Fiksi Kilat Merry Fatma

Sore ini mendung begitu pekat di langit kotaku. Aku tidak begitu tahu apakah perjalanannya baik-baik saja. Dengan enggan kuambil telepon genggam, penasaran ingin tahu kabar darinya.
Teman, bagaimana perjalananmu?
Secepat kilat di antara mendung yang pekat, kuketik deretan huruf lantas kukirim ke nomornya. Oh ya, begitu lama kami tidak saling bicara. Biasanya jika tiga hari saja kami tidak saling bertegur sapa dia akan meledekku: sombong.
Aku kira, ini sudah lebih dari selamanya kami tidak saling bicara. Apa pun alasannya, ini sudah salah. Seperti ada semacam pengkhianatan perjanjian tidak tertulis yang telah kami sepakati bersama. Aku mencoba mengingat hari-hari yang lalu, ketika segala serupa pelangi terbit usai hujan reda. Memang, aku yang menjauh saat itu. Aku mengaku. Aku terlalu cemburu perlakuannya pada teman-temannya selain aku.
Kami sudah lama bersama, baik jika engkau tahu, itu lebih dari akrab dengan kata berdua. Tentu saja ada rasa tidak rela saat satu atau dua atau bahkan serombongan teman-temannya hadir di antara kami. Apalagi kemudian aku tahu, ada salah satu yang istimewa baginya.
Barangkali ini sudah salah. Tetapi debar di dadaku lebih menggelegar dari guntur di mendung sana. Aku deg-degan menanti balasan darinya.
Tentu saja sudah kuperkirakan sebelumnya bahwa sudah tidak ada lagi yang istimewa di antara teman-temannya. Aku yang lebih dulu, seharusnya aku yang paling istimewa. Akan tetapi soal hati siapa yang tahu, bukankah cinta tidak lantas tertuju kepada siapa yang datang lebih dahulu?
pip,pip,pip… Pesan balasan darinya.
Baik-baik saja. Sombong sekali baru menyapa sekarang. Ke mana saja?
Bah, memang pada awalnya aku yang menjauh darinya. Tetapi bukankah dirinya juga tidak mencariku? Tidak merasa kehilangan aku? Aku berharap di bulan juga sedang mendung. Seperti di sini, lalu gerimis. Semoga dia tidak lupa membawa jas hujan.
Ada pelangi di ujung sini, cantik sekali. maaf aku lupa pernah berjanji untuk mengajakmu kemari.
Pesan lagi darinya. Satu permintaan maaf. Tanpa sesal. Tanpa usaha memenuhi janji. Sudahlah. Dia tinggal lama di bulan pun tidak mengapa. Aku cuma akan berdoa untuk kesehatannya. Dan untuk sisa waktunya di bulan, yang katanya akan ia gunakan untuk melakukan penghijauan.
Mengenai sisa perasaanku ini, kuusahakan untuk mengalirkannya perlahan-lahan, ke sungai. Supaya kelak bermuara di lautan, menguap kemudian menjadi hujan. Semoga kelak hujannya akan turun sampai ke bulan. Menemani perjalanannya.
*) Merry Fatma, saat ini tengah berkutat menyelesaikan skripsi di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogja.