Arsip Tag: sosok

Rambut Merah Maria

Cerpen Octaviana Dina

perempuan-berambut-merah
foto dari shutterstock

Tak sampai satu menit seusai pemaparan mengenai rencananya seputar proyek baru, Winardi segera menyergapnya dengan kontra opini yang tajam. Ia menyuarakan ketidaksetujuannya. Hm, perang dimulai, pikirku. Seperti biasanya, perempuan itu tak berkata sepatahpun dan menyimak dengan seksama  sampai Winardi selesai bicara. Lantas, dia mementahkan opini lelaki itu dengan argumennya yang dinyatakan dalam kalimat-kalimat jelas, lugas dengan dalil-dalil logis yang sulit dibantah. Ia menyampaikan sanggahannya pada Winardi dengan suara mantap dan penuh keyakinan.

Akan tetapi, bukan Winardi namanya jika cepat menyerah. Lelaki itu kembali menyerangnya. Dan perempuan itu dengan percaya diri mematahkan serangan Winardi. Begitulah, kedua orang itu laksana sepasang kutub negatif dan positif. Sama-sama kuat, tapi senantiasa berlawanan. Harus kuakui, aku sangat menikmati pertarungan pendapat di antara keduanya. Pertarungan itu menunjukkan kemampuan dan keahlian yang mereka miliki. Mereka telah membuatku kagum. Terlebih lagi perempuan yang satu itu. Lugas, brilian, berani, dan -tentu saja- keras kepala.

Namanya Maria. Setelah mengenalnya beberapa lama, aku berpendapat nama itu tak cocok untuknya. Aku tak tahu kenapa, namun setiap kali mendengar nama Maria aku selalu membayangkan sosok seseorang yang benar-benar berbeda dengan dirinya. Sosok perempuan yang pendiam dan tenang. Barangkali aku terlalu berlebihan dalam hal ini. Namun itulah yang selalu muncul dalam benakku setiap kali aku mendengar nama Maria.

***

            Aku ingat, pada suatu hari – saat itu aku berusia lima tahun- aku dibawa ibuku pergi. Kami naik becak dan kemudian tiba di depan sebuah rumah mungil bercat putih. “Ayo, sayang, kasih salam sama Tante Maria,” ujar ibuku. Kuulurkan tanganku pada seorang perempuan dengan rambut hitam panjang tergerai tengah tersenyum padaku. Matanya menatapku dengan hangat dan ramah. “Halo, sayang,” katanya. Tangannya mengelus kepalaku. Aku masih ingat caranya bertutur: manis dan lembut. Pada saat itu juga aku merasa nyaman berada di dekatnya. Itu pertama kalinya aku mendengar nama Maria, dan Tante Maria adalah sosok Maria pertama yang kukenal.

Aku bertemu sosok Maria yang kedua beberapa tahun kemudian saat bersekolah di sekolah dasar. Suatu hari, aku mengikuti teman sekelasku  menyelinap masuk ke sebuah sekolah Katolik yang terletak tak jauh dari sekolah kami.  Sekolah itu cukup besar, dengan beberapa gedung untuk TK, SD dan SMP.

Semula aku takut untuk masuk. Aku takut penjaga sekolah itu menangkap basah kami yang tanpa ijin menyelinap ke dalam.

“Ayo, ikuti saja aku. Tidak apa-apa,” kata temanku menenangkanku. “Sekolah ini punya tempat rahasia. Akan kutunjukkan padamu,” lanjutnya lagi ketika kami tiba di sebuah taman sunyi yang terdapat di belakang sekolah. Aku mengikutinya menuju sebuah tempat serupa gua kecil yang tersembunyi di balik pohon besar. Di dalamnya aku mendapati sebuah patung berukuran besar. Patung seorang perempuan berkerudung terbalut gaun panjang berwarna putih berlapis jubah biru.  Kedua tangannya terbuka dan terulur ke depan seolah ia tengah menyambut hangat kedatangan kami. Ketika pandanganku sampai pada matanya, aku merasa ia sedang menatapku dengan sorot mata menyejukkan. Aku merasa ia tesenyum padaku. Meski tempat itu sunyi dan sedikit gelap, namun hatiku dirambati perasaan nyaman.

