cerita bersambung

Wanita Itu Bernama Marida #8

Cerbung Willy Wonga

“Enam malam aku tunggu, Mas tidak muncul. Aku kira tidak  mau datang lagi,” gerutu wanita bibir merah setelah sesap segelas bir.

Seorang pemula! Dua kata melekat di benak pria tercintaku. Selalu dari pemula untuk jadi terbiasa sebelum disebut pecandu. Yang mana posisi dia sekarang, Andre kehilangan pijakan. Pada hari-hari kerja dia memikirkan wanita itu. Wanita yang tidak pantas dia sandingi, namun pada remang malam keduanya terlihat pantas. Memang ada segepok rasa bersalah di hati, namun segera muncul pembelaan diri dari nuraninya kini. Aku lelaki yang sedang kesepian!  Dan teringat pula bentuk tipis bibir merahnya pada malam sebelum. Malam yang akan terulang selepas senja.

Kembali ke bar, pesona malam pun terulang mendekap. Membekap separuh otak, pun suara hati agar terabai. Biar tubuh segera terbuai oleh asap rokok dan buih minuman. Bir ini mirip malam itu sendiri. Beradidaya mengelabui akal sehat. Sekali teguk  terasa tak berasa. Dua teguk mengirim bunyi sendawa. Gelas ketiga dan keempat mengambil alih separuh kesadaran hingga suara terasa mengambang. Dunia sungguh indah dinikmati dalam kabut tembakau juga temaram cahaya lampu. Penat terbuang dengan sendirinya setelah  perut kenyang oleh tujuh gelas minuman.

“Akhirnya kamu datang, Mas!” suara itu menembus kebisingan musik. Andre tergeragap. Hati ini, oh! Apa lagi namanya selain sejumput kebahagiaan? Dan yang pelan-pelan terkuak itu, kerinduankah namanya? Tidak! Andre membentak diri. Bahagiaku, rinduku bukan pada wanita pengunjung malam ini. Masih ada sekelompok wanita lain yang lebih layak, seorang penyanyi solo, pemain gitar hingga penjaga butik yang selama ini dia kencani secara bergantian.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com

“Aku ingin sekedar melepas lelah,” Andre berkata seadanya. Dia halau gambaran bibir merah di depan. Dia membandingkan dengan bibir-bibir lain. Tak sepadan jadinya.

“Enam malam aku tunggu, Mas tidak muncul. Aku kira tidak  mau datang lagi,” gerutu wanita bibir merah setelah sesap segelas bir.

“Diajak teman-teman. Kalau sendiri aku pasti tidak berani,” betapa polos Andre membohong.

“Lama-lama juga jadi berani,” lebih menggoda nada suaranya.

“Kamu kerja di sini?” Andre akhirnya berani bertanya. Setelah pertemuan pertama mereka berakhir dengan tidak saling memberi tahu nama. Sebab pikirnya waktu itu, hanya kebetulan mereka bertemu dan dia tak akan balik lagi. Jadi apa arti sebuah perkenalan singkat yang tak berujung.

“Tidak,”

“Jadi?”

“Aku seperti Mas. Hanya sebagai pengunjung,” ujar wanita itu lugas. Bebas seperti burung di langit. Dan Andre ikan di laut.

“Suamimu tahu?” sedikit lancang dalam suasana ini tidak jadi persoalan.

“Aku lajang, Mas.”

“Jadi sudah sering kamu ke sini rupanya,”

“Iya, sudah seminggu ini,”

“Maksudmu?”

Senyum manis mengambang. Tersirat perasaan yang buat Andre cuma menebak entah.

“Sebelumnya aku bukan pengunjung tetap. Hanya malam-malam jenuh aku akan mampir ke bar ini. Kemudian sejak seminggu lalu aku jadi rutin,”

“Hanya untuk menemuiku?” alkohol membuka semua simpul pengikat di akal, hingga Andre jadi berani membalas godaan serupa.

Senyum itu mengambang berulang.

“Aku butuh teman, Mas, di tempat seperti ini,”

“Teman dalam arti apa yang harus kuterjemahkan?”

“Sekedar pelepas penat.”

“Kau sangat terus terang.”

“Hmm, apa yang tersisa dari seorang seperti aku. Selain kesendirian yang meminta dikawani. Sungguh Mas, aku hanya mau berteman.” Wanita itu terdengar bersungguh-sungguh saat berkata.

