Cerpen Willybrodus Wonga

Rasanya hantu-hantu berdesing melewatiku; hantu hitler dengan moncong pistol menempel pada pelipisku, hantu bethoven yang mendayukan sonata kesedihan, hantu karl Max menyeringai lebar lebar dengan sepotong pizza yang mencederai cintaku pada tahu isi,hingga hantu Bung Tomo dengan telunjuk seolah mencongkel mataku karena melupakan sejarah bangsa. Belum lagi hantu-hantu lain dengan segala masa lalu mereka yang melekat di bumi, entah urusan apa mereka berputar-putar mengenakan jubah bau bangkai ini. Hantu mereka berkerumun di bawah kakiku, menjepit leherku dengan napas-napas dingin serta wajah penuh belatung, dan Hitler mencemoohku habis-habisan ketika kereta ini menuntunku menemuimu; menuju masa lalu. Pasti Hitler yang pasi itu mengolok-olok karena kejahatanku atau mungkin karena sebentar lagi aku akan memilih mati mengikuti hantu-hantu tersebut. Tetapi aku telah menabung keberanianku untuk hari ini; ketika ribuan hari melebur dalam bilangan tahun demi tahun yang datang dan berlalu kadang berbekas kadang terhapus oleh hujan di tiap musimnya, bahkan ketika kenangan telah terkuras habis oleh keringat yang mengalir deras dari tubuh kuyu yang beranjak sepuh, aku putuskan menemuimu sekali lagi. Bukan sekedar kunjungan dengan gairah-gairah terkekang, tetapi karena aku pernah keceplosan berkata padamu bahwa kutukan memilih jalannya sendiri. Jadi alih-alih mengindahkan hantu-hantu yang berusaha mencegahku aku mengutuk mereka: menyingkirlah kalian, mahkluk tanpa nurani, sejenak ke neraka atau ke surgamu.
Meski harus kuakui dengan semborono bahwa ingatanku pada setiap detil tubuhmu seakan tidak ikut terlebur oleh jutaan menit, aku cukup tegang akan menatapmu untuk sebuah jangka waktu 21 tahun perpisahan kita. Otak setengah mesumku mengandai; barangkali kau akan keluar dari pintu berpelitur halus itu dengan pulasan lipstik merah marun kebangganku, mengenakan celana pendek mencekik paha dan sebuah sweater yang menyembunyikan kutang hitam yang sering kau siram dengan parfum kesayanganmu. Kau akan berdiri di sana, dengan batas tidak jelas antara seringai dan senyummu menyembul dari balik pintu. Akankah aku terpana seperti pandangan kesekian kali kala kita bertemu di tengah keramaian kampus, dengan menawarkan senyum profesionalmu tetapi selalu aku bilang senyummu lebih menarik kala kau kelelahan di samping ketiakku? Yang pasti akan aku katakan padamu, dengan setengah linglung, dengan setengah pucat bahwa kendati kita adalah sesama pemuja globalisasi yang memarkir norma susila dalam garasi kultur kita yang masih purbawi, lalu memilih bersuka cita oleh cara kehidupan asing yang menyusup lewat burger dan mac donalds dan kini kau punya kehidupan normalmu yang mungkin antah berantah aku ingin bertemu sekali lagi.
Langit tempat rumahmu tumbuh kini meludahkan hujan. Jogjakarta basah. Kereta tetap melaju mendekati stasiun.
Jangan kecewakanku, sebab bukankah kemarin siang kau menjawab teleponku lalu dengan riang kau nyatakan ada waktu bagi seorang sahabat lama? Jantung sialan ini masih juga menabuh genderang mendengar suaramu, meneteskan keringat yang menari-nari keluar dari pori tubuhku dan folikel rambutku yang mulai kendur. Berbohonglah pada suamimu, atau kepada siapa lelaki yang kini sering meminjam ragamu untuk sebuah kenikmatan yang dulu milik kita berdua. Jangan pula kau sertakan anakmu, bayimu mungkin, sebab itu akan mengingatkan akan berbagai hal lain, dosa-dosa tak termaafkan kita.
Hai,,,Petra! Puput! Marsha! Bela!!!!
