Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba

Resensi Thomas Utomo

IKHTISAR
Selama ini, Orang Rimba atau suku-suku yang hidup di pedalaman kerapkali diidentikkan sebagai kumpulan manusia yang barbar, primitif, biadab, bodoh, dan sederet labeling negatif lainnya. Permukiman yang jauh di pedalaman, seolah-olah membenarkan stigma yang telanjur melekat bahwa mereka antiperubahan dan mengisolasi diri dari perkembangan zaman yang semakin modern. Hal inilah yang memunculkan rentangan jarak yang terlampau jauh antara Orang Rimba dengan Orang Terang—orang-orang yang bermukim di luar pedalaman. Di satu sisi, Orang Rimba bersikap apriori dan menganggap Orang Terang sebagai perusak alam, penipu, pembawa malapetaka dan kutukan. Di sisi lain, seperti tidak ada upaya dari Orang Terang untuk membantu memberdayakan Orang Rimba yang semakin termarginalkan oleh arus zaman yang semakin kompetitif dan terus bergerak. Kesan yang justru muncul, terjadi semacam pembiaran, terutama oleh para birokrat, agar Orang Rimba tetap bodoh dan terbelakang, sehingga mudah dibohongi, seperti saat terjadi transaksi jual-beli hasil hutan, perjanjian batas wilayah, tata kelola hutan, dan pembalakan liar.
Butet Manurung, seorang gadis Batak lulusan FISIP UNPAD, merasa tergugah untuk berkontribusi memberdayakan Orang Rimba melalui jalur pendidikan. Mula-mula, ia bekerja pada WARSI (Warung Informasi Konservasi) sebagai fasilitator pendidikan bagi Orang Rimba di Cagar Biosfer Bukit Duabelas (sekarang Taman Nasional Bukit Duabelas). Sebagaimana pepatah tak ada laut yang tak bergejolak, begitu pula yang dialami Butet dalam upayanya membelajarkan Orang Rimba. Ia dituduh sebagai misionaris, pembawa malapetaka dan kutukan, diintimidasi cukong pembalakan, mengalami malnutrisi, bahkan nyaris dibunuh oleh seorang perempuan rimba karena dicurigai hendak merebut suaminya. Butet sempat bimbang akan tantangan pekerjaan yang dengan sadar dipilihnya sendiri. Lebih-lebih karena tekanan ibunya yang menginginkan ia keluar dari pekerjaan yang dianggap aneh dan tidak menjanjikan masa depan. Namun seperti kata Leonardo da Vinci, “Rintangan tak dapat menghancurkanku.  Setiap rintangan akan menyerah pada ketetapan hati yang kukuh,” Butet akhirnya sadar dan percaya, inilah jalan yang Tuhan tunjukkan kepadanya untuk berbuat, untuk berjuang.
Agar dapat memahami karakter Orang Rimba dan mendapat kepercayaan mereka, ia menolak tinggal di tenda atau pondok yang disediakan WARSI. Ia lebih memilih tinggal bersama Orang Rimba dan memakan apa pun yang mereka suguhkan, termasuk daging yang lazimnya diharamkan oleh Orang Terang. Rupanya, keputusan Butet tersebut menjadi jalan pembuka kepercayaan dari Orang Rimba.
Berbeda dengan Yusak—fasilitator pendidikan WARSI sebelumnya, yang meninggal karena malaria, Butet tidak menawarkan pendidikan kepada Orang Rimba. Sebaliknya, ia berbuat sedemikian rupa agar Orang Rimbalah yang memintanya memberikan pendidikan. Misalnya, saat Orang Rimba tengah menyanyikan 30 baris lagu rimba, Butet merekamnya dalam tape recorder, kemudian mencatatnya. Ketika ia dengan mudah melafalkan lagu rimba sambil membaca catatannya, Orang Rimba terheran-heran dan bertanya, bagaimana ia bisa begitu mudah melakukannya, sementara ia baru saja mendengarkan lagu rimba tersebut? Butet pun bersenang hati menjelaskan fungsi tape recorder dan menulis. Kali lain, Butet menggambar aneka binatang hutan dan memberi keterangan dengan bahasa rimba di bawahnya. Atau memamerkan buku cergam dan dongeng untuk anak-anak, yang kemudian diamati secara kagum dan antusias oleh Orang Rimba. Hal itu yang terus disusul kesempatan-kesempatan lain, semakin menumbuhkan minat Orang Rimba, utamanya anak-anak, untuk mempelajari hal-hal yang menurut mereka menakjubkan. Namun, Butet tetap bergeming, diam menunggu, hingga akhirnya mereka berujar, “Ibu, beri kami sekolah!”
