Sembilu
1.
Setiap langkahmu adalah jarak,
menjauh dari kenangan yang rapuh,
meninggalkan luka di setiap jejak.
2.
Harapanmu merimbun jadi sepiku,
mekar liar di ufuk fajar,
rubuh luruh di kaki subuh.
3.
Tentang rasa yang tak pernah kautahu,
serupa labirin di ruang kosong,
berkelindan di kekal ketidakpastian.
4.
Tanpamu,
setiap kata adalah perjumpaan kekalahan demi kekalahan,
pelan menuntunku menuju kekalahan selanjutnya,
hingga entah.
Kutiup Malam
Bila namamu tak mampu lagi kusebut,
Kutiup malam,
Biar tenggelam dalam hitam.
Bila namamu tak mampu lagi kusebut,
Kutiup malam,
Biar tenggelam dalam hitam.
Pejalan
Seorang pejalan, bercerita segala sesuatu yang ditemu di jalan. Tentang pohon, tentang kayu, tentang tanah, tentang batu. Tentang yang lekat, tentang yang luruh, tentang igau atau denyut semak perdu. Angin barangkali diam, tetapi sunyi seringkali lebih lolong dari pecahan hati.
Kaki goyah harus tetap kokoh menopang dada -tempat kenangan bersemayam-, juga benak -tempat resah berlabuh dan hiruk pikir berkecamuk-.
Tidak banyak hal dapat dibawa dalam kantung nasib. Lorong panjang kadang bercecabang. Cukupkan bekal untuk esok sehari. Sebab lusa, -mungkin datang, mungkin juga tidak-.
Hari adalah hitungan rasa bosan. Dan waktu telah menjelma pemburu. Mata lintang pukang mencoba untuk tidak tertipu fatamorgana. Telinga sedikit berkarat. Banyak suara tetapi tidak banyak lagi yang didengar selain isak dan tangis. Selebihnya air mata yang berbicara. Mulut sesekali tersenyum pada siapa saja yang kebetulan berpapasan. Sepotong firman terlipat rapi di tepi jalan.
Setiap pejalan akan berpapasan, dan juga kembali sendirian. Setiap kota adalah rumah. Setiap cinta adalah dermaga. Dan kabut adalah pengingat kerinduan tempat doa-doa dikabulkan.
Senja dan kicau burung, liuk padu batang padi adalah penghibur harap yang terbunuh beribu kali. Angan yang terbang ke pelukan entah, tak jarang pecah mengalir bersama getir.
Seseorang mencari seorang yang lain. Mereka yang kalah tertidur dalam lelah. Dan malam menjadi semakin sepi. Pejalan hidup tidak untuk berhenti.
Seorang pejalan, bercerita segala sesuatu yang ditemu di jalan. Tentang pohon, tentang kayu, tentang tanah, tentang batu. Tentang yang lekat, tentang yang luruh, tentang igau atau denyut semak perdu. Angin barangkali diam, tetapi sunyi seringkali lebih lolong dari pecahan hati.
Kaki goyah harus tetap kokoh menopang dada -tempat kenangan bersemayam-, juga benak -tempat resah berlabuh dan hiruk pikir berkecamuk-.
Tidak banyak hal dapat dibawa dalam kantung nasib. Lorong panjang kadang bercecabang. Cukupkan bekal untuk esok sehari. Sebab lusa, -mungkin datang, mungkin juga tidak-.
Hari adalah hitungan rasa bosan. Dan waktu telah menjelma pemburu. Mata lintang pukang mencoba untuk tidak tertipu fatamorgana. Telinga sedikit berkarat. Banyak suara tetapi tidak banyak lagi yang didengar selain isak dan tangis. Selebihnya air mata yang berbicara. Mulut sesekali tersenyum pada siapa saja yang kebetulan berpapasan. Sepotong firman terlipat rapi di tepi jalan.
Setiap pejalan akan berpapasan, dan juga kembali sendirian. Setiap kota adalah rumah. Setiap cinta adalah dermaga. Dan kabut adalah pengingat kerinduan tempat doa-doa dikabulkan.
Senja dan kicau burung, liuk padu batang padi adalah penghibur harap yang terbunuh beribu kali. Angan yang terbang ke pelukan entah, tak jarang pecah mengalir bersama getir.
Seseorang mencari seorang yang lain. Mereka yang kalah tertidur dalam lelah. Dan malam menjadi semakin sepi. Pejalan hidup tidak untuk berhenti.