Cerbung Willy Wonga
“Demikian kalian bukan lagi dua melainkan satu…” suara Pastor bertalu-talu dalam telingaku. Aku tahu artinya, lalu di mana aku harus berada kini? Aku merintih dalam hati. Aku merasa ditinggalkan.
Suara musik di pagi buta menyingkap kantuk. Kendati kuap masih tergantung pada bibir, aku pasang telinga. Aku kenal aliran melodi serupa; yang mengalir bagai sungai tak berbatu, eine kleine nachtmusik. Musik favorit milik segitiga cinta. Andre menyukai Mozart dan Bethoven dan di masa lalu, kala pagi berdenyut dia putarkan musik itu. Seraya kami bertiga merayap bangun dari sarang berkasur.
Mungkin Mozart-lah yang memikatku lalu Andre menyekolahkan aku di sekolah musik sekarang. Musik semacam itu rupanya telah hilang selama ini, seiring runtuhnya kejayaan segitiga cinta milik kami. Baru pagi ini, serupa mimpi saja aku mendengar denting nostalgia berdengung. Mengalir menenangkan. Aku tahu kenapa. Nelangsa menggelayuti lagi. Otakku tak mau lekangkan aroma bahagia yang terkuar dari dua sosok antagonisku kemarin di gereja. Aku terpaksa memaksa diri tidak menangis kedua kali menyaksikan tali pernikahan tersemat pada masing-masing tangan di depan altar. Perut buncit Marida tertutup gaun pengantin putihnya, sementara Andre tak henti-henti tersenyum. Aku tahu dia bahagia setulus hati, mungkin setulus pernikahan pertama dengan Yohana, mungkin juga akan setulus pernikahan dengan wanita lain lagi bila Marida tak berjejak lagi lantaran sang Ilahi memanggil kelak. Selama Andre masih lelaki bebas.
Hari-hari setelah pernikahan mereka adalah benar-benar gila. Musik selalu mengawali hari, mengawali kemesraan mereka di depanku sehingga aku harus-cepat-cepat berlalu untuk menghindari sakit hati lagi.
Buncitnya makin subur saja. Membuat Andre kehilangan selera terhadap kehidupan larut malamnya. Dia tidak pernah pulang subuh sejak Marida datang, lalu sekarang setiap petang dia telah sampai rumah. Aku tetap curiga tentang perempuan-perempuan teman kencannya. Entahlah apa wanita itu juga tahu mengenai ini. Kendati alasan Andre pulang larut waktu itu sebatas pekerjaan semata, karena studionya dibangun jauh dari rumah ini. Aku tetap curiga dia masih sering main dengan wanita lain.
Hari lekas berganti. Tak terasa telah enam bilangan bulan aku hidup bersama wanita itu dalam satu rumah. Kemesraan demi kemesraan melaburi waktu-waktu mereka berdua, menumpuk sakit hatiku.
Hari-hari melesat. Namun tak pernah mnyembuhkan perasaanku, setidaknya aku bertahan pada apa yang kini terasa telah menjadi bagian diriku. Marahku beranak-pinak. Pasti benci telah berkarat seperti jelaga. Dan dua tahun terlewat nyaris sempurna. Aku terus menantang Marida bertarung. Dengan segala hal dan pada kesempatan apa saja. Andre lebih banyak memilih bungkam. Aku sangka dia menjadi begitu jarang keluar malam lantaran wanita itu, aku sebenarnya iri dia mampu membuat Andre betah di rumah. Juga selama dua tahun ini, yang aku diam-diam berburuk sangka, bertiga kami selalu berakhir pekan. Merayakannya. Tetapi masih saja bagiku itu pura-pura sikap sang rupawati agar aku mengakui dia. Bah..!
“……. dokter dia …….. sejenis electra………,” kata-kata pertama di meja makan pada suatu hari di bulan agustus. Di luar dedaunan meranggas. Aku langsung tertegun di depan pintu kamarku, tidak jadi bergabung menghabiskan roti sarapan. Kendati aku tangkap hanya potongan-potongan kata, tetapi jelas mereka membicarakanku. Intuisiku berkata demikian.
“Jangan mengada-ada Andre, itu hanya masalah psikologis yang coba dirumuskan Freud. Aleksa tidak sakit.” Bantah Marida. Jadi mereka membicarakanku. Setelah nyaman hidup begini, maksudnya dengan tidak merasakan sakit apapun, tiba-tiba saja vonis itu terdengar mendakwa. Aku memaku langkah di depan pintu. Aku lemas dianggap sakit. Juga sakit hati jadi bertambah-tambah.
“Sekian persen kemungkinan memang itu terjadi pada manusia, Mar.”
“Tapi aku tak tega berkata begitu, itu hanya masalah psikis, mungkin aku berhasil mengembalikan kepercayaan dirinya.” Marida terdengar kacau.
“Kamu dokter, apa tidak bisa mengetahuinya dengan lebih pasti?”
“Dokter kandungan, bukan psikolog. Dia hanya tidak ingin kehilangan kamu.”
“Lalu? Apakah sepanjang hidup dia akan bergantung terus padaku?”
“Aku tidak tahu, Andre. Kadang-kadang ilmu tidak bisa menjelas hal-hal seperti ini.”
“Iya, tetap saja kamu lebih mengerti dariku.”
“Jangan memaksa aku Andre. Aku akan berusaha sekuat mungkin, tapi butuh waktu.”