Tidak mudah membelajarkan Orang Rimba. Awalnya, proses KBM dilakukan di rumah transmigran asal Jawa yang bermukim di luar pedalaman Bukit Duabelas. Hal ini disengaja demi menghindari kemarahan orang-orang tua rimba yang masih saja beranggapan pendidikan akan mengubah adat atau agama mereka dan mendatangkan malapetaka.
Seiring berjalannya waktu, jumlah siswa Butet semakin bertambah.  Beruntung, ia akhirnya diperbolehkan mengajar di dalam hutan setelah orang-orang tua rimba yakin, bahwa pendidikan tidak akan mengubah adat atau agama mereka, sebaliknya justru akan membantu mereka dalam bekerja. Contohnya, mereka akan bisa menghitung juga mengalikan jumlah uang yang seharusnya didapat dari menjual hasil hutan, sehingga mereka tidak dapat ditipu lagi oleh Orang Terang, seperti pada tempo-tempo yang lampau.
Dari para siswa yang mula-mula, Butet lalu memilih dua di antaranya yang dirasa paling pandai, ialah Linca dan Gentar, yang didaulat menjadi asistennya dalam mengajar. Mereka bertiga kemudian berpindah dari satu rombong (kelompok) ke rombong lain di pedalaman Bukit Duabelas untuk memenuhi panggilan mengajar di banyak tempat. Dalam perjalanan itulah, Butet menemui berbagai pengalaman menarik, misalnya terkait pembelajaran calistung: meskipun beberapa Orang Rimba mengaku sudah paham mengenai angka dan operasi hitung, namun saat dihadapkan pada soal operasi hitung bersusun, mereka kerap salah mengerjakan, seperti ini:
18
25 +
313
Rupanya mereka mengerjakan operasi hitung dari kiri ke kanan seperti saat menulis atau membaca huruf. Juga, kebiasaan Orang Rimba yang mengucapkan kata dengan huruf akhir S menjadi Y, dan sebaliknya. Contoh, kata “BAS” akan dibaca “BAY”, sementara kata “BAY” dibaca “BAS”.
Selama bekerja pada WARSI, Butet mendapat gaji Rp 500.000,00 per bulan. Dengan gaji yang begitu kecil, toh ia tetap bertahan, lantaran kecintaannya pada orang-orang rimba yang sudah mendarah-daging. Namun setelah hampir empat tahun bekerja, ia semakin sadar, ternyata WARSI hanya menjadikan Orang Rimba sebagai obyek penelitian semata. Prioritas utama WARSI ialah konservasi hutan, dengan mengesampingkan sama sekali peran Orang Rimba sebagai penghuni dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pedalaman Bukit Duabelas. Kekecewaan ini, ditambah kekecewaan-kekecewaan lain akibat kebijakan WARSI yang lebih kerap merugikan Orang Rimba, akhirnya membuat Butet memutuskan hengkang dari WARSI. Bersama teman-teman satu pemahaman dan cita-cita, ia kemudian mendirikan SOKOLA; Kelompok Pendidikan Alternatif bagi Masyarakat Adat.
Masalah baru timbul; pendirian SOKOLA tidak didukung pendanaan yang memadai. Para pendiri SOKOLA pun berpencaran, sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sempat didera putus asa, Butet berusaha melupakan cita-citanya melanjutkan sokola (sekolah) bagi orang-orang rimba. Namun, seperti kata Paulo Coelho, “Kalau kamu sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, maka seluruh alam akan menolongmu!”  Pada Maret 2004, ia mendapat penghargaan Woman of the Year dari Anteve (ANTV) atas kiprahnya memberdayakan Orang Rimba di pedalaman Bukit Duabelas, Jambi melalui jalur pendidikan. Hadiahnya uang sebesar Rp 20.000.000,00. Dengan uang itu ditambah dana lain dari sebuah yayasan, ia dan teman-teman kembali berkumpul dan bisa melanjutkan cita-cita yang sempat tertunda.
Pada 13 April 2005, SOKOLA dilegalkan dengan akta notaris dengan status perkumpulan.  Sampai sekarang SOKOLA masih eksis dan terus berkembang merambah daerah-daerah lain di Indonesia, seperti Aceh, Flores, Makassar, Maluku, dan Bulukumba.

