Cerpen Agus Sulistyo
Editor Ragil Koentjorodjati
Diam, adalah selalu tujuan pelarianku. Dalam dekapannya, aku merasakan kehangatan pelan menjalari tubuh ini. Hingga aku selalu berharap, siapa saja yang ada di dekatku tidak akan terlalu banyak berbicara. Karena jika itu dilakukan, berarti ribuan jarum seolah berebut masuk ke telingaku. Satu suara mengiris kulitku. Suara-suara berikutnya merajam setiap jengkal jarak di tubuhku. Sementara orang lain tertawa di riuhnya kata, aku lebih menikmati kesendirianku. Bersembunyi di sudut hati. Hingga pada saat-saat tertentu, aku ada pada titik paling sunyi. Menggigil dalam sepi. Lautan sedang marah di depanku, dan aku masih saja terdiam. Orang-orang tertawa ke arahku dan aku tak yakin lagi bahwa itu adalah aku.
“Nama bapakmu siapa?” tanya Pak Mursidi, guru SD-ku. Aku terdiam. Selalu begitu.
“Bapaknya PKI Pak,” sahut salah seorang temanku. “Hahaha …” Disusul suara tawa teman-teman sekelasku yang lain. Semakin membuat aku terdiam. Aku tertunduk. Kusembunyikan wajahku di atas meja. Berbantal kedua tanganku yang terlipat di atas meja tempat dudukku. Air mata meleleh di kedua pipiku membasahi tangan. Tubuhku bergetar, tersia-siakan. Seolah tanpa penghuni di dalamnya.
Pak Mursidi memegang kepalaku sebentar. Mengusapnya, lalu berlalu kembali ke depan kelas. Pak Mursidi, yang sangat aku harapkan mau sekedar menabahkanku, tidak berkata apa-apa. Hingga yang kurasakan adalah, seolah Pak Mursidi ikut membenarkan perlakuan teman-temanku terhadapku. Aku benar-benar tidak mengerti apa itu PKI. Aku hanya merasakan bahwa PKI itu adalah sebuah aib yang luar biasa memalukan. Lebih menjijikkan daripada kelakuan buruk apapun di atas jagad ini.
“Benteng …,” aku tergagap. Kuangkat kepalaku. Mata nanarku terbentur pada satu wajah. Teman sekelasku juga. Perempuan. Maryam namanya. “Ketiduran ya?” sapanya lagi. Aku mencoba tersenyum kepadanya. Memang begitu. Seringkali aku ketiduran ketika menangis di kelas. Teman-temanku tak mengusikku lagi. Mungkin menjadi lebih baik bagi mereka untuk tidak melihat wajahku lagi. Daripada harus menahan kebencian mereka menyaksikan keturunan PKI.
Derit engsel jendela terdengar. Jendela-jendela ruang kelasku yang mulai ditutup Pak Ranto, penjaga sekolahku.
Hampir tidak ada patahan kata yang saling kami ujarkan, ketika akhirnya kami berdua pulang bersama. Baru saja kaki melangkah dari pintu kelas, tiba-tiba serombongan teman sekelasku muncul dari samping pintu.
“Dua orang aneh lewat … ha ha ha …,” tawa mereka pun mengiringi kepulangan kami berdua. Aku dan Maryam terus berjalan. Dengan kepala tertunduk.
Satu-satunya orang yang mau berteman denganku memang hanya Maryam. Nasib dia tidak lebih baik daripada aku. Keluarganya dikucilkan orang sekampung. Pernah suatu saat rumah Maryam hendak dibakar. Kata orang-orang kampung itu, orangtua Maryam memelihara pesugihan. Waktu ada anak kecil di dekat rumah Maryam meninggal, orang-orang kampung menuduh orangtua Maryam-lah penyebabnya. Kata mereka, anak kecil itu mati dijadikan tumbal pesugihan orangtua Maryam.
“Bakar rumahnya!” teriak mereka.
“Tangkap buto ijonya!
“Bakar … bakar!”
Semakin liar dan tak terkendali suara-suara orang kampung itu. Maryam hanya terdiam di sudut halaman rumahnya, sepertiku. Mungkin air matanya juga sudah bosan mengalir di kedua pipinya yang tembem. Aku berdiri di sampingnya. Tidak ada kata-kata. Namun bahasa tubuh kami sudah saling memahami. Sorot mata kami sudah saling menguatkan.
Untunglah Pak Lurah saat itu berhasil meredakan amarah warga. Kedua orangtua Maryam disumpah pocong di mesjid kampung kami.