Dan Andre terlalu mabuk untuk menduga. Malam itu lewat, masih seperti minggu kemarin. Setelah gelas bir terakhir keduanya berpamitan. Tiada janji. Tapi kini sebuah nama Andre bawa pulang: Marida. Seorang wanita lajang, dia rekam kata-kata itu. Wanita yang menawan meskipun dikerubuti remang malam. Andre membandingkan dengan usianya, cukup sebanding bagi suatu hubungan tak berdasar. Sekedar rasa saling membutuhkan untuk pelepas penat.

Seminggu kini terasa singkat. Sabtu menyapa lagi menawar akhir pekan di bar yang hingar-bingar. Ketika senja merayap lewat lembayung di ufuk barat, aneh, terasa hati tak tenang. Jantung pun berdebam dipalu godam kasat mata. Malam ini, Andre putuskan ke bar dengan pakaian santai. Kaus oblong dan celana pendek. Ada janji telah terucap untuk kembali ke sana malam ini.

Marida ibarat kupu-kupu yang cemerlang. Indah menggelitik hati untuk segera menangkap tetapi bukan untuk dipegang. Sekedar pemuas mata.

“Mas, pernah meneguk bir di pantai?”

“Pantai? Sepanjang kunikmati malam-malam di tempat ini hanya debur ombaklah yang terdengar.”

“Mas mau kan temani aku di sana?” Marida melempar pancing. Andre bertatap pada remang cahaya. Sekedar dia cari iblis di mata perempuan yang duduk berhadapan ini. Atau sedikit muslihat sebagai alasan penolakan. Namun remang kelewat temaram, memudarkan tiap gambar yang hendak dilihat. Saling bergandeng tangan mereka menuju pantai. Dengan segelas bir di tangan masing-masing, sementara Andre menambahkan botol minuman itu di tangan yang satu.

“Apa ada pria dalam hidupmu?”

“Aku terlalu sibuk untuk menerima perhatian seorang pria di siang hari,”

“Jadi apa kerjamu sebenarnya.”

“Dokter kandungan, mas.”

“Selain itu?”

“Hanya itu.”

“Apa yang buatmu ke sini, mengenalkan diri pada kebohongan malam seperti ini?”

“Jangan terlalu puitis,” dia tertawa, terkesan pahit.”Saat SMA aku melakukan aborsi sebanyak dua kali. Sangat mengerikan menyadari dirimu melakukan hal-hal yang bakal membuat ibu atau ayahmu mendadak mendapat serangan jantung. Itu sebenarnya pilihan paling sulit yang telah aku ambil, mas. Berturut-turut. Seperti keledai, dua kali jatuh pada lubang yang sama.” Marida menyesap segelas lagi. Hening sebentar sebelum dia lanjutkan,” Ceritakan tentang dirimu,”

“Seniman, pemusik, pencipta lagu,”

“Hahaha, sangat ringkas.”

“Kamu bisa bayangkan betapa tidak terlalu ringkas pada kenyataannya.”

“ Dan anehnya kita merasa penat pada kesibukan yang tak seberapa.”

“Hmm, tentu kita ada masing-masing alasan lain, kan?”

Demikianlah sekian tanya saling memanah. Hingga bibir mereka benar-benar saling melekat. Entahlah apa terpikir Andre. Seharusnya dia mengibas debu lalu berlalu dari tempat itu. Bukankah Marida secara gamblang dan berani memberitahu celanya? Dua kali aborsi. Wanita macam itu? Tetapi andre tidak mempedulikannya. Baginya, Marida seperti dia. Punya masa lalu, dan orang-orang bilang masa lalu adalah pelajaran paling berharga untuk tidak mengulang hal yang sama. Lebih dari itu mereka adalah dua manusia bebas. Maka, dari seekor burung dan seekor ikan mereka jadi sepasang kelamin binatang purba di atas pasir.

Begitu rupanya. Marida adalah seorang dokter kandungan kesepian. Hanya pada teguk bir dan sindikat malam dia beroleh kesenangan, penatnya terbebas. Oh, bila saja aku tahu cerita ini dari awal dia datang, benciku padanya bakal setinggi air bah. Mana bisa aku biarkan Andre membawa pelacur ke rumah ini. Aku terpaksa terima teman-teman kencannya yang lain selama aku tahu mereka perempuan bukan seperti Marida. Tetapi terlambat warta ini menyambangi telingaku, setelah semua permusuhan terbunuh dan kedamaian akhirnya datang pada suatu hari di masa mendatang.

 

bersambung…

Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #7

Satu komentar pada “Wanita Itu Bernama Marida #8”

Beri Tanggapan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s