Arsip Tag: kumpulan puisi

Belajar Menulis pada Yu Xiuhua

Oleh John Kuan

Saya sudah jarang membaca puisi hingga gemetar, hingga hilang tumpuan, hingga mata berkaca-kaca. Ternyata setelah hidup hampir setengah abad dan 40 tahun membaca puisi, masih dikasih kemurahan dan kemewahan begini. Teman kirim saya sebuah buku kumpulan puisi Yu Xiuhua ( 余秀华 ).

penulis yang menderita sakit
Sumber Gambar China Daily

Dia adalah seorang penyair yang menderita CP ( Cerebral Palsy ), seorang perempuan juga seorang petani. Yu Xiuhua lahir pada tahun 1976 di sebuah dusun di Hebei, karena lahir dalam posisi sungsang, kekurangan oksigen menyebabkan dia lumpuh otak, syaraf motorik terganggu. Setelah tamat Sekolah Menengah dia membantu di rumah, pada tahun 1998 mulai menulis puisi.

Sebagai seorang petani yang menderita CP, menulis baginya adalah sebuah cita-cita yang tak mungkin tercapai. Namun, dia mengeluarkan seluruh tenaga memaksa tangan kiri menekan pergelangan tangan kanan, menggores satu per satu kata yang bengkok dan berantakan. Dia memilih puisi yang paling hemat kata, mengabarkan kepada pembaca perjalanannya melawan nasib. Setiap orang yang menulis puisi dengan jiwa dan hidupnya adalah seorang pemberani. Mereka memperoleh sangat sedikit, mereka memberikan amat banyak. Mereka harus bertarung dengan kelumrahan, dengan budaya populer, dengan kehidupan, dengan harta dan kuasa, bahkan juga teman dan keluarga.

Dia mengambil puisi sebagai senjata, namun bukan buat membalas dendam, bukan buat menyakiti diri sendiri, tetapi ingin menunjukan bahwa dia bisa memandang enteng nasib dan kehidupan yang telah demikian keras terhadapnya, dengan puisi dia mengabarkan kepada pembaca, ketulusan tingkah lakunya yang tanpa basa-basi, keyakinannya terhadap hidup.

Dan apa itu puisi? Susah diberitakan, mungkin adalah sekelumit rasa yang berdenyut, atau sekelumit rasa yang mengendap. Namun ketika hati berseru, ia akan tiba dengan gaya seorang anak yang polos, dan ketika seseorang terhuyung-huyung melangkah di dunia yang terombang-ambing, ia akan tiba sebagai sebatang tongkat.

Mencintaimu

Begitu gagap hidup, setiap hari timba air, masak, makan obat tepat waktu
Saat matahari bagus taruh diri ke dalamnya, seperti sepotong kulit jeruk
Daun teh gonta-ganti minum: krisan, melati, mawar, lemon.
Perihal bagus begini seolah membawa aku ke arah jalan musim semi
Sebab itu aku berulang kali menahan salju di hati
Mereka terlalu bersih terlalu mendekati musim semi

Di dalam pekarangan bersih membaca puisimu. Kisah asmara dunia
Sekejap bagai burung pipit tiba-tiba terbang melintas
Dan waktu begitu putih bersih. Aku tidak cocok sedih pedih
Andai kirim sebuah buku buatmu, aku tidak akan mengirim puisi
Aku akan beri kau sejilid tentang tumbuhan, tentang ladang
Beritahu kau perbedaan lalang dan gandum

Beritahu kau musim semi sebatang lalang yang cemas

Porselin

Cacatku adalah dua ekor ikan terukir di atas vas porselin
Di dalam sungai sempit, saling lawan arah

Hitam dan putih dua ekor ikan
Tidak bisa gigit ekor sendiri, juga tidak bisa gigit ekor lawan

Hitam mau, putih juga mau
Aku hanya membisu, tidak ingin bertanya, tidak mau bertanya

Mereka selalu di tengah malam berenang 
lewat beberapa garis retak vas porselin
Terhadap benda-benda yang terlihat, memilih tutup mulut.

Seandainya aku adalah normal, juga akan diukir di tempat sama
Agar orang tidak tahu bagaimana mengeluh.

