Arsip Tag: kata kunci

Berger dan Dialektika Sosiologis

Resensi Arif Saifudin Yudistira*)

dialektika sosiologisDunia filsafat memang lebih dikenal sebagai dunia yang indah, penuh dengan kebijaksanaan dan utopis. Kata terakhir ini yang menjadikan dunia filsafat lebih cenderung dipandang sebagai dunia yang hanya bermain-main dengan pemikiran. Bagaimana dengan Berger? Peter L Berger adalah sosiolog yang setidaknya mencoba menjawab tantangan itu. Menurutnya dunia yang ada sekarang ini adalah dunia yang perlu kita curigai. Sebab realitas dalam kajian Berger tak datang dengan sendirinya. Ia mengindikasikan realitas subjektif. Untuk itu, ia perlu menjadi realitas yang bernilai ilmiah. Berger memandang ilmiah itu objektivitas, empiris, sistematis dan teoritis (hal. 4).
Buku Peter L. Berger: Sebuah Pengantar Ringkas yang ditulis Hanneman Samuel seorang pengajar mumpuni yang senantiasa bergelut di dunia sosiologi di dalam kajian kesehariannya. Ia adalah pengajar di universitas, meski demikian, ia tak mau memandang sosiologi sebagai ilmu yang selalu dan senantias terhormat. Sebab itulah buku ini ditulis. Hanneman Samuel tak hanya ingin menunjukkan bahwa Berger perlu dikabarkan, Berger perlu diceritakan pada kita semua. Ini bukan hanya karena pemikiran Peter L. Berger begitu penting dalam kajian sosiologi, tapi pemikiran Berger memberikan satu pemahaman penting bagi kita, bahwa kajiannya tentang sosiologi dan ilmu pengetahuan sangat penting.
Berger memberikan satu kata kunci penting untuk memahami dunia kita, yakni “realitas”. Berger mendedah “realitas” perlu mengalami beberapa proses yakni eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Ketiga proses inilah yang membentuk pengetahuan kita. Melalui tiga proses itulah, kita memandang “sesuatu” dari pengetahuan akan “sesuatu” tersebut sebelumnya.
Nilai Penting Berger
Hanneman Samuel menghadirkan kembali pemikiran Berger dengan motif bahwa “kajian pemikiran Berger dinilai penting karena ia mengingatkan kembali akan kesejarahan dari sebuah “realitas sosial”. Dengan melihat kesejarahan realitas sosial itulah kita bisa membaca berbagai kepentingan atau realitas yang semu yang dibentuk dan dimanipulasi. Selain itu, Berger menekankan bahwa proses internalisasi itulah yang cenderung lebih dominan dalam diri kita. Sehingga kita tidak objektif memandang sesuatu.
Pemikiran Berger bisa kita praktikkan dengan realitas sosiologis negeri kita. Misalkan ketika muncul berita terorisme di suatu daerah, media menggunakan proses internalisasi yang terus menerus dan tak berhenti. Sehingga kita selaku warga yang berada di lingkungan penangkapan terorisme biarpun mengetahui bahwa sebenarnya lingkungan kita tidak ada masalah, kita akan ikut terpengaruh dan memiliki sugesti bahwa “ada teroris di sekitar kita”. Dengan pemikiran Berger, kita mampu membedakan apa yang sebenarnya terjadi dalam realitas sosiologis masyarakat kita. Meskipun media, berita, dan juga opini publik berkembang, kita bisa menganalisa “apa yang sebenarnya” terjadi. Di sinilah letak dialektika pemikiran Berger.