Sapaan apalagi selain keempat nama yang cenderung, dan ini sesuai persetujuanmu, kunamaimu sesuai suasana hatiku? Kau hanyalah Petra yang biasa-biasa saja di pagi hari, yang mengolesi mukamu dengan make up lalu mengubahnya jadi topeng kecantikan, kemudian berubah jadi puput yang menawan pada makan siang, yang kadang menolak masakan pribumimu dan merasa lebih cocok menipu lidahmu dengan masakan ala jepang atau ala perancis. Aku kagum dengan caramu beradaptasi secara global. Dengan rambut kadang dikelabang dengan pita kau disapa Bela oleh teman-temanmu namun dalam hangat gesekan kulit kita kau berubah jadi Marsha yang penuh gairah. Dulu kadang aku membiarkan mulutku mendesahkan kata seperti; sayang! Atau my baby! Atau honeyku! Namun kata-kata itu terasa gombal dan tidak sepadan dengan dirimu. Pernah sekali, karena perasaan yang melimpah pada setiap lekak tubuhmu aku nyaris memanggilmu dengan kata; Malena, yang pada akhirnya Aku mengutuki diri sebab telah memikirkanmu sebagai maria magdalena, nama si pelacur itu. Oh, maafkan aku sebab aku telah memanggilmu dengan banyak nama dan membuatmu terkesan sedikit murahan, meski bersama teman-temanmu, harus kuakui, kau lebih sering memajang dirimu di mal-mal dan tempat-tempat hiburan.
Aku melangkah keluar stasiun dalam dedas angin. Jogjakarta, kota pelajar, mahasiswa berserakan dan aku makin mengingat masa kuliahmu.
“Sederhana. Kamu royal dan aku membutuhkan uang saku yang lebih demi pendidikanku yang mahal.” Kau menerawang saat menjawab tanyaku mengapa kau menodai kegadisanmu denganku.
Lalu akankah kau masih tersenyum manis, yang tentunya terlalu palsu dalam gaya genitmu, saat mendengarkan salah satu nama di atas tercetus dari bibir berkumis yang pernah melekat di atas bibirmu? Atau malah kamu melengos pergi untuk sebuah masa lalu kita yang benderang oleh kasmaran serta sebuah cinta terpasung?
Ah, Petra! Seandainya aku memiliki sedikit nyali untuk menciptakan Tuhan yang benar-benar baru, dimana kepadanya aku akan bersembah dan berterima kasih karena telah menciptakanmu, aku yakin akan melupakan norma agama yang ada dalam kultur kita ini dan berpaling dari istriku kepada tawaran dadamu yang membuncah. Tetapi, sekalipun menjadi anggota laskar westernisasi yang membutuhkan seks seolah seorang istri tidaklah mencukupi dan pernikahan tidaklah terlalu suci untuk setia serta yakin jiwaku akan masuk neraka, aku masih saja takut membenarkan hubungan kita kepada orang kebanyakan. Namun karena pengertian luarbiasamu untuk suami kesepian macamku, Aku semakin mencintai, bahkan berharap aku mati sambil mencium telapak kakimu.
Aku yakin sudah lebih dari sekali membuka-buka kenangan lama kita yang masih terasa semanis es jeruk di lapak Bu Wati pada siang-siang musim panas kita. Aku akan membayangkan dengan sedikit kehilangan bagaimana rupamu bila disengat panas, dengan butir-butir keringat hinggap di dahi, hingga wangi minyak wangimu meruap melalui udara yang kering. Menyangkut bau tubuhmu Puput; Aku pernah membelikan parfum mahal pada hari natalmu, kemudian berbulan-bulan kemudian kamu mengirim pesan bahwa parfum itu cocok buatmu sehingga uang bulanan selalu kusisipkan beberapa lembar sampai botol-botol serupa parfum pertama berjejer di atas lemarimu. Musim panas kita, setelah kuingat kembali, seolah-olah matahari berhenti berputar di atas kamarku atau kamarmu. Biar aku katakan kepada orang-orang mengenai gairah liar kita. Entah siang entah malam, oleh gelenyar desah dan tabuhan jantung yang seakan diremas kenikmatan cinta liar, kita selalu berakhir dengan bersimbah peluh. Dengan napas memburu. Bahkan di tengah malam sekalipun, ketika seluruh jagat seakan larut dalam penat kita malah masih saling menjamah. Kala tiap orang dibius mimpi dan telinga mereka berhenti dari kebisingan, telinga kita masih saja jangak menelan bisikan demi bisikan yang selalu terulang keesokan hari.