Ketika Penyair Bertapa

Resensi Arif Saifudin Yudistira

kumpulan-puisi-joko-pinurboSepertinya sulit memisahkan Joko Pinurbo dengan puisi. Puisi itu Jokpin, dan Jokpin itu puisi. Jokpin sebagaimana dikatakan oleh Afrizal, ia lebih mendekatkan puisi dengan waktu. Waktu, momen dan peristiwa jadi bahan yang diendapkan untuk menjadi puisi. Bisa jadi ini mudah secara sepintas, tapi lihatlah bagaimana dia menuliskan dalam buku ini. “Segalanya menjadi mudah dengan mudah-mudahan” (2012), kalimat singkat itu seperti sederhana, tapi tak sesederhana untuk bisa kita ciptakan. Kemampuan Joko Pinurbo merawat kata dan mengeluarkan kembali dalam rupa kata yang lain, tampak menjadi kekuatan dalam puisinya.

Meski demikian, puisi Jokpin yang erat dengan humor, sinisme dan satire, bisa jadi menipu pembaca yang kurang jeli. Jokpin sendiri pernah berkisah bagaimana seorang almarhum Linus Suryadi mengira Ayah Jokpin sudah mati. Hal itu dikarenakan Linus mendengarkan Jokpin membaca puisinya yang berjudul Warisan Ayah. Mendengar pertanyaan Linus, Jokpin terkejut, Ayah saya baik-baik saja, katanya.

Puisi memang dekat pada waktu, momen dan peristiwa, tapi tak tentu peristiwa yang dialami oleh penyair. Di sini puisi bergerak dari ruang internal ke eksternal sesuka hati, tergantung pada bagaimana penyair mengolahnya. Mengutip yang dikatakan oleh Goenawan Mohammad, logika puitik tidak merepresentasikan keberadaan dalam kata-kata, melainkan membawa keberadaan kepada kehadiran dalam bentuk kata-kata. Oleh karena itulah Jokpin menuliskan selamat datang kepada pembaca puisi dengan mengucapkan salam sayangnya: “selamat menunaikan ibadah puisi”. Dari sebab itu, sebenarnya logika puitik tidak hanya bermain dalam kata-kata semata, tapi ia menangkap yang sejati dari peristiwa, momentum dan waktu. Maka tak salah filsuf Heidegger pun mengatakan bahwa wacana berfikir yang asli adalah puisi.

Di buku kumpulan puisi terbarunya ini, Jokpin ingin menunjukkan identitas puisinya yang lain dari sebelumnya. Sebagaimana dikatakan Jokpin (Tempo,7-13 januari 2013) “saya tidak ingin puisi saya dicap erat dengan celana terus, saya ingin meninggalkan celana. Ketika penyair tak bisa lepas dari cap yang menempel itu, maka penyair mati kreatifitasnya. Saya tidak ingin mati”. Maka tidak salah bila Jokpin menganggap puisi yang kuat adalah puisi yang mengembangkan visi baru dalam puisi. Puisi yang membuat kita mendefenisikan ulang apa itu puisi.

Buku Puisi Puitwit Haduh Aku di Follow  ini merupakan wujud visi baru dalam puisinya. Ia seperti ingin menampilkan puisi yang keluar jauh dari celananya, tetapi tidak terlalu jauh juga. Lihat misalnya puisi berikut : Waduh, celanamu tertinggal di dalam sajakku/Sajakku terkunci dan aku tak tahu dimana kuncinya. Celana yang biasa dipakai Jokpin menjadi idiom yang penting dalam puisinya di masa lalu seolah tertinggal dan mau dikunci agar pembaca tak lagi mengkaitkan ataupun membawa Jokpin dengan celananya yang dulu. Ia ingin memakai celana baru. Celana baru itulah puisinya yang sekarang. Simaklah cita-cita Jokpin yang mendefinisikan ulang apa itu puisi yang ada dalam bukunya ini. “Semua ingin menjadi penyair, iya kan? Aku sih ingin jadi puisi yang dilipat dan diselipkan di sela-sela rusukmu”(2012).

Ada warna baru yang ingin disuarakan melalui puisi twitter ini. Pada tanggal 22 Agustus 2012 Jokpin menulis: “Apa yang saya tulis mungkin bukan puisi, melainkan kekasih puisi”. Ada semacam kesadaran, barangkali orang boleh mengatakan atau menganggap twitter ini memang bukan puisi, melainkan lebih dalam yakni ruang untuk mengendap, menepi dan menghidupkan imajinasi sebagaimana yang ditulis Jokpin di sampul akhir buku puisinya.

