Wanita Jawa Tulen

Cerpen Annisa Zahra Maharani
Editor Ragil Koentjorodjati

Parasnya ayu. Perawakan jawa tulen. Kulitnya kuning langsat, bersinar – sinar bagai ratusan lampu kelip di bawah gunung. Jika dia tersenyum, ada satu sihir yang memabukkan, bahkan mungkin membuat pria tua bangka sekalipun jatuh hati pada kepolosan dan keserasian senyum pada mukanya yang lonjong kecil. Di sudut ujung  bibirnya, lekukan kecil semacam cekungan ceruk. menakjubkan sekali, seakan – akan, serupa mata air kecil di mana air dan penghidupan memancar dari sela – selanya.

wanita-jawaLama aku jatuh hati padanya, berandai – andai bahwa dia bisa kuperistri dan bakalnya jadi kantung rahim untuk keturunan – keturunanku. Sikapnya yang lugu, sopan tak berlagak-lah yang justru memikatku kuat. Wanita jawa beradab. Wanita gunung yang santun dan begitu ayu. Pendiam, pemalu namun anggun berpendar di antara pohon – pohon pinus di pinggir hutan.

Sudah 3 bulan aku di desa. Memaksa diri untuk ngabekti pada tanah leluhur. Meninggalkan sengkarut perkotaan dan kebangsatan tender – tender kantor. Kupaksa penuh, kuhajar telak nafsu kedonyan-ku meraup harta di Jakarta. Sebagaimana Jakarta memukul telak kewarasanku sebagai pria bujang mapan, membuatku hampir gila dengan kesendirian dan neraka jahanam duniawi pekerjaan. Jadi manajer tim pemenangan tender proyek konstruksi, benar – benar menguras sisi manusiawiku. Menggodokku jadi manusia materialis sejati. Diperhamba uang. Diperkekang duit dan hidup tersistem atas nama cari duit. Aku ingin cari ketenangan. Lepas dari segala perputaran yang seringkali dilabeli materialisme, hedonisme, -atau apalah itu, yang penting aku merasa tidak nyaman untuk sekarang ini. Kurasa cukuplah, apa yang aku kejar selama ini. Finansial yang berlebih, pangkat, teman – teman hedon, rumah, mobil, semua hampir kupunyai. Tapi tidak untuk satu ini: istri.

Udara dingin dini hari di Pananjakan sungguh menyiksaku. Tak kuasa menangkis serangannya, seringkali tiap malam aku hanya bisa berdiam diri di villa kecil ini – setelah menjual rumahku di Jakarta dan Bandung. Villa yang kubeli dan ambil alih pengelolaannya dari Pak Rekso, seorang milliarder kaya dari kepanjen, Malang. Villa gaya art deco kecil. Masih cukup bagus dan nyaman untuk kutinggali sendiri. Letaknya agak terpencil, di samping perkebunan teh dengan letak di atas sebuah gundukan kecil. Atau entahlah apapun itu bukit atau gunung kecil sekalipun.

Gigi – gigi rasanya sudah berkeletuk saling bersitegang. Tak ayal, arabika panas, rokok kretek dan jagung bakar yang kubeli di depan villa cukup jadi teman-angan-seksualku. Tak ada lagi yang lebih seksual selain gabungan arabika panas-rokok kretek-dan jagung bakar di tempat sedingin ini. Duduk sendiri –ya memang siapa lagi, teman wanita? Cih! Aku tak mau terseret dalam angan seksual – di depan perapian di tengah ruang utama, cukuplah menyamankan gigil badan yang gemetarnya serupa gempa.

Seminggu yang lalu, aku bertemu dia, si wanita jawa tulen. Berdiri di belokan 100 meter dari villa. Sedang berdoa di sebuah altar sambil menyajikan sesaji di atas meja batu kecil. Rambutnya dikuncir, kebaya putihnya padu sekali dengan warna kulitnya yang kuning langsat. Kuning bersih.

Sekilas dia melihatku, sehabis doanya selesai. Jarak lima meter kami serasa sungguh dekat. Seperti adegan di Mohabbattein, serasa ada angin magis bertiup membelaiku. Leherku, mukaku, rambutku, tepat seperti scene di film itu. Tapi bedanya, mohabbattein di India, dan adeganku ini di Pananjakan. Di Mohabbattein scene itu diiringi orcestral backsound, sedang scene-ku dibacksound  lenguh kerbau dan suara bedhes gunung. Ah, tak apalah.