TEKNIK PENULISAN
Sokola Rimba secara karakter dapat disebut memoar bernuansa diary, yang digarap sedemikian rupa dengan tetap mempertimbangkan latar yang kuat serta plot maju yang rapi. Sudut pandang yang digunakan adalah akuan, yaitu penulis sebagai narator yang bersenyawa dengan isi tuturan. Gaya bahasanya santai dan segar, yang sekaligus merepresentasikan pikiran dan kepribadian sang penulis.

KEUNGGULAN
Oleh karena dituturkan tangan pertama, artinya penulis sebagai orang yang mengalami dan menyaksikan langsung, maka isi buku sangat meyakinkan. Lebih-lebih karena bahasa yang digunakan penulis cenderung denotatif, santai, segar, dan tidak berbelit-belit. Dalam hal ini, pembaca akan dapat menebak bahwa penulis bukanlah tipikal perempuan sentimentil yang gemar merumitkan masalah dan mengungkapkan isi hati secara mendayu-dayu. Sebaliknya, pembaca akan menemukan sisi maskulinitas seorang perempuan yang lebih suka menyikapi masalah secara sederhana dan mengedepankan akal sehat.
Hal lain yang patut dipuji adalah penyuntingannya yang rapi dan teliti. Dari halaman muka sampai akhir buku, nyaris tidak ditemukan salah ketik atau pun susunan bahasa yang janggal—meskipun bahasa yang digunakan adalah semibaku.
Yang lebih menarik, buku yang dicetak menggunakan kertas HVS ini, dilengkapi dengan 25 foto berwarna mengenai aktivitas SOKOLA (termasuk foto profil penulis) hasil dokumentasi SOKOLA dan pihak-pihak lain. Juga dua peta lokasi rombong dan ladang Orang Rimba, dokumentasi WARSI. Kesemuanya amat menarik pandang.

KANDUNGAN NILAI
Dikaitkan dengan fungsi buku bagi pembacanya, Sokola Rimba mengandung sejumlah nilai berharga seperti; Pertama, nilai spiritual. Setelah membaca Sokola Rimba, pembaca akan memperoleh informasi yang memberikan kepuasan batin, seperti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan; perlukah Orang Rimba beragama, akankah pendidikan mengubah adat-istiadat dan keyakinan mereka, bagaimana pandangan Orang Rimba mengenai modernisasi, dan sebagainya lagi.
Kedua, nilai pendidikan. Sokola Rimba merupakan rekam jejak pengalaman Butet Manurung belajar bersama Orang Rimba, karena itulah buku ini sangat layak dibaca oleh calon guru, guru, atau siapa pun yang tertarik dengan masalah pendidikan. Dengan membaca Sokola Rimba, pembaca akan mengetahui tantangan KBM di dalam rimba, kendala-kendalanya, hambatan peserta didik saat mengikuti proses KBM, rintangan-rintangan yang justru datang dari birokrat, dan sebagainya lagi. Melalui pengalaman membaca tersebut, pembaca akan mendapat informasi yang mencerahkan, yang memberikan gagasan atau inspirasi mengenai bagaimana baiknya pendidikan itu.

