teduh bagi mereka.

Bapaknya pegawai negeri sipil di perangkat desa—Narko. Berhati kelinci yang selalu menanam senyum di penjuruhan desa. Tiada air mata atau pun mengais kesakitan pada lambung-lambung fakir. Tergolong absolut yang berdiri di tengah-tengah gambut. Bisa jadi alunan beserta senyum akan disuguhkan melalui bibirnya, kepada Narko mereka patuh. Narko yang mengalir laksana asap cerutunya yang cokelat.

Menangkap senja. Gerimis tipis merinai pada gambut yang memerah. Hingga pada mata Kasrun menculik teduh rumah. Berduyun sambil membawa ikan-ikan kecil yang tidak seberapa ukuran tubuhnya. Bersamaan dengan Bapaknya pulang kerja. Masih tampak rapi dan berwajah pohon jati. Bapaknya tampak letih. Bersamaan dengan senja perempuan, keduanya saling mencucui diri. Ibunya masih sibuk mempersiapkan makan malam. Meracik bumbu-bumbu yang belum usai. Senyum liris mengiris bawang bombai. Cabe yang sadis telah diiris, hingga sampai pada harapan yang siap dihidangkan.

/2/

Seperti bapaknya. Wajah Narko serupa bapaknya yang dahulu menjadi kepala desa di kota yang selalu mendapatkan adi pura. Nyaris sama. Hati kelinci, mata sapi, tubuh kuda yang adalah sama ada pada dirinya. Narko bersayap letih, berangkat dari keluarga fakir pada awalnya. Atas kejujuran dan kebaikan bapaknya serupa merpati, hingga ia diangkat dan didorong para warga menjadi bupati. Asal tunjuk jari sudah jadi.

“Bapak, sepatu saya sudah rusak.” Rintihan Kasrun kepada bapaknya.

Cukup mengangguk lalu diam. Sibuk membaca surat kabar tentang pelecehan seksual, korupsi adalah menyentuh hati. Berimajinasi menjadi pemimpin paling tinggi akan dihamburkan kemakmuran pada garis tanah yang damai bagi Narko. Wajah Kasrun sepi. Malu kembali merintih di atas wajah bapaknya yang putih. Berkesinambungan di beranda rumah nun damai adalah keluarga paling bahagia, baginya. Yang terpenting berkecukupan saja sudah cukup, begitulah ucap Sarni adalah suami Narko ketika ditanya tetangga mengapa tidak membeli alat kendaraan. Keterbiasaan hidup sederhana adalah penenaman berawal dari diri Narko. Tipis duka.

“Berapa harga sepatu itu?” bibir Narko mencoba menyapa kembali kalimat anaknya.

Setelah menyebut merk dan harga membuat Narko semakin bingung. Sepasang sepatu yang adalah gaji sebulan. Sedang lambung butuh tanaman, cairan dan segala nafas untuk hidup. Buatnya, ibunya, juga rumah. Sementara adalah penundaan. Mencoba menasehati dari bibir tipisnya, Kasrun cukup mengganggukan kepala.

“Biarkan Bapak menabung dulu, anakku. Namun, tidakkah kau beli saja sepatu yang lebih murah yang sepertiga dari gaji bapak?”

Gelengan kepala Kasrun membuat Narko resah semakin gelisah. Mencoba meredamkan penuh sabar hingga tiada penutup usia bagi penyakitnya yang adalah jantung. Hampir lima tahun dia berjuang sekuat tenaga demi penyakitnya yang sudah berskala tinggi. Ibunya cukup cantik, bersabar menyambung hidup dalam kederhanan. Kesederhanaan yang bagi mereka adalah saru. Pejabat yang bermata kelinci.

/3/

Narko sangat bijak dalam berkemimpinan. Sangat deras dana untuk desa masuk padanya, namun dia hanya semata-mata membuat keperluan seluruh warga dan desa. Tak pernah sepeser pun ia ambil meski untuk sebungkus rokok. Kerap warga menyukainya, meski terkadang ia hidup sengsara.

“Bapak, apa sudah cukup membeli sepatu buat Kasrun?” rintih Kasrun sambil memanja.

Narko semakin bingung. Uang yang sudah tekumpul hampir cukup telah dipinjam karibnya. Dia memubutuhkan untuk operasi sesar istrinya. Narko tak kuasa menahan rintihan karibnya yang menyapa dan bertamu di beranda retinanya. Mengalir air mata hangat pada mata karib adalah prihatin. Lalu esoklah membeli sepatu untuk anak, nyanyian hati yang sepi.

/4/

“Apa kau tidak mampu mendidik anakmu? Bagaimana bisa terwujud keindahan di indonesia sedangkan anak pejabat mencuri sepatu kelas tinggi tanpa risih. Kuakui kau memang becus memimpin rakyatmu, juga mampu menjaga profesi, namun bukan berarti kau lalai dalam mendidik anak. Masak membelikan sepatu anak saja tidak mampu.” Hentak warga menghakimi.

Narko cukup diam dan merasa bersalah kepada anaknya. Tidak mampu memberikan pelangi yang telah ia minta. Iya, baginya sepatu itu adalah pelangi. Berdiam diri dan merasa malu kepada para warga, mengiris hatinya sendiri, mencoba bertahan atas jantungnya yang hampir meledak.

“Jika tidak mampu, kau bisa ambil beberapa uang untuk pembangunan jalan desa. Dan kami ikhlas.” Sartir getir menusuk telinga Narko dari salah satu warga dari puluhan warga.