“Siapa dia ini?” aku bertanya pada temanku.

“Dia Bunda Maria. Kata orang, dia adalah ibunya Yesus Kristus,” jawab temanku. Sambil terus memperhatikan patung itu, aku melihat rambut hitam di bagian atas dahinya  menyembul sedikit dari balik kerudungnya.

Kemudian, ketika duduk di kelas dua SMP aku mempunyai teman sekelas bernama Maria. Mungkin lantaran kami selalu duduk berjauhan, aku jarang sekali bercakap-cakap dengannya. Meski begitu, aku masih bisa mengingatnya sebagai seorang gadis pendiam yang santun dengan rambut hitam panjang. Sangat pintar, tapi juga amat rendah hati.

Lalu, saat aku duduk di kelas tiga SMA, lagi-lagi seorang bernama Maria masuk dalam kehidupanku. Ia adalah guru Bahasa Inggrisku. Ia selalu berpakaian serasi dan rapi, serta senantiasa mengikat rambut hitamnya dan membentuknya  menjadi sanggul kecil. Aku yakin, rambutnya pasti panjang. Klasik, begitu kesanku padanya. Pembawaan Bu Maria selalu tenang, tanpa banyak riak emosi. Aku tak pernah melihatnya tertawa; hanya senyum yang menyejukkan yang kerap terbit di wajahnya. Kudengar usianya sudah mencapai empatpuluhan saat itu, namun ia terlihat jauh lebih muda.

“Ibu Maria itu perawan tua yang cantik,” bisik salah seorang teman sekelasku suatu ketika. Walaupun aku punya reputasi jelek sebagai pembuat onar di sekolah, aku tak pernah berani menjahili Bu Maria seperti  halnya yang sering aku lakukan pada guru-guru lainnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku menaruh hormat. Tak peduli bagaimanapun buruknya tingkah laku murid-muridnya dalam kelas, Bu Maria tak pernah menaikkan nada suaranya. Ia tampak super sabar, hingga aku bertanya-tanya sendiri apakah ia pernah benar-benar marah dalam hidupnya.

“Ia tak punya emosi. Aku berani bertaruh ia tak pernah jatuh cinta. Mungkin itu sebabnya kenapa sampai sekarang ia belum juga menikah. Tahu nggak, umurnya sudah empatpuluh tahun lho,” ujar teman sekelasku. Aku amat bersimpati pada Bu Maria. Bagiku, ia adalah guru yang benar-benar baik dan cakap.

***

“Hei, ada apa dengan rambutmu?” tanyaku pada Maria suatu hari.

“Memangnya ada apa dengan rambutku?” ia balik bertanya.

“Itu lho, banyak sekali uban bermunculan. Kok dibiarkan saja?” ucapku.

So? Lantas kenapa?” lagi-lagi ia balik bertanya.

“Kau kan perempuan, seharusnya kau memperhatikan rambutmu. Kau kan bukan nenek-nenek berumur tujuhpuluh. Rambutmu seharusnya tidak boleh terlihat seperti itu,” ujarku terus terang.

“Kenapa tidak boleh? Kalau aku suka begini, kau mau apa?” balasnya sambil mengangkat dagu dan menaikkan alis matanya. Jelas ia menantangku.

“Kuberitahu ya, ini memang sudah keturunan. Rambut mendiang nenekku mulai beruban saat beliau masih muda. Ibuku juga begitu. Ubannya mulai muncul pada usia tigapuluh,” lanjut Maria.

“Ya, tapi akan lebih baik kalau kau cat saja rambutmu itu,” jawabku.

“Kenapa sih kau jadi rewel soal rambut ubanku? Ini kan kepalaku, bukan kepalamu. Lagipula, ini cuma rambut. Bagiku, yang terpenting adalah apa yang berada di bawah rambut di kepalaku ini. Otak. Otakku,” tukasnya dengan kukuh. Perempuan ini memang benar-benar keras kepala.