Petra, Bidadari liarku, cinta sesatku: pasti kau telah sangat merindukan jakarta. Ketika hujan tiba-tiba mengurungmu di kamar kosku, kau akan selalu jadi gadis beliaku sayang. Kendati dua puluh satu tahun membenamkan rahasia-rahasia tak terbongkar kita, aku akan selalu dibayangi mimpi tentangmu.
Biarkan aku melantur, Bella, karena aku tahu bahasaku akan mewakili semua ekspresi kejahatan seorang suami kepada istrinya. Sekalipun berhasil mendapatkan logika untuk diriku bahwa aku hanya ingin sebuah hubungan tanpa ikatan dan sebuah makan malam yang tenang, aku masih saja meragukan akal sehat kita berdua. Kau adalah mahasiswa keperawatan yang bisa saja memiliki kekasih normal dengan segenggam iming-iming tentang masa depan sementara aku adalah pria dua puluh tujuh tahun yang baru tiga tahun menikah namun memilih menghindari istriku yang serewel anak tujuh tahun. Pertemuan sehari kita di plaza yang mengawali tiap derap gairah tentu kau masih kenang. Aku memang memiliki setidaknya beberapa alasan yang menurutku cukup wajar membuatku menemuimu, begitupun kau pasti memiliki kesenangan tersendiri dari hubungan kurang ajar kita. Kau bisa memiliki motor sendiri, bukan dari hasil keringatmu tetapi oleh karena belas kasihku atas pemberianmu yang tiada batas. Namun, sekuat apapun aku menghindari rasa bersalah, sekuat itu pula rasa bersalah menggerogoti jiwaku.
Akhirnya, kamu berbicara tentang anak;
“Ceritakan mengenai anak pertamamu,” demikian kau bertanya pada sebuah makan malam yang sudah tidak kuingat. Aku mendelik, bagimu pasti kelihatan sangat genit untuk ukuran seorang lelaki, membuatmu tertawa renyah. Aku sahut;
“Menginginkan seorang anak adalah naluri seorang suami yang baik.” Aku cukup filosofis, pujimu selanjutnya. Kini, setelah dua puluh satu tahun wanita cerewet teman pelaminanku tersebut belum juga menetaskan sebuah janin sekalipun, Marsha. Dari cerita-cerita kita tentang berbagai hal, kau memberitahu bahwa kau pecinta makhluk-mahkluk kecil yang lucu itu. Mimpi-mimpi besarmu tentang masa depan selalu berhiaskan bayi-bayi mungil, bukankah begitu bela? Kau pun membingkiskan senyum buat bayi-bayi impianmu. Duhai Petra-ku, seharusnya aku tidak merusak mimpi-mimpi muliamu. Sebab sebelum aku berhasil meyakinkanmu kalau kau akan jadi seorang ibu yang baik kelak, rahimmu telah menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Seketika fantasi indahmu musnah dalam simbahan tangis pertama di kamar kosku. Aku turut diurung ketakutan serupamu, sayang, takut karena tiba-tiba mahkluk malang itu berkunjung ke dalam perutmu. Kita hanya bisa saling bertanya; kapan, malam keberapa, siang yang mana, saat kesiagaan kita dilebur gelombang nafsu-nafsu purba sehingga kita begitu teledor membiarkan pertemuan dua cairan tubuh kita melakukan pembuahan? Kau menangis sekali lagi dengan bisikan kecemasan yang luar biasa gundah. Tetapi, sekali lagi kukatakan sangat beruntunglah diriku memilikimu oleh karena loyalitasmu. Tidak macam gadis cengeng dengan seratus alasan untuk memerasku, kau lebih memilih pasrah. Katamu, seperti kutukan, hidup juga memilih jalannya sendiri. Di sanalah dirimu. Kau menolak menggugurkan jabang bayi kita. Bagian kecil dari fantasimu tentang bayi-bayi mungil di hari yang lain, menyisakan rongga di hatimu yang terluka. Meski dengan tangis, kau relakan makananmu turut menutrisi si penyusup kecil itu. Kau biarkan tanganmu mengelus-elus dirinya dari balik kulit pucatmu. Aku sangat tertekan melihat cinta tanpa pamrihmu.