Dekonstruksi
Pemikiran Berger setidaknya mendekonstruksi atau menggugat pemikiran sosiolog sebelumnya yang memandang bahwa realitas itu dibentuk dari sesuatu yang general dan tampak di permukaan. Sehingga berbagai kebijakan yang dibentuk oleh pemerintah seringkali berasal dari sesuatu yang dinilai umum dan general. Oleh karena itu, kebijakan yang demikian seringkali tak cocok di kalangan bawah. Akan tetapi Berger membalik itu semua, bahwa setiap individu mesti memiliki analisa dan kaca mata untuk menganalisa realitas kesehariannya, realitas keseharian itulah yang membentuk objektifikasi di masyarakat sehingga membentuk realitas sosial. Berger sebagaimana diungkap oleh Geger Riyanto sosiolog yang meneliti Berger bahwa “sumbangsih pemikiran Berger adalah memberikan satu penutup dan simpulan besar para sosiolog sebelumnya yakni kita hidup dalam realitas yang dibuat”.
Buku Peter Berger Sebuah Pengantar Ringkas ini menarik untuk dijadikan kajian awal bagi kita untuk mengenali Berger dan mempraktekkan metodologinya. Berger mengajak kita untuk curiga, waspada, tapi juga senantiasa berpikir ilmiah dan resah akan kondisi masyarakat kita. Ia menyarankan adanya dialektika di dalam realitas sosial. Sehingga kita memiliki objektifikasi terhadap realitas sosial yang benar. Tak berhenti sampai di sana, kita memiliki kewajiban dengan pengetahuan akan realitas sosial itulah, kita menyadarkan dan menyerukan masyarakat, bahwa realitas sosial yang dibuat ini perlu kita sadari dan mengerti bagaimana menyikapi realitas tersebut. Sehingga ia mengatakan dengan kesimpulan sederhana : “….fenomena manusia tidak berbicara dengan sendirinya : ia harus ditafsirkan” (Berger and Kellner,1981:10; hal.42).
Kajian Berger bisa kita gunakan untuk menelaah bagaimana “realitas politik”, “pencitraan penguasa” hingga berbagai pembohongan publik yang disiarkan melalui media bisa kita analisa. Dengan begitu, kita sebagai manusia yang memiliki modal “pengetahuan” bisa menggunakan sosiologi pengetahuan yang kita punya untuk lebih memahami dunia (realitas kita yang sesungguhnya). Karena itulah, buku ini dihadirkan, bahwa Hanneman Samuel tak mau terkungkung dalam satu realitas sosiologis di dunia perkuliahan yang cenderung terkungkung dengan realitas yang lebih cenderung kepada realitas keseharian. Dengan menghadirkan buku ini, Hanneman Samuel juga mengungkapkan pentingnya kesadaran sosiologis. “Kesadaran sosiologis perlu untuk seseorang yang menyebut dirinya “intelektual”. Kesadaran ini akan memberi insane yang hidup di jalan pemikiran kapasitas yang tajam untuk berefleksi, melihat segala sesuatu dalam bingkai yang utuh, bahkan daya ironi dan kemampuan menjaga jarak dengan dirinya sendiri. Meminjam istilah Elias (1987) penarikan diri (detachment) selayaknya berjalan beriringan dengan “keterlibatan” (involvement) (hal. 108).dialektika sosiologisJudul: Peter Berger Sebuah Pengantar RingkasPenulis: Hanneman Samuel
Penerbit: Kepik
Tahun: 2012
Tebal: 120 halaman
ISBN: 978  602 99608 6 0