“Kamu ini terobsesi dengan rambut perempuan ya? Hmmm, dasar laki-laki. Jangan-jangan, sepanjang hidupmu selama ini kau selalu dikelilingi perempuan-perempuan berambut hitam panjang. Aku rasa, aku tahu seperti apa perempuan idamanmu. Shampoo girl, gadis shampoo! Gadis dengan rambut panjang hitam berkilat-kilat, iya kan?” sambungnya tajam. Sepasang bibirnya lalu mengukir senyum lebar.

“Sudahlah, Maria,” kataku. Kurasakan wajahku memerah.

“Kau pasti cukup sengsara bekerja di tempat ini. Tak ada perempuan berambut hitam nan panjang di sekitar sini,” ledeknya terus menyudutkanku.

“Oke, cukup. Cukup, Maria. Kau menang. Kau memenangkan pertempuran, seperti biasanya,” sahutku. Aku segera bangkit dari kursiku. Lebih baik aku cepat-cepat menyingkir dari hadapannya.

“Katakan, kenapa sih kamu jadi rewel soal rambutku? Kau tidak sedang jatuh cinta padaku kan? Atau, jangan-jangan, memang iya? C’mmon, honey, tell me, are you falling in love with me?” kejar Maria  lagi. Oh, my God, dia ini benar-benar… ah! gumamku dalam hati. Lantas, sebelum aku menjawabnya (aku tak yakin aku mampu menjawabnya), ia tertawa terkikik-kikik. Aku tak kuasa lagi membuka mulutku. Segera kutinggalkan ruangan itu dengan wajah semerah bunga anyelir.

Semenjak hari yang memalukan itu, aku tak pernah lagi menyinggung soal rambut. Lebih dari itu, aku bahkan tak bisa mencegah wajahku memerah tiapkali Maria menatap langsung ke mataku. Sepertinya perempuan itu bisa membaca apa yang kusimpan rapat dalam hatiku. Dan, ia tetap membiarkan uban menyeruak dari sela-sela rambut hitamnya.

Hingga beberapa minggu kemudian. Pada suatu pagi Maria datang ke kantor dengan penampilan yang sangat berbeda.  Rambutnya. Ia mengecat rambutnya dengan warna merah tua kecokelat-cokelatan yang kemilau. Semua orang dibuatnya terpana , termasuk aku.

“Wow, kau tampak cantik dengan rambut seperti itu, Maria. You undeniably look great!” ujar Winardi. Meski Winardi kerap bersikap berseberangan dengannya, namun ia seorang lelaki yang jujur dan fair. Aku percaya kata-kata Winardi itu benar dan jujur karena, sama seperti dirinya, aku pun berpendapat Maria begitu cantik dengan rambut berwarna demikian. Warna merah kecokelatan tersebut amat cocok untuk wajahnya dan juga untuk kepribadiannya yang terbuka dan kuat.

“Terimakasih ya,” jawab Maria seraya tersenyum senang. Aku berpura-pura tak melihatnya dan berusaha menyibukkan diri dengan tumpukan kertas kerja saat ia akan melewati ruanganku.

“Hai!” Tiba-tiba Maria sudah berdiri di depanku. “Sibuk nih?” celetuknya.

“Yah, begitulah seperti yang kau lihat,” jawabku. Kurasakan wajahku kembali memerah ketika ia mendekatiku.

“Nah, bagaimana pendapatmu soal warna rambutku ini? Kau pasti suka, iya kan?” Jantungku berdetak kencang. Memang benar, namun aku tak ingin perempuan itu mengetahui perasaanku yang sebenarnya.

“Sejujurnya, kurasa warnanya tak cocok untukmu,” kataku berbohong.

“Aku tahu, kau lebih suka hitam.”

“Bukan begitu maksudku, Maria…”

“Ssst, dengar, lebih baik kamu berhati-hati…,” tukasnya dengan matanya berbinar.

“Kenapa?”

“Hati-hatilah kau. Kau bisa benar-benar jatuh cinta padaku. You could be, you know, truly..madly..deeply..fall in love with me,” ucapnya dengan suara sedikit berbisik. Ia tersenyum saat mengatakannya. Maria mengedipkan mata kanannya padaku, lantas segera berlalu.