Di usianya yang sudah melebihi setengah abad, Jokpin masih saja memainkan usia ke dalam sajaknya. Kata-kata humoris, menggemaskan dan hadir seperti kejutan, kejutan itulah yang ingin disampaikan dalam puisi twitter ini. Sejak aku dipanggil Om dan kemudian Pak, kepalaku mulai beruban(hal.74). Jokpin memang sudah beruban, tapi ia tak mau kalah dengan ubannya, seolah ia mau melawan uban yang ada di kepalanya dengan humor dan kejutan dalam puisinya. Ada kerja yang tak mau kalah dengan usia, puisi seolah ingin mencegah tua. Simak puisinya berikut ini: Entah kenapa saya selalu gagal menjadi tua. Saya ingin pikun dan pelupa agar lebih merdeka. Tapi puisi mencegah saya (hal.100)

Meski sudah mendapatkan penghargaan bersama Tahi lalat (2012) sebagai Karya Sastra Terbaik 2012 pilihan Tempo, mendapatkan KLA dengan puisi Kekasihku (2004), dan penghargaan sebelumnya Sih Award untuk sajaknya Celana 1, Celana 2, Celana 3, Jokpin tak ingin besar diri tapi tetap rendah hati. Ia ingin terus mencipta dan terus menerus berpuisi, atau bahkan ia ingin menjadi puisi yang tak dikenali siapa penulisnya. Ia menuliskan dengan kalimat sederhana dalam buku ini: “Selamanya saya penyair amatir. Gaji saya bahkan tak cukup untuk membiayai kesibukan melamun saya“(hal.61).

Di puisi-puisi pendek, singkat dan sederhana inilah, Jokpin bertapa brata. Joko pinurbo tak ingin dicap sebagai penyair yang produktif atau penyair yang tiap tahun bisa menerbitkan berbagai kumpulan buku puisi. Joko pinurbo dalam setahun bisa jadi hanya menghasilkan 11 puisi saja. Tapi kesebelas puisi itulah yang hadir bersama tubuh dan dirinya. Di sela-sela kesibukannya, Joko Pinurbo melakukan pertapaannya. Ia menggunakan waktu untuk mengendap, menepi, untuk menghidupkan imajinasi. Imajinasi-imajinasi itulah yang bisa kita nikmati dalam puisi pendeknya dalam buku ini. Kita akan menemukan kejutan, renungan dan hikmah melalui imajinasi dalam puisi ini. Akhirnya saya ucapkan pula “Selamat menunaikan ibadah puisi“ sebelum membaca buku ini.

kumpulan-puisi-joko-pinurboJudul: Haduh, Aku di Follow
Penulis: Joko Pinurbo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia Jakarta
Cetak: 2013
Tebal: vi +122 halaman
ISBN: 978-979-91-0529-5

*)Penulis adalah pegiat di bilik literasi Solo, Buku puisinya “Hujan di Tepian Tubuh – (2012)”

Menelanjangi Kata

Resensi Riza Fitroh Kurniasih*)

Seni memungkinkan kita untuk masuk dalam jagat rasa atas keindahan.
(Wiji Thukul)

penerbit jagad abjadBagi seorang pembaca awan, keindahan puisi adalah ketika ia langsung mengerti akan makna yang terkandung di dalamnya. Puisi menjadi sebuah karya yang tidak asing lagi dan mudah untuk kita jumpai. Namun, puisi kadang hanya berhenti sampai di lidah saja, manakala puisi ini menjelma menjadi kejenuhan. Akan tetapi lain bagi mereka yang memiliki jiwa seni, mereka akan memelototi puisi itu hingga menemukan arti dan makna yang sesungguhnya yang terkendung di dalamnya. Baginya satu puisi yang belum ia temukan maknanya sama saja menciptakan misteri dalam diri, yang pada akhirnya nanti hanya menjadi bayang-bayang ketidak pastian.

