cerita bersambung

Wanita Itu Bernama Marida #7

Cerbung Willy Wonga
 

“Aku suka seorang pemula, Mas, maksudnya orang baru di tempat ini. Lebih menarik karena penuh rasa ingin tahu. Tidak seperti mereka yang hanya mau menenggak alkohol sebelum ber-ihik di tepi-tepi pantai.”

Aku sebenarnya tidak mau membeberkan satu rahasia besar mengenai perempuan itu. Tentang siapa dia sebenarnya. Namun lantaran sekarang aku tengah melecut murka yang besar, biar aku tunaikan saja rasa ingin tahu akan dia. Marida, wanita itu ternyata pelacur. Hmm, betapa aku kasar memberi label padanya. Biar, supaya aku puas dengan menamai kehidupannya seperti itu. Lebih kasar dari pemuja malam atau pengejar rembulan atau penunggu pagi. Suatu hari di masa mendatang, tatkala perang ini berakhir dan masa damai mengalir bagai sungai dari surga, pelacur itu menceritakan sendiri kisah pertemuannya dengan Andre padaku. Penuh haru. Penuh bangga pula.
Begini aku terakan setelah aku kutip kisahnya;
Pada suatu malam terlupakan, sewaktu sepi menggigit dan penat menjalar hingga ke pangkal tubuh, Andre pertama kali jadi lelaki pulang subuh. Sebelum itu dia paling banter pulang larut, dengan alasan pekerjaan kendati aku telah simpan jawab bahwa ada perempuan teman kencannya.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com
Di salah satu tempat hiburan, Andre bertandang. Dia itu lelaki bebas, sebebas ikan berenang di lautan. Tetapi baru pertama kali ini dia berenang ke tempat hiburan paling vulgar. Di mana ada lautan segala macam serak suara. Di mana segala macam jenis ikan seperti dia datang setelah matahari melorot dari langit. Kemudian berenang terbius kemolekan kaum duyung setengah telanjang.
Lantas segelas bir terteguk. Riuh suara bersenggama dengan buih dari bibir-bibir gelas, bersatu menebarkan gairah para penikmat malam. Musik di sana berdecak, dan mengentak dalam irama yang hanya bisa diikuti dengan sedemikian indah para penari berbusana minim. Pada sudut gelap lenguh kadang terlempar begitu saja, melampaui sendawa alkohol dari masing-masing tenggorokan. Malam adalah malam, gelap serta penuh tipu daya. Kendati ada cahaya remang di sana, pun keramaian yang kentara.
Sebelum akhir kekacauan ini, aku tak tahu, selain bebas Andre pun lelaki sepi. Maafkan aku, semula kiraku cuma aku perempuan sepi kau jadi lelaki sepi pula sampai-sampai tega pula di waktu terkini aku benci akan dirimu!
“Mau ditemani, Mas?” sepotong nada bicara manja mendahului sesosok pribadi dengan rambut tergerai. Terkesan lupa disisir atau memang kesengajaan belaka. Kulit itu, dalam remang sekalipun Andre bisa menimbang seberapa lembut dan perlu berapa banyak bedak untuk melaburnya tiap hari. Namun, putihnya bukan lantaran bedak, asli. Tubuhnya matang sebagai wanita dan bukan seorang gadis lagi. Ada aura pesona di sana. Ya, seorang wanita yang menarik. Andre hanya tersenyum samar, membungkus gugup biar tak terlihat. Pantas dia gugup, sebab sebelumnya tak pernah muncul wanita secantik dia. Dan juwita malam melenggak duduk berhadapan, saling menatap sebelum Andre berpaling dengan muka merah.
“Mas sering ke sini? Atau baru pertama kali?” Bibir itu berlepot senyum.
Andre ragu sejenak lalu menggeleng pasti. Dia punya segudang wanita, namun bukan dari tempat begini dia dapat, juga tidak ke sini dia berajak kencan. Jadi ini pertama kali tentu. Tak apalah jadi pemula, toh setiap orang pasti pernah mengalami. Selalu jadi pemula sebelum terbiasa kemudian terbilang ketagihan. Segelas lagi bir tertuang, membasahi bibir Andre yang hitam oleh asap tembakau. Segelas lagi dia tuang untuk makhluk di depannya. Pasti akhir dua puluhan atau paling banter awal tiga puluh. Seorang wanita dewasa.
“Aku suka seorang pemula, Mas, maksudnya orang baru di tempat ini. Lebih menarik karena penuh rasa ingin tahu. Tidak seperti mereka yang hanya mau menenggak alkohol sebelum ber-ihik di tepi-tepi pantai.”
Andre tertegun. Dia cangkungi wajah wanita itu, bibirnya sedikit merah diwarnai, wajah polos tiada bercak. Pun tiada sebekas jerawat.
“Jadi, ini sebenarnya tempat apa?” tanya Andre polos sementara gelas bir ketiga telah memuarakan cairan kuning di lambung. Dia hanya tahu ini tempat minum. Bukan sekaligus wahana ber-ihik seperti kata wanita itu tadi. Di sini dia mirip anak kecil yang tersesat dalam permainan kartu orang dewasa.
“Mas seorang suami? Atau kekasih yang setia? Bila benar demikian, ini bukan tempatnya,” hanya perasaan atau benar kenyataan, suara wanita itu sangat mendayu, merayu barangkali lebih tepat.
Andre jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya perempuan ini, bila bukan seorang perayu, juga bukan penghibur. Apa dulunya dia tersesat pada gemerlap malam di sini hingga dia mau saja menasihati seorang pengunjung macamku? Gelas ketiga pun berlanjut jadi empat, lalu lima, enam…malam itu, untuk kali pertama Andre tidak pulang larut. Dia pulang subuh.
 
bersambung…
 
 
Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida 6

Satu komentar pada “Wanita Itu Bernama Marida #7”

Beri Tanggapan