Aku membeku di kursiku. Kurasakan tubuhku gemetar. Mulutku terkunci. Astaga, berani-beraninya dia mengucapkan hal itu! Bagaimana kau bisa berkata seperti itu, Maria? Apa yang kau tahu soal perasaanku padamu? Tapi… tapi… tapi harus kuakui kalau kau memang benar, Maria. Kau benar sekali. Aku sangat mengagumimu. Aku memang telah jatuh cinta padamu! seruku lantang. Hanya dalam hati.

***

Octaviana Dina, adalah penulis sekaligus penerjemah. Sejumlah cerpen dan essainya dimuat di beberapa media cetak dan online. Ia juga menjadi peneliti untuk Yayasan Yap Thiam Hien –lembaga nirlaba yang berfokus pada isu hak asasi manusia.

Wanita Itu Bernama Marida #10

Cerbung Willy Wonga

Perang sepihakku. Hingga akhirnya wanita itu menyerah. Saat itu sudah tahun ke tujuh. Ketika aku mulai menemukan sosok pengganti Andre dalam diri Leo.

Tahun ketiga, wanita itu melakukan tubektomi. Dia terbaring di kamarnya selama seminggu setelahnya. Teman-teman Andre datang dan pergi. Lebih banyak dari mereka memberi simpati agar Andre tabah dan menerima keputusan mulia istrinya. Aku hanya masuk ke sana ketika dibutuhkan, ketika Andre tenggelam dalam alunan musik piano dan lupa mengantar makanan masakan Bi Imah pada Marida. Dia tersenyum dalam baringnya. Menanyakan apakah Aku tidak apa-apa selama seminggu ini sebab dia tidak mengantar ke sekolah. Aku bilang tidak apa-apa. Tidak bernada ketus, sedikit bertoleransi dengan keadaannya.

“Mengapa kamu melakukan ini?”  aku bertanya, dia memaksa diri tersenyum. Juga terkesan ditulus-tuluskan. Bagi Marida ini pertanyaan yang sama yang keluar dari mulut Andre. Pada Andre dia menjelaskan begini; betapa dia ingin hanya dengan mencintai Aleksa seorang, untuk membuktikan dia bisa menjadi istri Andre dan ibu tirinya, betapa rasa memiliki anak sendiri sudah tidak terlalu penting dibandingkan mengabdikan diri untuk cinta tak terbalasnya. Secara tersirat dia lebih memilih berkorban untukku ketimbang Andre, dan waktu itu Andre kecewa pada Marida. Terlebih Marida berniat melakukannya bukan untuk sementara.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com

“Sakit?” mungkin suaraku terdengar berpura-pura, tetapi membuat Marida menggeleng lemah dan tersenyum lagi.

Tetapi hari-hari tetap berjalan dengan apa yang telah ada sebelum ini. Perang sepihakku. Hingga akhirnya wanita itu menyerah. Saat itu sudah tahun ke tujuh. Ketika aku mulai menemukan sosok pengganti Andre dalam diri Leo. Mungkin akhirnya jiwa-raganya telah terkorosi dengan intimidasiku yang tak kunjung habis.

Di matanya ada sembab. Sementara dadanya yang busung menyimpan sebak tertahan. Tiba-tiba dia merindukan seorang bayi lain untuk menghapus penatnya mengabdikan diri buatku. Aku dengar dia berkata begitu. Dia terdengar menyesali keputusannya melakukan tubektomi, dan meracau bahwa aku tak mungkin tersembuhkan dari perasaan benci.

Diam-diam aku perhatikan momen-momen kemenangan ini, tatkala aku berhasil mengambil kembali poin juara serta mengembalikan rasa sakit padanya. Andre duduk di samping, membungkus bahu si wanita dengan sebelah tangan, di bawah langit malam berbintang cukup banyak. Kata-kata penghiburan membanjir dari mulut Andre, bercampur bujuk rayu yang mendamba. Semuanya agar wanita itu tidak menyerahkan kemenangan. Demikian maksud Andre. Dari sikap dan polah, tergambar kalau dia ingin Marida tetap kokoh menghadapiku.