            Budiawan Dwi Santoso menyapa para penikmat puisinya dengan bait-bait puisi yang pendek dan penuh teka-teki itu. Tidak mengherankan ketika buku ini berjudul “Sekejap buku kumpulan puisi”, di dalamnya kita akan menemukan kumpulan-kumpulan puisi yang hanya dengan beberapa baris saja. Namun, kita akan duduk begitu lama dan terpana untuk menemukan makna yang terkandung dalam sekejap puisi itu. Disinilah letak keunikan dari puisi-puisinya tersebut, potongan-potongan kata yang simpel namun maknanya tak sesimpel potongan-potongan kata itu.

            Pria kelahiran Sukoharjo 04 Jannuari 1986 ini menyajikan puisi layaknya sebuah hidangan istimewa. Hidangan istimewa di sini karna puisi-puisinya disajikan dengan tema-tema yang sebenarnya sudah melekat pada diri kita namun kita tak pernah menyadarinya. Ia (si penulis) mengubahnya penampilan dari tema-tema tersebut sehingga layak untuk dinikmati. Tema-tema rumah, catatan, percakapan, jarum jam, dan jeda adalah sesuatu yang sudah melekat dalam keseharian kita, mereka begitu dekat dengan kita namun kita tak pernah menyadarinya.

            Kehidupan manusia kian modern dan kita kian meninggalkan kata, kita tak pernah membedahnya, kita tak pernah menelanjanginya, kita bahkan acuh tak acuh terhadap kata-kata yang berlalu-lalang di hadapan kita. Teknologi kian canggih, dan kata-kata kian beterbangan di antara tangan dan mata satu orang ke orang yang lain. Namun, kata-kata itu serasa hambar, datang kemudian pergi. Tak ada yang salah dengan teknologi, namun misteri yang ada di dalamnyalah yang kadang tak kita pahami. Pria yang aktif sebagai Santri Pengajian Malam Senin Bilik Literasi ini mencoba mendobrak itu semua, ia menghadirkan kehidupan-kehidupan yang sarat akan nilai-nilai estetis dan etika. Kita akan jumpai realitas ini dalam puisinya yang berjudul Catatan Senja, 5.

Catatan Senja, 5

Di batas memerah,

seorang lelaki tua mendapati dirinya

tergeletak dalam selembar promosi

Masa kecilnya terangkum

Dalam sekaleng minuman

Murah.

Keindahan Memori

          Manusia memiliki kemampuan untuk mengingat setiap peristiwa-peristiwa yang dilaluinya, seperti yang diungkapkan oleh Professor Hobby bahwasannya anugerah terbesar manusia-kemampuan untuk mengejar mimpi-mimpi kita. Pengarang lewat kumpulan puisi ini menyimpan dan mengabadikan setiap kenangannya dengan hari-hari yang ia lalui, tersimpan di dalamnya cita-cita, misteri, kesedihan, kengerian, keindahan, bahkan cinta.

            Baginya (si penulis), setiap detik adalah kenangan yang begitu sayang untuk dilewatkan dan dilupakan begitu saja. Bahkan kesedihan dan kerinduannya pada kekasihnya menjadikan ia bermain dengan kata-kata ini hingga tercipta sebait puisi. Ia mampu mengabadikan perasaannya dan memepersembahkannya untuk sang kekasih. Pada awalnya kita tidak akan merasakan bahwa itu sebuah puisi biasa, namun setelah kita menghayati kata demi kata, kita akan menemukan makna yang sebenarnya terkandung di dalamnya.

 

Catatan Malam, 2

Aku rindu sajak yang terbit

Menyinari diriku,

menghangatkan tubuhku

aku rindu sajak yang terbit

membangunkan hidupku

menggerakkan jiwaku

aku rindu sajak yang terbit,

mempertemukan kumbang dan kembang

menumbuhkan-kembangkan hutan perlambangan

 

            Puisi ini menggambarkan bagaimana seseorang sangat ingin bertemu dengan orang yang dirindukannya. Merindukan sapa yang mampu membuatnya bangkit dan kembali berjalan menggapai citanya. Menggambarkan keinginan yang mendalam akan sebuah pertemuan dua insan hingga tak kan terpisahkan lagi. Ia (seseorang dalam puisi) ingin menciptakan tanda akan keberadaannya dengan sang kekasih.