Namun, bagaikan tersengat arus listrik atau kalajengking bunting aku menjerit di suatu senja setelah beberapa hari kelahiran putri kita. Kau mengiba-iba. Terucap serentetan kalimat memelas dari mulutmu bahwa karena beban moral, karena kau masih kuliah, dan karena hubungan terlarang kau telah bungkus bayi terkasihmu dalam sebuah kertas koran berlapis, dalam sebuah kardus bertuliskan indomie, kau letakan dia di depan toko swalayan yang sepi pada subuh yang dingin. Oh, itulah awal dari akhir kita.
Sudahlah, aku tak mau berlama-lama mengusik harta-harta kenangan sementara ini, meskipun aku berhak berlarut-larut, sebab langkahku telah mencapai pintu beralamatkan sesuai pemberianmu. Aku di depan pintu rumahmu, sayang.
Bukalah pintu itu, segera!!
*****
Aku mulai saja karena sudah hampir sejam kita berpelukan, hanya berpelukan seolah kata-kata kerinduan menjalar lewat kehangatan suhu kita. Kau hanya perlu mendengarkan, aku akan mengisahkan dia selama kita masih berpelukan dan terima kasih kau masih menggunakan merk parfum ini.
Seperti pribadimu; kekasih baruku punya banyak nama. Benar-benar kebiasaan tak patut ditiru dariku menamai sesuka hati. Mungkin aku mencontohi indutri musik kita yang memberi peluang tiap orang boleh bebas meniru gaya, penampilan, yang belaka milik orang sehingga musik zaman sekarang begitu trendy, sehingga aku merasa akan lebih terkesan bila kunamai kekasihku dengan nama-nama terkini. Dia adalah paula dengan gaun kuliahnya di pagi hari. Dia adalah Tasya dalam sebuatan ibu kosnya tiap kali aku mampir menanyakan dia. Dalam kartu mahasiswanya dia adalah paula anastasya. Namun dalam pelukanku, dia kunamai karlita. Sungguh aku punya maksud menamai dia seperti itu, sekedar menghidupkan sensasi lama kita bila kulit kita bergesekan di atas kasurku yang empuk dan yang selalu kau senangi.
Bella, izinkanku menceritakan tentang setan menggairahkan itu. Inilah tujuanku menemuimu; mencaritahu tentang dia.
Aku mula-mula bertemu paula pada suatu malam di sebuah tempat hiburan, dosaku terkasih, dan aku mendapati diriku tidak mengeluhkan kebiasaan anak muda yang menghabiskan uang kuliah seperti ini. Aku malah terus memandanginya hingga ia jengah, sebab dalam balutan gaun seronok, sumpah kupikir dia adalah dirimu. Aku sampai gila mengira Tasya adalah titisanmu. Sampai pada batas kewarasanku yang berpikir dia adalah dirimu yang tidak akan pernah menua, aku pun berhasil menutup “fase”-mu dengan sosoknya. Lalu, tak malu-malu lagi kami pun jatuh cinta. Oh, Marsha; makan malam bersama kita di waktu-waktu yang telah menumpuk dalam sejarah sungguh menenangkanku dari segala omong kosong di meja kerja. Dan demikian kami sekarang, sayangku. Paula sangat manusiawi dengan menolak pikiran pelajarnya bahwa aku hanyalah si tua beruban yang mengincar paha mulus gadis dua puluhan. Sejauh ini, aku yakin dia tidak pernah menuntut terlalu banyak. Tidak memanfaatkan dompetku yang tebal. Mengapa ada kemiripan hampir mutlak macam ini antara kalian, Bela?
Petualangan kecil kami, membujukku menyewa kamar kos di sekitar kampusnya. Aku menginap di sana selalu dua hari dalam seminggu yang menyedihkan karena perselingkuhanku, dan tahukah kamu bahwa istriku sama sekali menelan kebohonganku seperti menelan pil-pil yang membantunya tertidur lebih awal? Lembur di kantor. Minum bersama teman. Membahas peluang investasi, dan sebagainya. Dan sebagainya. Istriku percaya begitu saja selama cinta adalah uang dan uang adalah kebahagiaan rumah tangga kami.
Aku adalah kuda, Marsha. Maksudku bertenaga kuda. Dengan mengantongi angka usia menjelang lima puluh tahun, api sulbiku masih memanas memandangi paha mulusnya. Paula sangat wangi saat pertama kali segala pertanyaannya tentang rahasia apa di balik kulitnya yang sesegar jambu air menemui jawaban melalui lenguhanku. Gelenyar asmara berpendar hingga ke langit. Sayangnya, tidak sepertimu yang tabah, dia menitikkan air mata. Entahlah. Namun kau harus pandai menduga bahwa keesokan harinya dia mengirimi pesan singkat tentang kalimat-kalimat rindunya. Hmm, bagaikan kembang krisan mekar di sela-sela pagi.