Diam mengambil alih. Andre terlihat menghembus napas berat, mengolesi roti tawarnya dengan selai kacang.
“Aku tidak tahu bagaimana harus berterimakasih. Kamu orang yang tepat.”
“Jangan berkata begitu, aku terlalu kalut menghadapi ini semua, aku berpura-pura bertahan.” Andre terharu, terdengar dari katanya kemudian, “terima kasih sayang. Kamu tahu, aku tidak pernah salah pilih.”
“Maksudmu?”
“Kamu tahu kan, aku lebih memilih kamu ketimbang mereka.”
“Dulu kamu selalu meragukan; apakah wanita sepertiku, tukang aborsi ini bisa menerima seorang anak dalam hidupnya.”
“Kamu telah membuktikan bahwa kamu pantas.”
“Terima kasih. Jangan menyanjungku karena telah berhenti dari aborsi dan memilih menjadi pencinta anak-anak Andre.”
“Aku merasa jatuh cinta lagi.”
Terdengar mereka tertawa-tawa. Aku tetap diam saja. Sementara otakku mulai mengira-ngira. Aku sakit, namun rasanya bukan itu isi pembicaraan yang sebenarnya. Makin sembunyi mereka akan keadaanku, sebab aku tidak mungkin mencari tahu sendiri, tidak untuk saat ini, makin lestari rasa marahku.
Aku terus lampiaskan pada Marida. Terkadang aku menghabiskan hari di sekolah seniku, membiarkan Marida menunggu hingga malam di tempat parkir. Setiap kali dia bicara, aku diamkan saja. Lalu menyerangnya dengan kalimat-kalimat berisi penghinaan dan tuduhan-tuduhan. Tetapi sebalnya dia tak terpengaruh. Walaupun sering dia pias mukanya, oleh kalimatku yang serampangan.
Setelah aku tahu ada sebuah penyakit tersembunyi dalam diriku, aku uring-uringan. Apalagi bila Andre berada di rumah. Dan hanya kami berdua sementara Marida sibuk dengan pasien-pasien berperut buncit. Serta-merta Andre menyebut namaku, memintaku untuk diam dari keusilan atau sekedar berhenti dari sikap kanak-kanak. Bila kata-kata Andre menohok, aku berlari ke kamar tidur dan tetap di sana hingga malam hari. Kadang sampai malas berangkat belajar, sampai-sampai Andre menilai aku mundur pesat. Lalu aku pun berdalih karena kedatangan Marida.
Masih penasaran mengapa aku betah berada dekat Marida. Pernah aku bilang itu lantaran wangi lavender di tubuhnya. Bisa jadi jawaban itu tidak benar. Sebab tidak jarang dia menyiram tubuh pakai parfum jenis lain, dan aku tetap mau saja dia ajak berbelanja baju. Atau pada hari libur ke toko buku, ke toko peralatan musik sederhana. Aku tidak hubung-hubungkan ini dengan rasa marah. Memang, setiap berada dekatnya aku menyembur-nyembur lidah panas mirip naga dalam film kolosal.
“Aku tidak mau!” pintu kamar aku banting dengan kesal. Betapa tidak, hari ini, minggu, aku dia ajak ke salon. Mana aku mau. Bagiku itu hanya akan mempertegas kejelekan rupaku yang buat aku jadi perempuan sinting pembenci wanita cantik.
Marida buka pintu. Dia masih tetap cantik dari perempuan mana pun, menurut mataku ini.
“Tidak ada seorang wanita yang tidak mau tampil cantik…”
“Ada…aku,” aku sela bicaranya.
“Ayolah, cukup sekali ini saja.”
“Jangan buat malu, aku tidak mau!”
“Sayang, kamu terlalu keras pada dirimu. Sekali ini saja, setelah itu kamu boleh menolak.”
Aku lihat dia sungguh-sungguh. Atau setan tengah mempermainkanku sehingga aku bangun dari kasur. Melangkah gontai menuruti langkah kaki Marida. Kami ke salon, dan menjadi kunjungan terakhirku ke tempat bedah rupa itu.
Tak terbayangkan marahku meluap. Meja riasku berhamburan kaca-kacanya. Marida berdiri tegang di ambang pintu menyaksikan aku mengobrak seisi kamarku. Aku sakit minta ampun.
“Pipinya kelewat tembam, dia harus di…” aku menyerakan botol-botol kosmetik dari atas meja. Menghalau kata-kata yang menyinggung sisi hidupku yang terluka.
“Untuk hidung pesek, kamu mesti..” aku tidak mau ingat lagi kata-kata pelayan salon. Aku pungut sebotol penghitam rambut dari lantai, memandang wanita di ambang pintu melalu mata marah yang amat sangat, lantas melemparnya. Ah, Tuhan masih saja menyelamatkan hambanya itu. Padahal seandainya berhasil mengenai wajah Marida pastilah sedikit keindahan itu akan pudar.
“Aku tidak bermaksud buat kamu marah,”
“Diam!” aku bahkan berontak dalam pelukannya.
“Aleks..”
“Sialan!”
Sekilas sebelum dia keluar cepat-cepat dari kamar ada air mata terbentuk di mata Marida. Aku anggap itu bagian dari rasa bersalahnya, tetapi tetaplah pura-pura.
bersambung…
Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #8
Satu komentar pada “Wanita Itu Bernama Marida #9”