 

*) Penulis adalah Mahasiswa UMS, pegiat di bilik Literasi Solo

Danau Toba, Perancis dan Sitor

Resensi Arif Saifudin Yudistira

ibuMengapa cerpen menjadi satu cara untuk mengusik perasaan-perasaan manusia?. Karena disanalah letak karya sastra dipertaruhkan dalam hal membagi dunia imajinasi dan dunia realitas. Cerpen adalah jembatan bagi kita memahami dan mengarungi kehidupan yang serba luas ini. Pengarang meski ia tak selalu bicara dirinya,tapi pikirannya itulah yang membuat ia bergerak dalam karya sastra. Ia bersama karya sastra menyatu. Bila pramodya sadar betul dengan metode mistikumnya dalam membuat karya, maka sitor lebih bergerak pada cerpen yang meski singkat tapi ia adalah teks yang tak berhenti. Sitor pandai mengolah bahasa dan setiap kosakata yang menunjukkan betapa ia menekuni khazanah, kajian mendalam, pengamatan yang jitu hingga penulisan yang luar biasa sebelum membuat cerpen. A teeuw menyebut sitor ia menguasai bahasa Indonesia dengan cara yang kadang-kadang luar biasa.

Misal pada cerpennya Fonteny Aux Roses.  Mendengarkan kata itu kita bisa terbayang-bayang tentang perempuan perancis, atau sekilas kita bisa menemui perancis. Dan kita pun tak menyangka nama tempat di perancis bisa dihubungkan ke dalam penguasaan cerita yang meluas. JJ rizal menyebut ini sebagai awal eksistensialisme sitor. Kematian diramu sedemikian mesrahnya, kematian dikemas sedemikian hebatnya dengan permainan ingatan. Ingatan sitor itulah yang membawa kita pada penjelajahan nama-nama tempat, suasana, hingga pada kemampuannya mengemas “tokoh” pada ingatan masa lampaunya. Ia bergerak lihai dan mencoba tidak lurus-lurus dalam bercerita meski pelan. Keunggulan bahasa itulah yang dimanfaatkan sitor dengan memadukan pengalaman ketika ia di perancis dengan menceritakan memori kematian dengan satu gambaran sederhana dan menyenangkan. Ini kita temui di cerpen Fontenay aux Roses yang ditutup dengan kata kunci yang indah : “surga adalah rindu”.

Kemampuannya mengemas ingatan, kenangan dan juga deskripsi peristiwa yang jitu itu pun ada dalam cerpennya “Gerbera”. Ia menutup cerpennya dengan menutup perasaannya pula dengan kalimat sederhana yang mengakhiri ingatannya pula tentang perempuan yang ia kagumi. Di timur fajar memerah. Memerah gerbera. Gerbera. Masihkah bunga mekar di lereng-lereng gunung?. Besok aku hraus terbang ke barat.

Dunia barat

             Dunia barat dalam gambaran cerpen sitor begitu tak sederhana. Ia mengalami dan menyelami betul dunia barat itu ketika ia setahun tinggal di paris pada tahun 1952-1953.  Perjalanan di barat ia salami di tahun 1950 hingga tahun 1953. Selama itu pula ia mengenali belanda, dan perancis sebagai kota yang memberinya ilham dan inspirasi di dalam membuat karyanya. Disebutkan setelah ia pulang dari perancis ia mengukuhkan posisinya sebagai sastrawan dengan menulis puisi, menulis cerpen, naskah drama, keirikus, penerjemah dan pengajar. Meski demikian cerpen-cerpennya yang dihasilkan tak banyak. Tapi di dalam cerpen itulah ia membuktikan kemampuannya sebagai sastrawan yang patut mendapat tempat di dunia international dan negerinya sendiri. Cerpen “kereta api international” dan cerpen “ Peribahasa Jepang” disebut patut masuk dalam cerita antology barat sebagaimana yang dikatakan A teeuw.

Paris membawa inspirasi dan kenangan dalam Cerpen salju di paris. Cerpen ini membawa kita pada suasana perancis dengan hawa berbeda. Ia lebih menonjolkan tempat dan suasana daripada perasaan tokoh.  Sedang cerpen cinta pertama adalah cerpen yang menunjukkan betapa tak mengenakkannya cinta pertama dirasakan oleh gadis perancis. Jarak membawa pada perpisahan meski sebenarnya percintaan itu memungkinkan. Ia menempatkan tokoh pemuda Indonesia ini sebagai pihak jantan, dengan kemampuan menolak cinta si gadis perancis. Dan kelihaian sitor inilah yang menjadi kelebihan sitor dalam memadukan tokoh, identitas, cerita hingga pada kemampuannya menarasikan perasaan-perasaan tokoh.

             Begitupun cerpen peribahasa jepang yang menarasikan identitas yang seperti sudah menyatu, antara keakraban dan betapa tingginya budaya jepang, tapi juga menggambarkan betapa perempuan jepang di deskripsikan dengan indah oleh sitor melalui konflik yang ada pada si gadis. Hingga pada kenangan tokoh pria Indonesia yang membawa ingatannya pada gadis jepang tersebut. Tanpa adanya pengetahuan, dan kemampuan dan data yang bagus tentang jepang, ia tak mungkin membolak-balikkan alur ceritapada imajinasi tempat, perasaan tokoh dan pertautan yang cukup intim antara tokoh dua negara tersebut.

Tanah Lahir

            Meski ia pernah melakukan perjalanan ke barat, ia pernah mengalami “ketegangan dramatik’ seperti yang diungkapkan pengamat sastera Martin Heinschke, ia tak menghilangkan dengan begitu saja ingatan tentang tanah airnya. Ia kental dengan adat batak, di sebelah barat pantai danau toba di lembah gunung Pusuk Buhit. Ingatan itu dituangkan dengan jeli di cerpen “Perjamuan Kudus” dan “kehidupan Daerah Danau toba” .