“Aku tahu, memang berat bagimu..” demikian kalimat penghiburan itu terucap.

“Kamu sebenarnya tahu dari awal bahwa aku akan menyerah, bukan?”

“Shh, dia memang keras kepala, sayang. Namun hanya hati orang sepertimu yang mampu mengembalikan kepercayaan Aleks,”

“Lalu aku harus bagaimana? Aku takut, Andre. Takut mengecawakanmu, juga takut menyakiti Aleksa lebih dalam lagi.”

“Itu tidak benar. Aku yakin kau dan dia hanya butuh waktu. Aku tahu kamu mulai menyayangi dia, atau hanya perasaanku sajakah itu?” tanya Andre hati-hati. Takut meremukkan makhluk berlinang air mata dipelukannya.

“Kamu benar…” Marida sesenggukan, air mata makin deras mengguyur dari dua sumber yang telah banyak terkuras.

“Aku janji kita akan menghadapi ini bersama-sama. Aku tidak akan membiarkan kamu sendirian.”

“Ya, maafkan aku, Andre. Karena aku, dia kini turut memusuhimu. Seharusnya hanya aku seorang.”

“Tidak Marida. Aleksa telah memusuhiku sejak sebelum kedatanganmu. Ketika aku kehilangan jati diriku sendiri dan sering pergi meninggalkan dia.” Ucap Andre kacau. Terlihat kilau di mata pria itu. Aku tak yakin Andre bisa menangis.

“Semua lantaran dia butuh figur seorang seperti Yohana. Pasti dia sangat mencintai kalian berdua. Makanya dia tidak ingin kehilangan orang tercintanya lagi.”

“Jangan menyerah Sayang.” Tetapi wanita itu menggeleng layu.

Selain sembab, di mata Marida ada penat terjuntai. Sisa-sisa semangat telah terkuras selama tujuh tahun hidup bersama. Dia menyerah tanpa syarat dan hari-hari kemenanganku bakal datang setelah fajar menyingsing nanti. Namun, ternyata fajar baru benar-benar menyingsing setelah sepuluh tahun kedatangan wanita itu.

 