            “Penyair haruslah berjiwa ‘bebas dan aktif’. Bebas dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah diyakininya” (Wiji Thukul). Begitulah gambaran ideal seorang penyair, bagaimana ia seharusnya memiliki pikiran yang bebas dan juga aktif, tanpa adanya keperpihakan terhadap pemegang kepentingan. Begitu juga dengan puisi-puisi yang terdapat di dalam buku ini, puisi-puisi di dalam buku ini patut kita bedah dan kita telanjangi makna yang ada di dalamnya, hingga kita tak akan menemui keperpihakan terhadap pemegang kepentingan.

            Catatan Malam, 7, seakan-akan menyapa kita tentang bagaimana masa kecil kita yang penuh tawa kini hilang tak berjejak, atau bahkan masa kecil mereka yang terenggut, hingga kita tak mampu untuk mengingat kenangan masa kecil kita lewat masa kecil anak-anak zaman kini. Sebuah sajak gelap, menceritakan tentang kita: masa kecil menertawakan lupa-Kita. Puisi ini menggambarkan bagaimana kenangan-kenangan yang sempat terjadi pada masa lalu yang menceritakan tentang ia dan alam serta apa yang ia alami, kini hanya menjadi bahan ejekan diri sendiri. Betapa mirisnya keindahan kenangan tak pernah dikenang, bahkan sesuatu yang indah hanya dianggap sebagai sesuatu yang lalu tanpa arti, kematian, kelahiran, tawa lepas, itu semua bagi mereka di masa sebagai bukti eksistensi. Namun, sekarang orang sudah terlalu percaya diri dan merasa bahwa tak ada yang lebih hebat dari dirinya, fakta inilah yang menjadikan manusia kian terpuruk dengan egoisme diri.

            “Sekejap buku kumpulan puisi” ini menjadi buku yang patut untuk kita dalami akan arti yang terkandung di dalamnya, bagaimana seharusnya kita bermesraan dengan kata-kata dan bagaimana seharusnya kita menyikapi kata-kata yang begitu singkat namun penuh akan makna. Kumpulan puisi ini menjadi kumpulan puisi yang sekejap, namun kita tak akan pernah kehabisan kata dan akal untuk menelanjangi kata-kata yang terdapat dalam puisi tersebut.

Judul buku: Sekejap: Buku Kumpulan Puisi
Penulis: Budiawan Dwi Santoso
Penerbit: Jagat Abjad
Harga: Rp. 15.000
Tahun: 2013
Tebal: 98 halaman
ISBN: 978-979-1032-92-6

*) Peresensi adalah Mahasiswa FKIP Biologi Semester 6 Universitas Muhammadiyah Surakarta, aktif sebagai asisten laboratorium.

Hujan

Resensi Riza Fitroh Kurniasih*)

 

“Kalau pun saya masih menulis puisi, karena puisi adalah media yang mampu menyampaikan permasalahan orang kecil (Wiji Thukul)”

Tinta
 
Kisah yang tak pernah mati
Dalam beribu kertas bertuliskan kisahnya
Sepatu pun tak ubahnya jadi dinding-dinding yang bersuarakan keras
Batu-batu hinggap di petilasan para kaum hartawan
Angin pun menempel dalam berbagai kisah yang tak diinginkan
Kini, ia merubah semua jadi nyata
Bahkan nanti, ia merubahnya jadi tiada –

