syafii maarif

Kehidupan dalam Bingkai Kesederhanaan

Resensi Riza Fitroh K*)

“Pergilah ke mana kau harus pergi, tapi jangan sampai keadaan mendesakmu untuk melakukan apa pun yang sedang kau lakukan. Kau harus melakukannya karena kau memang memutuskan untuk itu. Jangan biarkan orang lain mendikte jalan hidupmu.”

            
syafii maarifSyafii tumbuh menjadi salah satu anak Muhammadiyah yang siap mengabdi dimanapun demi tanah airnya. Dengan berbekal kesederhanaan dan kemauan yang teguh, ia mampu melewati setiap rintangan yang didepannya. Karier pertama dimulai dengan menjadi guru sekolah dasar di Lombok Timur. Namun kerinduan yang terpendam selama 5 tahun kembali membawanya ke kampung halamannya di Sumpur Kudus.

Kesejukan alami dan keasrian yang belum terjamah teknologi modern menjadi daya tarik tersendiri bagi Lombok. Sesaat Pi’i-nama panggilan syafii- merasa berada di tempat kelahirannya kembali. Di lombok dia mengajar sekolah dasar dengan 4 kelas yang dikelompokkan berdasarkan umur dan mereka akan masuk kelas dengan bergantian. Dengan segera syafii menyukai murid-muridnya yang berwajah polos. Saat menatap wajah merek, ia bertekad, bahwa beberapa dari wajah mereka yang dilihatnya ini harus melanjutkan pelajaran ke sekolah yang lebih tinggi, mencencang awan, meraih langit.

Dua bulan berjuang sendirian dipulai ini, mencoba mencintai ilmu pasti yang tak disukainya. Pi’i tak menghiraukan kehidupan sosialnyam ia tak memperhatikan ketika beberapa wanita di desa itu meliriknya dan berusaha menarik perhatian sang guru alim tampan ini. Ia berkonsentrasi pada apa yang harus dikerjakannya, dan ia melakukannya dengan sepenuh hati.

Ditengah konsentrasinya di daerah perantauan, ditengah semangatnya para muridnya, tataannya jatuh pada munaris, sang orator cilik. Munaris maju kedepan dengan penuh percaya diri dengan wajah berseri-seri, muli berbicara mengenai penerapan islam dalam kehidupan sehari-hari. Melakukan apa yang diperintahkan dalam Alquran selama di sekolah dan di rumah. Itulah gambaran semangat anak didik Pi’i saat lomba pidato.

Sebelas bulan kebersamaannya dengan masyarakat Kampung Pohgading menjadi purna, dan Syafii mulai mengalami pa yang dirasakan santoso-teman seperjuangannya yang telah pulang ke kampung halaman-. Kerindun akan kampung halamannya terasa dahsyat, tempatnya dibesarkan dan membuai diri dalam kelembutan kasih sayang. Ia mengabarkan kepulangannya kepada Pak halifah, saudagar kaya di padang, untuk mengabarkan bahwa ia akan menginap di tempatnya selama sehari sebelum melanjutkan perjalanannya e Sumpur Kudus.

Bulan Maret 1957 Syafii menatap laut luas didepannya. Dua puluh dua tahun sudah terlewati dengan hampir lima tahun merantau, akhirnya ia pulang ke kampungnya. Setelah kapal lautna berlabuh, ia menuju rumah pak halifah dengan menenteng keranjang bawang merah. Sesampainya dirumah Pak Halifah yang kelak menjadi keluarganya, ia disambut dengan hangat oleh keluarga saudagar kaya itu. Tingkah laku Nurkhalifah gadis 13 tahun, putri ketig Sarialam -lip sapaannya- yang sangat lugu tak membuat Syafii berpikir panjang. Tidak ada yang dipikirkan dalam benaknya saat itu, bahwa wanita itu akan memainkan bagian penting dalam hidup Syafii.

Taun 1958. Perjuangan rakyat Sumatra barat bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dilakukan dalam pemahaman mereka yang bertentangan dengan Presiden Soekarno, di bawah pimpinan Letkol Ahmad Husein semakin panas, dan akhirnya terputuslah hubungan para perantau Minang di Jawa dengan kampung halaman mereka. Saat itu Syafii berusia du puluh tiga tahun. Pertama-tama yang dilakukan adalah berpikir untuk melanjutkan sekolah tingkat enam Mua’limin Yogyakarta. Syafii berembuk dengan teman-temannya yang bernasib sama mereka semua masih ingin melanjutkan pendidikan dan akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti kelas persiapan masuk Universitas Tjokroaminoto.

Di Surakarta ini Syafii bersama Masiak, Hamid dan Talman menyewa sebuah tempat indekos mahasiswa. Untuk berhemat mereka menawarkan untuk menolong tante Nani sang pemilik kos, dengan memotong kebun setiap minggu dan mengepel lantai kos setiap pagi demi mendapatkan sewa kamar kos yang lebih murah.

Langkah pertama yang mereka lakukan adalah mendaftar di Universita Tjokroaminoto. Mereka tidak menemui banya kesulitan. Kelas persiapan yang diselenggarakan adalah persyaratan dan berfungsi hanya sebagai jembatan agar mereka dapat masuk ke universitas. Langkah berikutnya adalah berusaha menyambung nyawa agar tetap bernapas di bumi, khususnya di Surakarta: mencari pekerjaan.

Syafii menjadi pengajar mengaji bagi Saidah, gadis lim belas tahun yang menaruh harapan pada Syafii, Ia putri pak Lenggogeni seorang juragan kerajinan Surakarta. Yang sebelumnya ia menganggap bahwa dia akan mengajar anak laki-laki. Syafii merasa janggal harus mengajari seorang perempuan. Ia bukan seseorang yang anti kesetaraan gender. Hanya saja, ia sering merasa canggung berhadapan dengan wanita. Selama ini ia selalu bergaul dengan laki-laki.

Syafii mengambil pendidikan di kelas persiapan dan menenpuh ujian. Ia yakin telah mengerjakan ujiannya dengan baik. Tante nani sedang duduk-duduk di depan rumah dan melihat kedatangan Syafii dengan wajah serius. Dan keadaan ini membuat Tante Nani menyapanya. Dari perbincangan keduannya, akhirnya Syafii memperoleh pekerjaan baru setelah purna mengajar saidah yang tak terpikirkan lagi olehnya. Ia bekerja pada juragan tukang besi namanya Dalga. Beberapa bulan berlalu dan Syafii diangkat menjadi mandor, ia bertahan hidup, namun kuliahnya tidak.

Hidup sebagai perantauan membuat Syafii memegang prinsip bahwa prinsip hidup memang tidak boleh mudah dipatahkan. Dan kerinduan akan kampung halaman pun kembali dirasakannya. Payakumbuh, 1962, diseberang sana Etek Bainah sedang memikirkan keadaan Pi’i, dissampingnya ada Ismael Rusyid, keduannya terlibat perbincangan serius akan Pi’i. Perbincngan mengenai sebuah perjodohan antara Pi’i dan Lip, gadis lincah yang ditemuinya saat singgah di rumah saudagar kaya di Padang, pak halifah.

Bagi Syafii sekolah bukan saja menjanjikan sebuah pekerjaan yang lebih baik di masa depan., namun ia merasa bahwa berpengetahuaan sebanyak-banyaknya adalah sesuatu yang harus dilaksanakannya. Syafii dijodohkan dengan Lip, ia sosok wanita berjiwa sosial meski hidup dalam kecukupan yang lebih. Ia menyadari dirinya sangat pencemburu, bahkan apabila ada hal kecil yang kurang beralasan pun, ia dapat menjadi cemburu.