bersambung…

Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #9

Kinanti

Cerpen Uzairul Anam
malaikat maut
gambar diunduh dari mediaphotobucketdotcom
ALIEN muncul lagi. Aneh. Terlalu sering menampakkan diri tiba-tiba, tanpa bisa diduga. Masih mending bila muncul dengan salam sapaan. Selalu, orang itu datang mengagetkan. Pantas, Kinanti menyebutnya Alien.
“Aku Abdi,” jawab Alien, saat Kinanti bertanya nama.
Katanya ia datang dari seberang. Tak jelas seberang mana. Katanya ia memang sengaja ditugaskan menemui Kinanti. Tapi yang terlintas di pikiran Kinanti, Abdi tak lebih dari sekadar lelaki hidung belang yang gemar merayu. Selama ini Kinanti beranggapan, lelaki mana yang tak ngilu saat melihat bempernya melenggak-lenggok. Lelaki mana yang tak kepincut melihat gincu merah pekat di sepotong bibirnya. Dan lelaki mana yang tak menginginkannya sebagai teman ranjang saat melihat rok mini super ketatnya. Selama ini Kinanti sukses menjaring mangsa berhidung belang.
“Kau selalu mengagetkan. Bisakah kau lebih pandai lagi bergaul? Salam itu penting. Kau tahu berapa banyak orang mati bunuh diri karena tersinggung tak pernah mendapat salam dari orang lain?” Kinanti meracau. Ia bosan dengan sosok Abdi, si Alien itu.
“Ah, kenapa kau belum terbiasa dengan kedatanganku? Ayolah… Maksudku baik. Aku selalu mengunjungimu saat kau butuh teman, bukan? Dan itu penting untuk orang sepertimu.” Abdi menjawab dengan santai. Dengan senyum. Dengan suara yang terlalu lembut untuk seorang pria.
“Kau gila! Aku tak butuh teman sepertimu. Sebentar lagi, pasti ada yang datang menghampiriku. Yang tampan, tajir, pandai melucu, dan lebih sopan ketimbang Alien sepertimu.”
Okey. Baiklah, aku pergi.” Abdi melangkah menjauh. “Oh. Aku lupa. Aku ingin mengajakmu pulang. Kau mau, bukan?”
“Pergilah!”
Ribuan kali Abdi mengajak pulang. Kinanti selalu bertanya-tanya, ke mana ia akan dibawa pulang oleh Abdi? Ke kampung halamannya di Jawa pelosok sana? Yang tak pernah tampak di peta meski memakai kaca pembesar ekstra. Karena memang pembuat peta tak akan sudi menuliskan nama kota asalnya. Atau mungkin karena kampung halamannya memang tak perlu ada. Bisa jadi karena sebab itu, tempat tinggal Kinanti dulu tak pernah tersambangi subsidi pemerintah. Lantas, alasan klise laiknya si fakir dialami pula oleh Kinanti. Ia pun merantau ke kota, pusat peradaban. Berbekal ciuman tangan-kaki orang tua, Kinanti nekat menerobos gemerlap kota yang sejatinya temaram.
Dan jadilah Kinanti seperti sekarang ini. Seorang pedagang. Yang hanya berjualan di malam pekat. Para pembelinya adalah mereka yang haus jimak. Dan barang dagangannya pun harus dipesan satu paket: hotel dan alat pengaman.
Setelah Abdi pergi, Kinanti seorang diri di bangku kosong memandangi gelinding roda-roda kendaraan. Di pinggir jalan. Di depannya pelalulalang berseliweran. Acap dari mereka melengos ke arahnya. Macam-macam mata pria. Ada kalanya terbelalak, ada kalanya melirik munafik. Namun bukan Kinanti jika tak mahir membaca situasi. Seorang pengemudi memperlamban mobilnya. Ia menegur sapa Kinanti. Keduanya bertransaksi. Dunia malam menawar janji birahi. Kinanti pun masuk mobil setelah keduanya ada akad janji.
Yang terjadi kemudian, Kinanti dibawa terbang ke arah losmen syaitonirojim.