SUBSTANSI
Budaya Orang Rimba
Kelompok Orang Rimba tersebar di kawasan hutan Bukit Duabelas yang memiliki luas lebih dari 60.000 hektar. Nama Bukit Duabelas, sama sekali tidak berkaitan dengan jumlah bukit yang ada di hutan. Hanya yang jelas, hutan ini merupakan barisan bukit yang oleh Orang Rimba disebut setali bukit. Hutan ini meliputi tiga kabupaten di Propinsi Jambi, yaitu Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Muaro Tebo, dan Kabupaten Sarolangun.
Menurut survei WARSI pada tahun 1997, populasi Orang Rimba di pedalaman Bukit Duabelas sebanyak 1.300 jiwa, yang terbagi dalam 11 rombong (kelompok), yang masing-masing rombong dipimpin oleh temenggung (kepala kelompok). Tiap rombong terdiri dari sejumlah bubung (keluarga), yang kemudian dapat terbagi menjadi beberapa pesaken (rumahtangga). Biasanya tiap rombong disebut berdasarkan nama sungai besar di dekat tempat mereka bermukim.
Meskipun kepala rombong dijabat laki-laki, namun sistem yang dianut oleh Orang Rimba adalah matriarkat, yakni istri mempunyai kedudukan lebih tinggi dalam rumahtangga. Istri berhak memerintah, bahkan menghardik suami, sementara suami tidak diperbolehkan membantah, apalagi marah. Sedari kecil mula, laki-laki dididik untuk mengekang hawa nafsu—apa pun bentuknya.  Sebaliknya hal ini tidak berlaku bagi perempuan. Orang Rimba lebih suka memiliki anak perempuan daripada anak laki-laki, karena sebegitu menikah, anak laki-laki harus tinggal di rumah keluarga istrinya dan tidak boleh meninggalkan rumah lebih dari enam hari. Namun begitu, laki-laki diperbolehkan melakukan poligini dan mengumpulkan istri-istrinya di bawah satu atap.
Di antara tradisi yang dianut Orang Rimba adalah melangun, yaitu berkelana meninggalkan tempat tinggal karena ada anggota rombong atau kerabat yang meninggal. Tujuannya untuk melupakan kesedihan, membuang sial, atau menghindari kutukan. Waktu melangun bisa berkisar enam bulan sampai tujuh tahun, tergantung seberapa besar pengaruh orang yang meninggal semasa masih hidup.
Secara umum, Orang Rimba amat teguh menganut adat-istiadat. Mereka percaya pelanggaran terhadap adat-istiadat akan mendatangkan malapetaka dan kutukan dari dewa-dewa yang bersemayam di bebukitan. Oleh karena itulah, mereka membatasi pergaulan dengan Orang Terang, sebab mereka meyakini pergaulan dengan Orang Terang akan mempengaruhi dan mengacak-acak adat-istiadat mereka, yang selanjutnya mendatangkan kemurkaan dewa-dewa. Selain percaya kepada yang Mahatinggi yang mereka sebut dewa, mereka juga percaya akan keberadaan jin dan setan, yang kesemuanya diyakini bersemayam di bebukitan.
Pakaian Orang Rimba, baik laki-laki maupun perempuan adalah cawat. Namun akibat interaksi dengan Orang Terang yang mau tidak mau tidak dapat terhindarkan, sekarang ini tidak sedikit Orang Rimba yang mengenakan celana, kaos, atau kemeja dalam keseharian. Akan tetapi, tradisi tidak mengenakan penutup payudara bagi perempuan yang sudah menikah masih tetap dilakukan. Ini semata-mata demi efektivitas kegiatan menyusui bayi yang lahir hampir setiap tahun.
Seperti kebanyakan manusia di belahan dunia lain, Orang Rimba juga menyukai sastra, dalam hal ini ialah syair atau pantun (lisan). Kegiatan bersyair biasa dilakukan kapan pun dalam suasana macam apa pun, seperti malam hari, hendak memanjat pohon, mengobati orang sakit, dan merayu perempuan.
Tradisi bahasa Orang Rimba adalah bahasa lisan. Setelah adanya sokola, barulah mereka mengenal dan mengetahui bahasa tulis, juga bahasa Indonesia, baik lisan maupun tulisan.
Sebenarnya, bahasa rimba yang digunakan di pedalaman Bukit Duabelas, hampir serupa dengan bahasa Melayu-Indonesia. Barangkali karena letak Propinsi Jambi yang berada tepat di sebelah selatan Propinsi Riau, daerah asal-muasal bahasa Indonesia. Jadi meskipun pergaulan dengan Orang Terang terbatas, diyakini pastilah ada pengaruh tertentu dari Orang Terang kepada Orang Rimba. Menariknya, dalam percakapan menggunakan bahasa rimba yang terdokumentasikan dalam buku ini, ditemukan sejumlah bahasa atau kata yang mirip bahasa Jawa. Sebut sebagai contoh: dulur, bae, dan seketi.  Dalam bahasa rimba, kata dulur berarti saudara. Kemungkinan besar kata ini berasal dari bahasa Jawa ngoko (atau mungkin bahasa rimbalah yang mempengaruhi bahasa Jawa), yaitu sedulur, yang juga memiliki arti serupa. Begitu juga kata bae dan seketi, yang masing-masing berarti saja dan sakti, baik dalam bahasa rimba maupun bahasa Jawa.
Matapencaharian Orang Rimba adalah berburu dan berladang. Hanya sejumlah kecil dari komunitas Orang Rimba yang menjadi kaki-tangan cukong pembalakan. Masalahnya, Orang Rimba membuka ladang baru dengan cara membakar hutan terlebih dahulu. Sementara pembalakan yang terjadi semakin menggila, tanpa mengindahkan keseimbangan alam. Orang Rimba yang tidak memiliki kemampuan baca-tulis tidak mampu berbuat banyak menghadapi pembalakan tersebut. Akibatnya, keberadaan Orang Rimba semakin terdesak masuk ke dalam hutan.