 Setelah itu Syafii harus kembali ke Surakarta, sejak ssat itu ula kabar tak sedap tentang Syafii terdengar ditelinga sang tunangan-Lip-. Dikabarkan Syafii telah memiliki satu anak, dan hal ini membuat Lip kian bersedih setelah kepergiann Sarialam-Ibundanya-. Syafii mengisi hari-harinya dengan kuliah, membaca di perpustakaan, menulis skripsi, pergi ke Pasar Pon naik kereta menuju Baturetno untuk mengajar di STPN, mengajar di sekolah Surakarta, dan satu kegiatan lagi: menulis surat pada Lip, menceritakan apa yang dilakukannya, menceritakan buah pikirannya, menceritakan perjuangannya.

Sumatra Barat, 5 februari 1965, sebuah catatan penting dalam kehidupan Syafii terukir pada hari itu dalam sebuah relief hidup yang berwujud akad nikah. Syafii Maarif, berdiri dengan gagah, memakai pakaian yang didominasi warna hitam dengan taburan sulaman emas dan kain songket bertaburan emas dengan ornamen khas Padang dan keris, menandatangani akad nikahnya. Disana Lip telah menunggu kedatangannya, wanita yang disandingkan menjadi istrinya itu memiliki sebuah aura kuat dan ketegasan yang tidak mudah ditaklukkan yang membuatnya merasa tertantang.

Syafii kembali merantau dengan membawa istrinya, meninggalakan kehidupan nyaman yang selama ini dijalani Lip. Diperantauan dari hari ke hari Lip makin gelisah, ia merasa tidak nyaman terus-terusan berada di kontrakan suaminya ditambah dengan kecemburuannya pada suaminya ini. Akhirnya Syafii memutuskan untuk mengambil program doktoralnya di FKIS-IKIP Yogya.

Dalam perjalanannya memasuki program doktoral di FKIS-IKIP tak semudah yang dibayangkan. Ia harus berhadapan dekan pembantu dekan FKIS-IKIP, Drs. Lafran Pane, yang merupakan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Dengan pertolongan beberapa orang mulia yang menemaninya maupun memberikan surat rekomendasi. Hingga akhirnya ia dapat diterima dengan bantuan Onga Sanusi Pane, seseorang yang membawanya ke tanah rantau pertama kali.

Sementara untuk biaya kuliahnya, Syafii menerima bantuan dari halifah. Di kotagede, Syafii menghabiskan waktu dengan menimba ilmu dari Profesor Kahar. Ia juga melakukan dialog agama dan intelektual dengannya. Seiring dengan berjalannya waktu, Syafii sering diminta menjadi khatib di masjid Kotagede dan masjid Perak-tempat alm. Kiai Amir, yang pernah menjadi majelis tarjih PP Muhammadiyah.

Tahun 1965 menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Syafii dan Lip, mereka akan memiliki buah hati dalam beberapa saat lagi. Bagi Syafii kelahiran adalah sebuah anugerah yang datang dalam kemasan kebahagiaan, harapan, dan konsekuensi.

30 september 1965, terjadi peristiwa G30S/PKI yang juga merupakan puncak peristiwa yang menuntun pada pergantian Soekarno sebagi presiden pada Soeharto. Pada waktu itu terjadi berbagai kejadiaan besar yang mengguncangkan tatanan negara. Kehidupan ekonomi masyarakat, termasuk kehidupan ekonomi Syafii dan Lip mengalami ujian yang berat, dan Syafii pun terbelenggu dengan keadaanya-tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan calon ayah, lagi pula ia masih kuliah. Kesulitan ekonomi sedang mengalami masa puncak.

Syafii tidak dapat banyak berperan bagi masyarakatnya dan berbela rasa karena kantong pertahanannya pun sedang menipis. Kekuatannya sebagai seorang laki-laki, kepala keluarga, dan cendekiawan sedang diuji dan dengan merangkak, menyeret berbagai beban berat di pundaknya, ia berusaha terus bertahan. Ia menyimak dan berkomentar dengan aktif di kampung, namun tidak dapat sampai turut berjuang kecuali secara konsep, bahwa ia memeras otak dan keringat ersama rakyat kecil yang juga berpayah lelah mengisi perutnya-berjuang untuk sekadar bertahan hidup.

