Cerbung Willy Wonga

Gigil membuat gegar tubuhnya sangat kentara di balik balutan baju kemeja serta celana dari katun sebatas lutut sewaktu dia berjalan. Aku berdiri di tempatku berdiri menyaksikan dedaunan basah terseret menjauh dari pohon searah angin dingin, menyaksikan perempuan itu datang mendekat. Dia terburu-buru akibat iklim tak bersahabat dan cepat-cepat berdiri di depanku. Terlalu terburu-buru bagi sosok seanggun dia. Kemudian, secara tiba-tiba, aneh dan sangat tidak kumengerti adalah dia lantas menabrakku. Aku tak terkejut karena dia orang asing, lebih karena tiba-tiba dia mendekapku. Menangkupkan wajahku ke dadanya yang busung seraya mengucapkan selamat ulang tahun.
“Semoga panjang umur dan Tuhan senantiasa memberkati.”
Ucapnya pun terasa ditulus-tuluskan. Tak apalah, aku biarkan saja dia melempar perhatian kepadaku dan aku tak berusaha memeluknya. Aku kaku dalam dekapnya, dan dalam dekapnya hidungku membaui wewangian yang menguar dari tubuh serta rambut si wanita, wangi bunga lavender. Tubuhku sedikit tergeragap, tergeletar. Wangi itu benar nyata meski aku harap hanya ilusi. Ini tentang masa lalu, wangi ini, aku telah sangat menyukainya. Bunga lavender seolah hendak memeras kenangan lama lewat wangi khasnya yang menerobos hidung.
Pernah ada wanita lain, di suatu waktu yang kini telah jadi sejarah. Semua orang setuju dia adalah wanita menarik. Berkulit hitam manis, berambut ombak dengan senyuman menyejukan. Barangkali semenarik wanita yang mendekapku ini. Dan wanita hitam manis yang dulu juga akan melakukan hal-hal terindah dan terajaib saat ulang tahunku. Hadiah darinya merupakan hadiah paling tulus di antara hadiah lain. Kendati hanya sebuah sepatu bukan model terbaru, atau sepotong gaun yang belum sekalipun terlihat dikenakan gadis-gadis dalam televisi. Tetapi, kendati terwujud sederhana, dia berikan sebagai simbol cinta seorang terkasih kepada kekasihnya. Aku tahu itulah arti dari cinta; tak terkatakan dalam bahasa manis, tak termapatkan dalam sebuah kado ulang tahun, tidak tergombal dalam satu pelukan asing. Layaknya akan ada lantunan komposisi Mozarth atau Bethoven meretaki desau angin, aku rindu sepasang tangan lembut membopongku menghapus dingin merajam kulit. Akh, segera kubelit lidahku yang hendak mengucap kata terima kasih, kututup keran air mata yang hendak terbuka sendiri, sebab kiraku wanita itu hanya pura-pura. Dan masa lalu menjadi selayang angan-angan.
Kemudian, secepat dia datang demikian wanita itu berlalu setelah menyerahkan bingkisan dari tangan. Seolah memburu kereta, hanya sekali dia berbalik melambai. Lalu tidak lagi. Mataku tak lekang dari punggungnya hingga dia menghilang di balik bangunan besar di depan sana.
Malamnya, pesta. Aku duduk menekuri lantai, hanya telingaku meningkahi setiap senda gurau orang-orang terundang. Betapa tak berarti apa-apa semua ini. Tangan-tangan dengan menggenggam segelas minuman mondar-mandir dalam ruang tamu cukup besar di rumah ini. Di luar desau angin menerpa jendela, mendesir lewat dedaunan. Selepas tengah malam, semua akan berakhir pada satu tarikan napas berat. Orang-orang angkat kaki dengan mencoba tersenyum terbaik. Membahasakan harapan agar aku makin dewasa, makin sukses dan makin lalu makin yang lain lagi. Aku sudah merasa penat, pusing serta kehilangan selera terhadap tradisi omong kosong ini. Sebenarnya aku tidak suka pesta. Tidak butuh berapa banyak orang datang mengucapkan selamat, jemu mengumpulkan kado-kado di pojok kamar dekat lemari hingga tiba saatnya diberikan pada pemulung atau sering aku sengaja menjatuhkannya di jalan pangkalan para pengemis. Tidak suka akan pesta, berarti aku tidak suka diperhatikan orang-orang. Tidak, aku tidak seharus mengatakan sebaliknya: aku tidak suka orang memperhatikanku sehingga aku tidak suka pesta. Apalagi bila banyak dihadiri wanita cantik seperti sekarang.