***
Lorong di depan kami begitu panjang. Hitam. Hingga ketika ada secercah cahaya, kami enggan menghampiri. Takut cahaya itu tak mampu terangi jalan kami sampai ke ujung. Dan kami harus susah payah menyesuaikan diri kami lagi. Menyesuaikan diri terhadap gelap yang telah terbiasa menyertai. Meski ketika aku menatapnya dan Maryam balik menatapku, bumi seolah berjalan sebagaimana mestinya.
“Akan aku coba memperbaiki ketidakseimbangan ini,” kataku. “Dan aku akan bertahan untuk menjadi seorang teman di antara kita. Teman yang akan selalu mengisi hidupmu,” lanjutku.
“Hanya seorang teman? Bapakku tidak tahu apa itu PKI. Dia hanya ikut-ikutan orang,” kata Maryam mencoba menengok asa.
“Hei…, bapakmu tahu, orang-orang itu tahu. Dan mereka benar. Aku telah menempatkan diriku pada keadaan yang mempersempit kesempatanku, meski aku tak pernah diberi pilihan untuk itu ,” kataku pasrah.
Dan seperti biasanya, angin pun sepertinya juga tak pernah merasa lelah untuk selalu menguapkan air mataku. Air mata Maryam juga. Angin sore yang ramah, yang menemaniku melepas Maryam mencari jalannya. Meski pilihan juga tak pernah ada bersamanya. Kehendak bapaknya.
Keluarga Maryam memutuskan untuk pindah ke Lampung. Alasannya, di tanah kelahirannya sendiri semakin banyak orang yang memusuhi. Dalam hati kecilku, aku lebih yakin keputusan itu dibebabkan oleh kedekatanku dengan Maryam.
“Kita harus menjaga yang kita miliki Maryam, sedikit dari milik kita.”
“Benteng.”
“Maryam.”
Aku tersenyum ke arahnya. Maryam melambaikan tangannya. Semakin menjauh.
***
“Le..,” suara ibuku membuyarkan lamunanku. Pandangan kami beradu. Di mataku berdiri sosok perempuan yang sangat aku cintai. Di matanya, ada gambaran rasa iba terhadap darah dagingnya. Yang pasti, dari mata kami terpancar rasa saling memiliki. Satu-satunya yang kami miliki. Dulu masih ada Maryam di antara kami. Aku sama sekali tidak menyangka kalau bapaknya Maryam tega merenggut satu-satunya hati yang kumiliki itu. Satu-satunya yang dimiliki oleh Maryam juga. Aku sangat tidak menyangka, kebersamaan nasib sedikit pun tidak mampu menggeser jalan hidupku.
“Maafkan Ibu ya Le…” Aku tersenyum ke arahnya. “Jaman sudah berubah, mungkin saatnya kamu tahu siapa bapakmu…, setelah sekian lama,” kata Ibu.
“Sudahlah Bu, apalah gunanya, toh semua tak dapat berubah. Andai berubah pun, tak semudah perubahan jaman ini,” kataku pasrah.
“Tiga puluh lima tahun yang lalu, ibu dan bapakmu diterima bekerja di Pos telegraf dan telepon di sebuah kota kecamatan di Surabaya,” kata ibu tanpa menghiraukan keberatanku. “Tahun enam puluh, ketika diterima di jawatan itu, ibu dan bapakmu disodori formulir keanggotaan serikat buruh oleh kepala jawatan kami. Hampir seluruh pegawai menjadi anggota serikat itu.”
Aku diam, mataku setengah terpejam.
“Saat itu, ibu dan bapakmu setuju saja. Pikir Ibu, serikat buruh itu semacam kerukunan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai. Membantu menangani masalah yang dihadapi pegawai. Ada juga iuran anggota. Waktu itu besarnya seringgit, atau dua setengah rupiah tiap bulan. Dipotong dari gaji Ibu,” lanjut ibuku mengenang.
Kulihat tipis airmata ibu mulai menutupi selaput matanya.
“Serikat buruh itu memang berafiliasi ke Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia. Meski tak ada hubungan langsung secara struktural organisasi. Pada saat itu, SOBSI dikait-kaitkan dengan Partai Komunis Indonesia.”
Aku peluk Ibu erat ketika kristal-kristal di matanya mulai jatuh membentur lantai rumah.
“Sudahlah Ibu…”
“Ketika usiamu setahun. Setelah peristiwa enam puluh lima, semua pegawai di-screening”. Waktu itu, Ibu dan Pak Marsam bapakmu, berterus terang apa yang sebenarnya kami alami. Waktu mereka tanya ‘Saudara anggota SB?’ ibu jawab ‘iya’. ‘Saudara pernah ikut rapat SB? ibu pun menjawab ‘tidak pernah.’ Ibu tidak tahu apa yang dikatakan bapakmu Le. Setelah itu mereka membawa bapakmu. Sampai sekarang…,” memelas sekali suara ibu.