***

KEMBALI. Di malam berikutnya. Kinanti hadir di bangku kosong. Bangku panjang di pinggir jalan. Hanya ia sendiri duduk di sana. Di bawah langit gelap pekat. Berisi sekadar satu-dua bintang. Sisanya, rembulan amat pelit malam itu. Ia tampil menggores seumpama luka sayatan. Tepatnya, seperti sayatan di punggung kanan Kinanti.
Ia ingat–mungkin juga tak akan pernah lupa. Kejadian menjijikkan yang dilakukan majikannya dulu. Majikan yang menampungnya saat pertama kali menjejakkan kaki di kota pusat peradaban itu. Bermula ketika majikan laki-laki ingin menggagahi tubuhnya, yang sembilan belas tahun pun belum genap. Kala itu ia meronta sejadi-jadinya. Tubuh tambun seberingas binatang. Kinanti berdaya seujung jari lentik. Apalagi, si majikan biadab mengancam dengan benda metal mengkilap: pisau dapur. Kinanti punya naluri seorang wanita suci. Berusaha sekuat tenaga mengelak. Namun pisau terlanjur menggores punggung kanannya. Fatal jika melawan. Ia takluk oleh keadaan. Kinanti terkapar, terjerembab, lunglai tak berdaya. Jadilah musabab dari kenaasan-kenaasan hidupnya kemudian.
Kinanti terpekur mengulas pil pahit masa lalu. Kembali ia melangut di pinggir jalan sembari menanti pelanggan.
“Ah, melamun lagi.” Suara itu kembali mengagetkan Kinanti.
“Selalu saja begitu. Sudah kuduga kau pasti datang lagi.”
“Kenapa? Kau rindu?”
“Tunggu sampai aku sakit jiwa. Baru aku sudi merindukanmu.”
Sebagaimana lazimnya, Abdi datang dan membuat kesal Kinanti.
“Sebenarnya untuk apa kau ke sini? Kau selalu bicara tak jelas. Kali ini kumohon. Jujurlah padaku. Kau ingin tidur denganku, bukan? Kau tak punya uang tapi ingin meniduriku. Mimpi sajalah!”
Abdi terkekeh mendengar pernyataan itu. Kinanti bak pendakwa. Makhluk paling sok tahu.
Sudah dua minggu Abdi muncul di kehidupan Kinanti. Ia selalu muncul tepat saat Kinanti duduk sendirian di malam sunyi. Saat Kinanti menunggui pelanggan di pinggir jalan. Tak jauh dari situ, gapura batas kota berdiri. Gapura yang jika di kampung Kinanti kerap teronggok sesaji di bawahnya. Entah pesugihan, entah pekasih. Yang jelas, gapura adalah pintu masuk sebuah kota. Sedangkan pintu diidentikkan keluar-masuknya bala. Dan mungkin tradisi jampe-jampe semacamnya belum pupus di kampung halaman Kinanti. Warga satu dusunnya belum open-minded dengan teknologi dan modernisasi. Tak lain dan bukan salah lagi. Alasan utamanya, sebab kebodohan. Masa jahiliyah tak kunjung pungkas karena susahnya mengenyam bangku sekolah. Pun dengan Kinanti. Ia amat bersyukur bisa lulus SMP. Teman masa kecilnya banyak yang hanya lulus SD. Atau malah buta huruf.
“Sepertinya susah, bila sekejap saja kau tak melamun, Kinanti,” ujar Abdi memecah bisu.
“Benar sekali. Memang susah bagiku memahami jalan takdir. Ah, sudahlah. Kau tak akan mengerti keadaanku, nasibku, takdirku. Tak ada yang bisa mengerti. Mereka semua hanya melihatku dari luar semata. Lalu merutukku. Mereka bilang aku jalang.”
“Kau benar. Aku memang tak mengerti. Bahkan aku tak mau mengerti bagaimana keadaanmu, nasibmu, takdirmu. Aku tahu kau sudah sangat muak hidup di kota ini. Makanya, aku ingin mengajakmu pulang.”
“Pulang kemana? Aku mau turut kau bawa pulang. Kemana pun itu. Tapi tunggu sampai aku bisa kembali bersih. Tunggu hingga tubuhku kembali suci.”
“Kalau begitu, lakukanlah sekarang.”
“Kau gila. Aku bisa kembali suci hanya dengan reinkarnasi.”
Keduanya terdiam. Abdi melihat Kinanti kembali melangut. Tampak raut sendu Kinanti. Pundaknya memberat seolah ada puluhan peti kemas di atasnya. Tak lama, Abdi pun pergi. Tanpa permisi.
Sesaat setelahnya, mobil mewah berplat merah menghampiri Kinanti. Mereka bertransaksi. Dan klik! Wajah sepakat terpampang di kedua roman muka. Kinanti dibawa terbang lagi. Ke hotel, atau ke losmen syaitonirojim.