Pandangan Orang Rimba terhadap Orang Terang
Secara umum, Orang Rimba memandang buruk Orang Terang. Menurut mereka, Orang Terang adalah penipu, perusak alam, pembawa wabah penyakit, atau pembawa sial. Itulah sebabnya Orang Rimba membatasi interaksi dengan Orang Terang.  Hal ini dapat dimengerti. Dari pengalaman interaksi dengan Orang Terang, kerapkali Orang Rimba nyata-nyata ditipu Orang Terang, tetapi sayangnya mereka tidak bisa membuktikan penipuan tersebut, karena ketidakmampuan mereka dalam hal baca-tulis.
Pandangan Orang Terang terhadap Orang Rimba
Orang Terang memiliki sebutan tersendiri bagi Orang Rimba ialah Orang Kubu, yang berarti bodoh, kotor, primitif, kafir, atau arti lain yang senada. Sebenarnya kata ini berasal dari bahasa Orang Rimba itu sendiri, yang justru dipakai oleh Orang Terang untuk mencemooh identitas Orang Rimba. Ditambah lagi, para wartawan yang meliput aktivitas Orang Rimba, kerapkali melakukan pemberitaan secara keliru. Gambaran Orang Rimba yang diekspos kepada dunia luar seringkali adalah gambaran atas kehidupan pesimis Orang Rimba, bahwa Orang Rimba itu patut dikasihani, karena tersiksa dengan tekanan dunia luar terhadap hutannya. Jarang sekali ditampilkan sudut optimis Orang Rimba seperti keceriaannya, keberdayaannya, atau kearifan budayanya.  Padahal segi-segi positif itu ada. Image pesimis yang selama ini diberitakan media, akhirnya membuat Orang Rimba jadi ikut mengasihani dirinya sendiri. Orang Rimba seakan-akan digiring agar mereka mengakui “kepesimisan” mereka. Sebaliknya, orang luar yang mengaku peduli dan ingin menolong, justru membuat Orang Rimba tampak lebih tidak berdaya lagi. Jadi tidak aneh bila kemudian Orang Rimba menjadi terpengaruh dan hanya berharap uluran bantuan dari pihak luar saja, tanpa adanya keinginan memberdayakan diri sendiri.

Orang Rimba dan Perubahan Zaman
Pada bulan Agustus tahun 2000, Cagar Biosfer Bukit Duabelas diubah statusnya menjadi Taman Nasional Bukit Duabelas. Luas area yang semula 32.000 hektar, kini berubah menjadi 60.500 hektar. Namun sebenarnya, perubahan status dan luas area itu tidak memberi pengaruh yang berarti bagi peningkatan kualitas hutan, karena kenyataannya luas area yang dimaksud lebih merupakan luasan batas patok saja.
Menurut penelitian, kerusakan hutan di Indonesia adalah sekitar 3.800.000 hektar per tahun. Diperkirakan, setiap harinya ada beribu-ribu buldoser yang beroperasi secara ilegal, padahal satu buldoser bisa menghabiskan 30 pohon besar.  Belum lagi pembalakan pohon-pohon secara ilegal dengan menggunakan gergaji chain-saw.
Hal itulah yang barangkali membuat WARSI—sebagai LSM lokal yang berkedudukan di Jambi—merasa ikut bertanggung jawab untuk mengkonservasi hutan di Taman Nasional Bukit Duabelas yang semakin lama semakin gundul.  Salah satu caranya dengan mengampanyekan habitat Orang Rimba yang terancam, dengan mengundang para wartawan media cetak dan televisi untuk meliput aktivitas keseharian Orang Rimba dan keadaan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas. Sayangnya, liputan tersebut didramatisasi sedemikian rupa, sehingga merupakan artifisial belaka. Orang Rimba dan Butet Manurung dipaksa untuk melakonkan adegan-adegan bahkan dialog-dialog yang telah diskenariokan wartawan dengan pihak WARSI, tanpa meminta persetujuan atau pendapat Orang Rimba dan fasilitator pendidikan terlebih dahulu. Kali lain, WARSI membawa sejumlah Orang Rimba  ke sana ke mari menemui pihak-pihak yang dianggap mampu memberi pengaruh untuk mendukung kebijakan atas Bukit Duabelas. Kendati demikian, dalam pertemuan-pertemuan tersebut, Orang Rimba seakan-akan hanya menjadi pajangan saja, karena tidak diberi kesempatan guna mengutarakan kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri.
Di sisi lain, dalam keadaan permukian Orang Rimba yang semakin memprihatinkan, Orang Terang menawarkan konsep hidup di luar hutan dengan agama baru dan nafkah dari hasil kebun kelapa sawit kepada Orang Rimba. Tentu saja perkebunan kelapa sawit tersebut akan menggunakan lahan milik Orang Rimba itu sendiri.
Berkat bujukan tersebut, semakin banyak saja Orang Rimba yang dengan rela hati menjual ladang-ladang mereka kepada Orang Terang. Hasilnya penjualan tersebut mereka gunakan untuk membeli sepedamotor, yang ternyata dibeli hanya untuk dielus dan dipandangi saja, karena mereka tidak bisa mengendarainya. Orang Rimba tidak sadar bahwa sebenarnya mereka hanya menjadi obyek, baik obyek penelitian atau obyek bagi kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik.

Pendidikan bagi Orang Rimba
Pendidikan menjadi solusi utama untuk memperoleh keterampilan guna menghadapi realitas sosial dan perubahan zaman. Dengan adanya pendidikan, Orang Rimba akan bisa memberdayakan dirinya sendiri. Mereka akan mampu mewakili diri serta menyuarakan kebutuhan dan kepentingan mereka sendiri, tanpa perlu bantuan pihak lain di luar mereka sebagai perantara. Dengan pendidikan pula, Orang Rimba akan dapat memosisikan dirinya di tengah persoalan yang menderanya, serta bisa mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang matang, sehingga mereka tidak akan mengalami penipuan oleh pihak luar.

KESIMPULAN
Pendidikan adalah solusi utama untuk memberdayakan Orang Rimba. Tentu saja pendidikan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan, adat-istiadat, keadaan masyarakat, dan kondisi lingkungan tempat tinggal Orang Rimba. Mengenai konservasi hutan, Orang Rimba merupakan bagian tidak terpisahan dari hutan itu sendiri. Dengan pendidikan, Orang Rimba akan bisa menjadi subyek bagi konservasi hutan, karena merekalah yang lebih tahu keadaan dan kebutuhan hutan yang sesungguhnya daripada orang di luar hutan.
Juga dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Orang Rimba tentu berlainan dengan kebudayaan Orang Terang, sebagimana kebudayaan antardaerah di Indonesia yang juga berlainan. Perbedaan tersebut tidak perlu diseragamkan, karena justru akan membunuh kemajemukan budaya nasional Indonesia. Kebudayaan Orang Terang sebaiknya bukan menjadi teladan, tapi menjadi perbandingan. Kebudayaan Orang Rimba sudah bagus begitu untuk dilanjutkan dan dikembangkan. Kalau pun ada kekeliruan atau kekurangan dalam Orang Rimba, sepatutnya Orang Terang tidak menjadikannya sebagai sasaran cemoohan apalagi penipuan, melainkan perlu melakukan pendekatan persuasif agar kehidupan Orang Rimba semakin berkembang ke arah yang lebih baik.

Judul   :  Sokola Rimba
Penulis:  Butet Manurung
Editor:  Dodi Yuniar
Penerbit:  INSIST Press, Yogyakarta
Ukuran:  15×21 cm
Tebal:  xvi+252 halaman
ISBN:  979-3457-83-X
Harga:  Rp 38.000,00

*Thomas Utomo bekerja sebagai guru SD Laboratorium Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Tulisan-tulisannya dimuat di Annida, Suara Muhammadiyah, Radar Banyumas, Nikah, Fatawa, dll. E-mail totokutomo@ymail.com. Telepon (0281) 5730489.

3 tanggapan untuk “Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba”

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s