Perjamuan kudus menceritakan pemeberontakan sitor akan kondisi zending yang membawa pada pelarangan adat masyarakat setempat.  Ia menggambarkan ini di akhir ceritanya dengan menutup upacara terlarang yang digambarkan dengan Pusuk puhit yang merupakan upacara yang aneh dan tidak lazim  di masyarakat batak. Di cerpen  “Kehidupan Daerah Danau toba” ia ingin menjelaskan betapa kepribadian sitor tampak pada bagaimana kehidupan toba tak mempersoalkan perkara muslim maupun Kristen. Ia ingin menegaskan bahwa perkara agama tak menghalangi manusia berhubungan dan bergaul di masyarakat.

Kumpulan cerpen ini memiliki nilai penting di dalam kesusasteraan dunia karena menunjukkan betapa pentingnya relasi antara pengarang dengan dunia realitas di sekelilingnya. Inspirasi itulah dan kerja kreatif itulah yang ditunjukkan Sitor situmorang yang menghasilkan beragam cerpen yang menarik yang tak hanya mengangkat persilangan budaya, sosok kekosongan jiwa, hingga pencarian spiritual dan cinta. Lengkap sudah buku ini sebagai sebuah penyajian riwayat salah satu karya sitor yakni dalam bentuk cerpen. Sekaligus sebagai penyair ia mampu untuk mengolah dan melepaskan bahasa puitisnya dengan bahasa jiwanya. Hingga cerpen-cerpennya tak sekadar hidup, membawa jiwa kita terbang, hingga menyelami peristiwa hingga semua yang digambarkan oleh penulis dalam cerpen. Disanalah letak kerja kreatif dan keunggulan cerpen sebagai salah satu karya sastra kita. Sitor mampu meletakkan bahasa pada tempatnya, pada kebebasannya dan ia tak mau terjerat terlampau jauh kesana. Tiga peristiwa dan tempat penting dalam cerpen ini tak lain adalah Danau toba yang merupakan biografi pengarang dan kelahirannya, kemudian gunung merapi atau Jogjakarta, dan perancis. Ketiga tempat itu mendasari pengalaman yang erat dan menarik bagi pengarang sebagai jejak laku dan jejak kata.

Tanda seru sitor setidaknya mengingatkan kepada kita bahwa sebagai seorang sastrawan dan penulis yang memiliki etos dan kerja spiritualitas dan kerja literasi yang membawa misi bahwa diri, pribadi, lingkungan dan kemanusiaan adalah hal yang tak bisa dilepaskan dan disuarakan dari seorang pengarang. Kejujuran itulah yang dibawa sitor untuk memasuki dunia imajinasi dan dunia cerita yang mampu mengusik dan menggerakkan kita akan kesadaran lingkungan dan juga ketergerakan batin kita melihat berbagai fenomena dan peristiwa di dalamnya. Sitor mampu mengangkat isu kemerdekaan, perjuangan, cinta kasih, hingga kekosongan jiwa yang lembut dan juga silang budaya ketika ia berada di luar negeri. Kesemua itu tentu tak jauh beda dengan metode pram yang mengandalkan mistikum-nya. Sitor memiliki mistikum nya sendiri hingga ia mampu menggerakkan bahasa sebagai sesuatu yang elastic, manis, tapi tak berlebihan. Semua itu ada dalam cerpen-cerpen yang ia olah. Meski cerpen masa lampau dengan karakter yang sedikit, tapi jalan cerita, kekhasan cerita hingga makna cerita tak bisa ditinggalkan begitu saja dari cerpen-cerpen Sitor situmorang. Sitor telah menunjukkan sifat dan jiwanya yang penuh dengan etos intelektual, kejujuran dan kemanusiaan. Setidaknya cerpen ini adalah buktinya.

Kumpulan cerpen sitor dalam ibu pergi ke surga ini setidaknya menunjukkan betapa sitor adalah sastrawan yang tak hanya lengkap dengan kepribadian yang kuat, tapi juga lihai membawa suasana, konflik dan pengamatan yang kuat pada masanya. Ibu pergi ke surga setidaknya memberikan penegasan kembali meski baru 23 cerpen seumur hidup sitor, sitor telah berhasil memadukan danau toba, perancis dan kepribadian yang mengukuhkan dia sebagai sastrawan Indonesia dan patut di perhitungkan dunia.

ibuJudul buku:  Ibu pergi ke surga
Penulis : Sitor situmorang
Penerbit: Komunitas bambu
Hal: 218 halaman
ISBN: 979-3731-88-5
harga: Rp.55.000,00
tahun: januari 2011