Narko cukup diam. Mengelus dada. Merasa berenang di telaga darah bertabur gigi buaya yang sewaktu-waktu siap dikunyah. Matanya menyepi. Wajahnya menguning. Istrinya mencoba menghiburnya, menyanyikan nada-nada semasa muda demi meredamkan api dalam hati.

Hujan. Menengadah sebagai pelebur resah. Semangkok keringat pada pembakaran ego. Ego bertudung kesabaran mata. Wajah. Hati. Sampai mengerucut pada jiwa. Menutup aib, mencairkan kembali darah mengalir di penjuruhan nadi.

“Janganlah kau ulangi lagi, anakku. Bapak akan menabung kembali untukmu. Membeli sepatu yang kau mau.” Rintihan yang mengelus pundaknya adalah senyum ibunya.

Kasrun cukup menganggukan kepala. Sambil berdiam diri dan menyepikan hati dia menuliskan sebuah sajak untuk bapaknya. Baginya hati bapak adalah hati Bung Hatta. Sesosok pemimpin yang anti korupsi. Sajak yang ia tulis menyentuh hati Narko. Bersikap sedemikian pun tanpa ia sadari. Bermuncul pada masa lalu atau terkait pada mimpinya yang kerap mencintai kepribadian Bung Hatta.

Rumah kamboja. Sepi nun damai adalah keluarga. Menukar kata, menyelimuti segala keluh kesah menjadi hal yang sangat biasa. Begitu pula istrinya yang kerap memasak mata kuda untuk suaminya. Seperti mata-mata yang menyelinap di lorong-lorong tabuh dalam jalan hidup keluarga.

/5/

            Kampung itu kembali riuh. Dikejutkan kembali dengan peristiwa yang serupa dengan Kasrun. Tetangga sebelah semalam telah tertimpa musibah. Seluruh hartanya ludes dimaling orang yang tidak dapat dijangkau batang hidungnya. Histeris. Depresi. Wajahnya lucet, hingga pada akhirnya Narko menghampirinya penuh santun.

Sebenarnya Narko sudah enggan berhadapan dengannya. Karena dia adalah warga yang sangat sombong dan kikir pada umumnya. Hingga pada akhirnya Narko yang tak lebih dari seorang pemimpin harus bersikap bijak. Menghampirinya dan mencoba meredamkan keluh kesahnya.

“Pakailah uang ini sebagai kebutuhanmu. Sebagai pengganti hartamu yang hilang” lantunan Narko menyentuh hati.

Kerap tidak jadi membelikan sepatu untuk anaknya. Kasrun cukup pasrah dan diam dalam kekinian. Tiada resah atau tangis lagi baginya. Yang ada hanyalah bapak yang bermurah hati pada warga. Pelangi di matanya, kesejukan pada hati kecilnya. Seseuatu yang adalah kebanggaan tersendiri.

“Wah berarti dia adalah salah satu komplotan dari maling itu?” celetukan salah satu warga yang adalah fitnah.

Serentak para warga percaya. Menghabisi rumah Narko beserta isinya. Menghabisi Narko hingga tak berdaya, bertudung pada usia yang menyempit atas jantungnya. Lagi-lagi Narko hanya bertahan hidup untuk anak dan istrinya. Kembali meredamkan hati kembali dan tersenyum tipis meski rumah sudah habis.

“Pentingkanlah orang lain yang membutuhkanmu, anakku” Lantunan terakhir Narko kepada anaknya di mata istrinya. Wajahnya serupa kamboja. Hingga kembali pada telaga teduh. Telaga teduh. Pohon jambu. Rumput mengering. Ayam bertamu. Perkampungan yang indah. Pada telaga teduh yang menggenang di mata Narko serupa mata kelinci. Lembut berhati tunduk.

Brondong, 15 Juni 2012

*) AKSAN TAQWIN, terlahir di kota soto; Lamongan 18 Maret 1989. Mahasiswa Universitas PGRI Ronggolawe Tuban ini memiliki aktivitas menulis yang cukup. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ini cukup kreatif dalam menulis, jadi tak heran berbagai tulisannya telah dimuat di media cetak. Beberapa Esai, cerpen dan Puisi-puisinya pernah dimuat di Jawa Pos (Radar Bojonegoro), Majalah Akbar, kotakata ,Tabloid Nusa, Majalah Sagang, Majalah Warta. Puisi-Puisinya juga tergabung dalam antologi bersama: Jual-Beli Bibir (Ilalang Pustaka:Mei 2011), Sehelai Waktu (Scolar: juli 2011). Mimpi Kecil(Seruni 2011), Deverse 120 Indonesian poet: Puisi dua bahasa (Jagad shell publishing 2012). 50 Puisi terbaik untuk kota padang tercinta se-Indonesia 2011. 15 Besar Puisi Rinai Rindu Untuk Muhammad-Mu. 20 besar pusi terbaik Lingkar Bhineka 2012. 10 Puisi terbaik lomba cipta puisi Koran Bogor 2012.  Cerpennya Kutilang Mencium Bulan (Pemenang Harapan Empat Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR) Award 2011 Nasional.). Pemenang harapan Lomba cipta cerpen Kalimantan selatan dalam cerita. Kawa Banua 2012. Seringkali menghadiri acara sastra lintas kota di Indonesia. Temu penyair muda 2011.

Aktivitasnya selain tergabung dalam Komunitas Penulis (Komunitas Sanggar Sastra:KOSTRA), dia juga tergabung dalam teater LABU Tuban.

Cerita Pendek Mingguan yang Lain:

Bagaikan Nyala Api

Pencuri Mimpi

MISTERI GUA KUCING

Ponte Vecchio

Satu komentar pada “Mata Kelinci Bertelaga Teduh”

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s