Pada awal tahun 1966 terjadi demonstrasi di mana-mana. Tuntutan Tritura (Tri tuntutan Rakyat) meminta pemerintah membubarkan PKI, membersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI, dan menurunkan harga dan meningkatkan perbaikan ekonomi. Sementara itu perut Lip mulai membesar. Akhirnya, pada bulan Maret 1966, saat Syafii baru pulang dari tempat kuliah, ia melihat Lip mengejag kesakitan sambil memegang perutnya. Dengan keringat mengalir deras, Syafii berlari untuk memanggil becak, kemudiaan menggotong istrinya ke Pusat Kesehatan muhammadiyah.

Anak pertama mereka bernama Salman, seorang anak yang tampan dan manis sekali. Syafii dan Lip menyadari akan kesehatan yang memburuk pada putra pertamanya ini, hingga akhirnya Lip memutuskan untuk mebawa Salaman ke Padang, agar memperoleh perawatan yang lebih baik sembari menunggu keadaan syafii membaik.

Pada saat anak dan istrinya berada di padang, syafii diangkat menjadi pegawai negeri dengan jabatan asisten Perguruan tinggi dengan gaji 868 rupiah sebulan, dan ia diberi tugas mengajar Sejarah indonesia kuni, dan Sejarah Islam pada Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah UII (Universitas Islam Indonesia).

Kehidupannya mulai lancar dan kini Syafii mulai dapat menabung untuk anak dan istriya. Pada awal bulan Februari 1967, ia mengetahui bahwa mereka baik-baik saja, karena Lip mengirimnya paket dengan catatan dari Lip. Pertengahan semester, Syafii bermaksud menjemput Lip dan anaknya, namun niat itu diurungkan sampai tutup semester. Hingga akhirnya menjelang akhir tahun, saat itu musim penghujan yang dingin. Tiba-tiba Syafii menerima telefon dari Lip dengan nada sendu di kantor Suara Muhammadiyah, ia meminta untuk dijemput, ia akan menyusulnya kembali.

Syafii pun merasakan kerinduan yang memuncak pada keluarganya. Sudah waktunya mereka kembali bersama. Tabungannya sudah cukup memadai dan universitas sedang libur semester. Hal pertama yang dilihatnya di pelabuhan setelah kapalnya merapat adalah istrinya yang memakai pakaian hitam. Hati syafii langsung memberikan tanda bahaya. Sesuatu telah terjadi. Namun ia tak melihat kedatangan lip dengan buah hatinya. Ismael yang menemani Lip menyatakan bahwa anaknya sudah lemah, ia meninggal tanggal 21 november 1967. Begitu pilunya hati Syafii yang belum sempat melihat dan merawatnya kembali. Terselip dalam dirinya sebuah kesakitan yang melebihi sebuah penghakiman yang ingin dijatuhkan orang padanya.

 Buih-buih ombak mencium pantai kemudian berlalu dalam rangkaiaan waktu dan irama music sendu mengiring langkah-langkah berat perjuangan hidup yang bagai tak kunjung lalu…..

Ia merintih pilu, merasa paku menusuk kalbu, dan mendakwa hati yang menjadi kelu…..

Namun nurani itu tahu……..

Sebuah kejujuran hati dan imannya pada sang Illahi mengerti… dan memberinya kekuatan untuk bangkit berdiri…..

sekalipun dalam sepi,

syafii maarifJudul buku: Si Anak Panah (BERDASAKAN KISAH BUYA SYAFII MAARIF)
Penulis: Damien Dematra
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Harga : Rp. 50.000
Tahun: 2010
Tebal: 260 halaman
ISBN: 978-979-22-5812-7

*) Peresensi adalah Mahasiswa FKIP Biologi Semester IV Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s