Perjumpaan awal yang menakjubkan. Baru ditatap dan disenyuminya saja, kurasa ada satu ruang di hati terisi penuh, tergegap – gegap oleh bayangnya. Seminggu lebih, kuikuti dia. Di pasar, di kali, di altar seberang belokan, di Telogo Pasir saat dia turun  berdoa di Pura, di manapun. Tapi satu kejanggalan, dari pagi sampai malam kukuntit dia, sekalipun, tak kutemukan di mana rumahnya. Pun jika arah pulangnya sama, dia selalu tiba – tiba saja hilang dari pengawasan. Hilang di balik pinus besar samping hutan, hilang di antara kerumunan petani karet, hilang di pekat kabut gunung. Hilang begitu saja. Aneh. Seakan kena sirep, aku tetap berusaha mati – matian mencari rumahnya.

***

Sudah 2 minggu lebih sehabis pertemuan kami terakhir. Aku terpaku di villa, hanya berkutat dengan perapian, laptop, arabika, dan rokok kretek. Merasa kehilangan setelah dia samasekali tak kelihatan di peredaran pasar dan orang orang yang berdoa di Pura, pun di altar seberang belokan. Ada satu kerinduan yang begitu mendidih. Bergejolak berimbang antara penyesalan dan rindu picisan. Penyesalan ketika rumahnya tak ketemu, dan kerinduan hebat ketika senyum dan ceruk di ujung bibirnya tersesat dalam mimpi – mimpiku saban hari. Blah, bahkan namanya saja aku tak tahu. Payah.

Habis tungku perapian, mataku lebam menghitam dihajar kelelahan dan dingin gunung. Dingin tetap menusuk meski 3 jaket tebal Rei dan Camp menutupi tubuh. Arabika pahit tak cukup kuat menyangga kantuk. Tubuhku lemas tergeletak di karpet depan perapian. Jam masih pukul 2 dini hari. Lamat – lamat kudengar suara banyak orang di samping villa. Ada yang bersitegang, ada yang bercakap hebat berdesas desus. Kulihat dari balik jendela, mataku silau tergegap. Silau puluhan obor dari kerumunan orang. Mencoba menelisik, kuberanikan keluar.

Ono opo cak? Cek ramene koyo mari onok kobongan.[1]

Hus! Ojok dagelan sira Dik, iki lho Dik, onok bayi![2]” Seorang dari kerumunan menyahut. Dari nyala obor berkilau kilau, kukenali dia adalah Cak Pri. Penjual jagung bakar langgananku.

Bayi opo seh cak. Sopo sing mari babaran?[3]

“Ora dik, ora. . Bayi mati. Bayi gari sirah-e thok. Awak’e mbuh nangndi.[4]

Terkesiap darahku, kucoba tak percaya. Tapi kulihat dari balik kerumunan, memang sebentuk bulatan remuk tak sempurna tergeletak di tanah. Tak ada torso, hanya segenggam bulatan bermata berkuping. Tanpa badan. Darah bercucur dari pangkal leher.Bergenang – genang di bawah kaki kerumunan. Seorang wanita muda pingsan dibopong warga keluar kerumunan. Barangkali ibu dari bayi nahas itu.

Dari desas-desus orang, spekulasi meruncing ke arah hutan. Dari warga, kudengar informasi bahwa seringkali anjing hutan memangsa ternak. Bahkan gawatnya, bayi banyak dimangsa olehnya. Jajaran pamong, warga, bahkan Perhutani sekalipun saling membantu memusnahkan populasi anjing hutan di gunung – gunung sekitar Pananjakan. Tapi masih saja  terjadi kejadian begini. Nyaris habis kambing ternak warga. Pun juga bayi dan balita – balita tak berdosa. Warga hanya bisa gedhek – gedhek mengatasi masalah ini.

Jam 3 pagi, warga menyisir gunung. Sebagian memutari lereng, sebagian mencari di hutan pinus dan kebun teh, sebagian lagi sibuk mengaduk – aduk semak mencari potongan tubuh si bayi. Aku turut membantu, masuk pada massa yang menuju ke atas gunung. Sambil memegang obor dan belati, takut kalau – kalau mendapat serangan mendadak dari target. Ya, target utama, jelas si anjing hutan yang jadi tersangka kasus pemangsaan tak bertanggung jawab ini.

Dari kerumunan di bawah, terdengar teriakan bahwa dua ekor bersembunyi di balik rimbun semak. Tanpa pikir panjang, warga mengamuk, membunuh keduanya. Tapi meleset, satu lagi lari masuk ke hutan. Tak ketemu. Yang satunya, mati dengan kepala menganga disabet golok warga. Mati mengenaskan dihajar massa.