 
kumpulan puisi arif syaifudinSebait puisi sebagai awalan untuk kita mengenali pengarangnya. Arif Saifudin Yudistira dalam bait puisinya ini menyapa para pembaca dengan satu baris dari bait puisinya, yaitu Kisah yang tak pernah mati. Memperkenalkan diri sebagai seorang individu yang tak mengenal kematian. Menjadikan dirinya sebagai seorang yang memiliki paham eksistensialisme. Menjadikan dirinya sebagai seorang penyair yang mampu merekam setiap peristiwa yang dilihat, hingga kematian bosan menjemput kisahnya. Hingga sampai pada saatnya, kematian menjemput kisah itu, membuatnya tiada secara ragawi, namun aromanya masih tertinggal. Arif Saifudin Yudistira sebagai penulis buku ini juga tercatat sebagai seoarang aktivis yang juga aktif menulis di berbagai media. Membuat jiwa sosialnya benar-benar diasah dan diuji keloyalitasannya.
Hujan di Tepian Tubuh layaknya deras air yang selalu membasahi tubuh. Air yang selalu memberikan kesejukan, meskipun kadang air itu menimbulkan keresahan karena derasnya air itu. Air bisa menjelma menjadi banjir yang memporak-porandakan, atau justru memberikan kehidupan di kolam-kolam yang kekeringan. Bagi AS. Yudistira bait puisinya layaknya hujan-hujan yang selalu memberikan kesegaran bagi para pembacanya, meskipun kata-katanya tajam dan menusuk. Namun, rupanya puisi-puisinyalah yang mampu membangkitkan kesadaran atas status quo yang telah lama dinikmati sebagian dari kita. Tak jarang puisi-puisi inilah yang ditakutkan akan menciptakan banjir kegelisahan bagi mereka yang telah lama beromantisme dengan kenyaman.
Kumpulan puisi Hujan di Tepian Tubuh ini menjadi kumpulan puisi yang tidak saja berkutat pada romantisme remaja, kita akan temukan di dalamnya kisah dengan Tuhan-Nya, bahkan buku ini memuat tentang dunia perpolitikan. Sebagaimana yang diungkapkan Han Gagas, penulis buku Sang Penjelajah Dunia dan Tembang Tolak Bala, ia mengungkapkan; “AS. Yudistira, besar dari jaman yang benderang namun puisinya juga menyembulkan kegelapan. Semburan orasi aroma politik, kegelisahan, sosok ibu, pertemuan, cinta, dan keperihan hidup mewarnai puisi-puisinya……
Sebuah kata “perlawanan” bagi penulis yang pernah menjabat sebagai Ketua DPM UMS ini bukanlah sesuatu yang menakutkan. Perlawanan baginya adalah sesuatu yang harus disuarakan. Aroma perlawanan ini akan kita temukan pada puisinya berjudul Titik (8) ……Aku ingin menciptakan titik, tapi bukan akhir, hanya tanda untuk mengakhiri setiap pertikaian, Untuk menutup segala kenangan kelam, dan untuk memulai zaman terang. Ia seolah ingin menegaskan bahwa titik bukanlah pertanda berakhirnya sebuah perlawanan. Titik yang pada umumnya sebagai sebuah pemberhentian, dijadikan oleh dirinya sebagai sebuah tanda jeda untuk berfikir.
Menggunakan jeda sebaik mungkin untuk berfikir membuatnya selalu menemukan hal baru. Hal baru inilah yang selalu tersimpan sebagai sebuah misteri. Seperti yang dituliskan oleh pria kelahiran 30 Juni 1988 ini dalam puisinya Dilema (5) Aku memburu misteri, misteri yang tak kunjung usai hingga hari ini, Aku mengaji, setiap detik yang kita alami, aku hilang…/Ketika mata mulai terbuka,/Kutemukan tubuhku telah bersamanya, Meski tubuhku yang lain meronta. Secara halus ia ingin mengatakan pada para pembaca bahwa misteri baginya bukanlah sesuatu yang menakutkan. Melainkan sesuatu yang penuh tantangan ketika ditelusuri, hingga tanpa sadar misteri itu terpecahkan. Walaupun fakta yang ada di dalamnya selalu menyakitkan beberapa pihak. Namun itulah cerminan titik-tik air yang selalu deras ketika hujan turun di atas payung, dingin menusuk namun menyejukkan untuk dinikmati.
Realita dan kekejian di tengah masyarakat menuntut sang penyair untuk bergerak dengan kepekaan sosialnya. Begitu juga dengan kemampuan penulis dalam merekam setiap peristiwa yang dijumpainya. Permainan kata-katanya membuat orang tergelitik untuk menguak makna di dalam puisinya. Dengan kumpulan 70 Puisi AS. Yudistira, penulis mampu mewakili dirinya sebagai seorang seniman yang peka akan kondisi di sekitarnya. Realita buruk kondisi sosial-politik di tengah masyarakat yang kemudian kita kultuskan menjadi sebuah kekejian, tak akan berarti apa-apa tanpa adanya keberanian menyuarakannya kembali di tengah masyarakat.
Dari buku ini kita bisa mengenal bagaimana sesungguhnya kita sebagai manusia, mengenal diri kita, juga mengenal lingkungan kita. Bahkan mengenal Tuhan kita tanpa harus mengesampingkan ego kita dalam mengenal Tuhan kita. Menafsirkan tiap sajian puisi yang tertuliskan dalam buku ini, hingga sampai taraf kita mengerti akan arti yang sesungguhnya. Hal ini tidak bertanda bahwa pengetahuan akan pemaknaan buah pikir yang tertuang dalam bentuk puisi harus paripurna. Namun kita bisa jadikan buku ini sebagai pemantik awal menuju pengetahuan yang lebih luas.
Hujan di Tepian Tubuh bukanlah hujan yang selalu membuat tubuh menggigil kedinginan. Namun, hujan di sini adalah kumpulan keindahan beningnya butiran-butiran air yang memberikan kesejukan bagi tubuh yang merasa. Kumpulan puisi dalam buku ini menjelma menjadi hujan dengan keindahan butir-butir sajian kata dalam bait puisi. Hujan ini menjadi fatamorgana keindahan Hujan yang sesungguhnya dalam kumpulan buku puisi ini.
 