Saat tengah malam, selesai menjamu tetamu aku duduk setengah berbaring di kamarku. Tatapku lekat pada kado dari wanita asing tadi siang. Aku membayangkan sesuatu yang istimewa di dalam bungkus kado yang meyakinkan tersebut, sebab ada bentuk hati pada jalinan pita. Pahamilah, aku suka diberi bingkisan bagus, mewah dan tidak urakan. Bukan karena perempuan mata duitan aku ini, lebih karena perempuan semata wayang. Kemungkinan pula lantaran terlahir sebagai anak semata wayang, maka jangan sampai aku lempar hadiah itu ke pinggir jalan yang menurutku lebih pantas dipungut pengemis biar dia kesenangan ketiban rezeki.
Sialan, tidak timbul rasa suka pada diriku melihat isinya. Biarlah aku saja yang tahu itu apa. Dikiranya aku anak kecil yang manis sehingga perlu dibekali dengan ini? Atau gadis kemayu, agar dengan ini seorang pemuda bakal bertekuk lutut, menyembah kecantikan? Tetapi aku bertoleransi, sebut saja pengecualian, sebab tidak aku buang untuk si pengemis beruntung. Seandainya bukan karena kedatangan yang mengesani tadi, aku pasti sudah membuang hadiah ulang tahunku itu, minimal setelah beberapa minggu terpajang di atas meja. Namun, sebaliknya setelah melihat isinya dan memutuskan tidak terlalu istimewa dari segi manapun aku membungkus kembali. Dipitai kembali tepat seperti semula dengan jalinan hati pada ujung-ujung pita lalu kusimpan dalam lemari pada belakang timbunan baju terlipat.
Wanita itu hanyalah salah satu perempuan yang datang di hari itu. Hari ulang tahun tanpa seri bahagia pada wajahku. Aku pun jadi terkenang-kenang akan senyum terpaksa milik dia. Andaikan tadi bukan senyum yang ditulus-tuluskan niscaya kelihatan lebih menawan lagi, pasti akan memekari wajah cantiknya. Ahoi, jangan heran bila nanti aku selalu memuji kecantikan serupa milik si wanita. Bukan aku keterlaluan dengan menganggap dia wanita tercantik di bumi lantas mengabaikan wanita lain, tetapi lantaran sepanjang aku bertemu dengan segala wanita dialah orang paling cantik. Jadi, tak apalah hingga akhir cerita ini dan bahkan hingga akhir hidup nanti aku terus membuka mulut soal kecantikan wanita itu.
Di kemudian hari, aku yakin akan takdir. Bahwasanya perempuan itu dan aku terlahir ke dunia dalam satu paket, dan bahwa hari ketika dia datang dengan kado tidak istimewa hanyalah awal kisah yang telah tersemat dalam semesta. Begitu pula, mengapa sampai sekarang aku masih ingat-ingat dia, besok pun pasti aku tetap kenang dia, dan akan terus demikian.
bersambung…
Barangkali Anda tertarik membaca cerita yang lain:
Torsa Sian Tano Rilmafrid*
Gadis Terbungkus Kertas Koran
Istri yang Sempurna
Kecantikan Perempuan: Membawa Berkah atau Musibah?
2 tanggapan untuk “Wanita Itu Bernama Marida #1”