Beberapa saat hening. Ibu melepaskan pelukanku. Di saat itu juga tiba-tiba kedua mata ibuku memancarkan sebuah keteguhan. Sebuah kewibawaan yang mengiringi kata-kata yang keluar dari mulutnya kemudian.
“Jaman sudah berubah Le. Ada lorong hidup yang bisa kaulalui. Jalanmu masih panjang. Pergilah, cari Maryam. Biar Ibu hadapi bapaknya,” dalam sekali suara ibuku saat itu. Tanpa senyum. Tanpa ada pancaran kesedihan!
Dan saat itu tiba-tiba aku temukan apa yang selama ini aku cari! Apa yang selama ini sangat aku rindukan. Sebuah sikap. Aku merasakan apa yang hilang dari diriku, memancar keluar dari sorot mata ibuku. Meski aku tak tak yakin itu bisa mengisi jiwaku yang terlanjur kosong. Mengembalikan milikku yang telah terenggut. Setidaknya saat itu ada sebuah penutan untuk bisa bersikap sebagai lelaki, yang selama ini, selama hampir empat puluh tahun perjalanan hidupku, tidak pernah bisa kutemukan.
Hiruk pikuk di luar, yang meneriakkan kata-kata reformasi itu sama sekali tidak aku hiraukan. Pandanganku lurus ke depan. Menatap lorong yang akan aku lalui. Berharap bayangan Maryam kutemui di sana.
***
Lama tidak ada yang berbicara di antara kami berdua. Semilir angin sore membiarkan alunan hati kami masing-masing. Angin sore desaku yang tidak mampu lagi menghapus gerah yang menjalari seluruh tubuhku. Entah dengan Maryam.
“Kalau kedatanganku membuatmu tidak nyaman, aku pamit saja ya,” pelan suara perempuan yang sangat aku rindukan itu. Sepelan kekuatan hatiku yang sedang berusaha menerima kenyataan di hadapanku.
“Berapa bulan kandunganmu itu?” tanyaku dengan sedikit memaksa memberinya sebuah senyuman.
“Tujuh bulan …”
“Maryam …,” kataku. Setengah mati aku menahan air mata, hingga akhirnya tidak kuasa lagi. Dengan air mata bertetesan, aku tatap Maryam.
“Kenapa harus orang lain Maryam? Kenapa?!”
“Benteng, dulu dirimu sudah janji untuk selalu menjaga satu-satunya yang kita miliki. Persahabatan kita. Dulu, aku pun sudah mencoba menawarkan sebuah peluang untuk kita melangkah lebih jauh. Kini …”
“Sudahlah Maryam, aku tahu memang bukan salahmu,” potongku cepat.
Beberapa saat, kembali tidak ada suara di antara kami.
“Dia sudah tua Benteng. Tapi entahlah, dia begitu mengingatkanku kepada dirimu. Tatapan matanya, cara berbicaranya, bahkan … ah Benteng, maafkan aku.”
Pipi tembem itu mulai basah juga oleh air mata. Aku keluarkan sapu tangan dari celanaku. Aku usap pelan. Maryam memegang erat tanganku.
“Benteng, aku akan selalu menjaga yang kita miliki, sedikit dari milik kita,” kata Maryam. Aku ingat persis. Itu adalah kata-kataku kala aku melepas kepergiannya dulu. Tanpa sadar tanganku mengelus perut Maryam.
“Semoga menjadi anak baik, seperti ibunya,” bisikku sambil tersenyum. Maryam pun membalas senyumanku.
Di depan rumah terdengar suara mobil berhenti.
“Itu suamiku,” kata Maryam memberitahuku siapa yang datang. “Benteng, aku pamit dulu. Besok langsung pulang ke Lampung. Semua sudah berubah Benteng, kamu tak perlu takut lagi mencari penggantiku. Keburu tua nanti, hehehe. Jaga dirimu ya …”
Aku tersenyum mengangguk. Bergegas kami menuju ke depan. Baru saja kaki ini menjejak tanah halaman depan rumahku, aku melihat ibuku menjerit tertahan.
“Mas Marsam?!”
Orang yang baru keluar dari mobil itu pun kaget setengah mati. Pandangannya lurus tajam menatap ibuku.
“D a r r r t i i i i … ?!” kata orang itu tergagap.
Solo, Jan ‘12