Arsip Tag: menatap wajah

Wanita Itu Bernama Marida #5

Cerbung Willy Wonga

“Kalian berencana menikah?” tanpa basa-basi, hujan badai persoalan itu kuturunkan. Aku telah memintal kepercayaan diriku untuk segera menanyakan perkara paling mendasar dalam rumah tangga ini yang mungkin sebentar lagi akan berantah. Setidaknya aku bakal remuk hingga ke tulang belakang.

Pernah membaca tulisan David J. Schwartz; The magic of thinking big? Wow, aku suka sekali. Aku suka kata-kata inspiratif dan provokatifnya tentang berpikir dan berjiwa besar. Bahwa segala hal berkaitan dengan proses berpikir. Aku sedikit banyak percaya.
Namun menerapkan ketika berhubungan dengan prahara Andre, adalah mustahil. Dengan runyam perasaan serupa ini, sulit bagiku terus berpura-pura suatu saat keberuntungan berpihak pada kesabaranku. Dan Andre akhirnya akan menjadi insaf bahwa aku mendambakan perhatian dari dia selama ini. Mana mungkin aku mengubah pola pikirku ini, yang selalu bercokol dalam benak dengan opini berbunyi; Andre akan dimiliki wanita lain atau setelah Yohana, sekarang Andre akan meninggalkanmu, mengkhianati cintamu yang seenteng seputih salju. Makanya aku benci kala ada wanita lain mengalihkan Andre. Terlebih wanita bernama Marida di rumahku kini.
Suatu hari, hari di mana untuk kesekian puluh kali Andre pergi dan tidak menjamin pulang sebelum larut aku mendekati Marida. Sementara wanita sainganku tengah menata ulang tata taman seenak udelnya. Aku tak hirau dia menata atau justru merusak. Itu urusan dia dengan beliau yang pecinta seni di mana entah dia berada kini. Aku masih kalut menghadapi persoalan datangnya manusia jenisku ke rumah ini. Karena dia datang tanpa persetujuanku lantas tinggal berhari-hari hingga hampir dua minggu. Padahal aku tahu dia punya rumah kontrakan di balik bangunan besar di sana. Hanya setengah jam berjalan kaki, sejauh aku dari sekolahku. Baru dua kali dia pulang ke rumahnya lalu kembali lagi ke sini. Kedengkianku padanya setara kebencian kepada Andre, tetapi kepada Andre selalu lebih kusembunyikan dalam lipatan senyum.
Menyadari kehadiranku, Marida berbalik. Telapak-telapak tangannya terbungkus plastik agar terhindar dari lepotan tanah sehingga bibirku mencibir. Bukan iri hati. Hanya merendahkan saja kendati kecantikan tetap membuat aku diam-diam terkagum padanya.
“Kalian berencana menikah?” tanpa basa-basi, hujan badai persoalan itu kuturunkan. Aku telah memintal kepercayaan diriku untuk segera menanyakan perkara paling mendasar dalam rumah tangga ini yang mungkin sebentar lagi akan berantah. Setidaknya aku bakal remuk hingga ke tulang belakang. Dia tebarkan tatap seolah bertanya. Berpura-pura bingung, dasar penggoda! makiku dalam hati.
“Mengapa kamu menanyakan hal itu?” ringan suaranya membuat aku makin meradang. Dia pasti tengah mempermainkan perasaanku. Sebab dia tahu dia sedang pada jalan kemenangan dalam pertarungan ini.