Jam 4 subuh, aku tersesat, hilang dari kerumunan. Masuk justru ke arah melenceng. Cih, gara – gara sok tahu. Malah jauh meninggalkan warga. Bakal rumit cerita kalau satu lagi korban ditemukan: “Korban hilang tersesat”. Kukubur pikiran itu jauh-jauh. Rasanya jam nyaris pukul lima. Tak ada tanda – tanda apapun. Kini misi berubah. Tak lagi masalah anjing bedebah itu. Tapi bagaimana cara aku sampai ke villa secepatnya. Dingin sudah diambang puncak. Kukira di bawah sepuluh derajat pun ada.

Menggigil menahan dingin. Dengan minyak di obor tinggal sedikit. Tak cukup barang satu jam. Aku coba bergegas mempercepat langkah. Dari arah lain, masih terdengar suara warga bersahut – sahutan. Sepertinya ada yang kena sabet golok lagi. Batinku.

Tiba – tiba saja ada satu gerakan dari arah samping. Curiga, kucoba mendekat masuk ke semak tebal di bawah rimbun pinus gunung. Terlalu gelap. Tak cukup ruang dan cahaya menembus tebal semak. Dari sekitar lima meter kuintip tanpa banyak gerak. Takut, kalau kalau si anjing target ternyata di sini dan bakal lari kepalang kalau dia menyadari kedatanganku.

Lampu obor bekilap – kilap. Dari balik kegelapan dan kilap obor minyak tanah. Tubuhku menggigil, gigi berkeletukan saling bersitegang. Angin gunung berembus aneh, naik. Bukan turun dari gunung. Ada satu ketakutan sekaligus ketakjuban. Wanita yang tempo minggu lalu mengisi hatiku, kugilai, kukuntit terus menerus seminggu penuh, wanita jawa tulenku, wanita kebaya putih dengan senyum dan ceruk bibir melengkung padu, wanita agung anggunku: kini ketemu. Mataku nyalang menyuruki kilauan obor dan kabut pagi. Si wanita jawa tulen berkebaya putih, rambutnya dikuncir, duduk di sebuah batu. Tapi tak nampak ceruk bibirnya. Justru bibirnya tertutup gincu merah pekat. Gincu cair mengalir dari mulut dan gigi – gigi padunya. Matanya berkilau-kilau, tapi menghitam menyalang. Kebaya putih kini bertumpukan dengan merah gincu yang terus mengucur. Sebagian ada yang mengering. Sekepal kaki dan gundukan organ habis di makan. Sadar setengah tidak, kulihat dia menyalang gila melahap onggokan potongan tubuh bayi. Dia kelaparan. Lehernya meregang dan urat – uratnya mencuat. Kulitnya kusam kekuningan. Rambutnya dikuncir berantakan. Dia gila, tubuhnya mandi gincu yang ternyata darah, di sampingnya bergeletakan onggokan tulang belulang kambing dan mungkin manusia. Matanya benar – benar seperti setan. Dibalik keayu-annya, kusadari dia adalah manusia jadi – jadian. Mungkin dukun teluh, mungkin titisan Durmagati.

Aku? Duduk saja terpaku berjam –jam. Membatin kosong sampai obor habis gosong. Aku rasa aku juga jadi gila. Dunia serasa bertumpuk – tumpukan. Tak ada lagi obor, tak ada lagi ketenangan. Belati tersungkur seakan dipaksa diayun oleh entah sugesti apa. Aku roboh sekarat. Mungkin diteluh, atau mungkin pula bunuh diri sendiri. Satu kepastian akhir, kulihat dia si jawa tulen masih ada, meringis tertawa, ceruk bibirnya berubah fungsi jadi semacam gertakan visual. Seringai mengerikan yang justru tetap membuatku terkesima –meski sekarat – takjub. Sungguh demi dewa yang dia sembah tiap pagi, dia cantik sekali. Dia cantik sekali.

Matahari muncul berganti rupa. Merahnya melunasi hutang – hutang embun pinus yang menguap lepas. Pananjakan, kurasa istriku telah ketemu. Aku jatuh cinta kembali. Tidak dengan duit dan Jakarta. Tapi pada dia si Wanita agung, si Jawa Tulen.


[1] Ada apa Pak? Kok ramai seperti ada kebakaran.

[2] Hus! Jangan bercanda Dik, ini lho Dik, ada bayi!

[3] Bayi apa sih Pak? Siapa yang baru melahirkan?

[4] Bukan Dik, bukan. Bayi mati. Bayi yang hanya tinggal kepalanya saja. Badannya, entah di mana.

Annisa Zahra Maharani, lahir di Karanganyar tahun 1993. Saat ini masih kuliah di sebuah perguruan tinggi di Surakarta.

4 tanggapan untuk “Wanita Jawa Tulen”

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s