Puput sayang, Jakarta selalu cocok buatku. Dimana macet menawarkan asusila kami di dalam mobilku yang merayap. Peluh bersimbah di balik baju kuliahnya, lutut kami bergetar takut ketahuan di negara hukum kita ini. Namun ketika mobil melaju lagi dalam kecepatan standarku, kami pun akan saling menertawakan lagi. Kegilaan yang manis dan bertabur bintang-bintang.
Petraku terkasih,,singkat cerita dia adalah dirimu. Semacam titisan yang mendebarkan. Aku menyerah berbulan-bulan ini untuk mengabaikan kemiripan kalian. Dan sebelum kisahku berakhir, benar-benar tuntas dalam satu letusan kembang api tahun baru itu aku ingin bertanya padamu. Pertanyaan antara kita berdua. Kau mesti mengetahui keberanian amat besar dalam diriku bahkan mengabaikan sekerumunan hantu-hantu yang tengah mengejekku untuk bertemu wajah masa lalumu, jadi bersikaplah terbuka padaku sayang.
“Apakah, bayiku, bayi kita…oh, betapa memalukan aku mengakui sebagai ayah mahkluk tak bersalah itu, memiliki setitik penanda di pipinya? Tepat di pipinya seperti milikku ini? Sebintik hitam yang katamu tahi lalat? Benarkah, bela?..jawablah!”
Aku juga selalu berprasangka, bahwa karena setelah kelahirannya aku tidak pernah sekali jua berani menatapnya, menggendong, menciuminya, Tuhan berhenti memberiku seorang bocah kecil pada rahim istri sahku. Ini pula yang membuatku tidak pernah tahu seperti apa rupa anak kita, sayang. Mungkin itu bagian dari kutukan-kutukanku.
Oh Marsha, tataplah aku. Biarkan matamu menyampaikan kebenaran. Kau berpaling, matamu meredup, padahal sesungguhnya aku mimpikan melihat cahaya dalam biasan korneamu yang sehitam malam. Karena redup memiliki arti mengerikan seumpama rasa bersalahmu. Aku terpaku ketika kamu mengangguk.
Aku teringat pernah berdoa kepada Tuhan yang mungkin telah meludahi perbuatan nekadku, memohon agar apapun kesamaan fisik antara kau dan dia, paula bukanlah hasil rahimmu. Malahan aku masih tekun bersujud setelah dengan gamblang pada suatu malam Tasya mengatakan bahwa dia adalah anak pungut, benar-benar anak pungut. Dengan bersungguh-sungguh, aku berdoa agar bayi yang kau bungkus dengan kertas koran dan ditinggalkan di dekat toko pada subuh yang dingin itu tidak pernah tumbuh sebagai remaja yang memabukanku. Kau tahu berapa usianya kini? 22 tahun, Bella. Bukankah 22 tahun yang lalu seorang bayi perempuan pernah dibiarkan digeluti gigil sendirian, hingga barangkali Tuhan mengirimkan seorang malaikatnya, mungkin seorang penjaga toko atau seorang pengemis jalanan atau seorang pengendara motor memungutnya. Aku mau mati saja karena berharap paula bukan bayimu, Petra tersayang…
Namun, aku ingat akan kalimatku. Kutukan memilih jalannya sendiri. Barangkali, di usia hendak menuju senjaku, dengan uban di sana-sini sementara kebejatanku belum berakhir juga, Tuhan telah mengutukku dengan membuat kutukan paling mengerikan ini. Dan hantu si Lincoln tersenyum bijak. Aku berbisik-bisik di sampingmu oleh ketakutan akan dosa tak termaaf; apakah aku masih layak hidup di pagi besok sementara wujud manusiaku seharusnya telah berubah jadi seekor anjing karena telah meniduri putrinya sendiri?? Hantu-hantu itu mengerubungikui bagai belatung, dari mulut Hitler terdengar bisikan sesak, “bergabunglah bersama kami, besok!”
Sementara hantu Max menyodorkan sisa pizza-nya.
trims untuk menampilkan cerpen saya
SukaSuka
terima kasih kembali..
SukaSuka