cerita bersambung
gambar diunduh dari bp.blogspot.com
“Kamu tidak tahu aku punya hak untuk mengetahuinya? Atau kamu berpikir bisa bebas mencuri Andre dari hidupku?” sumbu percekcokan telah kunyalakan kini. Tinggal tunggu apakah dia masih wanita berhati sabar ketika menghadapi aku atau justru menuju titik rapuh kesabarannya sendiri. Semenjak dia berada di sini aku telah melepas umpan, sekiranya dia menelan lantas kulampiaskan tabungan kemarahanku. Namun hari-hari belakangan dia masih berpura-pura arif bijak. Tak masalah, aku akan mengikuti cara para pemburu paus di ujung pulau Flores, yang setia mengekor mangsanya hingga menyerah. Demikian aku menanti saat di mana Marida akan menyerah pada rasa frustrasiku. Kemudian perang ini menjadi benar-benar meletus.
Barangkali Marida belum tahu menahu bahwa Andre telah lama buat aku jatuh cinta. Cinta pertamaku. Bila bernostalgia di sudut kamarku akibat ditinggalkan Andre sendirian: aku kembali ke masa di mana awal aku menatapnya. Senyum penebar kehangatan begitu menawan di bibir yang telah mengucap bentak itu. Dialah pertama saat kubangun pagi yang menyapa dengan menyingkap korden kamarku. Kemudian menciumiku sepenuh hatinya, semurni cinta kami, hingga senyumku melumer pada dada bidangnya.
Barangkali aku tak akan lupa mengenai wanita istri pertama Andre. Betapa bijaksana perempuan macam dia. Oh, perempuan macam dia hanya patut dipasang sepasang sayap putih. Kemudian disandingkan dengan para malaikat langit, makhluk yang pernah disandangkan namanya oleh Andre padaku. Betapa dia berkorban membagi Andre dengan kehadiranku di rumah ini. Kendati kini aku kikir membagi pria itu kepada wanita lain. Dia merelakan cintaku yang sebening embun menyentuh mata hati Andre, sehingga aku tahu Andre kemudian mencintai aku. Yohana, nama perempuan berhati malaikat itu. Kami berbagi dalam hal cinta bersama Andre. Cinta segitiga sempurna. Pelan namun pasti, segitiga cinta menjadi alasan kenapa kami pernah atau ditakdirkan hidup bersama dalam satu rumah. Dua wanita mencintai seorang pria. Tentu dunia menyimpan sirik melihat cahaya cinta dari segitiga milik kami. Namun, entah Sang khalik tak setuju atau entah pula karena waktunya di bumi sudah cukup si wanita berhati malaikat akhirnya pergi. Saat aku masih tujuh tahun datang ke rumah ini. Bukan waktu yang lama untuk menikmati kekuatan segitiga cinta.
Perihal segitiga, manakala sebuah sisinya diambil mereka bukan segitiga lagi. Hanya sebuah bentuk yang entah. Masing-masing kehilangan sebuah penyangga. Niscaya berantakan. Ya, sepasang bentuk tak berbentuk apa; aku dan Andre. Aku tahu sejak Yohana meninggal, masing-masing kami goyah. Lalu jadi begini. Aku terbujur oleh kehancuran cinta yang pernah dibangun, sementara Andre terlepas bebas dari sekutu cintanya.
Tak usah lama-lama memikirkan kecemerlangan di masa lalu, Aku mesti kembali menatap wajah tak tahu malu ini.
“Kami sebenarnya tak mau menyakiti hatimu, Aleks. Andre bilang kamu belum bisa menerima kehadiran orang lain di rumah ini sehingga kami menyembunyikan hubungan kami selama ini.” Marida berujar seolah meminta maaf. Sayang aku bukan seperti Yohana, wanita berhati malaikat.
“Lalu mengapa sekarang kamu berada di rumah? Sementara tak sekalipun Andre tanya apakah aku sudah siap hidup dengan perempuan lain?” tak pernah surut lecut cambuk murka dari mulutku. Seperti melontarkan proyektil berulang-ulang ke medan saga.
“Aku mengerti perasaanmu, Aleks.”
“Kamu tidak mengerti karena tidak mengalaminya!” kesalku bertambah oleh suara sok tahunya.
“Aku bisa membayangkan bagaimana rasanya. Biarkan aku menggantikan Yohana. Aku tahu kamu amat kehilangan dia.” Tangan kotornya menyentuh bahuku. Aku menampik, kabut pekat makin gelantungan dalam benak mendengar nama wanita berhati malaikat disebut mulut perempuan hina ini. Demi kemuliaan nama Yohana, aku merasa dia tidak pantas menyebutnya.
“Kamu tidak tahu apa-apa mengenai dia. Tidak usah kamu berdalih atas kehilangan kami, namun lebih dari itu aku belum membutuhkan orang lain mencampuri hidupku. Juga Andre. Tak juga oleh wanita semacam kau!”
“Tak semestinya kamu jadi kasar, Aleks.” Dia buang muka. Berpaling, antara menyembunyikan sakit hati atau kejengkelan aku tidak tahu.
“Bukan urusanmu!” Memang aku bukan Yohana, si wanita berhati malaikat.
“Aku tahu kamu terluka, beri aku kesempatan membantu Andre menyembuhkan luka itu.”
Aku benar-benar kesal kini. Umpanku seolah terdampar pada air keruh. Dan wanita itu tidak juga terpercik api angkaraku.
“Aku bukan seorang anak kecil lagi. Jadi lukaku bisa aku sembuhkan. Asal jauhi Andre!”
“Orang dewasa juga punya luka, sayang. Malah lebih besar daripada seorang anak, kadang-kadang.”
Aku muak dia panggil sayang.
“Stop!” ya, aku mau berhenti mengulur waktu, ” jawab saja tanyaku; benarkah kalian mau menikah?”
Marida diam mengukur situasi. Matanya berkedip-kedip bukan disebabkan kotoran yang masuk. Walau aku harap kotoran telah merusak keindahan kejora mini itu. Dia hanya resah mendengar tanyaku.
“Ya,” jawabnya pasti. Aku terguncang nyaris rebah di tanah saat itu. Dunia terasa berputar terlalu cepat pada porosnya, merusak sistem kesadaranku. Dan aku merasa mengambang sewaktu dengar dia lanjut berujar,
“Dalam waktu dekat.”
Marida menang perang, dan pedangnya masih tertinggal di hatiku. Perih minta ampun.
 
 
bersambung…
 
 
Baca kisah sebelumnya: Wanita Itu Bernama Marida #4