kumpulan puisi arif syaifudinJudul buku: HUJAN DI TEPIAN TUBUH
Penulis: Arif Saifudin Yudistira
Penerbit: Greentea
Harga: Rp. 30.000
Tahun: September 2012
Tebal: xxii + 70 halaman
ISBN: 978-602-98704-0-2

 

*) Peresensi adalah Mahasiswa FKIP Biologi Semester 5 Universitas Muhammadiyah Surakarta, aktif sebagai asisten laboratorium.

Selamat Datang di Ibukota Serigala

Ledakan ekspresi kebebasan, itulah yang ingin saya sampaikan untuk sebuah buku kumpulan puisi Ibukota Serigala. Ada marah yang tertahan. Ada sedih yang tertindih. Ada duka yang terlupa. Kejahatan tersembunyi yang terus menerus menjangkiti sendi-sendi kehidupan. Basa basi busuk. Semua tersimpul dalam dua kata sederhana: kekerasan psikologis! Jika dada tidak mampu lagi menahan luka, maka puisi menyuarakan yang tak berbunyi. Bagi Maria Immaculata Ita, semua rentetan kejahatan psikis tersebut terangkai menjadi sesuatu yang indah sekaligus ironis dalam Ibukota Serigala sebagaimana dapat kita simak pada penggalan bait puisinya;
: ingatkan aku untuk selalu mengucapkan salam saat memasuki pintu gerbangnya, wahai maria sofia
ingatkan aku untuk selalu membantu mengelap keringat wanita-wanita berantena,
ingatkan aku untuk mengamini ajakannya berdisko ria,
lalu kita akan tertawa bersama karena ternyata kita amnesia/

Tidak dapat dipungkiri bahwa karya penyair muda kelahiran 6 Oktober 1985 ini sarat dengan aroma kebosanan pada status quo generasi tua. Satu dari sekian banyak anak muda yang berani menyuarakan bahwa tua belum tentu dewasa, lama belum tentu baik, berkuasa belum tentu bijak. Kemapanan yang diterima sebagai sesuatu yang benar karena banyak orang mengamininya, itulah yang ingin didobrak. Menjadi sesuatu yang sangat masuk akal jika fenomena sekitar kita menunjukkan tingginya berbagai bentuk pemberontakan kaum muda. Inilah suara hati mereka:
Litani Sakit Hati
lama terdiam,
akhirnya ego kami melawan/
lama dibungkam,
akhirnya ego kami menyerang/
lama menangis,
membuat mata kami bengis/
lama menurut,
membuat ego kami menuntut/
lama ditirani,
membuat ego kami berani/
lama sendiri,
membuat kami tak perduli/
lama ditipu,
membuat kami berlalu/
lama merenung,
membuat kami susah tersenyum/
lama disakiti,
membuat kami sakit hati/

Selain puisi-puisi tersebut, Ibukota Serigala menyajikan 66 puisi yang sangat spontan dan cenderung impulsive. Sesuatu yang memikat sekaligus membutuhkan pencernaan yang baik di otak pembaca. Cerminan kegilaan yang memukau dari sang penulis di tengah badai hedonisme yang menggila. Sangat Layak dibaca. Proficiat! Selamat Datang di Ibukota Serigala.

Judul Buku : Ibukota Serigala
Penulis : Maria Immaculata Ita
Penerbit : Greentea
Cetakan : I, 2010
Tebal : xv + 110 halaman