***

LALU kali ini. Di minggu lainnya. Kinanti masih tetap menjadi wanita yang sama. Yang gigih berdagang di malam hari.
Kulitnya entah terbuat dari apa. Angin malam tak mempan lagi. Ia pandai menahan gigil. Mungkin karena terbiasa. Ia menjelma jadi makhluk nokturnal. Berkeliaran malam-malam. Menemani mereka yang butuh dilayani.
Kota bernapas siang-malam. Hingga larut pun orang-orang masih sibuk cari rezeki. Termasuk si penjual sate itu. Datang berlalu di depan Kinanti. Ia lupa, perutnya belum sempat terisi. Di panggilnya si tukang sate. Hidung mengendus asap sate yang melenakan bagai anestesi. Perut keroncongan tak tertahankan di balik baju ketatnya. Sementara sebagai pejantan, mata penjual sate sesekali melirik ke dada Kinanti. Mata Kinanti menangkap hal itu. Namun ia sadar akan kejalangannya dan diam saja.
Ketika hendak melahap sebungkus sate di tangan, saat lidah sedetik lagi meraba rasa, ekor mata Kinanti memproyeksikan penampakan di bawah gapura. Seseorang duduk berselonjor di sana. Terdengar suara mengaduh dan mendesis dari mulutnya. Tangannya meremas-remas perutnya sendiri.
Kinanti pun mendekati. Ditemukannya seorang perempuan tua. Lusuh. Pakaian compang-camping. Pikiran Kinanti menangkap bayangan ibunya. Ya, perempuan tua itu seusia ibu. Ia jadi teringat seorang ibu yang selalu menanti kepulangannya. Mungkin saja di desa sana, ibunya sedang kelaparan, lalu menantikannya pulang membawa sebungkus makanan. Sate?
Entah siapa yang menggerakkan. Tangan Kinanti merentang mengulurkan sebungkus sate kepada si perempuan tua. Ada kepuasaan. Ada semacam rasa bungah setelah dilihatnya perempuan tua itu melahap habis sebungkus satenya. Kinanti merasa, hidupnya sebagai jalang ternyata bisa berarti untuk orang lain.
Setelah lama mengamati si perempuan tua makan sate, Kinanti kembali ke bangku kosong biasanya. Di pinggir jalan, sendirian, di telan sepi, dan memandangi roda-roda pelalulalang. Namun serasa ada yang ganjil. Ya, Si Abdi. Kemana Alien itu? Tumben ia belum datang. Bukankah biasanya ia acap datang mengagetkan? Entahlah. Tanpa Abdi, malam jadi hening dan sesenyap kuburan.
Keheningan membuat Kinanti tak siaga.
Awalnya lamat-lamat, namun kemudian suara sirine jadi menggema keras. Mobil patroli. Orang-orang berseragam didalamnya.
Kinanti panik. Ia tahu itu pertanda bahaya. Sesuatu yang harus dihindari segera. Secepat mungkin berlari. Jika tidak, salah seorang dari mereka akan menciduknya, meringkusnya, memungutnya seperti kotoran sapi. Namun sayangnya terlambat. Seorang pria bertubuh kekar berhasil mencengkeram lengannya.
“Mau lari ke mana kau! Dasar sundal!” Pria itu menyalak. Tercium bau alkohol saat ia terbahak.
Kinanti belingsatan. Badannya meronta ingin lepas. Ia ingat sebuah cara melepaskan diri dari hidung belang. Seketika kakinya mengayun. Lututnya menumbuk selangkangan pria bertubuh kekar. Dalam satu hentakkan si pria mengerang. Kinanti melangkah kabur.
Isi kepala Kinanti hanya berpikir tentang cara berlari cepat dan melarikan diri. Saat itu juga, ia ingin menuju ke seberang jalan dan menghilang di perkampungan penduduk. Namun tanpa di duga. Sebuah mobil berlari lebih kencang. Dan, buugg!!
Kinanti terpental setelah sebelumnya kepala membentur kaca depan mobil itu.
Ia tersungkur di atas jalan aspal. Matanya melihat banyak sekali kunang-kunang. Dari mana mereka datang? Jutaan kunang-kunang itu muncul dari balik punggung seseorang yang dikenalnya selama empat puluh hari belakangan.
“Abdi? Kaukah itu?”
“Ya, ini aku. Sekarang mari pulanglah bersamaku.”
“Ke mana?”
“Ke tempat yang telah disebutkan dalam doa wanita pengemis yang kau kasih makan itu.”
Kinanti pasrah tangannya digamit Abdi. Untuk pertama kalinya, Ia melihat Abdi mengepakkan ratusan pasang sayap di punggungnya. Yang tentu mampu membawanya terbang. Ke atas, hingga ia bisa melihat tubuhnya sendiri teronggok bersimbah darah di atas jalan aspal. (*)

 

Nasr City, 23 Januari 2012

*) Penulis adalah Mahasiswa, sedang mendalami bahasa dan kebudayaan Arab, tinggal di Kairo, Mesir